Minggu, 13 Januari 2013

The Time For Love part 2


Bukit bintang, 31 Desember 2006. 23:47 WIB

            Malam begitu dingin. Rintik-rintik lembut buliran air langit setia mengiringi guliran detik menyambut tahun yang akan datang, mengucap kata pisah untuk tiga ratus enam puluh empat hari sebelumnya. Di antara miliaran manusia yang memilih berpesta, dua anak manusia yang memilih untuk menikmati dalam diam, dalam hening yang begitu damai, dengan hati yang tak henti merapal syukur.

            “mas..” panggil Ify lembut. Mencoba memberanikan diri untuk menggenggam tangan kokoh Rio, menelusupkan jari-jari lentiknya di sela jemari pemuda itu. Sedikit-sedikit kehangatan mulai menjalar di tubuh indahnya. Debaran tak nyaman namun selalu ia rindukan yang sedari tadi coba ia kendalikan kian menggila. Biarlah. Setidaknya untuk malam ini rasa itu berdiri di podium juaranya.

            Sambil tersenyum, Rio menatap Ify lembut. Merangkum binar-binar indah sepasang mata bening milik gadis itu. Menikmati setiap lekuk agungnya. Membuatnya menyadari keagungan dan kasih Yang Maha Segalanya pada diri gadis itu. Cinta yang tulus dan suci.

            “mas Rio, aku sayang sama mas.” Gumam Ify. Pegangannya pada tangan Rio menguat, menggambarkan semua nyali dan tenaganya sudah tercurah untuk kembali mengatakan kalimat tadi. Rio masih belum bereaksi. Wajahnya masih tenang, tanpa riak emosi yang terbaca. Ia pun masih belum membalas genggaman tangan Ify.

            “aku tahu.” Jawab Rio sambil tersenyum geli.

            “terus perasaan mas buat aku?” cerca Ify yang sudah menatap penuh ke wajah Rio.

            “menurut kamu?”

            Bibir Ify mengerucut. Ia sepenuhnya tidak sedang bercanda. Tapi kenapa di saat seperti ini Rio justru tak bisa serius?

            Pertunjukan pecikan api warna-warni yang menari indah di langit sudah dimulai, merah kekuningan, merah, biru, hijau, ungu, berganti-gantian. Diiringi rampak dentumannya yang berpadu dengan suara tiupan terompet mulai terdengar sayup. Orkes khas yang selalu ditunggu setiap tahun baru.

            “pengakuan penting ya?” Ify mengangguk mantab mendengar pertanyaan Rio. Pria hitam manis itu menghela nafas kemudian tersenyum. Namun setelah itu ia kembali menatap langit. Ia biarkan Ify bersandar pada bahu kokohnya.

            “kamu tega ngebiarin aku nebak-nebak sendiri gimana perasaan kamu? Aku takut, apa yang aku rasain selama ini soal perasaan kamu itu salah.” Lirih Ify.

            “kalau tebakan kamu aku nggak sayang sama kamu, ya berarti emang salah.” Sahut Rio sambil tertawa kecil. Ify mengrenyitkan dahi setelah kembali menegakkan tubuhnya dan menatap pemuda pemilik hatinya itu. Rio juga hanya turut menatapnya heran.

            “mas Rio pernah SMA nggak sih? Nggak romantis banget.”

            Rio tersenyum sumir. “kamu nggak akan bisa bayangin masa SMA aku.” Lirihnya, walaupun masih ada senyum di bibirnya. Khas seorang yang tak pernah lupa bersyukur sepertinya. “jangankan ngedeketin cewek, ngelirik aja nggak ada waktu.” Cengiran kuda terlukis di bibirnya sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

            “bohong!” tanggap Ify cekatan.

            “kamu tahu? sampai sekarang aku bisa kuliah gara-gara beasiswa, gitu juga waktu SMA. Untuk itu aku punya sesuatu yang harus dikorbankan, masa remaja aku.”

            Sekali lagi, Ify terpukau karena pria ini. Rio memang berbeda, dia luar biasa dengan caranya sendiri. Seharusnya ia tak pernah punya keraguan itu. Ditambah ia sudah tahu kisah pelik hidup Rio. Sang ayah yang meninggal karena kecelakaan saat ia masih kelas tiga SMP, memaksanya untuk ikut mencari nafkah membantu ibunya dengan bekerja part time sana-sini. Dan berarti jika baru saja Rio mengatakan –secara tersirat- jika pria itu mencintainya, ia adalah wanita pertama yang berarti bagi Rio, setelah ibunya sendiri.

            “aku punya janji sama almarhum ayah, aku mau memulai hubungan, di sini, membahagiakan orang lain, selain ibu dan adikku, setelah aku bahagiain mereka. Maaf.” Terdengar hembusan nafas Rio yang cukup menerangkan jika ia pun berat mengatakan apa yang baru saja keluar dari bibirnya.

            Ify tahu, yang baru saja ia dapatkan adalah penolakan –lagi-. Setidaknya saat ini ia tahu mengapa Rio tak mau menerimanya. Ada kata lain yang tersembunyi dari pernyataan pemuda tampan itu. Menunggu. Apa artinya menunggu beberapa tahun untuk sebuah kebahagiaan sejati yang akan di dapatnya bersama pria sempurna –dalam ukuran manusia- ini. Dengan segera, Ify menubruk tubuh Rio, memeluknya dari samping dan menyandarkan dagunya pada pundak Rio. Rio tidak memberontak, namun juga tak membalas. “aku mau nunggu mas.” Bisik Ify, lirih, dengan ketulusan yang membara.

            Rio terhenyak. Ify baru saja mengucapkan kalimat yang paling ingin ia dengar. Ia menoleh ke arah gadis manis itu. Celaka. Jarak yang tersisa di antara dua pasang mata penuh bahagia itu hanya berjarak beberapa centi. Rio bahkan bisa mencium aroma jasmine yang menguar dari rambut Ify dengan sangat baik. Bibir mungil yang sedikit terbuka menyita perhatiaannya, membuatnya menelan ludah susah payah. Separuh kesadarannya yang mesih tersisa memerintahkannya untuk menjauh, namun rasa penasarannya terus menahannya agar bergeming.

            “do it.” Ucap Ify sambil tersenyum setelah mendengar Rio menggeram lirih mencoba mengendalikan harsatnya. Setan kecil yang menari di otak Rio menjadi lebih bersemangat, menang. Dengan segera, pemuda itu merengkuh pinggang Ify. Menyapu bibir merah gadis itu. Manis. Ify mengalungkan lengannya di leher Rio, menenggelamkan telapak tangannya pada rambut hitam pria tampan itu. Setiap pagutan yang membawanya terbang, jauh melampaui bunga-bunga api yang meledak-ledak di angkasa gelap sampai akhirnya kembali lagi ke bumi.

            “happy new year, sweetheart.” Ucap Ify di sela genderang letusan kembang api yang semakin riuh bersahutan mengiringi bunyi terompet panjang yang terdengar dari kejauhan menandakan tahun sudah berganti. Rio hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Kembali memusatkan pandangannya pada hamparan lampu-lampu kota yang terus mengerling ikut bahagia. Dengan hati yang terus merapal syukur pada yang punya waktu. Sang Maha Cinta. 
   
            Tahun baru paling indah seumur hidup yang pernah dialami keduanya. Setahun yang luar biasa dengan deru hati yang tak henti bertalu. Dengan cinta yang masih setia menyala terang menunggu keduanya menjemput.

********

Stasiun Tugu, 11 Januari 2007. 18:30 WIB

            Tempat datang dan berangkatnya kereta, di bagian manapun dari dunia, pasti pernah menjadi latar tempat jatuhnya air mata, entah air mata bahagia saat rindu menemui muaranya pada mereka yang lama tak jumpa. Atau air mata sendu membayangkan banyaknya rindu yang akan membelenggu di luar batas temu. Banyak orang lalu-lalang tak juga membuat fokus sepasang anak manusia ini berubah. Tak ada satupun yang mau melepaskan. Kedua tangan mereka tertaut erat. Tak ada yang bisa memisahkan mereka. Sekalipun tak ada kesedihan terpapar dari wajah keduanya, rasa takut itu ada, bahkan panjangnya rentetan gerbong kereta yang bertengger di atas rel sambil mengaum itu tak bisa menyamai.

            Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasangan, Adam dan Hawa, Romeo dan Juliet, Arjuna dan Srikandi, hutan dan hujan, amplop dan perangko. Walaupun kadang manusia hanya meminta salah satu, tanpa pasangannya. Seperti tak pernah mengharap ingkar di belakang janji, dan tentu tidak ada perpisahan sesudah pertemuan.

            Suara nyaring petugas stasiun menjadi suara paling menakutkan yang pernah mereka dengar. Suara bel kereta yang terus memaksa orang-orang pergi ingin sekali dibanting. Tapi perpisahan ini memang harus dilakukan untuk kembali bergandengan di ujung jalan, menapaki jalan berdua. Gadis manis itu mencoba tersenyum, walaupun serasa ada beban puluhan ton yang menghimpit tubuhnya.

            “pergilah mas.” Lirih Ify. Gadis tadi. “aku tahu kamu pasti penuhi janji kamu buat kembali.” Lanjutnya, dengan senyum yang semakin lebar, dengan luka menganga di hatinya yang juga semakin lebar. Apapun itu ia siap diam dalam penantian.

            “kamu yakin mau nunggu? Aku nggak bisa kasih kamu kepastian.” Rio tak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya untuk meninggalkan separuh nafasnya di sini. Tapi ibu dan adiknya sangat membutuhkannya. Ada pekerjaan bagus yang ditawarkan sebuah kotraktor besar di Jakarta. Dengan gaji yang menggiurkan, cukup untuk memasukkan dan membiayai Ozy di SMA favorit serta memperbaiki ekonomi keluarganya yang terkatung-katung.

            “satu-satunya hal yang pasti di dunia ini cuma ketidakpastian kan?” Ify membelai pipi Rio. Mendongak agar bisa menatap wajah pria jangkung pemilik seluruh hatinya. “berapa tahun kamu minta? Satu? Dua? Tiga? Empat? Lima? Lebih? Aku siap.”

            Rio tak menjawab. Ditariknya tubuh Ify kemudian ia peluk erat. Ia mengecup ubun-ubun gadis itu lama. Ia hirup dalam-dalam harum rambut Ify, memenuhi rongga paru-parunya hingga tak ada lagi ruang kosong. Aroma lembut yang pasti akan sangat dirindukannya. Ify membalas, direngkuhnya pinggang Rio, menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Mendengarkan deguban jantung Rio yang tak wajar. Menyimpan aroma tubuh khas pemuda tampan itu rapat-rapat di memorinya. Lenguhan panjang bel kereta memberi tanda terakhir jika kereta Senja Utama tujuan Jakarta akan segera berangkat, dan Rio adalah salah satu penumpangnya. Ify melepaskan pelukannya. Mengangguk singkat sebagai izin terakhir yang mantab ia berikan.

            “aku pamit.” Pamit Rio disusul sebuah kecupan singkat di kening Ify sebelum ia berlari menyongsong kereta yang sudah berjalan lambat dengan pintu yang mulai tertutup. Ify melambaikan tangannya pada Rio yang masih berdiri di belakang pintu berkaca bening, pria itu membalas lambaiannya dengan senyuman yang menunjukkan gigi gingsulnya, senyuman termanis yang pernah Ify lihat. Tak ada laki-laki lain yang memilikinya.

            Tujuh hari lalu ia masih bisa tersenyum bangga saat melihat Rio begitu tampan dan gagah dengan toga yang ia kenakan. Lulus cum laude. Tiga koma enam tujuh. Tak percaya rasanya hari ini ia harus mengalami hal ini. Perpisahan. Sekalipun untuk sementara, sekalipun akan kembali bertemu lagi nanti. Akan selalu menyisakan sesak dan kehilangan.

********

Yogyakarta, 08 Januari 2012. 17:00 WIB

            Angin yang besar di awal tahun. Membuat gemerisik dedaunan pemecah sepi. Gerombolan asap putih yang menyatu menjadi awan berjalan cepat ke arah timur, tak mau kalah berpacu dengan waktu diintip dari balik cendela kamar bernuansa biru ini. Hari berlalu, bulan berlalu, tahun pun berlalu. Surat-surat kiriman pemilik hati sudah bertumpuk di dalam sebuah kardus berwarna cokelat muda. Tak pernah sebanyak resah yang menggunung untuk orang yang sama.

            Jemari suwiran nyiur gadis itu merayap anggun menuju sebuah amplop putih yang terletak paling atas. Surat terakhir yang Rio kirimkan untuknya tiga bulan lalu. Surat yang hampir setiap hari ia baca tanpa jemu. Menunggu dengan pasrah agar semua yang diucapkan pria itu dalam surat itu menjadi nyata.

Yunani, 02 Oktober 2011.
Untuk Ify,
            Aku sudah berlayar untuk mereka, aku sudah membawa mereka ke pulau impian. Eropa! Mereka bahagia. Janjiku tuntas walaupun belum selesai! Aku lelah. Tenaga terakhirku untuk menjemputmu. Menyongsong bahagiaku.
Aku mau berlabuh.
Kamu masih di tempat yang sama?
Salam rinduku,

Rio.

            Ify sudah hafal isi surat itu, kata-perkata. Ia sudah menjawabnya. Dua kali. Tapi Rio tak pernah lagi membalasnya. Satu-satunya yang ia takutkan adalah keadaan pria itu saat ini. Mungkin ia akan rela jika Rio sudah bahagia dengan jalan yang ia pilih. Tapi ia tak sekuat itu. Kakinya seakan  dilolosi tulang dan tak kuat lagi menahan tubuhnya yang kemudian luruh ke lantai. Butiran mutiara bening berjatuhan dari ekor matanya, bahunya bergetar karena isakan yang tak mampu lagi ia tahan. Ia salah menafsirkan, mungkin. Atau memang Rio yang sudah lupa dengan sejuta kata manisnya. Kelebihan bawaan lahir seorang laki-laki adalah merangkai kata menjadi untaian kalimat indah.

            Harapan itu terlanjur terbang tinggi seperti balon yang terlepas. Ia harap pria itu datang, menjemputnya. Ia berharap Rio benar segera berlabuh dalam dekapannya dan tidak akan pergi kemanapun lagi. Berkali-kali gadis berwajah tirus itu membenturkan kening ke kedua lututnya. Seperti melihat sebuah menara tinggi yang sedang dibangun lebih tinggi, dan terus meninggi, ia berada di bawah dengan harapan jika suatu hari puncak menara itu bisa disentuhnya. Rio terlalu tinggi.

            Takut. Apakah rasa, waktu, cinta, dan rindu yang menyatu dalam penantiannya tak akan sia-sia? Ia manusia biasa. Gunung punya puncak, sungai punya muara. Kesabarannya pun sudah hampir sampai ujung pendakiannya. Keraguan yang hampir sampai muaranya. Rio sudah mendorongnya pada labirin waktu tanpa memberi tahu arah jalan untuk pulang, sampai akhirnya ia berjalan terseok, hampir jatuh dalam keputusasaan seperti saat ini. Dengan satu kaki, cintanya yang tak juga mati untuk pria itu.

            Raungan ponsel yang tergeletak di depan komputer menyentak Ify. Sebelum menekan tombol bergambar gagang telephon warna hijau, ia mengatur nafasnya yang masih satu-satu. Ia tempelkan benda itu ke telinganya.

            “kenapa, Ag?”

            Panggilan dari Agni. Sebisa mungkin Ify menahan isakannya, tapi suara sengaunya tak lagi bisa disembunyikan.

            “venue buat pameran kamu udah siap.” Jawab suara melengking di seberang sana. Terdengar sangat puas. “kamu sakit?” intonasinya melemah, sadar ada yang tidak beres dengan suara sahabatnya.

            Ify mengangguk. “ah.. iya. Flu.” Ralatnya setelah sadar Agni tak akan bisa melihat anggukkannya.

            “makan, minum obat, istirahat! Pameran perdana kamu tiga hari lagi!” cerocos Agni kemudian menutup telephon, tak menerima protes.

            Hampir Ify melupakan hal penting itu. Tiga hari lagi hasil jepretannya akan ikut dalam sebuah pameran beberapa fotografer muda berbakat, setelah salah satu karyanya menang dalam sebuah ajang kontes fotografi bergengsi. Sebelas Januari. Tanggal yang menjadi spesial sejak ia bertemu Rio enam tahun lalu. Sedikit lagi harapan timbul, pria itu akan datang.

********

Rumah Budaya Tembie, 11 Januari 2012. 17:00

            Pria bertubuh jangkung, berkulit hitam manis ini terpekur di depan sebuah gambar yang paling menarik perhatiannya dari sekian banyak foto yang terpampang. Pada bagian kanan bawahnya tertulis Pantai Terindah – Ify Umari. Sejak kapan gadis itu bisa menilai jika pantai itu indah? Sejauh memori yang ia simpan, Ify tak pernah suka pantai, atau kumpulan air yang banyak, terlebih ada ribuan linting gelombang di atasnya. Tapi ia tahu kapan foto yang menunjukkan siluet seorang lelaki yang berdiri membingkai terbitnya matahari di tepi pantai Parang Kusuma itu diambil, sekitar pertengahan tahun 2006, ia juga kenal betul pria yang sepertinya menjadi keindahan utama pantai itu, dirinya.
                           
            “Yang, foto ini kenapa bisa menang? Padahal udah sering lihat yang begini.” Tanya seorang gadis berkacamata pada laki-laki di sampingnya, yang dari caranya memanggil, pria itu kekasihnya. Si pria masih asyik mendalami foto yang ditanyakan sang kekasih. Foto yang sama dengan yang dilihat pria pertama.

            “emosi dari pengambil foto ini, cinta, kekaguman, ketakutan.” Jawab si laki-laki dengan pandangan takjub yang tak bisa ia sembunyikan. “sesekali, kamu harus melihat sesuatu dengan perasaan. Nggak semua hal yang ada di dunia itu eksak.”

            Si pria pertama mulai beranjak dari foto yang sejak tadi ia nikmati. Ucapan pria berpenampilan seadanya, khas seorang seniman tadi, memupuk kerinduannya pada gadis pencipta gambar tadi. Cinta akan segera menemui cintanya.

            “mbak, mbak Ify Umarinya ada?” tanya pria tadi pada resepsionis penjaga pintu masuk.

            “ada di dalam. Ada yang bisa saya bantu?” sahut resepsionis cantik itu.

            “saya ingin bertemu. Boleh?”

            “dengan mas siapa ya? Saya konfirmasi dulu dengan mbak Ify.”

            “bilang saja dengan orang yang dia tunggu. Saya menunggu di depan.”

            Rio, pria tadi, mengayunkan tungkainya keluar dari ruang pameran menuju sebuah taman yang tak jauh. Diiringi guguran daun akasia dan angin kencang yang menerbangkan helaian rambutnya yang mulai gondrong. Jantungnya bergedup cepat, seperti mau meledak. Seperti apa Ify saat ini? Masihkah ia menyimpan rasa yang sama dengan lima tahun lalu?

********

            Ify melangkah cepat setelah mendapat kabar dari resepsionis. Orang yang ia tunggu. Satu-satunya orang yang ia tunggu saat ini adalah Rio. Rasa penasaran yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Tak peduli lagi jika sesaat lagi ia harus kecewa, ia biarkan harapannya berdansa dengan matahari. Jatungnya yang bergerak jauh di luar batas normal tiba-tiba saja berhenti saat mendapati seorang pria yang duduk di atas bangku putih membelakanginya. Ia tak akan mungkin lupa dengan setiap bentuk dan lekuk tubuh pria itu. Rio. Itu Rionya.

            “mas Rio..” dan sekarang tenaganya benar-benar habis, sisa terakhir untuk menyebut nama laki-laki yang luar biasa ia rindukan itu.

            Rio menoleh cepat karena baru saja ia mendengar suara yang selalu menyapanya dalam mimpi. Suara yang selalu membuatnya bangkit saat ia benar-benar letih berjuang. Suara yang selalu ia inginkan untuk menyapanya setiap pagi. Segera ia melompat untuk memeluk tubuh dewi khayangan yang lahir di dunia, lahir untuknya itu. Melepaskan senyawa-senyawa rindu yang tak lagi bisa dirayu.

            “aku kangen.” Lirih Rio. Tangisan Ify pecah. Harapan-harapan yang ia hidupkan sudah berubah menjadi kenyataan. Rio tidak bohong. Bakat merangkai kata manis itu juga diiringi tanggung jawab untuk membuktikannya.

            “aku sayang mas.” Balas Ify disela isakannya. Satu kalimat pendek menjelaskan segalanya. Tak perlu kata-kata manis, hati mereka sudah saling berbisik. Gadis itu mempererat rengkuhannya pada pinggang Rio, kembali memenuhi paru-parunya dengan harum tubuh yang selalu menjadi candu yang ia buat sendiri. Candu yang akan ia nikmati sendiri dan tak akan sudi ia bagi pada dunia.

            Rio melepas pelukannya dengan sebuah senyuman manis. Ia hapus jejak air mata Ify dengan ibu jarinya. Gadis ini alasannya lahir di dunia. Untuk siapa kekuatannya sebagai seorang laki-laki diberikan Tuhan. Dengan siapa ia memenuhi dunia.

            “jadi kita bisa bahagia berdua sekarang? Aku punya mas, dan mas punya aku?” tanya Ify polos. Dengan nada manja yang selalu membuat Rio kehilangan, yang hanya bisa menjadi angan beberapa tahun ini.

            Tawa lepas keluar dari bibir Rio. Ia menggeleng mantab. Tak menyetujui pertanyaan Ify. Tanganya mengambil sesuatu dari saku celana jeansnya. Gerakan yang membuat Ify diam mematung. Namun kemudian kedua bola mata almonnya membulat penuh karena sebuah cincin yang disodorkan Rio ke hadapannya.

“bukan berdua, sama anak-anak aku. Kamu mau jadi ibu mereka?” dan ini lah Rio. Dengan kesederhanaannya. Dengan ia yang apa adanya. Namun dengan kasihnya yang luar biasa.

Bulir air mata kembali mengalir dari mata Ify, namun bukan lagi air mata perih sebuah penolakan atau air mata keputus asaan. Hanya kebahagian yang tak bisa ia bendung lagi. Gadis manis itu mengangguk samar. Senyum Rio merekah ia pasangkan cincin emas putih bertahta berlian yang ia sodorkan ke jari manis tangan kiri Ify. Ia peluk erat gadis itu sekali lagi, kali ini untuk selamanya.

********

EPILOG
           
Jemari lentik wanita ini menyapu sebuah foto yang dibingkai stainless steel warna silver, perlahan, takut kuku-kukunya akan menggores tulusnya cinta yang terpapar nyata. Seorang laki-kali yang tampak tampan dan gagah dengan beskapnya, disampingnya seorang wanita yang berdiri anggun dengan kebaya putih. Ingin sekali rasanya ia berdiri di tengah mereka. Mencicip sedikit bahagianya.

Namun tak seperti cintaku pada dirimu
Yang harus tergenapi dalam kisah hidupku...

            Suara lagu dari radio kuno yang bertengger di dekat jendela, radio yang setia menemani piano putih di sudut ruangan. Suaranya sudah mulai sumbang dipukul dentingan waktu. Namun kisahnya tidak. Tidak pernah berkurang manisnya. Kisah tentang cinta yang menggenapi kisah hidup. Kisah cinta yang nyata dari dua orang terhebat dalam hidupnya. Janji itu tergenapi. Di tembok, satu meter dari jendela, terpampang foto besar satu keluarga. Ia mengenal betul satu-persatu dari mereka. Anak laki-laki berusia delapan tahun itu namanya Bastian. Sekarang sudah menjadi pilot hebat. Boleh ditanyakan negara mana yang belum pernah ia lewati. Hampir semua sudah! Dan gadis kecil berusia empat tahun, rambutnya yang keriting dikucir dua. Namanya Raissa. Wanita yang sama dengan yang tengah menatap foto itu. Dan yang paling kecil, yang masih dua tahun, tersenyum lebar dipangkuan sang ibu, namanya Keke. Tak menyangka bocah kecil yang hobi menangis itu kini sudah menjadi seorang pengacara yang lantang menyerukan keadilan.

            Air mata wanita cantik itu mengalir setetes dari ekor mata kanannya. Mengingat kasih sang ibu yang luar biasa. Seorang wanita dengan perut buncit karena tengah mengandung memeluknya yang sedang menangis setelah dijahili sang kakak yang sedang bertengger di atas pohon jambu yang tumbuh di belakang rumah karena merasa bersalah, atau lebih dikarenakan ketakutan mendengar suara mobil sang ayah yang baru pulang dari kantor. Ayahnya laki-laki yang tegas. Bukan ditakuti, tapi selalu disegani oleh seluruh anggota keluarga. Kalimat saktinya “apa salah kamu?”. Beliau tidak ingin orang lain hanya terpaksa minta maaf dan tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri. Setiap kejadian terekam manis di otaknya.

            Dan foto terakhir yang ditangkap indra penglihatnya adalah gambar dua orang tua dengan rambut yang mulai memutih. Yang laki-laki dengan kaos polo warna putih, berdiri dengan sisa-sisa kegagahannya. Di dalam rangkulannya seorang wanita yang menyimpan kecantikan di ruas-ruas keriput wajahnya. Saling tatap penuh kasih. Di belakangnya ada sekelompok musisi, berdiri rapat dengan puing-puing bangunan yang menjadi background panggung mereka. Ibunya pernah bercerita jika sewaktu muda ia dan suaminya –ayah wanita tadi- pernah melihat sepasang kakek-nenek yang tetap mesra di usia mereka yang tak lagi muda di Taman Sari. Dan akhirnya mereka berdiri juga di tempat yang sama, dengan keadaan yang sama. Setelah puluhan tahun merajut kasih.

            Wanita tadi mengalihkan pandangannya karena sebuah pelukan yang melingkar di pinggangnya. Seorang laki-laki tampan berdiri rapat di belakangnya. Seulas senyuman di sela tetes air mata ia sunggingkan.

            “mereka masih akan saling mencintai ribuan tahun lagi di tempat yang lebih indah.” Bisiknya setelah ikut tenggelam dalam foto yang dipegang kekasih hati.

karena kasihku hanya untuk dirimu
selamanya kan tetap milikmu...

            “Ify...” gerakan bibir sang ayah yang mulai membiru kembali berkelebat nyata diingatannya. Laki-laki renta yang tengah terbaring antara hidup dan mati itu mengucap nama orang yang paling ia rindukan dengan senyum. Cara memanggil paling mesra yang pernah ia dengar. Lembut. Lirih. Mendayu. Seakan perempuan cantik yang sudah kembali ke pangkuan Penciptanya itu hadir lagi di hadapannya. Menjemputnya. Tepat lima tahun. Seakan bayaran dari hutangnya pernah membuat wanita itu menunggu lima tahun sudah terbayar penuh. Pria itu menghembuskan nafas terakhirnya. Menyongsong damainya. Berlabuh pada cinta yang paling abadi. Hari itu, 11 Januari.

Ku ingin selamanya menyayangi dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin selamanya ada di sampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku...
           
Jika ada yang bisa menyamai kekuatan waktu, cinta jawabannya. Waktu bisa mengubah cinta, dan cinta bisa mengubah waktu. Dari waktu ke waktu, cinta yang sejati akan terus tumbuh. Dan cinta akan membuat waktu berlalu tanpa keluhan, tanpa air mata, dan menghapuskan semua penantian. Hingga akhirnya menemui apa itu keabadian.

The end....

cemana? lama nggak denger komen-komen pembaca nih. jangan sampe loh diem-diem baca terus nanti dengan inocentnya ngerepost pake ngaku-ngaku punya sendiri. hahaha... canda. tapi serius, yang ada di blog ini biar di sini aja. jangan dipublish di tempat lain. baca di sini gratis ini. oke baby? sip. salam kece. :)

The Time For Love part 1

semacam project cari kerjaan. oke. itu masalah gue hahaha.... :|
dibalik judul yang alay mampus ini. ceritanya agak dewasa sih, tapi bukan "dewasa". if you know what i mean... baca aja deh biar ngerti (?)
cerpen ini inspirasinya beberapa lagu. jadi ya maap aja kalo kesannya dipaksain. alurnya sengaja dibikin berantakan, makanya baca waktu dan tempatnya. okay, baby? just enjoy it. :)


Yogyakarta, 06 Januari 2012. 17:25 WIB

Kota kecil ini masih sama, masih eksotis. Menjanjikan sejuta pesona ditengah bau magis yang menguar kental. Aroma yang seakan menjadi pelet untuk setiap orang yang datang padanya untuk selalu kembali. Hiruk pikuk di dalamnya juga tak berubah setelah lima tahun ia tinggalkan. Setiap sudutnya masih menawarkan keramahan.

                Angkringan Kopi Jos, kaki lima khas Jogja di ujung jalan Mangkubumi itu juga masih sama. Tukang becak yang juga masih setia berjajar menawarkan jasanya. Langkahnya masih belum mau berhenti, belum juga lelah. Angannya masih sibuk berdansa dengan gumpalan rindu yang menggebu, merapalkan bait-bait cinta yang masih belum lekang. Menelusuri jejaknya kembali mencari sesuatu bagian yang kepingannya masih setia ia bawa hingga sekarang. Gadis manis itu. Gadis yang selalu menjadi angannya.

                Tak terasa langkahnya baru berhenti di ujung jalan Malioboro. Ada sebuah warung makan kaki lima yang membuatnya tak akan pernah bisa lupa untuk sebuah cerita yang tercipta di sana.

                “mas Rio, aku sayang sama mas.” Suara lembut itu kembali terngiang di teliganya di sela lagu Yogyakarta milik Kla Project yang dimainkan beberapa orang musisi jalanan. Sama seperti waktu itu. Salah satu keistimewaan kota ini, banyak seniman yang memilih jalanan sebagai panggung kreasi mereka, tak membiarkan budaya yang tertanam pada tanah mereka tergerus begitu saja. Suasanya yang semakin menggiring pikirannya untuk menebak, masihkah semuanya sama?

                Lelah –bukan fisik-, pria itu merogoh saku celana jeans hitamnya, mengeluarkan ponsel dan menggerakkan jempolnya di atas layar, berselancar mencari sebuah kontak. Setelah menghembuskan nafas perlahan, ditempelkan benda canggih itu ke telinganya. Terdengar nada sambung berkali-kali yang justru seolah semakin mengkomandoi keserahannya untuk bekerja lebih semangat lagi.

                “hallo!” sapa suara berat di ujung sana.

                “gue udah di Malioboro.” Jawab pria tadi tanpa mengindahkan pembukaan lawan bicaranya karena ia sudah yakin benar sedang ada di line dengan orang yang ia tuju.

                “tunggu, gue sampai lima belas menit lagi.”
               
                Terdengar nada putus sambungan yang panjang. Cuih! Sahabatnya itu bisa sampai dalam setengah jam saja rasanya sudah bersyukur mengingat kebiasaanya yang selalu lambat jika bergerak, turunan Jogja dari ibunya itu benar-benar membuatnya memengang teguh peribahasa “alon-alon waton kelakon” atau bahasa gaulnya slow but sure. Belum dihitung jika si Rambo, mobil VW Combie kesayangan sahabatnya itu rewel.

                “mas, ronde-nya satu.” Pesan pria tadi pada pedagang yang sedang lewat di sebelahnya. Tak perlu menunggu lama pesanannya datang. Mangkuk kecil beralaskan lepek yang berwarna senada terulur di hadapannya. Bau jahe yang kuat dari sana membuat dinginnya malam sedikit terkabur. Satu, dua, tiga, empat lagu sudah dimainkan kelompok musisi jalanan tadi, wedang rondenya juga sudah tandas saat seorang laki-laki jangkung menepuk bahunya dengan sebuah senyum innocent, ia tidak sendiri, ada seorang wanita cantik di sampingnya, sedang menggedong seorang bayi perempuan berpipi bulat putih seperti bakpao, lucu sekali.

                “dua puluh lima menit, lumayan lah.” Seloroh pria yang menunggu tadi setelah melirik jam di tangan kirinya. Namun setelahnya ia berhambur memeluk sahabat yang juga ia rindukan itu. Lima tahun. Pemuda tampan nan selengekan itu sudah bermetamorfosis menjadi seorang pria yang juga masih selengekan. “apa kabar, Riko Anggara? Gue kangen parah sama elo!” lanjutnya setelah melepaskan pelukannya.

                “baik, luar biasa baik, Pak Rio Haling!” jawab Riko, si lawan bicara sambil mengamati Rio –pria tadi- dari ujung jambul hingga pangkal sneakersnya. Tak ada yang berubah. Dasar pemuda! “kenalin ini Ashilla, ini peri kecil gue, Ara.”
               
                Rio mengulurkan tangan kanannya di hadapan Ashilla sambil tersenyum. “Rio.” Ucapnya kemudian mencubit pelan pipi Ara. “lucu banget anak elo, Ko!” serunya sambil mengambil alih menggendong bayi mungil itu.

                “tahu deh yang udah kepengen.”
               
                “nyindir..” dengus Rio. Riko, dan Shilla yang sudah diceritakan tentang Rio tertawa lepas.

******
               
Mobil antik itu melaju membelah jalanan kota Jogja yang selalu menjadi lebih luar biasa di malam hari. Jajaran lampu temaram di pinggiran jalan yang terus melambai pada setiap yang datang untuk tidak lagi pergi. Pasrah saat akhirnya tertinggal di belakang orang-orang yang tetap tak acuh. Seperti kenangan yang kini semakin cepat berputar di otak pemuda tampan ini.

                Tentangnya. Gadis itu. Alamat untuk gunungan rindu yang kian membuncah, yang meluap tak mampu lagi ia tampung. Ia yang selalu menari indah di setiap matanya terpejam. Ia, alasannya kembali menyongsong kenangan itu.

******

Yogyakarta, 11 Januari 2006.

                Sebuah pertemuan selalu menjadi prolog sebuah cerita kehidupan, walaupun tak juga ada yang bisa digambarkan dari sana. Tak juga membawa pencerahan untuk apa yang akan terjadi nanti. Namun pertemuan selalu menjadi pondasinya.

                Ify duduk di ruang tamu rumahnya dengan bibir yang mengerucut, wajah yang ditekuk-tekuk seperti cucian baru kering. Keputusan sepihak ibunya untuk mencarikannya guru les privat mengingat nilai rapornya semester lalu yang kebakaran yang kini menjadi permasalahan. Sedang Ify tahu, selera guru les ibunya itu jauh dari kriterianya. Guru lesnya sewaktu SD dulu, bu Mariam, orangnya galak setengah mati. Entah bagaimana caranya, Ify harus mengerti dengan apa yanng beliau jelaskan. Suram. Guru lesnya SMP, bukannya menjelaskan, malah dia sendiri yang bingung ketika Ify bertanya tentang sebuah materi yang rumit. Tidak kompeten.

                Sudah lebih lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Teh hangat yang sudah ia sediakan pun mulai dingin. Membuat pikiran negatifnya semakin membumbung. Pasti guru les kali ini tak jauh beda dengan yang dulu-dulu. Ify membayangkan perawakan guru lesnya kali ini tambun, perut buncit, sudah mulai ubanan, ditambah sifatnya yang saklek, galak, menyebalkan, sekaligus membosankan.

                “permisi..” suara serak-serak basah yang menghancurkan lamunan Ify. Sosok yang sangat berseberangan dengan apa yang Ify bayangkan barusan. Pemilik suara itu adalah seorang pria muda dengan tinggi nyaris seratus delapan puluh centimeter. Badannya tegap atletis dibalut kemeja warna abu-abu yang dipadu dengan jeans hitam panjang. Rambutnya yang dicukur model spyke terlihat berantakan, namun justru menguatkan kesan maskulin pemuda itu. Wajahnya...... yakin dapat membuat Cinderella perpaling hati karena pangerannya pun kalah tampan. Sepasang matanya, menatap tegas bagai ujung belati. Luar biasa.

                “permisi..” sapa pemuda itu sekali lagi. Dengan suara yang lebih keras.

                “ah.. iya.” Jawab Ify gelagapan. Ia segera berdiri menyambangi pemuda tadi sambil menyelipkan sejumput rambutnya yang jatuh dari ikatan ke belakang telinga kanan, penyamar kesalahtingkahannya. “mas, sales ya?!” tuduhnya dengan sangat yakin. Tas ransel yang disandang pemuda yang berdiri di mukanya dan paper bag bergambar logo sebuah pusat perbelanjaan menjadi alibinya.

                Pemuda tadi melongo. Dengan gerakan samar ia menggeleng. Nyaris kehabisan kata-kata karena tuduhan pertama yang datang padanya. “benar ini rumah ibu Juwita?” tanyanya tak mengindahkan tuduhan Ify.

                “iya.” Sekali lagi, Ify memindai pamuda di hadapannya dari ujung jambul sampai ujung sneakersnya. “tapi ibu saya sedang pergi, kalau mau promosi kapan-kapan saja.” Lanjutnya masih kukuh dengan dugaannya jika pria ini adalah seorang sales. Sekalipun sales seganteng ini, Ify tak mau ambil resiko jika kejadian yang menimpa tetangga kompleksnya yang mengalami perampokan oleh seorang yang mengaku sebagai sales terjadi pada keluarganya. Terlebih ia hanya sendirian di rumah.

                Bahu kokoh pemuda tadi luruh bersamaan dengan dengusan nafasnya. Sedikitpun ia tak membayangkan jika karier pertamanya sebagai guru les privat akan disambut dengan tuduhan sebagai Sales Promotion Boy dan tatapan penuh kecurigaan dari gadis di depannya ini. “saya bukan sales, mbak. Saya guru privat anak ibu Juwita.” Jelasnya mencoba bersabar.

                Mata Ify membulat penuh mendengar suara pemuda itu. Kalau ada suara yang bisa menyaingi merdunya suara bel istirahat sekaligus penanda pelajaran Matematika pak Tugiyo telah usai, suara laki-laki ini jawabannya. Apa tadi? Guru privat anaknya ibu Juwita? Dari tiga orang anak ibu-ibu bawel itu, yang pertama namanya Septian, sudah hampir lulus sarjana kedokterannya, yang bungsu, namanya Deva, leak itu terlalu jenius untuk membuat sang ibu mau merogoh koceknya untuk membayar guru les. Satu-satunya yang tersisa adalah anak tengan bu Juwita, putri semata wayang, Ify Umari. Dan saat ini juga, Ify ingin berlari keluar ke masjid yang ada di ujung kompleks untuk sekedar meminjam toa dan mengumumkan jika ia sangat bahagia hari ini.

                “benar ini rumah ibu Juwita?” tanya pemuda tadi. Tak habis ia heran dengan ekspresi lawan bicaranya kali ini. Melamun, menuduhnya sebagai sales sekaligus dengan tatapan seolah dirinya adalah maling, dan sekarang senyum-senyum sendiri.

                Gadis itu mengangguk mantab sambil mempersilahkan pemuda yang ternyata adalah guru lesnya itu masuk.

                “maaf, saya tadi sempat nyasar.” Ucap si pemuda sambil mengangguk sopan, berusaha menyembunyikan keheranannya. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaan saat ini. Sekali lagi Ify hanya mengangguk sambil mendudukkan diri di samping guru lesnya.

                “nama mas siapa?” tanya Ify. Dengan ekspresi paling normal pertama yang berhasil ia suguhkan pada lawan bicaranya.

                “Rio.” Jawab pemuda tadi singkat, sambil meletakkan ransel yang digendongnya.

                “aku Ify. Mas tinggal dimana? Kuliah atau kerja?” interogasi gadis itu.

                “aku kost di deket Monjali. Masih kuliah.”

                “dimana? Jurusan apa? Semester berapa?”

                Rio mengrenyitkan dahi. Kembali heran. Jika seharusnya ada yang banyak bertanya di sini, dia lah orangnya. “UGM. Arsitektur. Semester 9.” Tak urung pertanyaan itu tetap dijawabnya.

                Rio setahun lebih tua dari Septian. Simpul Ify. Sambil mengangguk-angguk seperti detektif yang baru saja menemukan petunjuk untuk kasus besar yang tengah ditanganinya. Apa tadi? Arsitektur? Ia tak salah dengar. Berarti yang dihadapannya ini seorang calon arsitek –yang sangat tampan-. Tiba-tiba Ify memekik hingga telinga Rio berdengung. Pemuda itu beringsut mundur, kalau-kalau akan ada agresi kedua.

                Sambil menepuk-nepuk bahu Rio, seperti seorang ibu yang dibawakan sebuah piala besar hasil lomba yang dimenangkan anaknya, Ify melayangkan banyak pujian untuk guru pilihan mamanya kali ini.

                “bisa kita mulai belajar?” tanya Rio dengan rasa heran yang semakin membumbung. Gadis yang “unik”. Pikirnya.

                Pertemuan pertama. Selalu menjadi gerbang untuk sebuah kisah. Gerbang yang tak pernah berpindah letak dalam ingatan. Dengan setiap detail yang selalu memukau untuk ditengok.

*******

Malioboro, 16 Desember 2006. 15:35 WIB

                Gadis manis, berdagu tirus dan berhidung bangir. Rambut panjangnya sengaja diwarnai cokelat tua diikat ekor kuda asal-asalan, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajah ayunya. Tanpa make up. Tak takut kotor bergelut dengan jutaan debu di udara. Kemeja hitam polos yang tak dikancingkan satu pun terbang karena hembusan angin yang dibawa kendaraan yang hiruk-pikuk di jalanan. Memamerkan you can see putih di dalamnya yang dipadu dengan jeans belel abu-abu pendek dan sepatu keds dengan warna senada. Sederhana, apa adanya namun tetap menarik. Terkhusus untuk pemuda yang berdiri di sampingnya, yang nampak kontras berdiri tegak dengan kemeja kotak-kotak merah-hitam dan jeans hitam panjang, lengkap dengan sepasang sneakers putih.

                Asyik dengan kameranya, membidik setiap sudut yang ia anggap menarik. Tak peduli pada pemuda yang setia menemaninya. Tak acuh dengan beberapa siulan usil beberapa pemuda yang kebetulan lewat di dekatnya. Yang penting hobinya tersalurkan.

                “aku dibayar ibu kamu bukan buat nemenin kamu foto-foto loh, Fy.” tegur si pemuda yang nampak sudah bosan diabaikan. Nama gadis itu Ify, nama yang tak kalah manis dari parasnya.

Gadis tadi memamerkan deretan gigi depannya, nyengir kuda. “nanti aku traktir blackforest sama hot chocolate deh, Mas.” Rayunya. Pemuda tadi mendengus pasrah, gadis ini keras kepala. Mau sampai seperti apa ia mengingatkan pasti tetap metah.

“lima belas menit lagi.” Ucap si pemuda sambil mengetukan jari telunjuk pada arloji yang melingkari tangan kirinya.

“mas Rio emang the best!” pekik Ify kegirangan sambil berjingkat mencubit gemas pipi pria yang jauh lebih tinggi darinya itu. Kembali gadis itu asik mengambil gambar, seorang ibu penjual jamu yang masih berkebaya, menunggu dagangannya sambil bercengkerama dengan anak kecil berusia sekitar lima tahun, kemungkinan besar putrinya berlatarkan gedung klasik Bank Indonesia. Cukup lama Ify mengambil dari sudut itu. Gadis itu sangat tertarik.

“Time’s up!” ucap Rio sambil menjentikkan telunjuk dan jempolnya tepat di depan lensa kamera Ify. Tak ada toleransi lagi kali ini. Digenggamnya tangan gadis itu dan ia pandu menuju mobil sedan yang terparkir tak jauh dari tampat mereka berdiri tadi. Dan kali ini Ify pun sudah pasrah. Rio pria yang pengertian, dan sekaligus tegas khas seorang laki-laki dewasa yang selalu ia dambakan.

*******

Arthemy Cafe. 17:30 WIB

                Barisan shaft lambang integral di buku tulisnya benar-benar membuat kepala Ify pening, belum lagi deretan panjang aljabar di belakangnya. Sesuatu yang selalu ia cari korelasinya dengan kehidupan, dan belum sama sekali ia temukan. Satu-satunya yang membuatnya bertahan untuk tidak memuntahkan isi perutnya adalah kemampuan Rio mengerjakannya, coret sana, coret sini. Magic. Kelihatannya sangat mudah. Namun sudah berkali-kali Ify mencobanya, tetap saja ia mencoret bilangan yang salah, satu-satunya yang ia paham adalah semua bilangan itu harus dicoret [baca: dihapuskan dari muka bumi].

                Rio mengerti. Hanya akan membuang tenaga saja untuk terus mengajari muridnya ini karena ia nampak begitu lelah. Ditutupnya buku tulis Ify. Toh sepertinya sudah cukup materi untuk hari ini. Tangan kokohnya meraih kamera Ify yang tergeletak di atas meja, sementara gadis itu asyik menikmati rainbow ice cream pesanannya. Layar itu memampangkan seorang anak laki-laki dengan gitar usang sedang menyeka peluh di keningnya, anak sekecil itu seharusnya baru berpeluh karena bermain, bukan melawan matahari untuk terus melanjutkan hidupnya, seharusnya masih nilai bagus di sekolah yang ia buru, bukan kepingan rupiah. Rio tersenyum miris, di sela ketersimaannya pada pandangan sosial gadis di hadapannya. Satu persatu foto terpampang: sampah-sampah yang teronggok tak jauh dari sebuah plang bertuliskan “DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI AREA INI” dengan huruf kapital semua, dengan ukuran yang besar. Sepertinya angka buta huruf meningkat. Ada foto seorang bapak-bapak berpakaian safari rapi, menyeberang beberapa meter saja dari zebracross, bukan tepat di atas garis hitam putih itu. Orang penting yang tidak cerdas, sepertinya. Alangkah lucunya negeri ini.

                Satu gambar yang menarik perhatian Rio adalah gambar terakhir yang diambil Ify. Seorang ibu penjual jamu dan anaknya. Ia tak dapat menafsirkan maksud Ify mengambil gambar ini. “ini maksudnya apa?” tanyanya memecah suara gending Jawa yang selalu dimainkan di cafe itu. ia mengangsurkan kamera yang dibawanya pada Ify.

                Gadis itu tersenyum kecil, kemudian menggedikan bahunya. Ia hanya tertarik pada ibu itu dan rutinitasnya pada awalnya. “perempuan Indonesia selalu mempesona.” Simpulnya setelah beberapa waktu mencermati gambar itu, mencari tahu mengapa ia tertarik.

                “lagi muji diri sendiri?” seloroh Rio kemudian tertawa kecil. Jari-jarinya sibuk mengaduk mug berisi cokelat panas yang sudah mulai mengendap.

                “sedikit.” Sambil tertawa kecil Ify menjawab. Jemari lentik gadis itu kembali menyendok es krim. Menyesap kembali rasa stoberinya. “aku cuma beruntung dilahirkan di tanah yang sama. Ibu tadi contohnya, yang ikut menyangga rumah tangga tanpa lupa kodrat untuk anaknya.”

                Rio tersenyum simpul. Gadis ini lima tahun lebih muda darinya. Masih kelas tiga SMA. Murid lesnya. Tapi pemikirannya luar biasa. Oke. Kecuali soal Matematika. Ia mampu mengimbanginya yang sedang menempuh semester akhir untuk meraih gelar sarjananya.

                “Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu. Mereka bahkan bisa melakukan apa yang bahkan nggak banyak laki-laki di jamannya bisa buat.” Ify memulai mengabsen tokoh-tokoh yang ia kagumi betul. “Sri Mulyani yang jadi direktur pelaksana World Bank, Siti Fadilah Supari yang berhasil menemukan vaksin flu burung di jaman sekarang.” Kedua mata gadis itu berbinar.

                “and the point is your hair.” Sentak Rio yang mengaburkan lamunan Ify. “warna rambut hitam wanita Indonesia itu poin keanggunannya.”

                “mas Rio..” dengus Ify tak minat. Sudah berkali-kali Rio melayangkan protes untuk keputusannya mengecat rambut. Protes halus yang mematikan di sela topik bagus seperti ini. Rio tak pernah dengan arogan dan otoriter memerintahnya. “nasionalisme aku nggak akan luntur cuma gara-gara berubah warna rambut.” Lanjutnya. Nada khas saat gadis itu bicara, merayu manja.

                Rio paling tak suka dipanggil dengan embel-embel mas. Baru Ify yang ia ijinkan, bahkan Ozy, adik semata wayangnya pun tidak. Ada nada yang berbeda saat gadis itu melafalkan sebutan itu. Seksi. Eksotis yang menggoda.
                               
“mas..”
               
“hmm..”
               
“jangan bilang ibu kalau seharian kita hunting foto ya?” pinta Ify memelas.
               
“nggak gratis.”
               
“apa syaratnya?”
               
“nilai ulangan Matematika kamu minimal 85.” Balas Rio ringan sambil masih tenggelam dengan gambar-gambar menawan hasil jepretan Ify hari ini. Kedua mata gadis itu membulat, bisa memenuhi nilai ketuntasan minimal saja sudah sangat bersyukur, sekarang bagaimana caranya ia bisa mencapai nilai delapan puluh lima? Sekali lagi delapan puluh lima. Dan kenapa harus Matematika?
               
“jangan 85...” Ify masih menawar. Rio mengalihkan pandangannya pada Ify. Dengan wajah begitu tenang, bibirnya tidak bergerak. Namun sepasang mata elang itu mengatakan semuanya. Cukup jawaban iya, tak ada pilihan lain. Dan itu lah istimewanya Rio, tak banyak bicara dengan mulut, tapi matanya seakan bisa berbahasa mengungkapkan apa yang ia rasa dan ia mau. Ify mendengus dan mengangguk pasrah.
               
Sampai saat ini Ify masih tak mampu berpikir bagaimana semesta berkonspirasi dengan ibundanya untuk mempertemukannya dengan Rio setahun lalu sebagai guru les matematikanya. Rio berasal dari satu daerah di Sulawesi Utara, menuntut ilmu di kota pelajar ini. Teknik Arsitektur, Universitas Gadjah Mada. Saat itu sebagai seorang anak kost Rio membutuhkan biaya tambahan untuk KKN dan salah satu temannya menawarkan jasanya pada ibunda Ify. Yang jelas, ia berterima kasih banyak atas semua itu.

                “tahun baru ini mas pulang?” tanya Ify kemudian sambil menyerobot cokelat Rio yang kini sudah dingin dan hanya tersisa sedikit hingga tandas kemudian ia letakkan kembali. Rio terkekeh, kebiasaan yang paling aneh dari gadis ini adalah menghabiskan cokelat minumannya jika sudah hampir habis, memang lebih enak karena butiran-butiran kakao yang mengendap. Kemudian ia menggeleng sebagai jawaban.

                “kanker.” Ucapnya singkat. Ify hanya mengangguk paham. Berusaha bersikap wajar, menyembunyikan sorakan hatinya. Membayangkan jika tahun baru ini akan menjadi tahun baru paling ia tunggu.

*******

Rumah Ify, 20 Desember 2006. 16:30 WIB
               
Berkali-kali Rio melihat jam yang bertengger di dinding ruang tamu rumah Ify. Sekedar untuk membunuh waktu. Sudah lebih satu setengah jam dari waktu biasa ia datang untuk mengajar gadis itu. Dan tak biasanya Ify pulang telat tanpa memberinya kabar. Secangkir teh yang tadi panas mengepulkan asap yang meliuk-liuk indah, kini teronggok biasa saja hingga dingin, belum sedikitpun ia sentuh. Resah itu menjalari hatinya, tak bisa ia tepikan.
               
“Ify pulang!!” seru Ify setelah membuka pintu, masih lengkap dengan seragam putih abu-abunya. Dengan seorang cowok dalam gandengan tangan kanannya yang juga masih berseragam.

                “darimana?” sahut Rio tenang. Ia tahu Ify belum menyadari keberadaannya. Gadis itu menepuk keningnya, melupakan jika seharusnya hari ini ia belajar dengan Rio, seperti biasanya. Tak ada nada marah dari pertanyaan Rio, tapi tetap seperti biasa, Ify bisa merasa segan dan merasa bersalah mendengarnya.

                “emm.. maaf, mas.” Ucap Ify sambil menunduk, ia mengigit bibir bawahnya. Matanya hanya tertuju pada ujung sepatu keds yang ia mainkan. Gandengannya pada cowok yang ikut bersamanya ia lepas.

                “kenapa minta maaf?” nada yang masih sama. Untuk Ify akan lebih baik jika ia dimarahi habis-habisan daripada harus mendengarkan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan dari Rio seperti ini. Setidaknya ia merasa lega karena sudah mendapat hukuman atas kesalahannya, bukan hanya kesalahan yang ia harus tanggung dalam hati. “buku rumusnya. Aku harus bimbingan skripsi.” Ucap Rio sambil mengulurkan sebuah buku seukuran kamus saku yang kemarin ia janjikan pada Ify, setelah membereskan beberapa lembar kertas yang kemudian ia masukan ke dalam ranselnya.

                “duluan ya!” pamit Rio sambil menepuk bahu teman laki-laki Ify tadi. Bibirnya tersenyum tulus. Matanya sempat melirik bedge yang mencetak nama cowok itu. Gabriel Stevent. Ia bukan laki-laki kemarin sore yang tidak bisa membaca senyum dan sorot mata Gabriel yang menyimpan sesuatu untuk Ify. Dan yang lebih telak menyentil hatinya adalah, Ify selalu bercerita dengan siapapun ia dekat, cowok mana saja yang sedang mendekatinya. Walaupun cukup banyak, mengingat Ify memang cantik, baik, menarik, dan mudah bergaul, Rio dapat mengingat semuanya satu-persatu. Tak ada nama Gabriel di sana.

*******

Universitas Gadjah Mada, 21 Desember 2006. 09:00 WIB
               
Cowok bertubuh tegap ala angkatan ini memandangi sahabatnya prihatin. Rio yang memang pendiam, kini lebih merajalela. Mungkin berapa patah kata yang ia keluarkan sejak pagi masih dapat di hitung dengan jari. Padahal seharusnya ia sedang bergembira karena skripsinya sudah tembus dan tinggal menunggu untuk sidang.
               
“cewek itu lagi?” dengus Riko tak tahan juga untuk diam. Rio mengangguk jujur. “apa lagi sih yang lo cari?” sekali lagi, tak ada jawaban dari mulut pemuda hitam manis itu, hanya gedikan kedua bahu kokohnya.
               
Riko menghela nafas berat. Ini lah Rio, soal wanita keputusannya tak pernah datang cepat. “lo pikir kenapa Ify masih jomblo kalau nggak nunggu elo? Padahal dia punya segalanya buat ganti-ganti pacar setiap hari.” Ucapnya sambil merangkul Rio, mencoba meyakinkan jika argumennya adalah teori paling benar di dunia. Rio memicingkan kedua matanya, seakan ingin berkata, -sok-tahu-parah-lo-. Dan kali ini cowok berkulit putih itu hanya menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya. “tapi lo serius sayang sama dia?”

Sekali lagi Rio hanya mendengus. Ia yakin sahabatnya ini akan tetap mengerti sekalipun pertanyaan itu tidak ia jawab.

*******

 SMA Pancasila.
               
Gadis manis ini masih asyik tenggelam dalam layar ponselnya, menatapi sebuah pesan singkat yang di dapatinya tadi pagi. Sebaris kalimat manis. Hanya saja bukan dari orang yang paling ia harapkan.

Gabriel:
Selamat pagi, princess. J

                Hal ini yang tak pernah ia dapati dari Rio. Rio tak pernah membawanya main game sampai lupa waktu, dan lupa segala-galanya seperti yang Gabriel lakukan tempo hari, saat Rio menunggunya untuk melakukan kewajiban mengajarnya. Ia tak pernah mendapati nama Rio di pagi hari saat ia membuka mata dan sebelum ia terlelap di malam hari pada layar ponselnya, seperti apa yang dilakukan Gabriel. Angan yang justru membuat hatinya ngilu. Rio yang dewasa kadang ia harapkan bisa mengimbanginya untuk menjadi seorang yang sedang menikmati masa remaja. Sekali pemuda itu mengiriminya pesan paling santer, menanyakan ada kesulitan mengerjakan soal atau tidak jika ia tahu Ify ada ulangan.

                “Fy, nilaimu!” seru Agni, gadis hitam manis teman sekelas Ify sambil meletakkan selembar kertas di meja Ify. Angka sembilan puluh tercetak dengan tinta merah di sudut kanan atas kertas yang nampak bekas dibagi dua ditengahnya itu. Nilai ulangan Matematika Ify.

Senyum cerah terpeta di wajah Ify. Ia berhasil memenuhi janjinya pada Rio. Angka yang juga berhasil mengangkat rasa bersalahnya pada pemuda itu. Ia harus menemui Rio segera dan memperlihatkan hasil jerih payahnya.

*******

14:00 WIB

                Matahari sedang bersemangat menyinari bumi siang ini. Membuat liukan-liukan fatamorgana di atas panasnya aspal jalanan. Ify berdiri di depan gerbang sekolah, berkali-kali melongokkan kepala ke ujung gang, mencari angkutan umum yang tak juga muncul bempernya. Sampai sebuah motor sport berwarna merah menyala berhenti di hadapannya. Gabriel pengendaranya.

                “mau bareng, Fy?” tawar cowok jangkung itu.

                Ify menggeleng sambil tersenyum sebagai penolakan halus. Gabriel mengernyitkan dahi meminta penjelasan. “aku mau pergi dulu, nggak langsung pulang.” Jelas Ify.

                “aku anterin nggak papa deh, kalo naik angkot lama.”

                Gadis manis itu diam, menimbang penawaran Gabriel. Mengingat ia sendiri sudah hampir setengah jam menunggu, akhirnya Ify mengangguk setuju dan kemudian naik ke boncengan cowok itu.

*******

                Rio berdiri dari kursi rotan yang sebelumnya ia gunakan duduk dan meletakkan gitarnya asal-asalan saat mendapati gadis yang sejak beberapa waktu kebelakang menjadi objek pikirannya. Bersama seorang laki-laki yang sama dengan tempo hari. Serbuan rasa nyeri yang menjadi sesak di dadanya, di sela kesadaran jika rasa itu sungguh tak berhak hadir. Seulas senyum coba ia cipta di bibirnya untuk menyambut keduanya.

                “siang mas.” Pekik Ify sambil melompat dari boncengan Gabriel yang masih terpaku, kakinya seolah tenggelam di bumi membuatnya tak bisa bergerak dengan genggaman yang tanpa sengaja semakin erat pada stang motornya. Untuk apa ia ikhlas mengantarkan pujaan hatinya ini untuk bertemu laki-laki lain? Salahnya sendiri tadi menawarkan diri.

                “mampir dulu?” tawar Rio pada Gabirel, dengan tangan kanannya yang sudah digamit manja oleh Ify. Rio sadar jika wajah Gabriel makin memerah. Api yang tidak bisa dipadamkan dengan air manapun, cemburu. Tak enak juga rasanya ada di antara kisah dua remaja ini.

                “makasih.” Jawab Gabriel singkat, walaupun masih terdengar ada gas di suaranya barusan. Rio memperlebar senyumnya kemudian mengangguk menghormati keputusan Gabriel untuk menolak ajakannya. Cowok yang masih lengkap berseragam putih abu-abu itu menarik gasnya dan segera beranjak meninggalkan kos Rio, tempat yang sebenarnya menjadi tujuan utama Ify.

                “cemburu tuh, Fy.” ucap Rio sambil mengusap tengkuknya, tak enak hati.

                “dia yang nawarin sendiri kok.” Sahut Ify tak mau kalah. Ia membanting tubuh mungilnya ke kursi yang tadi Rio gunakan duduk.

                “dasar anak kecil.” gerutu Rio sambil mengambil kembali gitarnya dan duduk pada pagar setinggi panggulnya. Mulai memetik asal gitarnya mengiringi suara desiran angin dan gerombolan dedaunan pohon beringin yang tumbuh di pekarangan depan kos Rio yang terdengar menjadi suara utama di antara mereka berdua.

                “aku udah gede tau!” protes Ify. Bibirnya mengerucut, membuang muka.

When I see you smile..
Ooohh....
You know I can do anything...  

                Lengkingan suara tenor milik Rio melantunkan When I See You Smile milik Bad English. Ini pertama kalinya Ify mendengar Rio bernyanyi secara langsung, walaupun ia pernah mendengar jika Rio pernah bekerja part time sebagai penyanyi cafe, tetap saja ia tak mengira suara cowok jangkung di hadapannya setara malaikat surga. Tanpa diketahuinya, tubuhnya bereaksi di luar kehendak. Partikel-partikel kecil dalam tubuhnya melonjak sana-sini, tak mau lagi terikat satu sama lain. Jika ia adalah bongkahan es, sudah pasti akan mencair dengan segera.

Sometimes I wanna give up
I wanna give in
I wanna quit the fight
And then I see you, Baby
And everything’s alright....

                Nafas Ify terhenti saat sepasang samudra rasa tak berombak yang begitu bening milik Rio terarah lurus ke miliknya. Seperti anak panah yang melesat cepat dari busurnya, menancap tepat di tengah hatinya. Seperti kata cinta yang tersampaikan tanpa melalui barisan kata-kata. Ini lah tatapan pertama yang membawanya terbang menyentuh awang-awang, bergelut dengan lintingan awan. Dan berharap tak ada yang mengingatkannya untuk turun kembali ke bumi.

                Senyum di bibir sewarna buah delima menggembang di wajah tirus Ify bersamaan dengan berhentinya alunan suara Rio dan petikan gitarnya. Sebuah senyum yang begitu saja muncul dari bawah alam sadarnya, memberi penghargaan untuk apa yang baru saja Rio tunjukan padanya.

                “tadi perasaan ada yang manyun, kenapa ya?” sindir Rio, tanpa menatap Ify, asik dengan jajaran senar-senar gitarnya. Dan ini lah Rio, menjatuhkan skak mat untuk Ify yang masih bertingkah seperti sebagaimana anak seusianya tanpa bentakan atau rentetan kata-kata sok puitis. Kali ini semburat merah muda menjalar di pipi Ify.

                “mas bilang aku anak kecil.” jawab Ify dengan tatapan masih terpaku pada ujung sepatu kedsnya yang ia gerakan kiri-kanan.

                “seharusnya bangga dong, awet muda.” Rio tertawa lepas.

                Ify tak memberi tanggapan. Pikirannya melayang. Kalau Rio menganggapnya anak kecil, masihkah ia punya kesempatan untuk menempati hati pemuda yang selalu menjadi poros harinya itu?
               
                “tumben ke sini?” tanya Rio melamurkan pikiran Ify.

                Tanpa menjawab lebih dahulu, Ify merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas dari sana, kemudian ia ulurkan pada Rio. Tangan Rio segera membukanya. Sembilan puluh. Nilai ulangan Matematika Ify. Senyum kecil terukir di wajah hitam manis Rio. Ia yakin Ify bisa. Sifat buruk Ify, suka meragukan kemampuannya sendiri.

                “lebih kan? ada hadiahnya dong!” pinta Ify sumringah. Rio berdiri dari tempat duduknya, berkacak pinggang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengusap dagunya. Nampak serius memikirkan permintaan Ify.

                “kamu mau apa?”

                “jalan!” jawaban persis seperti anak TK yang disuguhi mainan yang paling ia idamkan. Rio mengangguk setuju.

                “tapi masa kamu jalan masih pakai seragam gitu? Bisa dituduh melarikan anak orang nih.” Gerutu Rio sembari menggaruk belakang telinganya yang tentu tidak gatal sebenarnya.

                “pinjem kaos mas. Aku bawa celana.” Tanpa ba-bi-bu, Rio mengajak Ify ke kamarnya, memberikan gadis itu selembar kaos sebelum ia keluar untuk menunggu gadis itu bersiap.

                Ify keluar dengan celana jeans pendek dan kaos kebesaran yang panjangnya hampir menyamai celana ketika Rio tengah menali tali sneakersnya. Rambutnya dikucir ala jin perempuan yang dulu sering mangkal di televisi, memamerkan leher jenjangnya. Sukses membuat ludah di pangkal tenggorokan Rio membeku dan sulit ia telan. Sudah dapat dipastikan, akan banyak lelaki yang menatap penuh dengki padanya sepanjang jalan nanti karena mereka tak seberuntung dirinya.

                “ayo!” ajak Ify. Suara melengking yang membangunkan Rio dari kungkungan pikirannya yang mulai tak terkendali. Pemuda tampan itu mengangguk kemudian berjalan mendahului Ify.

*******

Taman Sari. 17:15 WIB

                Matahari telah lelah mengalirkan cahaya untuk menutupi kemegahannya, terpampang bola kuning telur berhiaskan gradasi warna beralas langit di ufuk barat. Guratan-guratan awan putih menambah kokohnya hasil seni Sang Maha Segala. Menjadi latar barisan lampu-lampu kendaraan yang sedang padat-padatnya setelah jam pulang kerja, dibingkai lampu-lampu rumah penduduk yang juga mulai menyala. Dari tembok tinggi yang masih berdiri kokoh di antara bangunan lain yang sudah menjadi puing-puing.

Cinta adalah misteri dalam hidupku
Yang tak pernah ku tahu akhirnya....

                Suara bariton dari penyanyi dari jalanan yang memang sering menjajakan karya mereka di tempat itu mulai membunuh hening, menyulap suasana damai menjadi romantis. Berpadu indah dengan suara petikan gitar dan seirama dengan pukulan jimbe. Musik yang megah di panggung sederhana, kontras dengan penyanyi-penyanyi yang sekarang mengusai panggung besar dengan suara yang belum cukup layak untuk berdiri di sana.

Ku ingin selamanya menyayangi dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin selamanya ada di sampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku...

                Bibir mungil Ify bergerak mengikuti lagu. Matanya tertuju pada sepasang kakek-nenek yang sedang berpegangan tangan saling menatap penuh kasih. Nampaknya mereka juga yang meminta kelompok musisi jalanan itu menyanyikan lagu indah ini. Rambut mereka sudah memutih keseluruhan. Si kakek sudah sedikit bungkuk, tangan kanannya memegang tongkat untuk membantunya tetap berdiri sedangkan sang nenek wajahnya sudah di penuhi keriput. Namun, mata mereka seakan tak pernah berhenti saling memuji satu sama lain, seakan si kakek adalah laki-laki paling tampan di dunia, dan si nenek adalah wanita paling cantik sejagad. Mencoba mengumumkan pada dunia jika mereka adalah pasangan paling bahagia. Jangan pernah mengucap janji setia jika tak pernah melihat seindah ini lah jika janji itu berbuah.

                “Fy..” panggil Rio yang hampir tersamar dengan hembusan angin. Namun Ify bisa mendengar pemuda itu baru saja melafalkan namanya. Nafasnya tercekat saat Rio menganyam jari-jari kokoh tangan kanannya dengan jemari lentik tangan kirinya. Genggamannya begitu erat dan hangat. Tuhan sedang mengirimkan jawaban mengapa ada ruang kosong di antara jemari, untuk dilengkapi oleh orang yang sudah Ia takdirkan pula. Aliran darah mereka seakan menyatu, dengan sebuah pesan yang Rio kirimkan. Kita akan berdiri di sini lagi, nanti, berdua, dengan keadaan seperti mereka, bunyinya.

                Ify menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang merona merah. Namun dibalasnya genggaman tangan Rio sebagai tanda ia setuju. Senyum lebar terlukis di wajah tampan Rio. Gadis ini alasannya lahir ke dunia.

********

Jalan Malioboro. 19:00 WIB

                Berbagai macam kendaraan seperti antre untuk melewati jantungnya kota Jogja ini. Bunyi klakson beberapa kali bersahutan dari mereka yang tidak sabar menunggu. Suara yang sempat menenggelamkan suara penyanyi jalanan yang melantunkan lagu Yogyakarta milik Kla Project diiringi petikan gitarnya sendiri. Gadis manis ini masih sibuk meniup gelas besar susu jahenya yang tak juga kunjung dingin. Pemuda di hadapannya asyik mengamati bangunan klasik sebuah cafe, gabungan konsep bangunan tradisional Jawa dan gaya khas Eropa. Sebatang rokok menyala terjepit telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Naluri arsiteknya pasti sedang tertarik dengan bangunan yang paling mencolok dari beberapa bangunan lainnya itu. Dihisapnya dalam-dalam asap dari bakaran tembakau itu, ia endapkan di rongga dadanya sebelum ia hembuskan kembali lewat hidung dan mulutnya yang membulat.

                Ify menghela nafas samar, setelah sebelumnya ia tahan karena mencoba menghindari kepulan asap beracun yang dihembuskan Rio dengan enaknya memenuhi paru-parunya. Dibalik semua kelebihannya, di belakang semua kedewasaannya. Rio punya hal yang paling dibenci Ify, ia perokok berat. Sudah hampir jenuh rasanya ia mengingatkan pemuda itu untuk berhenti, namun nampaknya sia-sia. Tapi Ify belum menyerah.

                “mas, kapan mau berhenti ngerokok?” tanya Ify. Pertanyaan yang lebih terdengar memerintah. “nggak ada dampak positifnya tahu. Setiap batangnya bisa mengurangi waktu hidup mas.” Cercanya. Rio tersenyum simpul. Gadis ini nampaknya belum menyadari jika ia sudah mulai mengurangi kebiasaan buruknya itu, walaupun belum bisa ia tinggalkan. Bergaul dengan berbagai kalangan membuatnya terjerat. Masih beruntung hanya rokok yang membuatnya kecanduan.

                “belum ada alasan buat aku bertahan lebih lama.” Seloroh Rio sambil menekan ujung rokoknya yang tinggal sedikit ke asbak. “umur yang tahu cuma Tuhan.” Lanjutnya ringan.

                “Ozy sama ibu kamu belum cukup?”

                “sebanyak-banyaknya rokok yang aku pakai, kalau diakumulasi masih cukup buat aku bertahan sampai Ozy dewasa dan bisa jaga mama.”

                “aku?” tanya Ify takut. Beruntung pendar cahaya petromax yang menjadi penerang utama mereka mampu menyembunyikan wajahnya yang memerah.

                “maksud kamu?”

                Mendengar pertanyaan Rio barusan, hal terbesar yang ingin dilakukan Ify saat ini adalah melepas sepatunya dan melemparkan pada pria bodoh di hadapannya. Ia sudah berbicara terang-terangan, bukan hanya kode yang sulit ditebak maksud di baliknya.

                “mas Rio, aku sayang sama mas.” Suara lembut Ify sukses membuat Rio tertegun. Belum saatnya rasa itu muncul di permukaan. Tapi ia juga tahu sama sekali Ify tidak bersalha, tokh hatinya pun melonjak girang dengan dengan pengakuan itu. Pemuda tampan itu menghela nafas. Diraihnya lagi kotak rokok yang setia teronggok di hadapannya, ia selipkan sebatang di antara bibirnya, kemudian ia bakar ujungnya.

                “apa yang kamu harapkan?” tanya Rio. Tak ada gejolak emosi sama sekali dari manapun, tidak dari nadanya berbicara, tidak dari raut wajahnya, bahkan tidak dari matanya.

                “kamu punya rasa yang sama.”

                “harapanku, aku bisa bahagiain kamu sepenuhnya, terserah rasa yang aku simpan ini kamu punya juga atau enggak.”

                Tubuh Ify rasanya sulit untuk digerakkan. Membatu. Otaknya tak mau bekerja, bahkan untuk mengendalikan nafasnya sekalipun. Apa lagi untuk menjabarkan kata-kata Rio barusan. Dunia berhenti sejenak. Suara deru kendaraan dan musisi-musisi jalanan tak mampu ia dengar, hanya helaan nafas teratur dari pria yang selalu menjadi objek pemikirannya.

                “aku belum bisa lakuin itu sekarang.”

                Satu-satunya yang Ify pahami saat ini adalah, Rio tak menginginkan hubungan apapun dengannya saat ini dari apa yang baru saja pria itu ucapkan.

                “kenapa?” dengan air mata yang mulai menggenangi kelopak, suara yang keluar dari bibir Ify terdengar bergetar menahan tangis. Rio tersenyum kecil. Bukan ia tega melihat Ify menangis, namun kumpulan air mata yang terbendung itu menggambarkan cinta gadis itu yang begitu meluap dan semampunya ia tahan. Ify tak suka menangis. Luar biasa jika akhirnya bulir-bulir bening itu hadir untuknya. Gadis itu terlalu kokoh untuk ia sejajarkan dengan gadis lain seusianya.

                “aku nggak pinter akting buat pura-pura nggak kenal sama kamu, jadi jangan bikin malu.” Desis Rio setelah melengkungkan tulang punggungnya agar lebih dekat dengan Ify dan pembicaraannya tidak didengar orang lain. Beruntung suasana sekitar meraka sedikit sepi malam ini.

                Kedua tangan Ify terkepal rapat, bahkan ia bisa merasakan kuku-kukunya mencoba menembus kulit telapak tangannya. Ia mencoba tertawa. Tawa yang bercampur dengan isakan. Ia sadar masih Rio terlalu tinggi untuk ia gapai.

                “kita pulang.” Lanjut Rio setelah menormalkan posisinya, meninggalkan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah di bawah gelas jahe panas yang telah tandas ia tegak.

                Ify mengekor di belakang Rio dengan tangan kiri digenggaman lembut tangan kanan Rio. Tangan kokoh dengan guratan-guratan nyata pembuluh darah balik di sekitarnya, mempertegas kesan maskulin pria ini. Air mata yang sedari ditahannya leleh. Rio ada untuknya, ia bisa merasakan sentuhan pria itu, tapi semua masih seperti mimpi. Apa yang dia lihat, apa yang ia sentuh, apa yang ia pegang, bukan miliknya. Beruntung ia berjalan di sela keramaian yang tidak seorangpun memperhatikannya. Rio merasakan setetes air jatuh di punggung tangannya. Hangat. Sakit sekali rasanya. Bukan dibagian yang basah oleh air tadi. Tetapi ulu hatinya. Satu-satunya yang ia inginkan adalah kebahagiaan Ify, bukan air mata seperti ini. Tapi ia lelaki. Jika janji ini tak bisa ia tepati, bagaimana ia bisa berpegang pada setianya. Tangannya semakin erat menggenggam tangan mungil gadis yang juga tinggal di hatinya. Menyalurkan sedikit kekuatan yang ia punya. Tanpa berpaling. Ia biarkan gadis manis itu menangis.

********
                
                    to be continue.....