Minggu, 29 Juli 2012

Song of Love [ Epilog ]


Dari balik kacamatanya, bola mata gelap itu terus bergerak ke kiri dan ke kanan. Menekuni berlembar-lembar data yang tertata rapi pada map berwarna hijau pekat. Sesekali memutar kursi kebesarannya untuk menusir jenuh. seakan tak menyadiri seorang wanita anggun sedang memperhatikannya dari ambang pintu ruangan bernuansa klasik minimalis itu.
Kedua tangan wanita itu terlipat di depan dada, dengan senyum manis di bibirnya. Bukan hanya jam dan hari bisa ia lewati, tapi juga rentetan tahun. Ia tahu perubahan laki-laki ini, setiap perubahannya. Ia yang dulu pemuda tampan, berbenampilan urakan, pujaan banyak perempuan, sekarang sudah menjadi lelaki dewasa, berpenampilan maskulin, namun tetap digilai banyak wanita. Ia tak bisa menutup telinga bagitu saja saat tak sengaja mendengar beberapa pegawai kekasihnya itu mengutarakan mimpi mereka menjadi boss dua buah perusahaan besar, satu perusahaan keluarga yang harus ia kelola dan satu perusahaan lagi yang dibangunnya sendiri. Terlebih pria itu tampan dan bertubuh tinggi altetis. Siapa yang sanggup menolak pesonanya?
Ify, wanita tadi menyandarkan bahunya pada daun pintu. Tak ingin mengganggu Rio sekaligus tetap ingin menyelami wajah Rio yang begitu serius. Kemeja lengan panjang yang dikenakan Rio ditarik asal hingga ke siku, rambutnya acak-acakan, kedua kakinya asik saja bertengger di meja, dengan pen yang ia gigit karena kedua tangannya sibuk pada data-data yang sedang dibacanya. Posse yang menurut Ify justru sangat seksi. Kekagumannya pada pria ini memang tak pernah luntur, sedikitpun. Hampir sembilan tahun berlalu sejak ia bertemu laki-laki ini.
“sudah puas, nyonya Haling?” tegur Rio, pria tadi sambil meletakkan apa yang baru saja ia baca kembali ke meja. Ia sadar jika sedari tadi ada yang memperhatikannya, pekerjaan yang kepalang tanggung untuk diselesaikannya membuatnya terpaksa tak acuh.
“puas apanya? Puas kamu cuekin?” gerutu Ify berbarengan dengan decitan pintu yang baru saja ia tutup. Rio tertawa lepas. “memangnya kertas-kertas yang kamu lihat setiap hari itu lebih cantik daripada aku?” keluh Ify sambil memposisikan diri duduk di sofa yang ada di sudut ruangan kerja Rio.
Rio nyengir kuda. Baru saja ia sadar jika sudah beberapa hari tak bertemu gadisnya itu karena banyak hal yang harus ia selesaikan di kantor. Ia beranjak dari tempat duduknya menghampiri Ify.
“jangan-jangan kamu lupa sama aku setelah kamu memegang tiga perusahaan sekaligus?” Ify masih terus berorasi. “ternyata sainganku bukan gadis-gadis centil kegatelan, tetapi justru kertas, laptop, dan bapak-bapak berdasi.”
Dan Rio hanya bisa menggaruk-garuk tengkuknya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Cerewet sekali gadis ini, sama sekali tidak berubah. Jika sudah seperti ini tak ada gunanya ia bicara, karena ia tak pandai untuk hal itu.
“aku pikir setelah kamu pulang dari Belanda aku akan punya banyak waktu sama kamu, ternyata sama saja.” Kalimat sepantang itu bisa diucapkan Ify dengan sekali tarikan nafas. “kamu bahkan belum menjenguk keponakan barumu.” Kali ini nada bicara Ify naik.
Rio menelan ludah. Seminggu yang lalu Shilla melahirkan buah cintanya dengan Cakka yang pertama. Dan ia baru sempat menelepon untuk memberi selamat, belum sempat berkunjung.
“minggu depan Alvin dan Agni menikah kita, atau lebih tepatnya kamu, belum melakukan persiapan apapun!” sepertinya makin lama omelan Ify akan makin tak terkendali dan membuat kepala Rio semakin pusing.
“maaf, aku benar-benar sibuk.” Sesal Rio memotong pembicaraan Ify. Masih ada masalah Acha yang minggu ini menghadapi ujian akhirnya di SMA belum disinggung Ify. Bisa jadi besok pagi Ify baru selesai mengutarakan unek-uneknya. “menikahlah denganku agar kamu bisa mengingatkan semua yang harus aku kerjakan, agar aku bisa mempunyai waktu denganmu setiap hari leluasa.”
Mata Ify terbelalak lebar, walaupun tak dapat dipungkiri jika jantungnya berdegub kencang mendengar pernyataan Rio, namun lamaran model apa yang baru saja dilakukannya?! Kedongkolan Ify semakin menjadi karena cara Rio menyodorkan sekotak cincin ke hadapannya. Tidak ada berlutut, tidak ada senyum manis, tak ada tatapan mengharap, semuanya biasa saja, hanya ada tampang datar yang setiap hari di dapatinya. Wajah yang benar-benar yakin tidak ada penolakan. Nada yang sama seperti saat dulu pria itu memintanya menjadi kekasih, yang hanya seolah-olah sedang meminjam pensil ala anak SMA. Tak ada tempat romantis, hanya ruangan milik Rio yang bahkan tak ada dekorasi mengejutkan.
“nggak mau!” pekik Ify.
“jawaban mutlak, kamu harus mau! Besok pagi kita menikah!” tegas Rio. Tak menerima pengajuan banding.
Tubuh Ify lunglai. Perkataan Rio mutlak. Bisa saja, bahkan dengan mudah pria ini menikahinya besok. Bukan Ify keberatan, namun tak bisakah sedikit saja ia meminta dengan cara yang manis. Tak perlu seperti Cakka yang sampai menyusun lilin menjadi lambang hati di tepi pantai untuk meminta Shilla menikah dengannya. Tak perlu seperti Alvin yang mati-matian meyakinkan Agni yang altophobia untuk ke roof top perusahaannya dan di bawah, sudah ada kalimat “MARRY ME?” dari jajaran rumah penduduk, entah dengan apa ia menyogok petugas PLN untuk mematikan beberapa jalur yang sudah diaturnya.
“aku dulu mimpi dilamar seseorang, dia bawa buquet lilin putih, main gitar sambil nyanyi, di tempat romantis.” Ucap Ify pasrah. Dan sekali lagi Rio hanya memamerkan cengiran kuda sambil menggaruk tengkuknya, sampai ia teringat sesuatu. Mungkin jika cerita komik saat ini ada bolam lampu menyala terang di atas kepalanya. Gitar Gabriel yang tertinggal saat kemarin ia berkunjung untuk sekedar curhat jika ia ingin menyatakan cintanya pada Sivia.
Tanpa aba-aba ia menarik tangan Ify keluar dan melalui alat pengeras ia memerintahkan seluruh kariawannya untuk berkumpul di depan ruangannya.
“Cuma ini yang bisa aku lakukan, Fy! Semoga kamu terima.” Ucap Rio sambil menggenggam tangan Ify, diiringi sorakan dari seluruh pegawai kantor Rio. Entah apa yang mereka pikirkan saat melihat boss mereka yang biasanya tampil tegas dan berwibawa kini menjadi sosok yang romantis melamar sang kekasih di hadapan mereka.
Dengan semangat Rio mulai memetik senar gitar yang dibawanya. Membuat banyak wanita yang ada di ruangan yang tiba-tiba menjadi penuh sesak itu menjerit tertahan meratapi betapa kerennya pemimpin mereka. Senandung merdu dari suara khas itu menerbangkan semua beban.
Mengejar dirimu takkan ada habisnya
Membuat diriku menggila
Bila hati ini menjatuhkan pilihan
Apapun akan ku lewati
Hari ini sayang sangat penting bagiku
Kau jawaban yang aku cari
Kisah hari ini kan ku bagi denganmu
Dengarlah sayang kali ini
Permintaanku padamu
Dan dengarlah sayangku
Aku mohon kau menikah denganku
Ya, hiduplah denganku
Berbagi kisah hidup berdua
Pipi Ify merah merona. Menunduk menyembunyikan wajahnya. Rio benar-benar tak pernah bisa ditebaknya. Dan hari ini pria itu benar-benar gila. Membuatnya malu setengah mati.
“terima! Terima! Terima!” paduan suara dadakan yang makin membuat Ify tak karuan.
“say yes, darling!” bisik Rio di sebelah telinga Ify.
Ify memukul dada Rio kuat-kuat membuat si empunya meringis kesakitan. Gadis itu masih tak habis pikir dengan kelakuan Rio. Air mata kebahagiaannya menetes tak terbendung kemudian berhambur memeluk Rio dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. “yes! I will marry you!” serunya membuat suasana semakin gaduh berbanding terbalik dengan hati Rio yang merasa sangat lega.
“kamu tahu siapa satu-satunya orang yang bersalah dalam kisah kita?” tanya Rio setengah berbisik karena keramaian belum juga berhenti. Cukup Ify yang mendengarnya. Gadis itu menggeleng. “William Shakespeare!” jawab Rio mantab, disusul tawa renyahnya.
Ify hanya tersenyum dari pelukan Rio. Ia tahu Rio tak suka pada kisah Romeo dan Juliet. Dan pria itu membuktikannya, ada kisah yang jauh lebih indah dan romantis menurutnya, kisah Mario dan Alyssa.





   

Song of Love part 16 b

Tuan besarr Umari melebarkan matanya saat mendapati siapa yang baru saja bertamu ke ruangan kerjanya. Sama sekali tak menyangka jika pemuda ini bernyali luar biasa untuk menemuinya, bahkan hingga ke tempat yang bisa saja membuatnya celaka dengan mudah.
“selamat siang, tuan.” Sapa Rio, pemuda tadi sambil sedikit merunduk, bibirnya tersenyum ramah, tak gentar dengan wajah getas dan siap meledak milik Pratama Umari. Apapun yang akan terjadi akan dihadapi seperti tekatnya. Tak akan menyia-nyiakan bantuan Cakka untuk dapat masuk dengan mudah ke perusahaan besar ini.
“mau apa kamu?!” nada keras langsung meluncur dari pria berwajah tegas penuh wibawa itu.
“maaf jika saya lancang, tapi ini bentuk kesungguhan saya, untuk putri anda.”
“keluar kamu! Saya tetap tak akan mengijinkan!”
“bisa saya berbicara sedikit saja, setelah itu, terserah anda akan melakukan apapun pada saya, bahkan kalau anda ingin membunuh saya, saya tidak akan melawan.”
Pratama terhenyak. Pemuda yang ada di hadapannya ini benar-benar berbeda dengan ayahnya yang sampai saat ini tak pernah bisa ia maafkan. Rio berjiwa besar, seorang gentleman. Ia teringat putrinya yang sampai saat ini masih dalam keadaan baik-baik saja dan ada di dekatnya, walaupun ia tahu pasti dengan mudah Rio bisa membawa lari Ify kapanpun karena Ify benar-benar mencintai Rio, namun hal itu tak pernah dilakukan.
“saya tahu pasti jika tuan Pratama Aji Umari adalah orang yang bijak dan baik, buktinya anda tak pernah membunuh saya dengan segala kekurangajaran saya, bahkan ayah saya anda biarkan hidup.” Ucap Rio tenang. Waktu yang ia lalui selama ini mengajarkannya jika api hanya akan padam oleh air.
Ada magnet dari perkataan Rio yang membuat Pratama menoleh. Senyum itu, tatapan mata sayu itu benar-benar mengingatkannya pada sesorang, merasakan jika Evina, perempuan yang pernah amat sangat ia cintai itu hidup dalam diri anak ini. Walaupun sedetik kemudian emosi itu kembali memuncak saat setiap lekukan tegas wajah Rio benar-benar mirip dengan mantan sahabat karibnya.
“saya tahu benar apa yang anda rasakan dulu, dan mengapa anda begitu membenci ayah saya pun dapat saya mengerti.” Rio memulai monolognya setelah melihat wajah keras Pratama melunak. “saya merasakannya.” Ucap Rio, suaranya sedikit bergetar, ada emosi yang mulai bergejolak.
“kalau akhirnya Krishna bisa bersatu dengan Safira, tidak dengan saya dan Evina!”
Terdengar suara gebrakan meja cukup keras mengimbangi suara bentakan Pratama, luapan emosi dari cinta yang tak bisa, dan tak akan pernah bisa menyatu.
“saya masih mencintainya.” Lanjutnya lirih.
“sama seperti saya mencintai putri anda.”
Rio tahu hanya cara ini yang mampu ia gunakan untuk bisa membuat cintanya dan Ify menyatu tanpa pertentangan. Luka yang sama, penanggungan yang sama dengan ayah gadis yang ia cintai.
“dan saya rasa, hingga saat terakhirnya pun, mama masih menyimpan rasa untuk anda.”
Rio mengangsurkan sebuah buku harian berwarna ungu muda ke hadapan lawan bicaranya. buku harian sang bunda yang ia dapatkan dari ayahnya tempo hari. Rahasia perasaan seorang wanita yang tak mampu berbuat apapun kecuali mengikuti apa yang sudah ditentukan, tak mampu lagi melawannya.
“saya rasa itu hak anda. Itu tulisan mama.”
Ruangan besar itu mendadak sunyi, hanya terdengar bunyi seretan kertas mulai usang yang dibaca Pratama. Rio hanya bisa memperhatikan setiap perubahan mimik tuan besar Umari dari seberang meja, tersenyum, kembali datar, marah, tegang, bahkan hingga ada air mata yang turun.
Rio sudah membaca semua isi diari itu. Dan memang sangat mengaduk-aduk perasaannya. Bahkan seakan ia membaca kisahnya sendiri pada buku itu. Bedanya, sekarang ia masih bisa memperjuangkan akhirnya, agar tak sama, agar ada bahagia.
“posisi putri anda sama dengan mama saya dulu.” Ucap Rio setelah Pratama meletakkan buku berukuran cukup kecil itu kembali ke meja.
Pratama terpekur. Ucapan Rio benar-benar menyentilnya. Mengapa ia menjadi seegois itu pada putri yang seharusnya ia bahagiakan? Simpatinya untuk Rio menderu bersama sebongkah penyesalan mengapa ia tak melakukan sama seperti apa yang Rio lakukan saat ini, memperjuangkan cintanya! Dan baru disadarinya jika hal ini bukan murni kesalahan Krishna, ia juga punya andil besar.
Tapi bukan hanya itu yang membuatnya dendam pada Krishna Haling. Pria itu juga telah merusak masa depan adik yang sangat ia cintai, menoreh luka dan aib untuk keluarganya. Dan pasti buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.
“tapi saya yakin kamu mewarisi kebrengsekan ayah kamu!” suara Pratama menggelegar keras, penuh dendam.
“sampai saat ini saya tahu Ify terlalu berharga untuk saya melakukan itu.” Rio kembali tersenyum. Mecoba meyakinkan perkataannya. “dan jika anda mngijinkan, saya akan terus menjaganya.”
“berikan saya bukti ucapanmu!” tantang Pratama. Masih terlalu sulit untuk meloloskan permintaan Rio begitu saja. “bisa apa kamu mau menjaga putri saya? Seberapa hebat kamu?!”
“saya lolos program beasiswa ke Belanda. Erasmus Universiteit Rotterdam.” Jawab Rio tenang. “saya bertekat untuk menyelesaikannya segera dan membangun perusahaan saya sendiri.”
Pratama kembali tercenung. Pemuda di depannya benar-benar mendapatkan apa yang tak pernah ia bisa lakukan. Ia tahu pasti citra sekolah bergengsi itu, universitas yang dahulu menjadi impiannya. Dan impian Rio benar-benar membuatnya terpukau. Kurang apa perusahaan Haling sehingga membuatnya masih ingin berproses sendiri, sebuah proses yang pasti memang sangat tidak mudah.
“saya akan kembali, untuk memberi semua yang putri anda inginkan.”
“saya tetap tidak akan merestui hubunganmu dengan putriku!” balas Pratama tegas. Wajah Rio kembali menegang, merasakan jika usahanya kali ini akan sia-sia saja. Jantungnya semakin berdebar saat lelaki paruh baya itu beranjak dari kursi kebesarannya. Bersiap dengan resiko apapun yang akan diterimanya. “kecuali setelah kamu membuktikan apa yang baru saja kamu katakan.”
Hati Rio seakan terlepas dari tempatnya karena sebuah kegembiraan yang tak terkira.
“pasti! Saya pamit.” Ucap Rio akhirnya. Dengan senyum lebar ia keluar dari ruangan. Bebannya seakan terangkat begitu saja. Walaupun ini bukan akhir.
***
Tempat ini seakan ingin menjadi saksi sekali lagi. Bagi kisah hidup keduanya. Menjadi tempat takdir yang kembali menemui jalannya. Danau itu, tepat di bawah rindangnya pohon akasia dan selimutan kabut tipis.
Senyum Ify sedari tadi tak lepas, begitu manis dan tulus. Tak bosan ia mendengar pemuda yang kini duduk di sampingnya menceritakan banyak hal tentang seorang gadis. Gadis yang luar biasa. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan gadis lain, kalau saja Ify tak mengingat jika sudut lingkaran itu tiga ratus enam puluh derajat dan itu berarti kembali lagi ke titik asal atau tidak ada bedanya, mungkin Ify akan mengatakan gadis itu berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Sungguh ia kagum pada gadis yang diceritakan Alvin, pemuda yang ada bersamanya, pertama karena kepribadian gadis itu, dan kedua gadis itu benar-benar menyelamatkannya. Secara tersirat Alvin telah mengatakan jika ia benar-benar jatuh hati pada gadis itu.
“gue... sayang sama dia, Fy.” Ungkap Alvin akhirnya.
Jantung Ify seakan benar-benar terlonjak dari tempatnya saking bahagianya. Satu lagi penghalangnya menghilang, tanpa perlu menyakiti siapapun. Ia dan Rio bahagia, begitu pula Alvin.
“maafin gue selama ini.” Sesalnya.
“makasih, makasih lo ngasih jalan sama gue buat gue tahu seberapa besar cinta Rio buat gue.” Pekik Ify tak menanggapi ucapan Alvin, dipeluknya pemuda bermata sipit itu erat-erat. Kebahagiannya kali ini benar-benar tak terlukiskan.
“gue akan bantu sebisa gue buat lo sama Rio bersatu.” Alvin membalas pelukan Ify, pelukan hangat seorang kakak. “seperti janji gue sama elo, gue akan terus jagain elo.”
Air mata haru mengalir di pipi Ify. Mengingat dan membayangkan jika segalanya akan lebih baik lagi mulai saat ini.
“lo adik gue yang paling cantik!” Alvin sambil menyeka air mata Ify. “selain paling cengeng! Seneng nangis, susah kekejer.”
“lo pikir gue kuntilanak yang setiap waktu bisa ketawa!” balas Ify tak terima. “lo kakak gue yang paling baik juga!”
Alvin tersenyum. Perlahan ia lepaskan cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin berukiran nama Ify yang kemudian ia letakkan di genggaman tangan gadis itu.
“titip ke Rio, dia lebih berhak.” Pesannya. Ify melakukan hal yang sama dengan cincin berukiran nama Alvin di jarinya.
“titip ke Agni, ucapan terima kasih gue.”
Sekali lagi keduanya saling merengkuh dalam pelukan. Mengokohkan sebuah ikatan jika memang tak ada cinta di antara keduanya. Namun tak ada alasan untuk tidak saling menjaga satu sama lain. Meratapi betapa manisnya jalan Tuhan untuk keduanya.
“Rio nunggu lo di taman.” Ucap Alvin setelah melepas pelukannya. Mata Ify terbelalak lebar, sepertinya hari ini sudah diseting dengan baik oleh seseorang, entah Alvin atau Rio, atau bahkan mungkin keduanya. “gue anter ke sana.”
***
Ify diam di tempat, di atas jalan setapak yang tak terlalu jauh dari bangku taman tempat pertama kali Rio memeluknya, tempat pertama ia merasakan jika Rio juga memiliki rasa yang sama dengannya. Dan di tempat itu juga saat ini ia melihat Rio dengan bercakap hangat dengan seorang gadis yang Ify akui cukup manis. Dadanya memanas, begitu juga kelopak matanya yang siap memproduksi cairan bening, tak menyangka hal ini yang akan didapatinya. Ia membalik tubuhnya. Ingin pergi segera dari tempat itu, namun Alvin menahannya, dirangkulnya bahu mungil Ify dan dibimbingnya mendekat pada Rio dan gadis asing bagi Ify tadi berada.
“jangan suka cemburuan!” bisik Alvin mengerti apa yang dirasakan Ify. Ify tak menyahut, baru saja ia sadar kalau belum tahu pasti siapa gadis itu dan tak mempunyai alasan untuk mencemburui Rio. Dan akhirnya ia pasrah mengikuti Alvin.
“bro!” sapa Alvin setelah berdiri di belakang Rio, dan membuat pemuda hitam manis itu menoleh ke arahnya. Rio mengangkat alisnya melihat tangan kanan Alvin bergelayut di bahu Ify, tanpa disadarinya tatapan Rio berubah getas.
Alvin menyadarinya. Ide jail begitu saja terlintas di kepalanya. Hal yang masih saja menyenangkan mendapati ekspresi cemburu Rio. Tangannya ia turunkan dan ia lingkarkan di pinggang Ify erat dan ia rapatkan padanya, membuat tubuh mungil Ify menegang karena kejadian itu benar-benar tiba-tiba. Mata sipit Alvin melirik pada tangan kanan Rio yang sudah mengepal keras. Sepertinya ia akan mendapat bogem mentah jika permainannya ia lanjutkan. Alvin melepas rengkuhannya.
“santai! Gue udah punya yang lain!” Alvin menepuk pundak Rio ringan kemudian menggandeng gadis yang sejak tadi menjadi teman bicara Rio. “lo nggak diapa-apain sama dia kan, Ag?” tanya Alvin pada gadis itu. Gadis itu menggeleng sambil tersenyum geli. Jail sekali kekasihnya ini.
Mata Ify terbelalak, membulat penuh setelah mengetahui siapa gadis yang bersama Rio. Dari cara Alvin memanggilnya, ia tahu gadis ini Agni. Gadis yang mencuri perhatian Alvin.
“gue tinggal deh.” Pamit Alvin sambil merangkul Agni. Tanpa menunggu jawaban, ia pergi menjauh meninggalkan Ify dan Rio.
“duduk!” perintah Rio.
Ify menurutinya. Dan setelah Ify memposisikan diri di sampingnya, Rio mengangsurkan amplop cokelat besar yang sejak tadi ia letakkan di sampingnya. Buru-buru Ify mengambil isinya, dengan rasa penasaran dan degub jantungnya yang tak karuan, perasaannya mengatakan jika ada sesuatu yang benar-benar penting di dalamnya. Rio hanya diam, matanya memandang lurus ke arah air mancur di tengah taman. Menunggu reaksi Ify berikutnya.
“Be.. Belanda? Kamu?” mendadak Ify tergagap setelah memahami betul apa isi kertas berwarna putih bersih yang tersimpan dalam amplop.
“iya, aku dapet beasiswa ke sana.”
Kepala Ify menggeleng, air matanya meleleh tanpa bisa terbendung. Baru saja ia merasakan kebahagiaan karena merasa jalannya dengan Rio mulai terbuka, kini ia harus berpisah dengan pujaannya itu, tentu bukan untuk waktu yang sebentar.
Rio tak bergeming. Ia sudah bersiap untuk hal ini, ia tahu pasti berat bagi Ify untuk melepasnya. Dan karena itu ia tak memandang Ify, karena ia pasti tak tega dengan ekspresi Ify yang akan menahannya. Tapi ini memang harus dilakukan, untuk mereka, ia dan juga Ify.
“minggu ini aku berangkat.”
“kenapa nggak di Indonesia?” dengan suara bergetar Ify melayangkan pertanyaannya.
“ini untuk membuktikan ke papa aku, papa kamu juga.” Rio menghela nafas berat. “papa kamu baru menyetujui hubungan kita setelah aku bisa berdiri di atas kaki aku sendiri, bukan karena nama Haling.”
“aku nggak mau jauh dari kamu!”
“ini nggak berat, lima tahun, aku cuma minta waktu lima tahun.”
Ify terdiam. Mencoba menggunakan logikanya untuk mengambil keputusan. Ia egois jika menahan Rio, karena ia juga tahu sebenarnya Rio juga tak ingin jauh darinya. Ia tahu lima tahun bukan waktu yang sebentar, namun tidak cukup lama untuk bayaran yang ia dapatkan. Ia dapat bersatu dengan Rio nantinya.
“tapi bule kan cantik-cantik?” rajuk ify.
“kamu nggak kenal aku?” tantang Rio. “kalau cuma cantik, yang lebih cantik dari kamu di Indonesia juga banyak, nyatanya aku pilih kamu.”
Pukulan ringan dari tangan mungil Ify mendarat mulus di bahu Rio, membuat pemuda itu terkikik geli. Ia tahu ini bukan perpisahan, hanya jalan yang harus di tempuh sebelum kembali bergandengan menuju ujung cerita. Tak perlu kisah dramatis di sini.
“boleh?” pinta Rio dengan senyum manja di bibirnya, mirip seperti bocah yang mencoba memasang wajah menggemaskan agar ibunya mau membelikan mainan untuknya.
“tapi...” Ify menggigit bibir bawahnya. Jujur, ini keputusan berat.
“kalaupun ada perempuan lain yang bisa mencuri hati aku, dia yang nanti manggil kamu mama.” Tangan kokoh Rio terulur membelai puncak kepala Ify, ia tahu Ify sedang ragu. “oke?”
“emang masih bisa ada penolakan dari permintaan kamu? Bukannya semuanya mutlak?” Ify memalingkan wajahnya, menyembunyikan jika ia sedang tersipu karena kalimat yang meluncur dari bibir Rio.
Rio tersenyum lega. Ify semangatnya, dan untuk Ify juga ia melakukan semuanya.
“ada handphone, ada skype, ada facebook, ada twitter yang bisa kamu gunain buat hubungin aku setiap hari.” Ujarnya
Namun Ify menggeleng. “aku mau pake surat!”
“ribet!” tolak Rio getas.
“romantis!” Ify tak mau kalah.
“kuno!”
“tapi lebih bisa dikenang!”
“iya.” Akhirnya Rio mengalah, kembali diacak-acaknya rambut panjang Ify.
***
Hari keberangkatan Rio. Semua berkumpul di bandara, Krishna Haling, Safira, Acha, Cakka, Shilla, Gabriel, Alvin, dan Ify. Asik bersenda gurau sampai panggilan itu terdengar, pesawat yang akan mengantarkan Rio ke tujuan akan segera berangkat.
“kamu belajar sungguh-sungguh, jangan lupa makan teratur, tidur yang cukup, minum vitamin! Jangan mencari gadis lain, ingat ada yang setia menunggumu!” celoteh Safira tanpa jeda. Kicauan merdu seorang ibu yang menyebalkan bagi banyak anak di dunia, namun tidak bagi Rio, ceramah seperti inilah yang selalu ia rindukan dan inginkan. Ia memeluk hangat ibu tirinya itu.
“iya, bunda cantik!” jawab Rio pasih dalam pelukan Safira.
Rio hanya berjabat tangan dengan sang ayah, ia tahu segala yang dibawanya pulang adalah hal yang lebih berarti bagi ayahnya. Kemudian ia berpamitan pada Acha, dipeluk dan diciuminya kedua pipi gembul adik kesayangannya itu.
“jagain bunda, Acha, sama papa, bro!” pesannya pada Cakka seraya meninju pelan bahu kakaknya.
“enak banget elo cuma sekolah gue lo suruh jadi bodyguard!” seloroh Cakka yang membuat keduanya tertawa lepas.
Rio mendekatkan mulutnya ke telinga Cakka. “mungkin setelah gue pulang, gue punya keponakan ya?” bisik Rio yang sedari tadi tak melihat Cakka melepaskan genggaman tangganya pada tangan Shilla. Pemuda tampan itu hanya kembali tertawa, tawa penuh arti. Rio berlalu, menyalami Shilla.
“langgeng sama Agni, gue titip Ify, lo juga janji akan jaga dia kan?” pesan Rio pada Alvin. Dan Alvin hanya mengangguk menyanggupi.
“jangan jomblo lama-lama, sob!” pesannya pada sahabat terbaiknya, Gabriel, dan hanya dibalas cengiran kuda. “Sivia lumayan.” Lagi-lagi Rio hanya berbisik agar hanya Gabriel yang bisa mendengarnya.
Rio menghela nafas. Tinggal gadis ini, gadis yang sedari tadi hanya menunduk diam memainkan ujung sepatu kedsnya.
“aku pamit, Fy! Bolehkan?” ada nada gurau di sana. Tangan Rio menyibak pelan poni Ify agar ia dapat melihat wajah cantik gadisnya. Ify mendongak sambil tersenyum manis, tak ada gurat kesedihan di sana yang langsung membuat dada Rio merasa sangat lega.
“emang masih bisa aku curi sayap pesawatnya biar kamu nggak terbang?” canda Ify manja. “selesaikan secepatnya, jangan buat aku nunggu lama.” Pesannya.
Rio mengangguk mantab.
“gue mau kalau lo nggak sanggup nunggu, Fy!” sela Gabriel semangat.
“buaya!” seru Ify yang membuat semuanya tertawa.
Senyum terbaik Rio berikan sebelum ia berlalu, menghilang di balik kerumunan orang-orang. Ify belum juga beranjak. Tak peduli orang-orang berlalu lalang di sekitarnya. Ajakan yang lain untuk pulangpun belum ia hiraukan sama sekali. Tatapannya menerawang ke luar jendela, melihat pesawat yang mulai mengudara. Jika bisa ingin disongsongnya agar burung besi itu tidak membawa kekasih hatinya terbang. Membawa mimpi yang dibiarkan melambung, meninggalkan harapan yang tak sabar ingin berbuah. Menyimpan cinta untuk satu-satunya. Menunggu bahagia datang menyapa dan tinggal untuk selamanya.


the end..

Song of Love part 16 a


Gabriel melayangkan pandangannya tepat ke arah pintu masuk taman. Menunggu gadis yang selalu saja berhasil membuatnya tak karuan. Dan acara menunggu hari ini rasanya jauh lebih menyebalkan dari biasanya. Jarum jam panjang di arloji yang melingkar di tangan kirinya seakan tak beranjak. Padahal baru sekitar sepuluh menit ia menunggu, itu pun ia sampai lima belas menit lebih awal dari waktu yang ia janjikan pada Shilla.
Tatapan tak terbacanya kini beralih pada mata Taddy Bear berukuran cukup besar, berwarna cokelat muda yang ia dudukan di sebelahnya. Mencari kemantaban hati yang sudah dibangunnya. Ia laki-laki, seorang pengambil keputusan. Kodrat.
“sorry, Yel.” Ucap suara yang sudah sangat tidak asing di telinga Gabriel, nafasnya tersengal pertanda cukup berat usaha yang ia lakukan untuk mencapai tempatnya sekarang.
“buat kamu.” Tanggap Gabriel tak acuh pada permintaan maaf Shilla. Ia mengulurkan boneka yang sudah setia menemaninya menunggu. Senyum manis terpeta di bibirnya, menyamarkan segala dilemanya.
Mata Shilla berbinar menerima pemberian Gabriel. Boneka menggemaskan itu ia peluk erat-erat. Senyum lebar terpoles di bibirnya. “jadi, mau kemana kita?” tanyanya antusias, persis seperti bocah.
“kemana kamu mau.” Jawab Gabriel. Dan selalu, kebahagiaan gadis ini mutlak menjadi bahagianya juga. Ia menyodorkan tangan kokohnya ke hadapan gadisnya, menanti sambutnya.
“pantai!” seru Shilla semangat. Tanpa ragu ia meraih tangan Gabriel dan menariknya. Berjalan menyusuri jalan setapak taman penuh canda. Taman tempat mereka pertama berjumpa, tempat yang dipilih Gabriel untuk mengawali rencana besarnya hari ini.
***
Entah berapa lama waktu yang mereka berkejaran satu sama lain, kalah dengan gulungan ombak. Dan semua gelak tawa yang sudah tercipta. Gundukan pasir tak beraturan yang mereka sebut istana pun sudah luruh, rata kembali oleh gelombang yang mulai pasang.
Gabriel merebahkan tubuhnya di atas butiran pasir putih bersih asal-asalan. Di atasnya langit sudah merona kemerahan. Salah satu hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya, setelah hari-hari lain, hari dimana ia berada bersama gadis yang kini duduk tepat di sebelahnya, memandangi ufuk barat dimana rajanya hari akan sekejap beristirahat untuk kembali bertugas esok hari.
“kamu mau ngomong apa, Gab?” tanya Shilla tanpa mengalihkan pandangannya dari lukisan indah Tuhan di hadapannya.
Gabriel menghela nafas, ia tahu, semakin lama ia menunda semuanya, semakin lama juga semua tersakiti. Ia, Shilla, dan juga Cakka.
“aku selalu belajar buat mencintai kamu.” Gabriel menegakkan tubuhnya, merapat pada Shilla. Ditatapnya gadis cantik itu dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan oleh Shilla sendiri, orang yang merasa sangat mengenal Gabriel. Tangan kokohnya ia letakkan di atas puncak kepala Shilla dan di belainya penuh sayang, tak merasa terusik dengan kuatnya angin yang terus berusaha menerbangkan helaian rambut indah pujaannya. “dan aku baru mengerti kalau memang benar belajar itu nggak akan pernah selesai. Selalu ada yang baru.”
Gabriel merangkul Shilla erat-erat, namun tatapannya kini beralih pada hamparan lautan lepas.
“kamu... yang baru?” tanya Shilla takut-takut. Ia bahkan tak mampu lagi mengucap apa yang ada di otaknya. Ia mengenal siapa Gabriel. Lelaki yang biasanya tak cukup satu wanita. Banyak kemungkinan hal itu juga akan terjadi padanya.
Dari ekor matanya Gabriel mengintip ekspresi Shilla. Gadis itu menggigit kecil bibirnya. wajahnya memetakan kekawatiran dan ketakutan yang jelas.
“bukan.” Jawab Gabriel lirih. Tak tahan juga harus menyiksa Shilla lebih lama. “bukan aku, kamu. Kamu bahagia sama Cakka?” lanjutnya tanpa basa-basi.
Shilla tersentak. Tak menyangka Gabriel akan menanyakan hal ini. Ya, ia bahagia bersama Cakka. Pikiran yang begitu saja terlintas dalam benaknya, sebelum pemikiran berikutnya jika ia tak mau kehilangan Gabriel. Dan jika bibir tak mampu lagi mengatakan apa yang ada di hati, mata yang akan membongkar semuanya. Air mata Shilla meleleh.
“aku nggak tau, Gab..” lirihnya dengan suara parau.
“air mata kamu cukup jelasin semuanya. Ya, kamu bahagia sama dia. Mungkin lebih dari apa yang selalu kamu rasa setiap sama aku.” potong Gabriel, begitu tenang. Ketenangan yang justru membawa Shilla jatuh lebih dalam lagi. Ia tahu pasti jika pria di sebelahnya sedang menahan luka. Ia tahu seberapa takutnya Gabriel akan karma yang bisa ia terima atas perbuatannya dahulu.
“aku nggak mau nyakitin kamu.”
“kasihan?” Gabriel melepaskan rangkulannya pada Shilla dan memeluk lututnya erat. “gue tahu, karma itu ada, pada waktunya akan menuntut tempatnya.”
Hening. Keduanya tak mampu berkata lagi. Hanya suara deburan ombak yang menandakan jika waktu memang masih bergerak. Langit sudah gelap, berhiaskan butiran bintang yang mulai bermunculan.
“tapi ini bukan soal karma. Ini cuma tentang cinta gue, cinta yang sederhana, yang akan bahagia kalau pemiliknya bahagia.” Gabriel mulai berkata-kata lagi. Masih sama begitu tenang, tak ada gejolak emosi di setiap kata yang ia luncurkan.
Shilla tahu dengan siapa ia berbicara saat ini. Gabriel Stevent, yang tak pernah kehilangan kedewasaan dan karismanya, di saat seterpuruk apapun.
“gue yang nggak mau sakit lebih dalam kalau akhirnya elo main di belakang gue. Gue juga cuma berusaha mengerti elo.” Lanjutnya. “dan gue tahu pasti kalau elo nggak akan bisa milih antara gue dan dia.”
“maaf..” dengan tenaga yang susah payah ia kumpulkan, akhirnya Shilla berhasil berkata lagi. Tak ada penyesalan, hanya rasa bersalah dan kelegaan luar biasa dirasakannya. Di sisi lain ia menyadari jika bahkan Gabriel mengenalnya lebih dari dirinya sendiri.
“terima kasih.” Balas Gabriel begitu tulus. Tak ada kemarahan di sana. “buat semuanya. Lo salah satu sahabat terbaik yang pernah ada di hidup gue. Dan untuk ini gue nggak mau kehilangan elo.”
Dan semuanya berakhir. Di sini. Tanpa ada yang ternoda.
Gabriel mengecup lembut puncak kepala Shilla, keningnya, kedua kelopak mata gadis itu untuk menghapus jejak air mata yang sebenarnya tak pernah ingin ia cipta. Biarlah semua yang tersisa mendapat pelampiasannya, sebelum waktu mengubur semuanya.
***
Alvin diam, terpaku tanpa bisa menggerakkan bagian tubuhnya, bahkan bola matanya yang hanya bisa terpaku pada satu titik. Pada seorang gadis manis yang kini sedang berlenggak-lenggok di atas catwalk. Senyumnya manis sekali, setiap orang yang menatapnya seakan tak ragu membalas. Liukan tubuhnya sungguh mempesona. Gadis hitam manis itu berpose di ujung panggung panjang, memamerkan kaki jenjangnya, lekukan tubuhnya yang indah dan lirikan manja namun begitu angkuh, tak tersentuh. Susah payah Alvin menelan ludah yang sudah membeku di pangkal tenggorokannya. Dadanya naik turun tak teratur seirama dengan deru nafasnya yang juga memburu. Pikirannya meliar, sungguh gadis yang kini menjadi poros dunianya benar-benar.... seksi.
Entah sudah berapa abad ia lewatkan hingga perubahan gadis itu benar-benar terjadi seratus delapan puluh derajat. Sama sekali tak menyangka akan mendapati ujung pencariannya di tempat seperti ini.
Pelan, namun tanpa ragu ia melangkahkan kaki panjangnya masuk ke backstage. Dengan mudahnya, di sini kedudukan sosial dapat berbicara dengan lancar tanpa tedeng aling-aling. Cukup dengan menunjukan kartu namanya.
“selamat malam, nona Agni.” Sapa Alvin, tepat setelah ia berdiri di belakang gadis yang tengah sibuk menyimpul tali sepatu kedsnya, pengganti highheels yang tadi dikenakannya. Saat ini gadis yang ternyata Agni itu hanya berpakaian seadanya, blues biru muda berbentuk kemben yang disangga sepasang tali spagetti dan celana skinny jeans.
Suara sangat tidak asing yang spotan membuat gadis manis itu menoleh, membuat rambut hitam panjangnya yang dibiarkan tergerai melambai indah. Ia terdiam, bibir bawahnya seakan sulit terkatub melihat siapa yang kini ada di hadapannya. Pria tinggi dengan kulit putih bersih dan mata sipit yang tak akan pernah bisa ia lupakan.
“mau ngapain lo?” pertanyaan bernada cenderung ketus itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Agni diam lagi, memaki dirinya sendiri, sungguh bukan itu yang ingin ia katakan.
Alvin tersenyum kecut. Selain penampilan, ternyata tak ada yang berubah dari gadis ini. Kekhawatirannya jika ia akan menemui “sosok lain” memudar begitu saja setelah mendengar sambutan yang sama sekali tidak hangat dari gadis ini. Ia menarik sebuah kursi yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri dan mensejajarkannya di samping Agni sebelum ia duduki.
“elo masih sama ya? Jutek nggak ketulungan.” Keluh Alvin sambil menyandarkan punggungnya.
“kenapa lo bisa tahu gue di sini?” terlihat bibir Agni menipis, tak bisa disembunyikan raut heran dan gugup di wajahnya.
“lo lupa kalau gue berkuasa?” balas Alvin.
“masih sama, angkuh, sombong.” Cerca Agni.
“masih sama, orang yang kagum sama elo.”
Tubuh Agni menegang. Tak dapat membaca apa maksud pasti dari ucapan Alvin barusan.
“can I take your time?” tanya Alvin melihat gelagat Agni. Sadar, tak mungkin membicarakan masalahnya di tempat umum seperti ini. Setelah melihat anggukan dari kepala Agni, Alvin bangkit dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan gadis mungil itu.
***
Mobil sport yang hanya berkapasitas dua orang itu terasa begitu sunyi, jarak yang sebenarnya tak sampai satu meter di antara keduanya terasa sangat jauh. Agni melirik Alvin yang sedang fokus ke jalanan, pemuda itu sama sekali tak perubah, kecuali baru pertama kali ini ia melihatnya berpenampilan rapi dan casual, celana jeans hitam, kemeja biru tua dan jas hitam, dengan sneakers putih yang membuat kesan sporty Alvin tidak sepenuhnya hilang. Mata almond Agni membulat setelah menyadari jikan sepasang sepatu yang kini dikenakan Alvin adalah sepatu yang dulu pernah tertinggal di rumah singgah dan sempat ia titipkan pada Osa kalau-kalau si empunya mencari, bersama sepucuk surat.
Surat. Tubuh Agni kembali menegang. Jika sepatu itu sudah kembali kepada pemiliknya, kemungkinan besar Alvin juga sudah membaca surat itu. dan itu berarti juga pemudaa itu sudah tau tentang semua isi hatinya.
“gue kira, malam ini gue bakalan jalan sama preman, taunya tuan putri.” Gumam Alvin yang membuat Agni tersentak dari lamunannya.
“hah?” pekiknya refleks. Jelas terbaca jika ia salah tingkah. Dan tak ada alasan yang membuatnya bisa tenang saat ini.
Alvin tersenyum penuh arti, ditatapnya gadis manis itu sekejap. Sedikit tidak menyukai blush on yang masih menempel di pipi Agni karena itu lah yang membuat rona merah alami yang seharusnya muncul tersamarkan.
Mobil mewah itu berhenti di parkiran sebuah hotel berbintang yang begitu terkenal. Agni beringsut sedikit mundur. Pikiran jelek begitu saja muncul saat tahu kemana Alvin mengajaknya.
“turun!” perintah Alvin tak menyadari perubahan mimik wajah Agni yang berubah menjadi sedikit ketakutan. “nggak budeg kan? turun!” perintahnya sekali lagi. Kali ini lebih tegas dari sebelumnya.
“lo mau ngapain ngajak gue ke hotel?” selidik Agni. Tak peduli lagi dengan gengsi, keselamatannya paling utama sekarang.
Kontan tawa Alvin meledak. Gadis ini benar-benar tak terjamah arus kota metropolitan yang kini ditinggalinya. Benar-benar hanya penampilan luar gadis ini yang berubah, kepribadiannya sama sekali tidak. Masih tetap Agni yang Alvin suka.
“emang gu ada tampang koboy kucai yang doyan ngajak cewek check in?” tanya Alvin di sela gelak tawanya dan setelah menyadari bibir Agni sudah cemberut, maju beberapa mili. “kalaupun iya, lo beruntung, jadi yang pertama.” Ekspresi Alvin berubah serius, dibuat-buat tentu saja, padahal setengah mati ia menahan tawanya agar tidak kembali pecah. Seru juga mengerjai gadis ini. Ekspresi jengkel, marah, dan ketakutan gadis ini benar-benar menggemaskan.
Agni semakin beringsut mundur. “Alvin...” suaranya sedikit bergetar.
Alvin menghela nafas kuat-kuat. Tak tega juga akhirnya. “enggak, gue bercanda, percaya aja sama gue.” Dapat dilihatnya Agni menghela nafas lega sebelum ia menutup pintu mobilnya dan kemudian berputar ke arah pintu mobil di sebelah Agni. Membukakan pintu untuk gadis itu.
“lo pikir gue manja banget ya sampai pintu aja harus dibukain?” gerutu Agni sambil beranjak dari tempat duduknya.
Alvin tak menanggapinya. Tangan kokohnya meraih tangan Agni dan menenggelamkannya di dalam genggamannya. Menyentuh permukaan kulih lembut gadis itu ternyata berefek jauh lebih ekstrem dari dugaannya. Perasaan intim yang justru membuat jantungnya bekerja ekstra memompa darahnya hingga mendesir sampai ke ubun-ubun. Sensasi yang tak pernah ia dapat dengan wanita manapun, sekalipun itu Ify. Sensasi yang juga dirasakan Agni.
***
Agni kembali membeku setelah lift yang membawanya, berdua dengan Alvin terbuka. Langit lepas terhampar di hadapannya sebagai background lukisan gedung-gedung yang tinggi, membuatnya sadar kini sedang berada di rooftop hotel yang ia ketahui berlantai dua puluhan. Dan satu hal yang menjadi masalahnya, ia takut ketinggian.
“ayo, Ag!” ajak Alvin yang sudah melangkah keluar, dengan tangan yang masih setia menggenggam tangan mungil Agni.
Agni menggeleng. Mendadak wajahnya pias, pucat pasi.
“kenapa?” tanya Alvin. Namun sedetik kemudian terpikir sebuah masalah di benaknya. “lo altophobia?” simpulnya cekat. Agni mengangguk lemah. Refleks Alvin menarik Agni dalam dekapannya, menenggelamkan wajah ayu itu di dada bidangnya, mengusahakan agar gadis mungil itu tenang dan tidak melihat keadaan di sekitarnya.
Baru kali ini juga Alvin merasa begitu khawatir dan merasa bersalah karena melihat ekspresi seorang gadis. Ia merutuki dirinya sendiri yang tak pernah tahu apa yang ditakuti gadis itu. Melihat kondisi Agni, tak mungkin lagi dipaksakan untuk tetap keluar. Alvin memutuskan kembali turun.
***
Mata sipit Alvin memindai wajah ayu Agni, perlahan, tak ingin melewatkan semilipun. Gadis itu sudah jauh lebih tenang setelah menyesap cokelat panas yang masih ia pegang mugnya sampai sekarang. Ia memilih restoran di lantai dasar hotel untuk sekedar bersinggah dengan rencananya yang batal begitu saja.
“sorry, gue nggak tau elo takut ketinggian. Kalo tau gue nggak akan bawa lo ke sana.” Sesal Alvin.
Mata Agni menyipit. Tersurat jelas raut penyesalan yang tulus dari tatapan Alvin padanya. Ia tersenyum manis, senyum yang begitu menenangkan. “pelukan elo tadi cukup membayar semuanya, nyaman.” Agni terkekeh kecil sambil menunduk tersipu.
“lo cantik, banget.” Puji Alvin. Jujur dan setulus senyuman manis Agni. “di luar, lo bukan Agni yang gue kenal.”
“gue juga masih suka kaget kalau lihat bayangan gue sendiri di cermin.” Gadis itu menyesap cokelat hangatnya sekali lagi. Ia baru tahu jika ada yang lebih dapat menenangkan dibanding zat yang terkandung dalam cokelat seperti kata orang, pelukan Alvin. Atau mungkin keduanya mengandung zat phenethylamine yang selalu membuatnya dimabuk cinta. “tapi ini buat bantuin abang gue, kasihan juga kalau dia harus ngehidupin gue sendiri. Terpaksa.”
Jawaban Agni meyakinkan hati Alvin, jika gadis ini yang ia butuhkan sesungguhnya. Gadis hebat dan begitu mandiri.
Dengan tenang tangan kokohnya mengaduk moccacinno pesanannya. “rasa itu, rasa buat gue yang dulu lo bilang lewat surat masih ada?” tanyanya.
Agni tertegun. Ia masih memilikinya, selalu. Rasa itu rasa yang kini membaur bersama rindu yang menggebu untuk sosok sempurna di hadapannya. “selalu.” Lirihnya
Hening. Hanya senandung merdu penyanyi cafe membawakan When You Tell Me That You Love Me milik Diana Rose yang terdengar. Membuat acara yang sebetulnya tak sengaja dibangun ini justru begitu sempurna. Romantis. Ditambah cahaya temaram lampu yang bahkan tak lebih terang dari nyala lilih di meja-meja.
“gue kan udah bilang lo jangan nyari gue! Bebel ya!” omel Agni setelah lagu selesai.
“lo pikir satu gunung bakal jalan ke arah kita kalau kita cuma diam di tempat?” kalimat retoris. Sudah dapat dipastikan apa jawabannya.
Hanya gelengan kepala yang diberikan Agni. Membenarkan penuh pernyataan Alvin. Tak akan lari gunung dikejar. Iya, gunung memang tak akan lari namun juga tak akan mendekat, dan untuk itulah kita harus mengejar.
“kita ibaratkan gunung itu takdir. Dan lo takdir gue.” Kalimat terakhir Alvin menjelaskan segalanya, semua maksudnya.
Agni tersentak tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “tapi gu.. gue nggak.. pantes! If.. Ify?” susah payah ia coba mengeluarkan unek-uneknya dalam bahasa verbal.
“cinta itu bukan pantas atau enggak, ini cuma soal gue butuh elo, dan sebaliknya.” Masih begitu tenang, seakan apa yang sedang dibicarakannya memang bukan masalah serius. “elo, bukan Ify.” Lanjutnya tandas. Sirat makna jika Alvin hanya ingin ada ia dan Agni, tanpa siapapun dan apapun lagi.
“tapi apa lo nggak ada pilihan..”
“cinta bukan pilihan, ini mutlak dan harus.” Potong Alvin lagi. Argumen Agni benar-benar tak penting untuk dipermasalahkan untuknya.
Anak-anak rambut di kening Agni beterbangan karena hembusan nafas pemiliknya. Klise. Satu kata yang begitu saja terlintas di benak Agni tentang kisah yang sedang dialaminya. Kisah cinta si kaya dan si miskin. Terdengar sangat dramatis. Gadis ini membayangkan akankah langkah selanjutnya ia harus bertemu dengan keluarga Alvin, dihina habis-habisan karena ia bukan dari keluarga terpandang, yatim-piatu pula. Dan setelah itu diusir tanpa rasa hormat seperti sinetron-sinetron yang selalu membuatnya mendadak mual saat melihatnya. Tidak!
“sepertinya gue juga mutlak harus bilang enggak, Vin.” Lirih Agni. Ia gadis yang cukup realistis walaupun hal ini bertentangan dengan kata hatinya. Dari balik bulu matanya dapat ia lihat wajah Alvin mulai menegang. Ditariknya kursi yang ia gunakan untuk duduk hingga ke sebelahnya.
“Ag, jangan sia-siakan semuanya.” Lirih Alvin, lebih terdengar seperti sebuah permohonan. “buat gue cukup soal kita.”
“egois!” desis Agni. “elo nggak mikir orang tua elo? Elo nggak mikirin kata orang nanti? Lo pikir elo bisa hidup tanpa mereka?”
“tapi gue butuh elo.”
“lo nggak lahir bareng-bareng gue, sebelum ketemu gue, elo bisa hidup, apa susahnya kalau hidup lagi tanpa gue?” setengah mati Agni menahan agar ketegarannya tidak runtuh. Ia sadar, mencintai selalu berarti membahagiakan, dan ia sadar bukan dia kebahagiaan Alvin.
“gue bisa hidup tanpa elo, tapi gue nggak mau.” Tandas Alvin. Tegas. Tak ingin dibantah. “gue tau elo ngerasain hal yang sama, jadi tolong, temenin gue menapaki kehidupan gue selanjutnya.”
Luluh juga Agni akhirnya. Ia mengangguk, meskipun cukup berat. Setidaknya ada Alvin yang akan menjaganya, yang kan merasakan bahagia dan sakit yang sama dengannya.
“nazar waktu itu gue perbarui deh, gue jadi pengikut elo bukan cuma sebulan, tapi seumur hidup gue.” Seru Alvin penuh kelegaan.
“bodoh! Seharusnya gue yang ngikutin elo, elo itu laki-laki, curut!”
Alvin nyengir kuda. Tapi satu janji terucap sebuah janji, pada dirinya sendiri, jika ia akan menjaga gadis di hadapannya kini. Apapun yang akan terjadi nanti.
***
Rio menepati janjinya. Dengan tangan yang menggenggam sebuah amplop besar berwarna cokelat yang bahkan belum sempat dibukanya, ia melangkah kembali memasuki istana keluarganya. Dan seperti biasanya, tak ada yang berubah, rumah besar, sangat besar itu tetap sunyi. Ia menghempaskan tubuh jangkungnya ke atas sofa di ruang tamu. Matanya melirik jam dinding besar yang menggelantung di tembok. Pukul satu siang, lebih seperempat jam. Seharusnya jam-jam seperti ini, di akhir pekan, keluarganya berkumpul.
Tak mau ambil pusing, Rio melepas asal kacamatanya dan menggeletakkannya begitu saja di sampingnya. Meletakkan kepalanya pada sandaran kursi, dan menutup kedua matanya dengan lengan kokohnya. Lelah sekali rasanya. Tak tahan lagi menahan kantuknya hingga tertidur.
Tuan Krishna Haling, Safira Umari, dan Cakka yang belum menyadari keberadaan Rio masih sibuk bergantian mengacak-acak kepala Acha penuh kebanggaan, tak menyadari juga jika saat ini Acha sudah terpaku di tempat, piala besar yang baru saja didapatnya dari ajang lomba menyanyi antar sekolah nyaris saja terjatuh saat mendapati ada seseorang yang sangat dirindukannya tertidur pulas.
“kak..!” pekik Acha tertahan.
“jangan dibangunin kak Rionya.” Larang Cakka lembut. Digendongnya adik tiri yang sangat disayanginya itu dan ia bawa ke lantai atas. Sebisanya ia memberi pengertian pada Acha jika ada waktu yang tepat untuknya dan Rio, saat ini biarkanlah Rio bersama papa dan mama.
Safira mendekati Rio perlahan, tak ingin membangunkan pemuda manis itu. Duduk di sebelahnya dan membelai puncak kepala Rio penuh kasih sayang. Tanpa sadar air matanya menetes. Ia tau keadaan Rio tak sepenuhnya baik-baik saja. Tubuhnya kurus, lebih kurus dari terakhir kali ia melihat anak itu, tulang pipi dan rahangnya semakin tegas terbentuk. Jelas terlihat dari wajah tampan itu jika pemiliknya begitu lelah, lingkaran hitam di sekitar matanya terpapar jelas.
“dia benar-benar seperti kamu.” Lirih Safira, masih tak ingin membuat Rio terbangun. “bagaimana aku tidak jatuh hati pada putramu ini, Evina?” lanjutnya seakan sosok Evina, ibu kandung Rio, ada di hadapannya.
Krishna Haling duduk di sisi lain putranya. Menatap putra kecilnya yang mulai beranjak dewasa penuh kebanggaan. Segala masalah yang didapatnya tak membuat Rio tumbang, sekalipun sangat berat, apa lagi untuk ditanggung seorang diri. Sampai perhatiannya beralih pada sebuah amplop dengan kop besar bertuliskan “Erasmus Universiteit Rotterdam”. Universitas impian Rio. Tak sabar ia segera membukanya. Rasa bangga dan bahagia begitu meluap-luap di dada tuan besar Haling mendapati apa yang tertulis di dalamnya. Surat keputusan jika Rio diterima di program beasiswa sekolah bergengsi itu. Dan putranya membuktikan apa yang pernah ia ucapkan sendiri, ia bisa berdiri tanpa bantuan sang ayah. Pewaris utama kerajaan bisnisnya yang memang sangat tepat.
Merasakan ada orang-orang di sebelahnya, Rio terbangun, mengerjapkan matanya untuk beradaptasi dengan cahaya.
“kamu sudah bangun, Mario?” sambut Safira dengan senyum tulus di bibirnya. Rio tak mengubah ekspresinya, masih datar.
“papa bangga sama kamu!” ucap Krishna sambil menepuk bahu Rio.
“ceritakan kenapa Rio dan Ify tidak boleh bersama!” perintah Rio tanpa mengindahkan ucapan ayahnya. Meminta sebuah bayaran untuk apa yang baru saja ia sodorkan pada sang ayah.
“permusuhan antara klan Umari dan Haling sebenarnya memang sudah mendarah daging, pada mulanya memang murni karena bisnis, yang tidak pernah kami acuhkan, papa dan Pratama. Kami bersahabat.” Krishna Haling memulai monolognya.
“sama seperti saya dan Evina, ibu kamu.” Tambah Safira.
Rio terhenyak. Wajahnya mengeras menahan amarah. Sahabat macam apa yang tega “bermain” di belakang. Namun sekuat tenaga Rio berusaha menahannya, semua masalah harus segera diselesaikan.
“Evina adalah orang yang sangat dicintai Tama, sama seperti papa yang sangat mencintai Safira.”
Rumit. Mengapa dunia menjadi begitu sempit. Ruangan yang justru membuat semua masalah semakin sulit karena saling membelit.
“namun ternyata, ayah papa dan ayah Evina menjodohkan kami, dan ini permintaan terakhir ayah mendiang ibumu, kakekmu.” Krishna menghela nafas berat, tak semudah itu mengungkit luka lamanya. “papa dan mama berada di posisi yang sulit, kami tidak saling mencintai, kami punya cinta yang lain.”
Rio dapat mengerti itu sepenuhnya. Rasa yang sama saat cinta itu ditekan untuk tidak dapat bersatu.
“ayah papa juga mengancam tidak akan menganggap papa sebagai anaknya jika tidak menuruti permintaan mereka, menikah dan memberi mereka seorang cucu laki-laki sebagai penerus. Itulah mengapa kakekmu sangat membanggakanmu.”
Ingatan Rio melayang. Mendiang sang kakek benar-benar hebat di matanya. Membangun sebuah group bisnis sebesar Haling Corp dengan jerih payahnya. Lelaki yang masih nampak gagah hingga masa tuanya itu begitu membanggakannya, dan menuruti apa saja yang dia minta. Ini lah alasannya, yang baru saja diketahuinya.
“tapi papa juga telah bertindak bodoh, papa tidak bisa menyalahkan Pratama seutuhnya jika akhirnya ia mengecap papa bajingan, papa meninggalkan adik yang sangat ia cintai dalam keadaan mengandung, untuk kekasih hatinya.”
Rio menumpukan punggungnya pada sandaran kursi kuat-kuat. Dia benar-benar tak dapat menghakimi siapa yang bersalah dalam kasus ini saat ini. Darimana ia harus memulai semuanya untuk mencari penyelesaian. Ia dapat merasakan isi kepalanya berdenyut hebat, seakan-akan ingin meledak.
“saya berhutang banyak pada ibumu, Mario. Ia yang menyuruh ayahmu bertanggung jawab atas saya dan Cakka.” Ucap Safira dengan suara bergetar, air matanya mulai meleleh. “Saya tidak pernah tahu hati malaikat mana yang dititipkan padanya dan mengapa ia dipanggil begitu cepat.”
Tangan Rio terulur, menghapus air mata di pipi Safira, bonus sebuah senyuman tulus di bibirnya yang membuat Safira tertegun. Anak ini mewarisi sifat ibunya yang berhati besar.
“mama pernah bilang, jangan pernah membuat seorang wanita menangis, siapapun itu.” senyum Rio tak lekang. “wanita itu lemah, namun itu lah alasan laki-laki tak boleh menyakitinya.” Lanjutnya. “boleh saya panggil anda... bunda?” setelah Rio menimang permintaannya, rasanya ia sangat merindukan sosok wanita penuh kasih yang selalu ada untuknya, walaupun tak akan pernah mampu menggantikan sang mama kandungnya.
Tanpa menunggu jeda, Safira merengkuh Rio ke dalam pelukannya, dibelainya kepala Rio lembut, penuh kasih. Ini yang ia harapkan, bukan untuk menggeser posisi Evina, namun membalas jasa perempuan berhati emas itu.
“bro!” sapa Cakka semangat, dengan Acha yang digandengnya. Rio menoleh dan merengkuh kedua saudaranya diiringi tatapan bangga dan penuh haru kedua orang tuanya.
“mimpi gue jadi nyata!” seru Cakka dan Rio bersamaan disusul tawa dari kelimanya.
Rio tersenyum hangat ke arah foto almarhumah ibunya yang juga tengah tersenyum. Senyum penuh kelegaan. Satu masalah berhasil dilewatinya. Dan tinggal satu yang harus ia raih, cintanya, Ify.
***
Senyum tak hentinya merekah di bibir Ify. Sepertinya sudah snagat lama ia tak merasakan sebahagia ini. Tangannya melingkar erat di perut Rio yang tengah mengendarai sepeda motor. Meliuk-liuk membelah kota. Tanpa tujuan yang jelas.
“capek, Fy! Mau kemana?” tanya Rio akhirnya.
“kemanapun asal sama kamu!” jawab Ify antusias, sekaligus tak ingin ambil pusing.
Mata Rio memicing melihat metahari yang mulai condong ke barat, sebuah tempat langsung terpikir di otaknya. Tempat yang sepertinya sempurna untuk menghabiskan waktunya dengan Ify sore ini.
***
Ify dan Rio diam berdua, menghadap ke ufuk barat dimana rajanya hari sudah membulat sempurna tanpa cahaya menusuk mata. Diam. Tak sepatah katapun keluar dari bibir keduanya. Rio bersandar pada tiang pondasi gedung yang belum sepenuhnya jadi namun sudah ditinggalkan oleh kontraktornya, sengketa lahan yang diketahui Rio sebagai penyebabnya, meskipun tak pernah ia ambil pusing juga. Ify bersila di sebelahnya, memandang lukisan gedung-gedung tinggi dengan latar matahari terbenam, cantik sekali. Ia selalu tak habis pikir darimana Rio tahu tempat-tempat menajubkan namun begitu sepi, sunyi dan hanya terisi kedamaian.
“darimana kamu tahu tempat kaya gini?” tanya Ify membuka obrolan.
“nggak sengaja, waktu berburu foto.” Jawab Rio seadanya, sama sekali pandangannya tak teralih pada Ify.
“kenapa kamu selalu ngajakin aku ke tempat sepi kaya gini?”
“kenapa? Nggak suka?”
Masih Rio yang dulu. Ify mendengus sedikit sebal, sepertinya memang penyakit jutek, cuek, dan dingin kekasihnya ini sudah bawaan lahir, tak bisa diubah. Namun itu lah yang membuatnya selalu jatuh hati pada pemuda hitam manis ini, tak pernah bisa ditebak.
“tanya doang.”
“aku nggak suka keramaian. Beda sama kamu kan?”
Ify tertegun, ia sadar betul apa maksud Rio. Dua hal yang baru ia sadari, pertama, ternyata Rio benar-benar tahu siapa dia, shoppaholic, ia suka pesta, dan ia juga suka pergi ke club malam, dan yang kedua, sejak ia menjadi milik Rio, Ify tak pernah melakukannya lagi. Bersama Rio, berdua saja, ada ketenangan dan kedamaian yang tak pernah ia dapatkan dimanapun. Dan itu yang sebenarnya ia cari, ia temukan dalam sebuah kesederhanaan.
“kamu nggak kangen aku?” rajuk Ify sambil bergelayut manja di lengan Rio.
Rio melirik Ify sekilas, dengan senyum kecil di bibirnya. Gadis mungil ini benar-benar membuatnya gemas. Ia tahu pasti apa yang dimaksud gadisnya ini. Dan apa yang ia mau.
“nikmati dulu semuanya.” Bisik Rio sarat makna.
Kening Ify mengrenyit. Tidak mengerti. Rio terlalu berbeda dengan laki-laki lain. Ia yang bergelimanan harta, namun apa adanya. Dulu Ify selalu membayangkan jika pacaran itu jalan ke mall, dinner, atau hal yang biasa ia lihat di drama atau teman-teman sekolahnya, tapi dengan Rio ia tak pernah melakukannya.
Langit memerah, banyak burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Pemandangan yang dulu Ify kira tak pernah bisa ia dapat di tengah kota besar. Tapi saat ini benar-benar terhampar di pelupuk matanya.
Mereka berdua diam, menikmatinya hingga langit menggelap. Sampai Rio beralih menatap Ify dengan tatapan yang begitu teduh. Ify tersenyum hangat, teringat saat pertama kali pemuda ini menatapnya, matanya tajam, seperti elang, benar-benar berbeda dengan hari ini. Dan karang itu benar-benar terkikis habis.
Hawa dingin memeluk. Berkali-kali Ify menggosokkan telapak tangannya. Sedikit menyesali pakaian yang ia kenakan saat ini. Hanya you can see pink yang ditambah blues putih transparan tanpa lengan yang jelas memamerkan keindahan bahu dan lehernya yang sempurna.
“dingin? Makanya kalau pake baju yang bahannya full, jangan setengah-setengah.” Sindir Rio. Ia tak melakukan apapun, hal yang benar-benar membuat Ify gondok setengah mati. “buat aku, apapun yang kamu pakai, kamu itu...” Rio mendekatkan bibirnya ke telinga Ify, deru tegas nafasnya sukses membuat tubuh gadis mungil itu menegang. “seksi.” Lanjutnya, lirih, bahkan hanya terdengar seperti sebuah desahan, membuat pipi Ify benar-benar panas dan memerah.
Dari balik bulu matanya Ify dapat melihat mata Rio mengerling genit. Benar-benar membuatnya semakin tak karuan. Jantungnya berdegub lebih keras dan seakan ingin melompat jauh-jauh dari tempatnya.
“sorry, aku juga nggak bawa jaket.” Ucap Rio kembali menetralkan suasana. Ia diam, sejenak berpikir apa yang bisa ia lakukan. Kalau saja saat ini ia memakai kemeja, pasti akan dilepasnya dan diberikan pada Ify, tapi saat ini ia hanya menggunakan polo t-shirt, kalau ia lepas, bertelanjang dada, bisa-bisa mereka dikira sedang berbuat yang tidak-tidak kalau ada orang yang lewat. Sampai tiba-tiba terpikir sebuah cara yang pernah ia dengar dari Dayat, preman pecinta alam itu pernah menceritakan jika untuk menghidari hipotermia para pendaki gunung biasanya melakukan sentuhan fisik dengan lawan jenisnya, seperti berpelukan.
“sini!” Rio membimbing tangan Ify, menggiring gadis mungil itu ke pangkuannya dan kemudian ia peluk erat-erat. Beruntung tubuh Ify kecil, tak terlalu sulit menenggelamkan gadis itu dalam pelukannya bagi Rio.
Dari tempatnya Ify benar-benar dapat menangkap dengan jelas aroma maskulin tubuh Rio. Aroma menggetarkan sekaligus menenangkan, belum lagi belaian tangan Rio dari leher hingga ke telapak tangannya benar-benar membuatnya tak karuan, darahnya seakan mendidih, pikirannya meletup dak terkontrol, sebanding dengan desiran gila di dadanya. Serentak hawa dingin itu memang tak lagi ia rasakan. Spontan kedua tangannya merengkuh tubuh Rio, memeluk erat dan menyembunyikan wajahnya pada leher kokohnya, mencoba menatralisir perasaan.
Rio memejamkan matanya. Mencoba mengusir setan kecil yang bermain-main dipikirannya. Tak ingin kebodohan itu terulang. Ia sadar jika seharusnya gadis ini ia jaga. Tubuhnya kaku, kedua tangannya ia biarkan terkulai tak membalas pelukan Ify.
“pulang, Fy?” tawar Rio. Sungguh ia takut kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Ify mendongak, mengigit kecil bibir bawahnya. Hatinya benar-benar menginkan hari ini tak berakhir. Masih ingin terus bersama Rio, karena ia tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi lagi setelah ia kembali memasuki tembok dingin kediaman Umari. Bukan tidak mungkin ia tak akan pernah lagi bisa bertemu dengan Rio. Keraguan itu semakin nyata saat potongan kisahnya berputar, saat Rio meninggalkannya tanpa pesan dan seakan ia menghadapi penentangan itu sendirian, dan pada akhirnya harus pasrah. Dengan mantab ia menggeleng.
Tangan kokoh Rio menangkup wajah manis Ify. Menatapnya penuh kasih sayang. Ia tahu semua kesalahannya. Ify tak salah meragukannya. Bahkan ia sudah tak sanggup lagi mengucap janji pada gadis ini. Tak tega jika dengan cuma-cuma lagi gadisnya ini harus berbelaskasihan untuk memaafkannya. Sedang Ify masih menggit kecil bibirnya, aksi yang semakin membuat setan di pikiran Rio meliar. Bibir mungil yang pernah dikecupnya, dan kini benar-benar ia inginkan lagi, merasakan manisnya yang sebenarnya tak pernah ia lupakan. Singkat, Rio membuang jarak antara ia dan Ify.
Satu-dua bintang yang sebelumnya muncul menjadi pemanis langit kini lebih memilih menenggelamkan dirinya berselimut pada gumpalan awan. Membiarkan keturunan Adam dan Hawa di bawahnya hanya berdua, mengijinkan dunia dan waktu sejenak menjadi milik mereka. Hadiah kebahagiaan yang manis untuk sedikit mengusung beban yang dipanggul menjauh.
“aku mau bawa sesuatu buat kamu,” ucap Rio dengan nafas yang masih terengah. Ia diam, mengatur nafasnya, memantabkan hatinya. “akhir yang indah untuk kisah kita.”
Rio menurunkan tangannya dari wajah Ify, bangun dari duduknya. Ify menyusul.
“doakan aku berhasil!” ucap Rio sebelum berjalan menjauh, meninggalkan Ify.
Senyum Ify merekah. Tangan kanannya tergerak meraba bibir merahnya. Kecupan-kecupan lembut yang baru saja diterimanya terasa kekal, penyatu yang  kasat yang justru tak akan pernah hilang. Rio bukan lagi seorang pemuda yang dulu membuatnya jatuh cinta, tapi seorang lelaki dewasa yang akan menjaganya melewati sisa jalan hidupnya, dan Ify tahu apa yang baru saja Rio ucapkan bukan sebuah janji, hanya harapan tulus pada Sang Pencipta yang telah menyatukan mereka untuk mengabadikannya. Gadis mungil itu melangkah ringan menyongsong Rio yang sudah cukup jauh. Semuanya akan baik-baik saja.

bersambung.....