Minggu, 29 Juli 2012

Song of Love part 16 b

Tuan besarr Umari melebarkan matanya saat mendapati siapa yang baru saja bertamu ke ruangan kerjanya. Sama sekali tak menyangka jika pemuda ini bernyali luar biasa untuk menemuinya, bahkan hingga ke tempat yang bisa saja membuatnya celaka dengan mudah.
“selamat siang, tuan.” Sapa Rio, pemuda tadi sambil sedikit merunduk, bibirnya tersenyum ramah, tak gentar dengan wajah getas dan siap meledak milik Pratama Umari. Apapun yang akan terjadi akan dihadapi seperti tekatnya. Tak akan menyia-nyiakan bantuan Cakka untuk dapat masuk dengan mudah ke perusahaan besar ini.
“mau apa kamu?!” nada keras langsung meluncur dari pria berwajah tegas penuh wibawa itu.
“maaf jika saya lancang, tapi ini bentuk kesungguhan saya, untuk putri anda.”
“keluar kamu! Saya tetap tak akan mengijinkan!”
“bisa saya berbicara sedikit saja, setelah itu, terserah anda akan melakukan apapun pada saya, bahkan kalau anda ingin membunuh saya, saya tidak akan melawan.”
Pratama terhenyak. Pemuda yang ada di hadapannya ini benar-benar berbeda dengan ayahnya yang sampai saat ini tak pernah bisa ia maafkan. Rio berjiwa besar, seorang gentleman. Ia teringat putrinya yang sampai saat ini masih dalam keadaan baik-baik saja dan ada di dekatnya, walaupun ia tahu pasti dengan mudah Rio bisa membawa lari Ify kapanpun karena Ify benar-benar mencintai Rio, namun hal itu tak pernah dilakukan.
“saya tahu pasti jika tuan Pratama Aji Umari adalah orang yang bijak dan baik, buktinya anda tak pernah membunuh saya dengan segala kekurangajaran saya, bahkan ayah saya anda biarkan hidup.” Ucap Rio tenang. Waktu yang ia lalui selama ini mengajarkannya jika api hanya akan padam oleh air.
Ada magnet dari perkataan Rio yang membuat Pratama menoleh. Senyum itu, tatapan mata sayu itu benar-benar mengingatkannya pada sesorang, merasakan jika Evina, perempuan yang pernah amat sangat ia cintai itu hidup dalam diri anak ini. Walaupun sedetik kemudian emosi itu kembali memuncak saat setiap lekukan tegas wajah Rio benar-benar mirip dengan mantan sahabat karibnya.
“saya tahu benar apa yang anda rasakan dulu, dan mengapa anda begitu membenci ayah saya pun dapat saya mengerti.” Rio memulai monolognya setelah melihat wajah keras Pratama melunak. “saya merasakannya.” Ucap Rio, suaranya sedikit bergetar, ada emosi yang mulai bergejolak.
“kalau akhirnya Krishna bisa bersatu dengan Safira, tidak dengan saya dan Evina!”
Terdengar suara gebrakan meja cukup keras mengimbangi suara bentakan Pratama, luapan emosi dari cinta yang tak bisa, dan tak akan pernah bisa menyatu.
“saya masih mencintainya.” Lanjutnya lirih.
“sama seperti saya mencintai putri anda.”
Rio tahu hanya cara ini yang mampu ia gunakan untuk bisa membuat cintanya dan Ify menyatu tanpa pertentangan. Luka yang sama, penanggungan yang sama dengan ayah gadis yang ia cintai.
“dan saya rasa, hingga saat terakhirnya pun, mama masih menyimpan rasa untuk anda.”
Rio mengangsurkan sebuah buku harian berwarna ungu muda ke hadapan lawan bicaranya. buku harian sang bunda yang ia dapatkan dari ayahnya tempo hari. Rahasia perasaan seorang wanita yang tak mampu berbuat apapun kecuali mengikuti apa yang sudah ditentukan, tak mampu lagi melawannya.
“saya rasa itu hak anda. Itu tulisan mama.”
Ruangan besar itu mendadak sunyi, hanya terdengar bunyi seretan kertas mulai usang yang dibaca Pratama. Rio hanya bisa memperhatikan setiap perubahan mimik tuan besar Umari dari seberang meja, tersenyum, kembali datar, marah, tegang, bahkan hingga ada air mata yang turun.
Rio sudah membaca semua isi diari itu. Dan memang sangat mengaduk-aduk perasaannya. Bahkan seakan ia membaca kisahnya sendiri pada buku itu. Bedanya, sekarang ia masih bisa memperjuangkan akhirnya, agar tak sama, agar ada bahagia.
“posisi putri anda sama dengan mama saya dulu.” Ucap Rio setelah Pratama meletakkan buku berukuran cukup kecil itu kembali ke meja.
Pratama terpekur. Ucapan Rio benar-benar menyentilnya. Mengapa ia menjadi seegois itu pada putri yang seharusnya ia bahagiakan? Simpatinya untuk Rio menderu bersama sebongkah penyesalan mengapa ia tak melakukan sama seperti apa yang Rio lakukan saat ini, memperjuangkan cintanya! Dan baru disadarinya jika hal ini bukan murni kesalahan Krishna, ia juga punya andil besar.
Tapi bukan hanya itu yang membuatnya dendam pada Krishna Haling. Pria itu juga telah merusak masa depan adik yang sangat ia cintai, menoreh luka dan aib untuk keluarganya. Dan pasti buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.
“tapi saya yakin kamu mewarisi kebrengsekan ayah kamu!” suara Pratama menggelegar keras, penuh dendam.
“sampai saat ini saya tahu Ify terlalu berharga untuk saya melakukan itu.” Rio kembali tersenyum. Mecoba meyakinkan perkataannya. “dan jika anda mngijinkan, saya akan terus menjaganya.”
“berikan saya bukti ucapanmu!” tantang Pratama. Masih terlalu sulit untuk meloloskan permintaan Rio begitu saja. “bisa apa kamu mau menjaga putri saya? Seberapa hebat kamu?!”
“saya lolos program beasiswa ke Belanda. Erasmus Universiteit Rotterdam.” Jawab Rio tenang. “saya bertekat untuk menyelesaikannya segera dan membangun perusahaan saya sendiri.”
Pratama kembali tercenung. Pemuda di depannya benar-benar mendapatkan apa yang tak pernah ia bisa lakukan. Ia tahu pasti citra sekolah bergengsi itu, universitas yang dahulu menjadi impiannya. Dan impian Rio benar-benar membuatnya terpukau. Kurang apa perusahaan Haling sehingga membuatnya masih ingin berproses sendiri, sebuah proses yang pasti memang sangat tidak mudah.
“saya akan kembali, untuk memberi semua yang putri anda inginkan.”
“saya tetap tidak akan merestui hubunganmu dengan putriku!” balas Pratama tegas. Wajah Rio kembali menegang, merasakan jika usahanya kali ini akan sia-sia saja. Jantungnya semakin berdebar saat lelaki paruh baya itu beranjak dari kursi kebesarannya. Bersiap dengan resiko apapun yang akan diterimanya. “kecuali setelah kamu membuktikan apa yang baru saja kamu katakan.”
Hati Rio seakan terlepas dari tempatnya karena sebuah kegembiraan yang tak terkira.
“pasti! Saya pamit.” Ucap Rio akhirnya. Dengan senyum lebar ia keluar dari ruangan. Bebannya seakan terangkat begitu saja. Walaupun ini bukan akhir.
***
Tempat ini seakan ingin menjadi saksi sekali lagi. Bagi kisah hidup keduanya. Menjadi tempat takdir yang kembali menemui jalannya. Danau itu, tepat di bawah rindangnya pohon akasia dan selimutan kabut tipis.
Senyum Ify sedari tadi tak lepas, begitu manis dan tulus. Tak bosan ia mendengar pemuda yang kini duduk di sampingnya menceritakan banyak hal tentang seorang gadis. Gadis yang luar biasa. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan gadis lain, kalau saja Ify tak mengingat jika sudut lingkaran itu tiga ratus enam puluh derajat dan itu berarti kembali lagi ke titik asal atau tidak ada bedanya, mungkin Ify akan mengatakan gadis itu berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Sungguh ia kagum pada gadis yang diceritakan Alvin, pemuda yang ada bersamanya, pertama karena kepribadian gadis itu, dan kedua gadis itu benar-benar menyelamatkannya. Secara tersirat Alvin telah mengatakan jika ia benar-benar jatuh hati pada gadis itu.
“gue... sayang sama dia, Fy.” Ungkap Alvin akhirnya.
Jantung Ify seakan benar-benar terlonjak dari tempatnya saking bahagianya. Satu lagi penghalangnya menghilang, tanpa perlu menyakiti siapapun. Ia dan Rio bahagia, begitu pula Alvin.
“maafin gue selama ini.” Sesalnya.
“makasih, makasih lo ngasih jalan sama gue buat gue tahu seberapa besar cinta Rio buat gue.” Pekik Ify tak menanggapi ucapan Alvin, dipeluknya pemuda bermata sipit itu erat-erat. Kebahagiannya kali ini benar-benar tak terlukiskan.
“gue akan bantu sebisa gue buat lo sama Rio bersatu.” Alvin membalas pelukan Ify, pelukan hangat seorang kakak. “seperti janji gue sama elo, gue akan terus jagain elo.”
Air mata haru mengalir di pipi Ify. Mengingat dan membayangkan jika segalanya akan lebih baik lagi mulai saat ini.
“lo adik gue yang paling cantik!” Alvin sambil menyeka air mata Ify. “selain paling cengeng! Seneng nangis, susah kekejer.”
“lo pikir gue kuntilanak yang setiap waktu bisa ketawa!” balas Ify tak terima. “lo kakak gue yang paling baik juga!”
Alvin tersenyum. Perlahan ia lepaskan cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin berukiran nama Ify yang kemudian ia letakkan di genggaman tangan gadis itu.
“titip ke Rio, dia lebih berhak.” Pesannya. Ify melakukan hal yang sama dengan cincin berukiran nama Alvin di jarinya.
“titip ke Agni, ucapan terima kasih gue.”
Sekali lagi keduanya saling merengkuh dalam pelukan. Mengokohkan sebuah ikatan jika memang tak ada cinta di antara keduanya. Namun tak ada alasan untuk tidak saling menjaga satu sama lain. Meratapi betapa manisnya jalan Tuhan untuk keduanya.
“Rio nunggu lo di taman.” Ucap Alvin setelah melepas pelukannya. Mata Ify terbelalak lebar, sepertinya hari ini sudah diseting dengan baik oleh seseorang, entah Alvin atau Rio, atau bahkan mungkin keduanya. “gue anter ke sana.”
***
Ify diam di tempat, di atas jalan setapak yang tak terlalu jauh dari bangku taman tempat pertama kali Rio memeluknya, tempat pertama ia merasakan jika Rio juga memiliki rasa yang sama dengannya. Dan di tempat itu juga saat ini ia melihat Rio dengan bercakap hangat dengan seorang gadis yang Ify akui cukup manis. Dadanya memanas, begitu juga kelopak matanya yang siap memproduksi cairan bening, tak menyangka hal ini yang akan didapatinya. Ia membalik tubuhnya. Ingin pergi segera dari tempat itu, namun Alvin menahannya, dirangkulnya bahu mungil Ify dan dibimbingnya mendekat pada Rio dan gadis asing bagi Ify tadi berada.
“jangan suka cemburuan!” bisik Alvin mengerti apa yang dirasakan Ify. Ify tak menyahut, baru saja ia sadar kalau belum tahu pasti siapa gadis itu dan tak mempunyai alasan untuk mencemburui Rio. Dan akhirnya ia pasrah mengikuti Alvin.
“bro!” sapa Alvin setelah berdiri di belakang Rio, dan membuat pemuda hitam manis itu menoleh ke arahnya. Rio mengangkat alisnya melihat tangan kanan Alvin bergelayut di bahu Ify, tanpa disadarinya tatapan Rio berubah getas.
Alvin menyadarinya. Ide jail begitu saja terlintas di kepalanya. Hal yang masih saja menyenangkan mendapati ekspresi cemburu Rio. Tangannya ia turunkan dan ia lingkarkan di pinggang Ify erat dan ia rapatkan padanya, membuat tubuh mungil Ify menegang karena kejadian itu benar-benar tiba-tiba. Mata sipit Alvin melirik pada tangan kanan Rio yang sudah mengepal keras. Sepertinya ia akan mendapat bogem mentah jika permainannya ia lanjutkan. Alvin melepas rengkuhannya.
“santai! Gue udah punya yang lain!” Alvin menepuk pundak Rio ringan kemudian menggandeng gadis yang sejak tadi menjadi teman bicara Rio. “lo nggak diapa-apain sama dia kan, Ag?” tanya Alvin pada gadis itu. Gadis itu menggeleng sambil tersenyum geli. Jail sekali kekasihnya ini.
Mata Ify terbelalak, membulat penuh setelah mengetahui siapa gadis yang bersama Rio. Dari cara Alvin memanggilnya, ia tahu gadis ini Agni. Gadis yang mencuri perhatian Alvin.
“gue tinggal deh.” Pamit Alvin sambil merangkul Agni. Tanpa menunggu jawaban, ia pergi menjauh meninggalkan Ify dan Rio.
“duduk!” perintah Rio.
Ify menurutinya. Dan setelah Ify memposisikan diri di sampingnya, Rio mengangsurkan amplop cokelat besar yang sejak tadi ia letakkan di sampingnya. Buru-buru Ify mengambil isinya, dengan rasa penasaran dan degub jantungnya yang tak karuan, perasaannya mengatakan jika ada sesuatu yang benar-benar penting di dalamnya. Rio hanya diam, matanya memandang lurus ke arah air mancur di tengah taman. Menunggu reaksi Ify berikutnya.
“Be.. Belanda? Kamu?” mendadak Ify tergagap setelah memahami betul apa isi kertas berwarna putih bersih yang tersimpan dalam amplop.
“iya, aku dapet beasiswa ke sana.”
Kepala Ify menggeleng, air matanya meleleh tanpa bisa terbendung. Baru saja ia merasakan kebahagiaan karena merasa jalannya dengan Rio mulai terbuka, kini ia harus berpisah dengan pujaannya itu, tentu bukan untuk waktu yang sebentar.
Rio tak bergeming. Ia sudah bersiap untuk hal ini, ia tahu pasti berat bagi Ify untuk melepasnya. Dan karena itu ia tak memandang Ify, karena ia pasti tak tega dengan ekspresi Ify yang akan menahannya. Tapi ini memang harus dilakukan, untuk mereka, ia dan juga Ify.
“minggu ini aku berangkat.”
“kenapa nggak di Indonesia?” dengan suara bergetar Ify melayangkan pertanyaannya.
“ini untuk membuktikan ke papa aku, papa kamu juga.” Rio menghela nafas berat. “papa kamu baru menyetujui hubungan kita setelah aku bisa berdiri di atas kaki aku sendiri, bukan karena nama Haling.”
“aku nggak mau jauh dari kamu!”
“ini nggak berat, lima tahun, aku cuma minta waktu lima tahun.”
Ify terdiam. Mencoba menggunakan logikanya untuk mengambil keputusan. Ia egois jika menahan Rio, karena ia juga tahu sebenarnya Rio juga tak ingin jauh darinya. Ia tahu lima tahun bukan waktu yang sebentar, namun tidak cukup lama untuk bayaran yang ia dapatkan. Ia dapat bersatu dengan Rio nantinya.
“tapi bule kan cantik-cantik?” rajuk ify.
“kamu nggak kenal aku?” tantang Rio. “kalau cuma cantik, yang lebih cantik dari kamu di Indonesia juga banyak, nyatanya aku pilih kamu.”
Pukulan ringan dari tangan mungil Ify mendarat mulus di bahu Rio, membuat pemuda itu terkikik geli. Ia tahu ini bukan perpisahan, hanya jalan yang harus di tempuh sebelum kembali bergandengan menuju ujung cerita. Tak perlu kisah dramatis di sini.
“boleh?” pinta Rio dengan senyum manja di bibirnya, mirip seperti bocah yang mencoba memasang wajah menggemaskan agar ibunya mau membelikan mainan untuknya.
“tapi...” Ify menggigit bibir bawahnya. Jujur, ini keputusan berat.
“kalaupun ada perempuan lain yang bisa mencuri hati aku, dia yang nanti manggil kamu mama.” Tangan kokoh Rio terulur membelai puncak kepala Ify, ia tahu Ify sedang ragu. “oke?”
“emang masih bisa ada penolakan dari permintaan kamu? Bukannya semuanya mutlak?” Ify memalingkan wajahnya, menyembunyikan jika ia sedang tersipu karena kalimat yang meluncur dari bibir Rio.
Rio tersenyum lega. Ify semangatnya, dan untuk Ify juga ia melakukan semuanya.
“ada handphone, ada skype, ada facebook, ada twitter yang bisa kamu gunain buat hubungin aku setiap hari.” Ujarnya
Namun Ify menggeleng. “aku mau pake surat!”
“ribet!” tolak Rio getas.
“romantis!” Ify tak mau kalah.
“kuno!”
“tapi lebih bisa dikenang!”
“iya.” Akhirnya Rio mengalah, kembali diacak-acaknya rambut panjang Ify.
***
Hari keberangkatan Rio. Semua berkumpul di bandara, Krishna Haling, Safira, Acha, Cakka, Shilla, Gabriel, Alvin, dan Ify. Asik bersenda gurau sampai panggilan itu terdengar, pesawat yang akan mengantarkan Rio ke tujuan akan segera berangkat.
“kamu belajar sungguh-sungguh, jangan lupa makan teratur, tidur yang cukup, minum vitamin! Jangan mencari gadis lain, ingat ada yang setia menunggumu!” celoteh Safira tanpa jeda. Kicauan merdu seorang ibu yang menyebalkan bagi banyak anak di dunia, namun tidak bagi Rio, ceramah seperti inilah yang selalu ia rindukan dan inginkan. Ia memeluk hangat ibu tirinya itu.
“iya, bunda cantik!” jawab Rio pasih dalam pelukan Safira.
Rio hanya berjabat tangan dengan sang ayah, ia tahu segala yang dibawanya pulang adalah hal yang lebih berarti bagi ayahnya. Kemudian ia berpamitan pada Acha, dipeluk dan diciuminya kedua pipi gembul adik kesayangannya itu.
“jagain bunda, Acha, sama papa, bro!” pesannya pada Cakka seraya meninju pelan bahu kakaknya.
“enak banget elo cuma sekolah gue lo suruh jadi bodyguard!” seloroh Cakka yang membuat keduanya tertawa lepas.
Rio mendekatkan mulutnya ke telinga Cakka. “mungkin setelah gue pulang, gue punya keponakan ya?” bisik Rio yang sedari tadi tak melihat Cakka melepaskan genggaman tangganya pada tangan Shilla. Pemuda tampan itu hanya kembali tertawa, tawa penuh arti. Rio berlalu, menyalami Shilla.
“langgeng sama Agni, gue titip Ify, lo juga janji akan jaga dia kan?” pesan Rio pada Alvin. Dan Alvin hanya mengangguk menyanggupi.
“jangan jomblo lama-lama, sob!” pesannya pada sahabat terbaiknya, Gabriel, dan hanya dibalas cengiran kuda. “Sivia lumayan.” Lagi-lagi Rio hanya berbisik agar hanya Gabriel yang bisa mendengarnya.
Rio menghela nafas. Tinggal gadis ini, gadis yang sedari tadi hanya menunduk diam memainkan ujung sepatu kedsnya.
“aku pamit, Fy! Bolehkan?” ada nada gurau di sana. Tangan Rio menyibak pelan poni Ify agar ia dapat melihat wajah cantik gadisnya. Ify mendongak sambil tersenyum manis, tak ada gurat kesedihan di sana yang langsung membuat dada Rio merasa sangat lega.
“emang masih bisa aku curi sayap pesawatnya biar kamu nggak terbang?” canda Ify manja. “selesaikan secepatnya, jangan buat aku nunggu lama.” Pesannya.
Rio mengangguk mantab.
“gue mau kalau lo nggak sanggup nunggu, Fy!” sela Gabriel semangat.
“buaya!” seru Ify yang membuat semuanya tertawa.
Senyum terbaik Rio berikan sebelum ia berlalu, menghilang di balik kerumunan orang-orang. Ify belum juga beranjak. Tak peduli orang-orang berlalu lalang di sekitarnya. Ajakan yang lain untuk pulangpun belum ia hiraukan sama sekali. Tatapannya menerawang ke luar jendela, melihat pesawat yang mulai mengudara. Jika bisa ingin disongsongnya agar burung besi itu tidak membawa kekasih hatinya terbang. Membawa mimpi yang dibiarkan melambung, meninggalkan harapan yang tak sabar ingin berbuah. Menyimpan cinta untuk satu-satunya. Menunggu bahagia datang menyapa dan tinggal untuk selamanya.


the end..

2 komentar: