Minggu, 24 April 2011

Song of Love part 8

Taman yang pernah menjadi saksi pertemuan mereka beberapa tahun lalu, dalam sebuah kecelakaan saat tak sengaja Gabriel menabrak Shilla yang sedang berjalan-jalan menghabiskan sorenya. Tempat Gabriel membawa Shilla saat ini.
Hari sudah menjelang malam, taman ini menjadi sangat sepi. Hanya ada Gabriel dan Shilla yang duduk di bangku taman dekat air mancur yang seakan menjadi objek utama dari taman ini. Lampu taman yang mulai menyala menambah kesan romantis di tempat sunyi ini.
Shilla masih saja diam sambil menatap kosong ke arah di hadapannya. Ia masih saja diliputi rasa bersalah pada Ify dan merutuki semua perbuatan bodohnya. Dan satu hal yang tak habis ia pikirkan sedari tadi adalah bagaimana cara Gabriel yang terus membelanya mati-matian, padahal jelas ia berada di posisi yang salah.
Ia menoleh ke samping kanannya, menatap Gabriel yang masih membungkuk dengan kedua sikunya ia tumpukan di atas pahanya, menatap ujung sneakersnya seakan ada sesuatu yang sangat menarik di sana. Setiap ukiran tegas di wajah tampannya sungguh mempesona, justru mengherankan jika tak ada orang yang mau berbagi kasih dengan laki-laki itu.
Sebuah butiran bening kembali mengalir dari mata indah milik Shilla. Perbuatannya bisa saja membuat Gabriel benar-benar pergi darinya, tapi ia tak melakukannya, hal yang justru membuat Shilla semakin merasa bersalah.
“Gab.. Gabriel.. maafin aku, aku nggak mau kamu marah sama aku.” Ucap Shilla tak mampu lagi membendung tangisnya. Ia menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya.
Sebuah reaksi yang tak pernah Shilla duga akan diberikan Gabriel padanya. Gabriel tak menjawab sepatah katapun, ia justru menarik tubuh Shilla dan memeluknya erat-erat.
“kamu pikir aku bisa marah sama kamu? Enggak, Shil..” bisik Gabriel tepat di sebelah telinga gadis cantik itu.
Mereka kembali diam. Gabriel membiarkan Shilla mendengar detakan jatungnya. Mencoba memberitahukan pada gadis itu bila ada namanya yang selalu disebut setiap kali jantung itu berdetak. Bukan sebuah kepalsuan atau permainan seperti yang biasa ia suguhkan kepada gadis-gadis lain.
“aku.. cinta kamu.” Ucap Gabriel membulatkan tekatnya untuk segera mengungkapkan perasaannya.
Shilla melepaskan pelukan Gabriel tiba-tiba. Jujur ia tetap kaget dengan pengakuan Gabriel.
“kamu serius?” tanya Shilla meyakinkan.
Gabriel mengangkat dagu Shilla dan mengarahkan wajah cantik yang sebelumnya menunduk itu untuk menatapnya.
“aku yakin kamu bisa bedain kapan aku bohong dan enggak, silahkan kamu nilai sendiri.” Gabriel memberi instruksi pada Shilla untuk membuktikan ucapannya dengan menatap matanya.
Dengan segenap keberanian yang telah dikumpulkannya, Shilla mencoba menatap dalam-dalam mata Gabriel, mencari sebuah kesungguhan dari sana, dan memang itu yang ia temukan. Gabriel sedang berkata jujur. Shilla tau persis jika bola mata gelap milik lelaki tampan itu tak akan bisa berhenti bergerak saat ia berbohong, namun saat ini mata itu terlihat tenang dan menatapnya dalam-dalam.
Perlahan Gabriel mencondongkan kepalanya ke kanan, mendekatkannya perlahan pada wajah Shilla, menghapuskan sedikit demi sedikit jarak yang memisahkan mereka. Jatung Gabriel berdetak semakin cepat setelah melihat wajah Shilla dalam jarak beberpa centi saja dari matanya. Ia memejamkan matanya, merasakan hembusan nafas Shilla yang makin memburu.
“maaf, Yel!” ucap Shilla tiba-tiba sambil memalingkan wajahnya.
Gabriel hanya menggaruk tengkuknya, canggung. Sepertinya ia lupa dengan siapa ia berhadapan sekarang. Shilla yang begitu polos.
“it’s okay, I’m sorry.” Balas Gabriel sambil tersenyum kikuk.
Shilla hanya menunduk menyembunyikan pipinya yang terasa sangat panas. Ia yakin saat ini kedua pipinya sudah berwarna sangat merah seperti tomat.
When I see your face
There’s not a thing that I would change
‘cause you’re amazing
Just the way you are..

Gabriel bersenandung memecah hening, lagu yang sebenarnya keluar begitu saja dari mulutnya dengan nada seadanya. Lagu yang baru ia cermati setelah ia menyenandungkannya. Lagu yang ternyata mampu mengungkapkan perasaan hatinya pada Shilla.
“Shil, ini pertama kalinya aku cinta sama orang tanpa memandang apapun, kecuali ketulusan yang dia berikan buat aku.” Gabriel memulai monolognya. “kamu yang tetap luar biasa saat menjadi diri kamu sendiri.”
“kamu yakin milih aku? Bagaimana kata orang nanti? Mau mengubah dongeng jadi the handsome and the beast?” potong Shilla ragu.
“peting gitu denger kata orang? Rasa ini kita yang rasain, bukan mereka.” Jawab Gabriel meyakinkan. “kalau aku suka sama kamu karena kamu cantik, itu namanya napsu, bukan cinta, do you never think about it?”
“asal kamu nggak dapet kata itu dari kamus gombal yang kamu punya aja.” Ledek Shilla sambil menjulurkan ujung lidahnya.
“udah aku bakar kamusnya!” tanggap Gabriel. “lagian kamu itu cantik, Shil, cantik banget!”
Gabriel melepaskan kacamata tebal yang membingkai mata Shilla perlahan. Menata poni yang jatuh di keningnya, juga merapikan tatanan rambut Shilla yang sebelumnya diikat ekor kuda dan kini jatuh terurai sempurnya.
“liat!” perintah Gabriel setelah puas dengan hasil karyanya. Ia menyodorkan layar ponselnya pada Shilla agar gadis itu dapat bercermin dan melihat betapa cantiknya ia sebenarnya.
“iya, cantik!” ceplos Shilla mengomentari penampilannya sendiri dengan polosnya.
Melihat ekspresi Shilla, Gabriel tertawa lepas sambil mengacak-acak puncak kepala gadis itu.
“Cuma aku yang boleh liat kamu secantik ini, yang lain enggak! Aku nggak mau kamu dikejar cowok lain!” kata Gabriel manja.
“kamu siapanya aku?” tanya Shilla karena menyadari sedari tadi Gabriel belum memintanya menjadi kekasihnya.
Gabriel hanya memberikan cengiran kudanya untuk menanggapi Shilla. Ia juga baru sadar jika belum ada komitmen apapun di antara dirinya dan Shilla.
“harus tembak-tembakan dulu ni?” tanya Gabriel sambil lagi-lagi menggaruk tengkuknya.
Shilla hanya menggedikkan bahunya sambil tersenyum penuh arti.
Gabriel beringsut dari tempat duduknya dan berlutut di hadapan Shilla. Ia menggenggam erat kedua tangan lembut milik Shilla erat-erat.
“Shil, perlu kamu tau, ini pertama kalinya aku nervous nembak cewek.” Kata-kata yang sebenarnya tak perlu diucapkan sama sekali oleh Gabriel.
Tawa kecil langsung keluar dari bibir Shilla mendengar pengakuan Gabriel. Ia juga menggeleng-geleng heran. Pangeran yang selalu ingin nampak sempurna di hadapan gadis lain itu bisa tanpa sungkan berbuat banyak kebodohan di hadapannya.
“Ashilla Zahrantiara, would you be mine?” pinta Gabriel mantab sambil menatap mata Shilla dalam-dalam.
Shilla dapat merasakan telapak tangan Gabriel yang mulai berkeringat dingin dan sedikit bergetar, membuktikan jika Gabriel memang benar-benar nervous melakukannya.
Sambil menahan tawanya karena ekspresi Gabriel, Shilla menggangguk.
“jadi?” goda Gabriel tak puas dengan hanya sebuah anggukan sebagai jawabannya.
Shilla menggangguk semakin mantap.
“say it! Yes or no?”
“yes, I would!” seru Shilla gemas.
Tanpa aba-aba, Gabriel membimbing Shilla untuk berdiri dari duduknya. Ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Shilla dan membawa gadisnya itu semakin mendekat padanya, kemudian Gabriel mencium lembut kening Shilla.
“all of mine are officially yours.” Lirih Gabriel sambil menepuk pelan puncak kepala Shilla.
“but, I’m the God’s and my parents’!” balas Shilla bercanda.
“iya, kamu menang.” Dengus Gabriel yang mengaku kalah beradu kata dengan Shilla. “pulang yuk!” ajak Gabriel sambil menggandeng tangan kanan Shilla.
Shilla membalas genggaman tangan Gabriel dan mengikuti pria yang baru saja menjadi kekasihnya itu menyusuri jalan setapak taman untuk segera kembali pulang.
***
Hentakan musik yang keluar dari tape di mobil Alvin yang sejak tadi menghentak tak juga mampu menghibur Ify yang masih terus memikirkan Rio. Rasa bersalah yang begitu saja muncul saat melihat tatapan mata Rio tadi. Bahkan Ify yang terlarut dalam pikirannya sama sekali tak menghiraukan keberadaan Alvin.
Satu sikap Rio yang selalu menyiksanya, laki-laki itu selalu lebih memilih menyembunyikan perasaannya dibandingkan mengungkapkannya. Ify tau pasti jika Rio cemburu melihat ia memilih pergi bersama Alvin, tapi kenapa ia tidak mencegah.
“Rio ternyata lebih pengecut dari yang gue pikir, Fy.” Kata Alvin membuyarkan lamunan Ify. Matanya terus menatap jalanan yang ada di hadapannya, tanpa menoleh pada Ify sedikitpun.
Ify yang tak terima dengan pernyataan Alvin hanya mampu menatap geram pada Alvin.
“kalau gue bertukar posisi sama dia, gue pacar elo, yang cinta sama elo, gue bisa jamin siapapun yang nyentuh elo abis di tangan gue, biarpun nyawa gue taruhannya.” Alvin menambahkan sanggahan pada teorinya yang sebelumnya. Kali ini ia sedikit melirik untuk melihat ekspresi Ify.
Telak. Penyataan Alvin memang tak bisa dibantah, bahkan sama persis dengan apa yang ada di pikiran Ify. Sebentuk keraguan itu juga mulai muncul di benak Ify. Sampai kapan hubungannya dengan Rio akan bertahan dalam keadaan seperti ini.
Ify menunduk dalam-dalam mencoba mematahkan keraguannya pada Rio. Namun ternyata semakin dibantah semua fakta makin nyata terbentuk dalam angan-angannya, membuatnya semakin sakit dengan semua sikap Rio yang memilih menjadi tokoh pasif dan selalu diam.
Melihat ekspresi Ify, ujung bibir kanan Alvin tertarik membentuk sebuah senyuman kemenangan. Ternyata semudah itu meluluhkan benteng pertahanan perasaan Ify dan justru Rio sendirilah yang membukakan jalan masuk ke hati Ify baginya.
***
Pemuda tampan itu memasuki rumahnya dengan pikiran yang masih kacau. Rumah berukuran sangat besar yang sama sekali tak pernah memberi daya tarik untuknya agar selalu kembali ke sana. Tak ada kehangatan di dalamnya.
“selamat malam, tuan Rio.” Sapa salah seorang pelayan rumah yang baru saja selesai menyiapkan hidangan makan malam.
Rio hanya membalasnya dengan sebuah senyuman hambar. Bahkan ia menjadi sangat malas untuk mengucapkan barang sepatah dua patah kata.
“tuan muda Rio hari ini harus makan malam bersama tuan besar.” Tambah pak Toni, pimpinan pelayan di rumah Rio.
Hanya sebuah anggukan pasrah yang Rio berikan untuk menanggapinya. “Acha mana?” tanyanya. Biasanya hanya Acha yang bisa menengakan perasaannya, seburuk apapun itu.
“di belakang, tuan.”
***
Gadis kecil dengan wajah yang begitu damai sedang asik memainkan bonekanya di dalam gazebo yang berada di tepi kolam renang. Benar saja baru melihat wajah ceria milik adiknya itu, sebuah senyum kecil langsung terukir di bibir Rio.
“Cha!” panggil Rio karena Acha belum juga menyadari keberadaannya karena asik tenggelam dalam permainannya.
“hey, kak Rio!” balas Acha riang. “abis pergi sama kak Ify ya jam segini baru pulang?” tuduh Acha polos.
Nama itu lagi. Kegalauan Rio yang sebelumnya berkurang kini kembali membumbung. Rio hanya tersenyum getir menanggapi sang adik.
“kamu sayang sama kak Ify?”
Acha mengangguk mantab. “iya lah! Kak Ify kan cantik, baik, sayang sama Acha, cocok lagi sama kakak.” Acha menutup argumennya dengan sebuah tawa kecil.
“kakak juga sayang, sayang banget sama kak Ify, tapi apa kak Ify punya rasa yang sama kaya kakak?” Rio mencurahkan semua isi hatinya pada Acha, berharap semua beban yang menindihnya terasa lebih ringan.
“emang ada perempuan yang sanggup enggak sayang sama kakak? Mama, Acha, semuanya perempuan, dan kita sayang sama kakak.”
Rio mengacak-acak puncak kepala Acha, gemas. Ada-ada saja ucapan gadis kecil itu yang mampu membuatnya lebih baik.
***
Ify diam sesaat setelah keluar dari mobil Alvin. Sebuah mobil lain yang ia ketahui sebagai mobil milik orang tua Alvin terparkir di garasi besar rumahnya.
“orang tua lo, Vin?” tanya Ify memastikan.
Alvin mengangguk membenarkan.
“ngapain?”
Hanya senyuman penuh arti yang Alvin berikan untuk menjawab pertanyaan Ify sembari menggedikan bahunya.
“we will see!” ucap Alvin sambil menggenggam tangan Ify.
Ify menyentakkan tangannya berusaha memberontak dari genggaman Alvin, namun justru semakin erat tangan kokoh itu mencengkeram pergelangan tangannya, mau tak mau, suka tak suka, Ify pasrah dengan perlakuan Alvin dan mengikutinya.
***
Perasaan tak enak langsung menyergap Ify saat mendengar pembicaraan samar-samar kedua orang tuanya dengan orang tua Alvin di ruang makan. Ada namanya yang berkali-kali di sebut di sana.
“malam semua..” Alvin memberi salam dan kemudian membimbing Ify untuk duduk di kursi yang kosong untuk segera bergabung. “ikuti semua kata gue kalau lo mau Rio dan diri elo sendiri selamat.” Bisik Alvin licik tepat di samping telinga Ify agar tak ada orang lain yang bisa mendengar pembicaraan mereka.
“darimana kalian?” tanya pak Tama –ayah Ify- sambil memotong hidangan pembuka di hadapannya.
“jalan-jalan aja, om.” Jawab Alvin.
“kalian ternyata cocok juga yaa..” komentar ibu Kania saat melihat sekilas “kemesraan” Alvin dan Ify.
Sejenak nafas Ify tercekat mendengar pernyataan itu, namun dengan cepat ia kembali tersadar saat merasakan tangan Alvin melingkar di pinggangnya. Ify memajukan duduknya agar bisa terlepas dari rengkuhan Alvin .
Menyadari gelagat Ify, Alvin menatapnya penuh ancaman dan membuat Ify mengurungkan niat, kembali ke posisinya semula.
“iya dong!” jawab Alvin mantab. Sama sekali ia tak memberikan kesempatan pada Ify untuk berbicara.
“berarti pertunangan kalian bisa segera dilaksanakan!” sahut pak Tama lagi.
Seketika Ify ternganga, seperti ada sebuah petir yang baru saja menyambar tubuhnya. Tubuhnya kini seakan dilolosi tulang. Entah ekspresi apa yang harus ia keluarkan saat ini.
“tap.. tapi pa..” sebisa mungkin Ify mengeluarkan kalimat ketidaksetujuannya.
“iya, kita mau.” Potong Alvin cepat.
Ify menatap Alvin tidak percaya. Sementara Alvin hanya tersenyum lepas penuh kemenangan. Ify bisa menangkap jika Alvin memang sudah mengetahui renacana orang tua mereka ini sebelumnya. Dan ia dapat menjadi sutradara secara diam-diam dalam kisah ini secara apik. Membuat kisah Ify dan Rio berjalan sesuai dengan keinginannya.
Sambil menahan butiran bening dari kelopak matanya agar tidak terjatuh, Ify beranjak dari kursinya.
“permisi..” pamit Ify lirih dan tanpa menunggu lebih lama lagi ia berlari menuju kamarnya, menyisakan tatapan heran dari orang tuanya dan orang tua Alvin.
“Ify cuma sedikit kaget.” Kata Alvin memulihkan keadaan. Ia mencoba mencari topik pembicaraan lain agar tidak memperpanjang masalah Ify.
***
Tak ada yang dapat Ify lakukan sekarang kecuali membiarkan butiran bening dari kelopak matanya terurai. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar isakan tangisnya tidak pecah. Mencoba menjadi sosok gadis yang kuat karena seharusnya memang ia sudah menyadari jika jalan cintanya dengan Rio tidak akan mudah.
Saat-saat yang membuat Ify sangat merindukan Rio yang selalu memberinya kekuatan dengan caranya sendiri. Khayalannya terbang lepas, membayangkan jika saat ini pangerannya itu ada di hadapannya, menghapus air matanya. Dan pasti Rio akan mencacinya karena laki-laki itu sangat tidak menyukai ada air mata jatuh membasahi pipi Ify.
“kak Rio, aku kangen..” lirih Ify miris. Ingin rasanya ia memeluk tubuh Rio untuk sekedar mencari sebuah ketenangan saat ini juga. Untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Rio akan tetap menjaganya, atau bahkan lebih dari itu, ia ingin Rio memperjuangkan dirinya.
Namun justru sebuah ketakutan yang menyeruak, ia takut jika Rio akan mundur setelah mengetahui rencana besar orang tuanya. Menjadikan dirinya menjadi milik orang lain, menjadi tunangan Alvin. Mengingat saat Rio selalu melepasnya begitu saja bila Alvin membawanya pergi.
Mata Ify semakin lelah setelah banyak bekerja memproduksi banyak air mata hari ini. Perlahan mata indah itu terpejam, mencoba meletakkan bebannya sekejap. Mencari sebuah tenaga baru untuk kembali memanggul beban itu esok hari.
***
Ruangan besar yang terasa sunyi. Diam tanpa sepatah kata pun terucap dari bibir dua orang yang kini duduk berhadapan. Tak terlihat ikatan hangat yang digabungkan oleh ikatan darah antara ayah dan putranya di sini.
Bola mata pekat pemuda itu terus bergerak ke kanan dan kiri dari balik kacamata minus frameless, kacamata yang menjadi penolong akomodasi mata yang selalu dipaksakan untuk bekerja. Sebuah dokumen yang disodorkan beberapa saat sebelumnya oleh sang ayah dengan nada yang begitu bangga. Menunjukan jika hasil kerjanya membuahkan sesuatu yang sangat menakjubkan.
Sementara sang ayah hanya menatap putranya itu dengan senyum puas yang mengembang di bibirnya. Namun bukan tatapan bangga seorang ayah akan prestasi anaknya, justru seperti seorang boss besar yang sangat puas dengan kinerja anak buahnya.
Setelah selesai mencermati hasil kerjanya. Rio –pemuda tadi- kembali meletakkan data-data yang disatukan dalam sebuah map berwarna biru itu di hadapan sang ayah. Tak bisa disangkal jika ada kebanggaan sendiri di dirinya melihat hasil kerjanya, ternyata memang benar kata pepatah, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sedikit sifat workaholic sang ayah juga menurun padanya.
“great job, Yo! Haling Corporation berhasil memenangkan proyek besar itu, papa rasa secepatnya kamu bisa memegang penuh perusahaan, dan papa bisa pensiun dini.” Ucap pak Krishna, ayah Rio penuh kebanggaan.
Rio membalasnya dengan sebuah senyuman. “masih perlu banyak pangalaman, pa.” Jawabnya. Aneh sekali memanggil sosok berwibawa di hadapannya itu dengan sebutan papa, ingin Rio menyebutnya dengan panggilan boss atau tuan besar saja.
“tapi perlu kamu waspadai, Umari dan Sindhunata akan membentuk sebuah kongsi.” Pak Krishna melepaskan kacamatanya, seakan ia juga dibuat tegang dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
Efek yang berbeda dirasakan Rio, ia yang sedari tadi mencoba bekerja profesional dengan otaknya kini merasakan sebuah sentilan di hatinya karena nama belakang kekasihnya dan nama belakang Alvin disebut ayahnya. Perasaan tak tenang itu kini mengusiknya.
“maksud papa?” tanya Rio mencari kejelasan.
“papa dengar dari orang papa, mereka akan menjodohkan putra putri mereka.”
Ulu hati Rio seakan terhunus sebuah pedang mendengarnya. Ucapan Alvin yang pernah mengatakan jika Ify adalah tunangannya merupakan sebuah kebenaran.
“enggak!” seru Rio geram yang lepas kendali atas dirinya.
“maksud kamu apa, Rio?” tanya pak Krishna heran dengan reaksi Rio.
“pa, maaf, Rio melanggar janji yang Rio pernah ucap, Rio jatuh cinta pada Alyssa Umari.” Jawab Rio tak ingin menyembunyikan semua yang sebenarnya terjadi lebih lama lagi.
PLAK!
Tamparan keras pak Krishna mendarat di pipi Rio. Sedikit darah mengucur di ujung bibir Rio memperlihatkan betapa kerasnya tamparan sang ayah.
“lupakan perasaan bodoh itu! Sampai kapanpun kalian tak akan bisa bersatu!”
“Rio cuma manusia biasa, bukan robot yang ada cuma untuk menjalankan semua perintah papa, Rio punya perasaan, dan apapun kata kalian Rio akan memperjuangkan cinta Rio dan Ify.” Ucap Rio lantang. Cukup baginya untuk diam, karena tak akan ada yang bisa diselesaikan dengan kebungkamannya.
“permisi..” pamit Rio kemudian melangkah pergi meninggalkan sang ayah yang masih berusaha mengontrol emosinya.
***
Pagi yang cerah dengan langit biru tanpa awan sebagai latarnya. Dengan bebasnya sang surya menyinari bumi tanpa satu pun penghalang, seakan memberi semangat pada setiap manusia untuk memulai harinya dengan sebuah semangat.
Rio menyusuri lorong sekolahnya dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana abu-abunya. Tak ada yang berbeda darinya pagi ini, tetap sama, wajah tanpa ekspresi atau cenderung dingin yang selalu ia tawarkan kepada setiap orang yang tak sengaja berpapasan dengannya, lengkap dengan headset putih yang menggantung di kedua telingannya. Namun justru wajah itu yang membuat banyak siswi penasaran padanya, sampai menaruh hati padanya, hal yang juga terjadi pada Ify.
“bro!” sapa Gabriel yang baru saja datang sambil merangkul bahu sahabatnya itu.
Rio menoleh, mendapati Shilla berada di sisi lain Gabriel dengan tangan yang masih saling terkait.
“pajak jangan lupa dibayar.” Sindir Rio.
Gabriel terkekeh. “dasar lo mau untung mulu, lo sama Ify juga belum bayar.”
“nunggu restu dari bonyok kita dulu.” Seloroh Rio.
“lo berdua aja paling nanti kawin lari, kita disuruh nunggu.” Agar tak terkesan meremehkan, Gabriel menutup ucapnya dengan sebuah tawa.
Tak ada tanggapan berarti dari Rio selain menarik ujung kanan bibirnya membentuk senyuman hambar.
“duluan, Yo! Mau nganter Cinderella gue ke kelasnya.” Pamit Gabriel sambil memamerkan cengiran kudanya.
Sesuatu yang akhirnya menarik perhatian Rio, banyak siswa dan siswi yang sepertinya memusatkan perhatian mereka pada sesuatu yang sangat janggal. Ekspresi mereka yang seakan ingin menerkam apa yang menjadi objek perhatian mereka. Terdorong sedikit rasa penasaran yang mulai ia rasakan, Rio membalik tubuhnya, mencari pusat perhatian orang-orang itu.
Entah mimpi apa yang didapat Rio semalam hingga saat ini mendapati kekasihnya bersama laki-laki lain. Objek yang menjadi pusat perhatian adalah Alvin dan Ify yang berjalan bersama dengan tangan Alvin yang menggenggam tangan Ify. Tangan Rio mengepal kuat menahan amarah. Rasa sesak yang berkali-kali lipat lebih parah dari sebelumnya kini ia rasakan.
Menangkap sosok Rio yang melihatnya bersama Ify, Alvin merapatkan jaraknya dengan Ify kemudian melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu. Seakan ada kepuasan tersendiri bagi Alvin saat melihat warna merah padam di wajah Rio saat menahan emosi dan rasa cemburunya.
“ada Rio, Fy. Must I tell him about us?” bisik Alvin.
Ify tercekat. Bermesraan bersama Alvin saja sudah sangat menyiksanya, apa lagi ia harus melakukannya di hadapan Rio, dan itu berarti Ify harus menyakiti hati orang yang paling ia cintai.
Tiba-tiba saja langkah Alvin terhenti, mau tak mau Ify pun ikut berhenti. Ia memberanikan diri mengangkat kepalanya yang semenjak tadi tertunduk menahan geram sekaligus air matanya. Ternyata ada Rio yang berdiri di hadapannya, memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan dan senyuman di bibirnya yang justru membuat hati Ify semakin sakit. Senyuman yang seolah ingin berteriak –mana-janji-kamu?-.
Ify memberanikan diri membalas tatapan Rio. Mencoba memberitahukan kekasihnya itu untuk segera membebaskannya dari Alvin dan membawanya pergi jauh.
Jentikan jari Alvin diantara wajah keduanya mengaburkan aksi dramatis pasangan itu.
“ngomong pake mulut, jangan telepati.” Ucap Alvin bermaksud menyidir.
“gue rasa, lebih baik ini yang berbicara.” Balas Rio santai.
BUG!
Sebuah bogem mentah dari tangan kanan Rio mendarat di pipi Alvin. Sebuah pukulan yang meninggalkan bekas biru lebam di pipi kiri Alvin. Sebuah tindakan yang memancing teriakan tertahan dari beberapa siswi, dan akhirnya mengundang perhatian murid lain.
Sebuah isyarat yang tadi coba dikirimkan Ify ternyata mampu dibaca Rio dengan baik. Tanpa membuang waktu lagi Rio menggandeng tangan Ify dan membawa gadisnya itu menjauh. Meninggalkan Alvin yang masih mengerang kesakitan dan decakan kagum bagi para “penonton”, yang kini beberapa murid sibuk melampiaskan rasa iri mereka pada Ify yang diperebutkan dua pangeran tampan, beberapa yang lain mengagumi aksi heroik Rio, tentu ini perbuatan para siswi dan sisanya atau para siswa lebih memilih mencibir Alvin yang tidak melakukan perlawanan pada Rio, berharap mereka akan mendapatkan tontonan seru pagi ini.
Alvin menatap Rio dan Ify yang semakin menjauh dengan pandangan penuh dendam, sama sekali tak terima dengan perlakuan Rio yang mempermalukannya di depan umum. Namun ia masih bisa berpikiran sehat, menghajar Rio saat ini hanya akan membuat banyak orang mengecapnya tidak beradat, ada cara yang lebih taktis dan berakibat lebih telak bagi Rio.
***
Rio memacu mobilnya cukup kencang. Membelah jalanan menuju sebuah tempat. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya sejak tadi. Mata tajamnya hanya berkonsentrasi pada jalanan di hadapannya, seakan ia hanya seorang diri, tak ada Ify yang kini duduk di sebelahnya.
Isakan yang terus berhamburan dari bibir Ify tak juga membuat Rio bereaksi. Ify sedikit melirik ke arah jalan di hadapannya, mencoba menebak kemana Rio akan membawanya pergi. Sama sekali tak berani bertanya pada Rio yang terlihat sedang sangat marah. Tak ada jawaban yang mampu ia temukan kecuali ia dan Rio sudah berada di luar kota saat ini.
Ify pasrah, kemana pun Rio membawanya pergi tak mungkin ia akan mencelakainya.
Sampai Rio menghentikan mobilnya di antara jajaran pohon pinus, di kaki sebuah bukit yang belum pernah Ify datangi sebelumnya.
Tempat yang terlihat sangat indah dan asri. Ify menoleh pada Rio. Keindahan tempat ini seakan luruh begitu saja melihat masih begitu tegangnya wajah Rio.
“turun!” perintah Rio tegas sambil membuka handle pintu mobilnya.
Tak ingin melihat Rio lebih murka, Ify segera menuruti perintah Rio dan mengikutinya yang sudah berjalan meninggalkannya.
***
Kesunyian itu makin menyelimuti keduanya yang tetap terus diam seraya duduk di bawah sebuah gubuk yang terbuat dari susunan bilah-bilah bambu, menikmati pemandangan kota yang terselimuti kabut pagi yang belum juga beranjak dari tempat itu. Hanya suara kicauan burung yang terdengar dan menunjukan masih ada kehidupan di tempat itu.
Udara tanpa polusi yang memenuhi seluruh rongga paru-paru membuat kesesakan yang menghimpit dada mereka sedikit berkurang.
Dari ekor matanya, Ify mencermati wajah Rio, mencari sebuah tujuan mengapa ia membawanya ke tempat ini. Tak ada apapun yang mampu ia tangkap, kecuali jantungnya yang barpacu semakin kencang saat melihat ukiran tegas Sang Maha Kuasa yang begitu sempurna di wajah kekasihnya itu. Sampai matanya menangkap sebuah luka dengan sedikit darah yang sudah mengering di ujung bibir Rio.
Ify memberanikan diri menggerakan jemarinya ke arah luka itu, menyentuhnya perlahan kalau saja bekas itu hanya sebuah kotoran.
“aww..” pekik Rio spontan saat luka bekas pukulan Alvin yang belum juga sembuh dan ditambah tamparan ayahnya disentuh ify.
“ma.. maaf, kak.” Ucap Ify takut-takut. “kenapa bisa luka?” lanjutnya sambil mengeluarkan sebungkus tisu dan obat pembersih yang selalu ia bawa di tasnya.
Rio hanya diam tak berminat menjawab pertanyaan Ify.
“tahan sebentar!” suruh Ify sambil memulai membersihkan luka Rio perlahan.
Rio hanya diam, tak menganggapi apapun. Ia mencermati setiap lekukan wajah Ify yang kini hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya. Mata bening, tulang pipi yang semakin sempurna dengan polesan blush on merah dan juga dagu tirus itu, membuat Rio berkali-kali mengucap syukur di hatinya karena ia bisa memiliki ciptaan indah itu.
“Fy, kamu cinta sama aku?” tanya Rio datar saat Ify sedang kembali membereskan peralatan yang baru saja ia gunakan untuk membersihkan luka Rio.
“kakak ragu?” tanya Ify terkesan menantang. “how ‘bout you?”
“saya, Mario sangat mencintai anda, nona Alyssa!” jawab Rio sinis. “apa pun akan aku kasih buat kamu, apa pun, sekalipun itu nyawa aku, tapi kenapa kamu enggak parnah menghargai itu?” lanjut Rio tajam.
“kamu yang nggak pernah nunjukin semua perkataan kamu, semua janji kamu, kamu selalu diam saat aku diambil Alvin, itu yang kamu bilang memperjuangkan semuanya? Apa mau kamu?” Ify mengeluarkan semua uneg-unegnya. Air matanya pun sudah tidak kuasa ia bendung, selalu seperti ini, Ify tak sungkan menunjukan betapa rapuhnya ia di hadapan Rio, menunjukan jika ia selalu membutuhkan perlindungan pangerannya itu.
“biarkan orang tua kamu tau hubungan kita, semua resiko kita tanggung bersama.” Jawab Rio penuh keyakinan.
“ta.. tapi..”
Rio memegang lengan Ify dan menghadapkan tubuh Ify padanya.
“liat mata aku!” perintah Rio tegas.
Dengan air mata yang masih mencembung di matanya, Ify menatap Rio.
“aku serius, apa pun caranya, apa pun resikonya, kita harus tetap sama-sama, aku punya kamu dan begitu sebaliknya, aku nggak akan pernah lepasin kamu!” dengan lantang Rio mengutarakan semua yang ada di hatinya sambil menatap kedua bola mata Ify dalam-dalam, menegaskan pada gadisnya jika ia benar-benar serius dengan apa yang ia ucapkan. “kamu mau?” lanjutnya dengan nada lebih lembut dari sebelumnya sambil membelai rambut Ify.
Ify mengangguk. Sepenuhnya ia percaya dengan semua ucapan Rio. Ia tau Rio tak akan bermain-main dengan semua ucapannya, dan ia siap dengan semua hal yang kemungkinan besar akan ia alami nanti.
Merasakan anggukan Ify, Rio menghela nafas lega. Sebuah senyum manis kini terukir di bibirnya.
Senyum Rio membuat Ify juga ikut tersenyum, bahkan lebih lepas dari senyuman yang Rio berikan untuknya. Ify melompat ke pelukan Rio. Melingkarkan kedua tangannya ke leher Rio, merengkuh pangerannya kedalam dekapannya.
Rio memilih diam tak membalas pelukan Ify. Menikmati aroma khas tubuh Ify yang selalu bisa membawanya terbang jauh. Mendengarkan irama detakan jatung Ify yang jauh lebih cepat dari keadaan normal. Merasakan hangatnya cinta gadis itu yang mulai merasuk dalam aliran darahnya.
Ify mengendorkan pelukannya karena menyadari Rio sama sekali tak membalasnya.
“jangan dilepas!” Pinta Rio manja, tak ingin kehilangan saat menyenangkan itu dengan cepat. Ify hanya tersenyum gemas kemudian kembali mengeratkan pelukannya, menahannya beberapa saat, merasakan jika Rio semakin nyaman berada di sana, kemudian melepasnya.
“kok dilepas?” tanya Rio sambil menatap Ify memelas, persis seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainannya.
Ify tertawa renyah melihat ekspresi Rio. Lukisan wajah yang jauh berbeda dengan Rio yang selama ini ia kenal.
“manja deh..” cibir Ify.
“sama kamu ini.” Balas Rio sambil membenahi poni Ify yang berantakan karena tiupan angin yang cukup kencang di tempat ini. “em.. Fy, kapan pertunangan kamu sama Alvin?” tanya Rio dengan segan, tak ingin menghancurkan momen indah mereka.
Ify terdiam, kalau boleh ia hanya ingin menjawab ‘tak akan pernah terjadi!’
“aku nggak tau, itu rencana orang tua aku.” Jawab Ify berat. “kakak akan biarin aku jadi milik Alvin?” tanya Ify ragu, ia menggigit bibir bawahnya, bersiap dengan apa pun reaksi Rio.
Rio hanya tersenyum. Telunjuknya menyusuri lekuk wajah Ify, membingkai setiap mili wajah cantik milik gadisnya itu dengan indra perabanya.
“kamu cuma untuk aku, selalu, selamanya! Aku akan lakuin apa pun agar kamu nggak jadi milik orang lain!” jawab Rio mantab. “tunggu tanggal mainnya!” lanjut Rio dengan menyelipkan sebuah nada canda dalam ucapannya agar suasana tak kembali kaku.
“buktikan!” ujar Ify menggoda Rio.
“yakin?” tanya Rio serius. Ia melekatkan tatapannya pada manik mata Ify. “don’t refuse me, feel my love!” Lirih Rio sambil mendekatkan wajahnya pada Ify.
Sebuah aliran listrik tiba-tiba menjalar di tubuh Ify saat jarak antara ia dan Rio benar-benar terhapuskan. Ify memejamkan matanya, merasakan kecupan lembut Rio di bibirnya, menikmati setiap deru hangat nafas Rio dan setiap getaran cinta yang disampaikannya dengan sangat jelas.
Tangan kokoh Rio yang menggenggam erat tanggannya sekan memberi kekuatan padanya untuk terus bertahan. Waktu terus berdenting untuk mereka, dan menjadi milik mereka.
“percaya?” tanya Rio sambil mengusap lembut bibir Ify setelah ia melepaskan ciumannya.
Ify masih diam mematung tak menyangka hal itu yang akan Rio lakukan untuk membuktikan ucapannya. Sedetik kemudian Ify mengangguk seperti orang linglung, ia percaya pada Rio.
“is it your first?” tanya Rio sambil mengacak-acak lembut puncak kepala Ify. Heran melihat reaksi gadisnya.
“iya! Kamu nyebelin!” jawab Ify geram. Kemudian ia menghentakkan kakinya meninggalkan Rio untuk kembali ke mobil.
“mau kemana?” seru Rio sambil mengejar Ify. Ia tau pasti jika Ify tak benar-benar marah padanya.
“pulang!” jawab Ify sengit.
Rio sedikit tertawa geli melihat Ify. Menggedikan bahunya kemudian mengikuti gadis manis itu. Ify ternyata tak seperti yang orang-orang dan ia sendiri ketahui selama ini, ia hanya seorang gadis polos dan manja yang selalu mencoba untuk menjadi tegar dan kuat. Janji Rio pada dirinya sendiri, bahwa ia akan terus menjaga dan mempertahankan anugerah terindah yang Tuhan beri padanya itu, Ify.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar