Gabriel melayangkan pandangannya tepat ke arah pintu masuk taman. Menunggu gadis yang selalu saja berhasil membuatnya tak karuan. Dan acara menunggu hari ini rasanya jauh lebih menyebalkan dari biasanya. Jarum jam panjang di arloji yang melingkar di tangan kirinya seakan tak beranjak. Padahal baru sekitar sepuluh menit ia menunggu, itu pun ia sampai lima belas menit lebih awal dari waktu yang ia janjikan pada Shilla.
Tatapan tak terbacanya kini beralih pada mata Taddy Bear berukuran cukup besar, berwarna cokelat muda yang ia dudukan di sebelahnya. Mencari kemantaban hati yang sudah dibangunnya. Ia laki-laki, seorang pengambil keputusan. Kodrat.
“sorry, Yel.” Ucap suara yang sudah sangat tidak asing di telinga Gabriel, nafasnya tersengal pertanda cukup berat usaha yang ia lakukan untuk mencapai tempatnya sekarang.
“buat kamu.” Tanggap Gabriel tak acuh pada permintaan maaf Shilla. Ia mengulurkan boneka yang sudah setia menemaninya menunggu. Senyum manis terpeta di bibirnya, menyamarkan segala dilemanya.
Mata Shilla berbinar menerima pemberian Gabriel. Boneka menggemaskan itu ia peluk erat-erat. Senyum lebar terpoles di bibirnya. “jadi, mau kemana kita?” tanyanya antusias, persis seperti bocah.
“kemana kamu mau.” Jawab Gabriel. Dan selalu, kebahagiaan gadis ini mutlak menjadi bahagianya juga. Ia menyodorkan tangan kokohnya ke hadapan gadisnya, menanti sambutnya.
“pantai!” seru Shilla semangat. Tanpa ragu ia meraih tangan Gabriel dan menariknya. Berjalan menyusuri jalan setapak taman penuh canda. Taman tempat mereka pertama berjumpa, tempat yang dipilih Gabriel untuk mengawali rencana besarnya hari ini.
***
Entah berapa lama waktu yang mereka berkejaran satu sama lain, kalah dengan gulungan ombak. Dan semua gelak tawa yang sudah tercipta. Gundukan pasir tak beraturan yang mereka sebut istana pun sudah luruh, rata kembali oleh gelombang yang mulai pasang.
Gabriel merebahkan tubuhnya di atas butiran pasir putih bersih asal-asalan. Di atasnya langit sudah merona kemerahan. Salah satu hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya, setelah hari-hari lain, hari dimana ia berada bersama gadis yang kini duduk tepat di sebelahnya, memandangi ufuk barat dimana rajanya hari akan sekejap beristirahat untuk kembali bertugas esok hari.
“kamu mau ngomong apa, Gab?” tanya Shilla tanpa mengalihkan pandangannya dari lukisan indah Tuhan di hadapannya.
Gabriel menghela nafas, ia tahu, semakin lama ia menunda semuanya, semakin lama juga semua tersakiti. Ia, Shilla, dan juga Cakka.
“aku selalu belajar buat mencintai kamu.” Gabriel menegakkan tubuhnya, merapat pada Shilla. Ditatapnya gadis cantik itu dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan oleh Shilla sendiri, orang yang merasa sangat mengenal Gabriel. Tangan kokohnya ia letakkan di atas puncak kepala Shilla dan di belainya penuh sayang, tak merasa terusik dengan kuatnya angin yang terus berusaha menerbangkan helaian rambut indah pujaannya. “dan aku baru mengerti kalau memang benar belajar itu nggak akan pernah selesai. Selalu ada yang baru.”
Gabriel merangkul Shilla erat-erat, namun tatapannya kini beralih pada hamparan lautan lepas.
“kamu... yang baru?” tanya Shilla takut-takut. Ia bahkan tak mampu lagi mengucap apa yang ada di otaknya. Ia mengenal siapa Gabriel. Lelaki yang biasanya tak cukup satu wanita. Banyak kemungkinan hal itu juga akan terjadi padanya.
Dari ekor matanya Gabriel mengintip ekspresi Shilla. Gadis itu menggigit kecil bibirnya. wajahnya memetakan kekawatiran dan ketakutan yang jelas.
“bukan.” Jawab Gabriel lirih. Tak tahan juga harus menyiksa Shilla lebih lama. “bukan aku, kamu. Kamu bahagia sama Cakka?” lanjutnya tanpa basa-basi.
Shilla tersentak. Tak menyangka Gabriel akan menanyakan hal ini. Ya, ia bahagia bersama Cakka. Pikiran yang begitu saja terlintas dalam benaknya, sebelum pemikiran berikutnya jika ia tak mau kehilangan Gabriel. Dan jika bibir tak mampu lagi mengatakan apa yang ada di hati, mata yang akan membongkar semuanya. Air mata Shilla meleleh.
“aku nggak tau, Gab..” lirihnya dengan suara parau.
“air mata kamu cukup jelasin semuanya. Ya, kamu bahagia sama dia. Mungkin lebih dari apa yang selalu kamu rasa setiap sama aku.” potong Gabriel, begitu tenang. Ketenangan yang justru membawa Shilla jatuh lebih dalam lagi. Ia tahu pasti jika pria di sebelahnya sedang menahan luka. Ia tahu seberapa takutnya Gabriel akan karma yang bisa ia terima atas perbuatannya dahulu.
“aku nggak mau nyakitin kamu.”
“kasihan?” Gabriel melepaskan rangkulannya pada Shilla dan memeluk lututnya erat. “gue tahu, karma itu ada, pada waktunya akan menuntut tempatnya.”
Hening. Keduanya tak mampu berkata lagi. Hanya suara deburan ombak yang menandakan jika waktu memang masih bergerak. Langit sudah gelap, berhiaskan butiran bintang yang mulai bermunculan.
“tapi ini bukan soal karma. Ini cuma tentang cinta gue, cinta yang sederhana, yang akan bahagia kalau pemiliknya bahagia.” Gabriel mulai berkata-kata lagi. Masih sama begitu tenang, tak ada gejolak emosi di setiap kata yang ia luncurkan.
Shilla tahu dengan siapa ia berbicara saat ini. Gabriel Stevent, yang tak pernah kehilangan kedewasaan dan karismanya, di saat seterpuruk apapun.
“gue yang nggak mau sakit lebih dalam kalau akhirnya elo main di belakang gue. Gue juga cuma berusaha mengerti elo.” Lanjutnya. “dan gue tahu pasti kalau elo nggak akan bisa milih antara gue dan dia.”
“maaf..” dengan tenaga yang susah payah ia kumpulkan, akhirnya Shilla berhasil berkata lagi. Tak ada penyesalan, hanya rasa bersalah dan kelegaan luar biasa dirasakannya. Di sisi lain ia menyadari jika bahkan Gabriel mengenalnya lebih dari dirinya sendiri.
“terima kasih.” Balas Gabriel begitu tulus. Tak ada kemarahan di sana. “buat semuanya. Lo salah satu sahabat terbaik yang pernah ada di hidup gue. Dan untuk ini gue nggak mau kehilangan elo.”
Dan semuanya berakhir. Di sini. Tanpa ada yang ternoda.
Gabriel mengecup lembut puncak kepala Shilla, keningnya, kedua kelopak mata gadis itu untuk menghapus jejak air mata yang sebenarnya tak pernah ingin ia cipta. Biarlah semua yang tersisa mendapat pelampiasannya, sebelum waktu mengubur semuanya.
***
Alvin diam, terpaku tanpa bisa menggerakkan bagian tubuhnya, bahkan bola matanya yang hanya bisa terpaku pada satu titik. Pada seorang gadis manis yang kini sedang berlenggak-lenggok di atas catwalk. Senyumnya manis sekali, setiap orang yang menatapnya seakan tak ragu membalas. Liukan tubuhnya sungguh mempesona. Gadis hitam manis itu berpose di ujung panggung panjang, memamerkan kaki jenjangnya, lekukan tubuhnya yang indah dan lirikan manja namun begitu angkuh, tak tersentuh. Susah payah Alvin menelan ludah yang sudah membeku di pangkal tenggorokannya. Dadanya naik turun tak teratur seirama dengan deru nafasnya yang juga memburu. Pikirannya meliar, sungguh gadis yang kini menjadi poros dunianya benar-benar.... seksi.
Entah sudah berapa abad ia lewatkan hingga perubahan gadis itu benar-benar terjadi seratus delapan puluh derajat. Sama sekali tak menyangka akan mendapati ujung pencariannya di tempat seperti ini.
Pelan, namun tanpa ragu ia melangkahkan kaki panjangnya masuk ke backstage. Dengan mudahnya, di sini kedudukan sosial dapat berbicara dengan lancar tanpa tedeng aling-aling. Cukup dengan menunjukan kartu namanya.
“selamat malam, nona Agni.” Sapa Alvin, tepat setelah ia berdiri di belakang gadis yang tengah sibuk menyimpul tali sepatu kedsnya, pengganti highheels yang tadi dikenakannya. Saat ini gadis yang ternyata Agni itu hanya berpakaian seadanya, blues biru muda berbentuk kemben yang disangga sepasang tali spagetti dan celana skinny jeans.
Suara sangat tidak asing yang spotan membuat gadis manis itu menoleh, membuat rambut hitam panjangnya yang dibiarkan tergerai melambai indah. Ia terdiam, bibir bawahnya seakan sulit terkatub melihat siapa yang kini ada di hadapannya. Pria tinggi dengan kulit putih bersih dan mata sipit yang tak akan pernah bisa ia lupakan.
“mau ngapain lo?” pertanyaan bernada cenderung ketus itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Agni diam lagi, memaki dirinya sendiri, sungguh bukan itu yang ingin ia katakan.
Alvin tersenyum kecut. Selain penampilan, ternyata tak ada yang berubah dari gadis ini. Kekhawatirannya jika ia akan menemui “sosok lain” memudar begitu saja setelah mendengar sambutan yang sama sekali tidak hangat dari gadis ini. Ia menarik sebuah kursi yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri dan mensejajarkannya di samping Agni sebelum ia duduki.
“elo masih sama ya? Jutek nggak ketulungan.” Keluh Alvin sambil menyandarkan punggungnya.
“kenapa lo bisa tahu gue di sini?” terlihat bibir Agni menipis, tak bisa disembunyikan raut heran dan gugup di wajahnya.
“lo lupa kalau gue berkuasa?” balas Alvin.
“masih sama, angkuh, sombong.” Cerca Agni.
“masih sama, orang yang kagum sama elo.”
Tubuh Agni menegang. Tak dapat membaca apa maksud pasti dari ucapan Alvin barusan.
“can I take your time?” tanya Alvin melihat gelagat Agni. Sadar, tak mungkin membicarakan masalahnya di tempat umum seperti ini. Setelah melihat anggukan dari kepala Agni, Alvin bangkit dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan gadis mungil itu.
***
Mobil sport yang hanya berkapasitas dua orang itu terasa begitu sunyi, jarak yang sebenarnya tak sampai satu meter di antara keduanya terasa sangat jauh. Agni melirik Alvin yang sedang fokus ke jalanan, pemuda itu sama sekali tak perubah, kecuali baru pertama kali ini ia melihatnya berpenampilan rapi dan casual, celana jeans hitam, kemeja biru tua dan jas hitam, dengan sneakers putih yang membuat kesan sporty Alvin tidak sepenuhnya hilang. Mata almond Agni membulat setelah menyadari jikan sepasang sepatu yang kini dikenakan Alvin adalah sepatu yang dulu pernah tertinggal di rumah singgah dan sempat ia titipkan pada Osa kalau-kalau si empunya mencari, bersama sepucuk surat.
Surat. Tubuh Agni kembali menegang. Jika sepatu itu sudah kembali kepada pemiliknya, kemungkinan besar Alvin juga sudah membaca surat itu. dan itu berarti juga pemudaa itu sudah tau tentang semua isi hatinya.
“gue kira, malam ini gue bakalan jalan sama preman, taunya tuan putri.” Gumam Alvin yang membuat Agni tersentak dari lamunannya.
“hah?” pekiknya refleks. Jelas terbaca jika ia salah tingkah. Dan tak ada alasan yang membuatnya bisa tenang saat ini.
Alvin tersenyum penuh arti, ditatapnya gadis manis itu sekejap. Sedikit tidak menyukai blush on yang masih menempel di pipi Agni karena itu lah yang membuat rona merah alami yang seharusnya muncul tersamarkan.
Mobil mewah itu berhenti di parkiran sebuah hotel berbintang yang begitu terkenal. Agni beringsut sedikit mundur. Pikiran jelek begitu saja muncul saat tahu kemana Alvin mengajaknya.
“turun!” perintah Alvin tak menyadari perubahan mimik wajah Agni yang berubah menjadi sedikit ketakutan. “nggak budeg kan? turun!” perintahnya sekali lagi. Kali ini lebih tegas dari sebelumnya.
“lo mau ngapain ngajak gue ke hotel?” selidik Agni. Tak peduli lagi dengan gengsi, keselamatannya paling utama sekarang.
Kontan tawa Alvin meledak. Gadis ini benar-benar tak terjamah arus kota metropolitan yang kini ditinggalinya. Benar-benar hanya penampilan luar gadis ini yang berubah, kepribadiannya sama sekali tidak. Masih tetap Agni yang Alvin suka.
“emang gu ada tampang koboy kucai yang doyan ngajak cewek check in?” tanya Alvin di sela gelak tawanya dan setelah menyadari bibir Agni sudah cemberut, maju beberapa mili. “kalaupun iya, lo beruntung, jadi yang pertama.” Ekspresi Alvin berubah serius, dibuat-buat tentu saja, padahal setengah mati ia menahan tawanya agar tidak kembali pecah. Seru juga mengerjai gadis ini. Ekspresi jengkel, marah, dan ketakutan gadis ini benar-benar menggemaskan.
Agni semakin beringsut mundur. “Alvin...” suaranya sedikit bergetar.
Alvin menghela nafas kuat-kuat. Tak tega juga akhirnya. “enggak, gue bercanda, percaya aja sama gue.” Dapat dilihatnya Agni menghela nafas lega sebelum ia menutup pintu mobilnya dan kemudian berputar ke arah pintu mobil di sebelah Agni. Membukakan pintu untuk gadis itu.
“lo pikir gue manja banget ya sampai pintu aja harus dibukain?” gerutu Agni sambil beranjak dari tempat duduknya.
Alvin tak menanggapinya. Tangan kokohnya meraih tangan Agni dan menenggelamkannya di dalam genggamannya. Menyentuh permukaan kulih lembut gadis itu ternyata berefek jauh lebih ekstrem dari dugaannya. Perasaan intim yang justru membuat jantungnya bekerja ekstra memompa darahnya hingga mendesir sampai ke ubun-ubun. Sensasi yang tak pernah ia dapat dengan wanita manapun, sekalipun itu Ify. Sensasi yang juga dirasakan Agni.
***
Agni kembali membeku setelah lift yang membawanya, berdua dengan Alvin terbuka. Langit lepas terhampar di hadapannya sebagai background lukisan gedung-gedung yang tinggi, membuatnya sadar kini sedang berada di rooftop hotel yang ia ketahui berlantai dua puluhan. Dan satu hal yang menjadi masalahnya, ia takut ketinggian.
“ayo, Ag!” ajak Alvin yang sudah melangkah keluar, dengan tangan yang masih setia menggenggam tangan mungil Agni.
Agni menggeleng. Mendadak wajahnya pias, pucat pasi.
“kenapa?” tanya Alvin. Namun sedetik kemudian terpikir sebuah masalah di benaknya. “lo altophobia?” simpulnya cekat. Agni mengangguk lemah. Refleks Alvin menarik Agni dalam dekapannya, menenggelamkan wajah ayu itu di dada bidangnya, mengusahakan agar gadis mungil itu tenang dan tidak melihat keadaan di sekitarnya.
Baru kali ini juga Alvin merasa begitu khawatir dan merasa bersalah karena melihat ekspresi seorang gadis. Ia merutuki dirinya sendiri yang tak pernah tahu apa yang ditakuti gadis itu. Melihat kondisi Agni, tak mungkin lagi dipaksakan untuk tetap keluar. Alvin memutuskan kembali turun.
***
Mata sipit Alvin memindai wajah ayu Agni, perlahan, tak ingin melewatkan semilipun. Gadis itu sudah jauh lebih tenang setelah menyesap cokelat panas yang masih ia pegang mugnya sampai sekarang. Ia memilih restoran di lantai dasar hotel untuk sekedar bersinggah dengan rencananya yang batal begitu saja.
“sorry, gue nggak tau elo takut ketinggian. Kalo tau gue nggak akan bawa lo ke sana.” Sesal Alvin.
Mata Agni menyipit. Tersurat jelas raut penyesalan yang tulus dari tatapan Alvin padanya. Ia tersenyum manis, senyum yang begitu menenangkan. “pelukan elo tadi cukup membayar semuanya, nyaman.” Agni terkekeh kecil sambil menunduk tersipu.
“lo cantik, banget.” Puji Alvin. Jujur dan setulus senyuman manis Agni. “di luar, lo bukan Agni yang gue kenal.”
“gue juga masih suka kaget kalau lihat bayangan gue sendiri di cermin.” Gadis itu menyesap cokelat hangatnya sekali lagi. Ia baru tahu jika ada yang lebih dapat menenangkan dibanding zat yang terkandung dalam cokelat seperti kata orang, pelukan Alvin. Atau mungkin keduanya mengandung zat phenethylamine yang selalu membuatnya dimabuk cinta. “tapi ini buat bantuin abang gue, kasihan juga kalau dia harus ngehidupin gue sendiri. Terpaksa.”
Jawaban Agni meyakinkan hati Alvin, jika gadis ini yang ia butuhkan sesungguhnya. Gadis hebat dan begitu mandiri.
Dengan tenang tangan kokohnya mengaduk moccacinno pesanannya. “rasa itu, rasa buat gue yang dulu lo bilang lewat surat masih ada?” tanyanya.
Agni tertegun. Ia masih memilikinya, selalu. Rasa itu rasa yang kini membaur bersama rindu yang menggebu untuk sosok sempurna di hadapannya. “selalu.” Lirihnya
Hening. Hanya senandung merdu penyanyi cafe membawakan When You Tell Me That You Love Me milik Diana Rose yang terdengar. Membuat acara yang sebetulnya tak sengaja dibangun ini justru begitu sempurna. Romantis. Ditambah cahaya temaram lampu yang bahkan tak lebih terang dari nyala lilih di meja-meja.
“gue kan udah bilang lo jangan nyari gue! Bebel ya!” omel Agni setelah lagu selesai.
“lo pikir satu gunung bakal jalan ke arah kita kalau kita cuma diam di tempat?” kalimat retoris. Sudah dapat dipastikan apa jawabannya.
Hanya gelengan kepala yang diberikan Agni. Membenarkan penuh pernyataan Alvin. Tak akan lari gunung dikejar. Iya, gunung memang tak akan lari namun juga tak akan mendekat, dan untuk itulah kita harus mengejar.
“kita ibaratkan gunung itu takdir. Dan lo takdir gue.” Kalimat terakhir Alvin menjelaskan segalanya, semua maksudnya.
Agni tersentak tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “tapi gu.. gue nggak.. pantes! If.. Ify?” susah payah ia coba mengeluarkan unek-uneknya dalam bahasa verbal.
“cinta itu bukan pantas atau enggak, ini cuma soal gue butuh elo, dan sebaliknya.” Masih begitu tenang, seakan apa yang sedang dibicarakannya memang bukan masalah serius. “elo, bukan Ify.” Lanjutnya tandas. Sirat makna jika Alvin hanya ingin ada ia dan Agni, tanpa siapapun dan apapun lagi.
“tapi apa lo nggak ada pilihan..”
“cinta bukan pilihan, ini mutlak dan harus.” Potong Alvin lagi. Argumen Agni benar-benar tak penting untuk dipermasalahkan untuknya.
Anak-anak rambut di kening Agni beterbangan karena hembusan nafas pemiliknya. Klise. Satu kata yang begitu saja terlintas di benak Agni tentang kisah yang sedang dialaminya. Kisah cinta si kaya dan si miskin. Terdengar sangat dramatis. Gadis ini membayangkan akankah langkah selanjutnya ia harus bertemu dengan keluarga Alvin, dihina habis-habisan karena ia bukan dari keluarga terpandang, yatim-piatu pula. Dan setelah itu diusir tanpa rasa hormat seperti sinetron-sinetron yang selalu membuatnya mendadak mual saat melihatnya. Tidak!
“sepertinya gue juga mutlak harus bilang enggak, Vin.” Lirih Agni. Ia gadis yang cukup realistis walaupun hal ini bertentangan dengan kata hatinya. Dari balik bulu matanya dapat ia lihat wajah Alvin mulai menegang. Ditariknya kursi yang ia gunakan untuk duduk hingga ke sebelahnya.
“Ag, jangan sia-siakan semuanya.” Lirih Alvin, lebih terdengar seperti sebuah permohonan. “buat gue cukup soal kita.”
“egois!” desis Agni. “elo nggak mikir orang tua elo? Elo nggak mikirin kata orang nanti? Lo pikir elo bisa hidup tanpa mereka?”
“tapi gue butuh elo.”
“lo nggak lahir bareng-bareng gue, sebelum ketemu gue, elo bisa hidup, apa susahnya kalau hidup lagi tanpa gue?” setengah mati Agni menahan agar ketegarannya tidak runtuh. Ia sadar, mencintai selalu berarti membahagiakan, dan ia sadar bukan dia kebahagiaan Alvin.
“gue bisa hidup tanpa elo, tapi gue nggak mau.” Tandas Alvin. Tegas. Tak ingin dibantah. “gue tau elo ngerasain hal yang sama, jadi tolong, temenin gue menapaki kehidupan gue selanjutnya.”
Luluh juga Agni akhirnya. Ia mengangguk, meskipun cukup berat. Setidaknya ada Alvin yang akan menjaganya, yang kan merasakan bahagia dan sakit yang sama dengannya.
“nazar waktu itu gue perbarui deh, gue jadi pengikut elo bukan cuma sebulan, tapi seumur hidup gue.” Seru Alvin penuh kelegaan.
“bodoh! Seharusnya gue yang ngikutin elo, elo itu laki-laki, curut!”
Alvin nyengir kuda. Tapi satu janji terucap sebuah janji, pada dirinya sendiri, jika ia akan menjaga gadis di hadapannya kini. Apapun yang akan terjadi nanti.
***
Rio menepati janjinya. Dengan tangan yang menggenggam sebuah amplop besar berwarna cokelat yang bahkan belum sempat dibukanya, ia melangkah kembali memasuki istana keluarganya. Dan seperti biasanya, tak ada yang berubah, rumah besar, sangat besar itu tetap sunyi. Ia menghempaskan tubuh jangkungnya ke atas sofa di ruang tamu. Matanya melirik jam dinding besar yang menggelantung di tembok. Pukul satu siang, lebih seperempat jam. Seharusnya jam-jam seperti ini, di akhir pekan, keluarganya berkumpul.
Tak mau ambil pusing, Rio melepas asal kacamatanya dan menggeletakkannya begitu saja di sampingnya. Meletakkan kepalanya pada sandaran kursi, dan menutup kedua matanya dengan lengan kokohnya. Lelah sekali rasanya. Tak tahan lagi menahan kantuknya hingga tertidur.
Tuan Krishna Haling, Safira Umari, dan Cakka yang belum menyadari keberadaan Rio masih sibuk bergantian mengacak-acak kepala Acha penuh kebanggaan, tak menyadari juga jika saat ini Acha sudah terpaku di tempat, piala besar yang baru saja didapatnya dari ajang lomba menyanyi antar sekolah nyaris saja terjatuh saat mendapati ada seseorang yang sangat dirindukannya tertidur pulas.
“kak..!” pekik Acha tertahan.
“jangan dibangunin kak Rionya.” Larang Cakka lembut. Digendongnya adik tiri yang sangat disayanginya itu dan ia bawa ke lantai atas. Sebisanya ia memberi pengertian pada Acha jika ada waktu yang tepat untuknya dan Rio, saat ini biarkanlah Rio bersama papa dan mama.
Safira mendekati Rio perlahan, tak ingin membangunkan pemuda manis itu. Duduk di sebelahnya dan membelai puncak kepala Rio penuh kasih sayang. Tanpa sadar air matanya menetes. Ia tau keadaan Rio tak sepenuhnya baik-baik saja. Tubuhnya kurus, lebih kurus dari terakhir kali ia melihat anak itu, tulang pipi dan rahangnya semakin tegas terbentuk. Jelas terlihat dari wajah tampan itu jika pemiliknya begitu lelah, lingkaran hitam di sekitar matanya terpapar jelas.
“dia benar-benar seperti kamu.” Lirih Safira, masih tak ingin membuat Rio terbangun. “bagaimana aku tidak jatuh hati pada putramu ini, Evina?” lanjutnya seakan sosok Evina, ibu kandung Rio, ada di hadapannya.
Krishna Haling duduk di sisi lain putranya. Menatap putra kecilnya yang mulai beranjak dewasa penuh kebanggaan. Segala masalah yang didapatnya tak membuat Rio tumbang, sekalipun sangat berat, apa lagi untuk ditanggung seorang diri. Sampai perhatiannya beralih pada sebuah amplop dengan kop besar bertuliskan “Erasmus Universiteit Rotterdam”. Universitas impian Rio. Tak sabar ia segera membukanya. Rasa bangga dan bahagia begitu meluap-luap di dada tuan besar Haling mendapati apa yang tertulis di dalamnya. Surat keputusan jika Rio diterima di program beasiswa sekolah bergengsi itu. Dan putranya membuktikan apa yang pernah ia ucapkan sendiri, ia bisa berdiri tanpa bantuan sang ayah. Pewaris utama kerajaan bisnisnya yang memang sangat tepat.
Merasakan ada orang-orang di sebelahnya, Rio terbangun, mengerjapkan matanya untuk beradaptasi dengan cahaya.
“kamu sudah bangun, Mario?” sambut Safira dengan senyum tulus di bibirnya. Rio tak mengubah ekspresinya, masih datar.
“papa bangga sama kamu!” ucap Krishna sambil menepuk bahu Rio.
“ceritakan kenapa Rio dan Ify tidak boleh bersama!” perintah Rio tanpa mengindahkan ucapan ayahnya. Meminta sebuah bayaran untuk apa yang baru saja ia sodorkan pada sang ayah.
“permusuhan antara klan Umari dan Haling sebenarnya memang sudah mendarah daging, pada mulanya memang murni karena bisnis, yang tidak pernah kami acuhkan, papa dan Pratama. Kami bersahabat.” Krishna Haling memulai monolognya.
“sama seperti saya dan Evina, ibu kamu.” Tambah Safira.
Rio terhenyak. Wajahnya mengeras menahan amarah. Sahabat macam apa yang tega “bermain” di belakang. Namun sekuat tenaga Rio berusaha menahannya, semua masalah harus segera diselesaikan.
“Evina adalah orang yang sangat dicintai Tama, sama seperti papa yang sangat mencintai Safira.”
Rumit. Mengapa dunia menjadi begitu sempit. Ruangan yang justru membuat semua masalah semakin sulit karena saling membelit.
“namun ternyata, ayah papa dan ayah Evina menjodohkan kami, dan ini permintaan terakhir ayah mendiang ibumu, kakekmu.” Krishna menghela nafas berat, tak semudah itu mengungkit luka lamanya. “papa dan mama berada di posisi yang sulit, kami tidak saling mencintai, kami punya cinta yang lain.”
Rio dapat mengerti itu sepenuhnya. Rasa yang sama saat cinta itu ditekan untuk tidak dapat bersatu.
“ayah papa juga mengancam tidak akan menganggap papa sebagai anaknya jika tidak menuruti permintaan mereka, menikah dan memberi mereka seorang cucu laki-laki sebagai penerus. Itulah mengapa kakekmu sangat membanggakanmu.”
Ingatan Rio melayang. Mendiang sang kakek benar-benar hebat di matanya. Membangun sebuah group bisnis sebesar Haling Corp dengan jerih payahnya. Lelaki yang masih nampak gagah hingga masa tuanya itu begitu membanggakannya, dan menuruti apa saja yang dia minta. Ini lah alasannya, yang baru saja diketahuinya.
“tapi papa juga telah bertindak bodoh, papa tidak bisa menyalahkan Pratama seutuhnya jika akhirnya ia mengecap papa bajingan, papa meninggalkan adik yang sangat ia cintai dalam keadaan mengandung, untuk kekasih hatinya.”
Rio menumpukan punggungnya pada sandaran kursi kuat-kuat. Dia benar-benar tak dapat menghakimi siapa yang bersalah dalam kasus ini saat ini. Darimana ia harus memulai semuanya untuk mencari penyelesaian. Ia dapat merasakan isi kepalanya berdenyut hebat, seakan-akan ingin meledak.
“saya berhutang banyak pada ibumu, Mario. Ia yang menyuruh ayahmu bertanggung jawab atas saya dan Cakka.” Ucap Safira dengan suara bergetar, air matanya mulai meleleh. “Saya tidak pernah tahu hati malaikat mana yang dititipkan padanya dan mengapa ia dipanggil begitu cepat.”
Tangan Rio terulur, menghapus air mata di pipi Safira, bonus sebuah senyuman tulus di bibirnya yang membuat Safira tertegun. Anak ini mewarisi sifat ibunya yang berhati besar.
“mama pernah bilang, jangan pernah membuat seorang wanita menangis, siapapun itu.” senyum Rio tak lekang. “wanita itu lemah, namun itu lah alasan laki-laki tak boleh menyakitinya.” Lanjutnya. “boleh saya panggil anda... bunda?” setelah Rio menimang permintaannya, rasanya ia sangat merindukan sosok wanita penuh kasih yang selalu ada untuknya, walaupun tak akan pernah mampu menggantikan sang mama kandungnya.
Tanpa menunggu jeda, Safira merengkuh Rio ke dalam pelukannya, dibelainya kepala Rio lembut, penuh kasih. Ini yang ia harapkan, bukan untuk menggeser posisi Evina, namun membalas jasa perempuan berhati emas itu.
“bro!” sapa Cakka semangat, dengan Acha yang digandengnya. Rio menoleh dan merengkuh kedua saudaranya diiringi tatapan bangga dan penuh haru kedua orang tuanya.
“mimpi gue jadi nyata!” seru Cakka dan Rio bersamaan disusul tawa dari kelimanya.
Rio tersenyum hangat ke arah foto almarhumah ibunya yang juga tengah tersenyum. Senyum penuh kelegaan. Satu masalah berhasil dilewatinya. Dan tinggal satu yang harus ia raih, cintanya, Ify.
***
Senyum tak hentinya merekah di bibir Ify. Sepertinya sudah snagat lama ia tak merasakan sebahagia ini. Tangannya melingkar erat di perut Rio yang tengah mengendarai sepeda motor. Meliuk-liuk membelah kota. Tanpa tujuan yang jelas.
“capek, Fy! Mau kemana?” tanya Rio akhirnya.
“kemanapun asal sama kamu!” jawab Ify antusias, sekaligus tak ingin ambil pusing.
Mata Rio memicing melihat metahari yang mulai condong ke barat, sebuah tempat langsung terpikir di otaknya. Tempat yang sepertinya sempurna untuk menghabiskan waktunya dengan Ify sore ini.
***
Ify dan Rio diam berdua, menghadap ke ufuk barat dimana rajanya hari sudah membulat sempurna tanpa cahaya menusuk mata. Diam. Tak sepatah katapun keluar dari bibir keduanya. Rio bersandar pada tiang pondasi gedung yang belum sepenuhnya jadi namun sudah ditinggalkan oleh kontraktornya, sengketa lahan yang diketahui Rio sebagai penyebabnya, meskipun tak pernah ia ambil pusing juga. Ify bersila di sebelahnya, memandang lukisan gedung-gedung tinggi dengan latar matahari terbenam, cantik sekali. Ia selalu tak habis pikir darimana Rio tahu tempat-tempat menajubkan namun begitu sepi, sunyi dan hanya terisi kedamaian.
“darimana kamu tahu tempat kaya gini?” tanya Ify membuka obrolan.
“nggak sengaja, waktu berburu foto.” Jawab Rio seadanya, sama sekali pandangannya tak teralih pada Ify.
“kenapa kamu selalu ngajakin aku ke tempat sepi kaya gini?”
“kenapa? Nggak suka?”
Masih Rio yang dulu. Ify mendengus sedikit sebal, sepertinya memang penyakit jutek, cuek, dan dingin kekasihnya ini sudah bawaan lahir, tak bisa diubah. Namun itu lah yang membuatnya selalu jatuh hati pada pemuda hitam manis ini, tak pernah bisa ditebak.
“tanya doang.”
“aku nggak suka keramaian. Beda sama kamu kan?”
Ify tertegun, ia sadar betul apa maksud Rio. Dua hal yang baru ia sadari, pertama, ternyata Rio benar-benar tahu siapa dia, shoppaholic, ia suka pesta, dan ia juga suka pergi ke club malam, dan yang kedua, sejak ia menjadi milik Rio, Ify tak pernah melakukannya lagi. Bersama Rio, berdua saja, ada ketenangan dan kedamaian yang tak pernah ia dapatkan dimanapun. Dan itu yang sebenarnya ia cari, ia temukan dalam sebuah kesederhanaan.
“kamu nggak kangen aku?” rajuk Ify sambil bergelayut manja di lengan Rio.
Rio melirik Ify sekilas, dengan senyum kecil di bibirnya. Gadis mungil ini benar-benar membuatnya gemas. Ia tahu pasti apa yang dimaksud gadisnya ini. Dan apa yang ia mau.
“nikmati dulu semuanya.” Bisik Rio sarat makna.
Kening Ify mengrenyit. Tidak mengerti. Rio terlalu berbeda dengan laki-laki lain. Ia yang bergelimanan harta, namun apa adanya. Dulu Ify selalu membayangkan jika pacaran itu jalan ke mall, dinner, atau hal yang biasa ia lihat di drama atau teman-teman sekolahnya, tapi dengan Rio ia tak pernah melakukannya.
Langit memerah, banyak burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Pemandangan yang dulu Ify kira tak pernah bisa ia dapat di tengah kota besar. Tapi saat ini benar-benar terhampar di pelupuk matanya.
Mereka berdua diam, menikmatinya hingga langit menggelap. Sampai Rio beralih menatap Ify dengan tatapan yang begitu teduh. Ify tersenyum hangat, teringat saat pertama kali pemuda ini menatapnya, matanya tajam, seperti elang, benar-benar berbeda dengan hari ini. Dan karang itu benar-benar terkikis habis.
Hawa dingin memeluk. Berkali-kali Ify menggosokkan telapak tangannya. Sedikit menyesali pakaian yang ia kenakan saat ini. Hanya you can see pink yang ditambah blues putih transparan tanpa lengan yang jelas memamerkan keindahan bahu dan lehernya yang sempurna.
“dingin? Makanya kalau pake baju yang bahannya full, jangan setengah-setengah.” Sindir Rio. Ia tak melakukan apapun, hal yang benar-benar membuat Ify gondok setengah mati. “buat aku, apapun yang kamu pakai, kamu itu...” Rio mendekatkan bibirnya ke telinga Ify, deru tegas nafasnya sukses membuat tubuh gadis mungil itu menegang. “seksi.” Lanjutnya, lirih, bahkan hanya terdengar seperti sebuah desahan, membuat pipi Ify benar-benar panas dan memerah.
Dari balik bulu matanya Ify dapat melihat mata Rio mengerling genit. Benar-benar membuatnya semakin tak karuan. Jantungnya berdegub lebih keras dan seakan ingin melompat jauh-jauh dari tempatnya.
“sorry, aku juga nggak bawa jaket.” Ucap Rio kembali menetralkan suasana. Ia diam, sejenak berpikir apa yang bisa ia lakukan. Kalau saja saat ini ia memakai kemeja, pasti akan dilepasnya dan diberikan pada Ify, tapi saat ini ia hanya menggunakan polo t-shirt, kalau ia lepas, bertelanjang dada, bisa-bisa mereka dikira sedang berbuat yang tidak-tidak kalau ada orang yang lewat. Sampai tiba-tiba terpikir sebuah cara yang pernah ia dengar dari Dayat, preman pecinta alam itu pernah menceritakan jika untuk menghidari hipotermia para pendaki gunung biasanya melakukan sentuhan fisik dengan lawan jenisnya, seperti berpelukan.
“sini!” Rio membimbing tangan Ify, menggiring gadis mungil itu ke pangkuannya dan kemudian ia peluk erat-erat. Beruntung tubuh Ify kecil, tak terlalu sulit menenggelamkan gadis itu dalam pelukannya bagi Rio.
Dari tempatnya Ify benar-benar dapat menangkap dengan jelas aroma maskulin tubuh Rio. Aroma menggetarkan sekaligus menenangkan, belum lagi belaian tangan Rio dari leher hingga ke telapak tangannya benar-benar membuatnya tak karuan, darahnya seakan mendidih, pikirannya meletup dak terkontrol, sebanding dengan desiran gila di dadanya. Serentak hawa dingin itu memang tak lagi ia rasakan. Spontan kedua tangannya merengkuh tubuh Rio, memeluk erat dan menyembunyikan wajahnya pada leher kokohnya, mencoba menatralisir perasaan.
Rio memejamkan matanya. Mencoba mengusir setan kecil yang bermain-main dipikirannya. Tak ingin kebodohan itu terulang. Ia sadar jika seharusnya gadis ini ia jaga. Tubuhnya kaku, kedua tangannya ia biarkan terkulai tak membalas pelukan Ify.
“pulang, Fy?” tawar Rio. Sungguh ia takut kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Ify mendongak, mengigit kecil bibir bawahnya. Hatinya benar-benar menginkan hari ini tak berakhir. Masih ingin terus bersama Rio, karena ia tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi lagi setelah ia kembali memasuki tembok dingin kediaman Umari. Bukan tidak mungkin ia tak akan pernah lagi bisa bertemu dengan Rio. Keraguan itu semakin nyata saat potongan kisahnya berputar, saat Rio meninggalkannya tanpa pesan dan seakan ia menghadapi penentangan itu sendirian, dan pada akhirnya harus pasrah. Dengan mantab ia menggeleng.
Tangan kokoh Rio menangkup wajah manis Ify. Menatapnya penuh kasih sayang. Ia tahu semua kesalahannya. Ify tak salah meragukannya. Bahkan ia sudah tak sanggup lagi mengucap janji pada gadis ini. Tak tega jika dengan cuma-cuma lagi gadisnya ini harus berbelaskasihan untuk memaafkannya. Sedang Ify masih menggit kecil bibirnya, aksi yang semakin membuat setan di pikiran Rio meliar. Bibir mungil yang pernah dikecupnya, dan kini benar-benar ia inginkan lagi, merasakan manisnya yang sebenarnya tak pernah ia lupakan. Singkat, Rio membuang jarak antara ia dan Ify.
Satu-dua bintang yang sebelumnya muncul menjadi pemanis langit kini lebih memilih menenggelamkan dirinya berselimut pada gumpalan awan. Membiarkan keturunan Adam dan Hawa di bawahnya hanya berdua, mengijinkan dunia dan waktu sejenak menjadi milik mereka. Hadiah kebahagiaan yang manis untuk sedikit mengusung beban yang dipanggul menjauh.
“aku mau bawa sesuatu buat kamu,” ucap Rio dengan nafas yang masih terengah. Ia diam, mengatur nafasnya, memantabkan hatinya. “akhir yang indah untuk kisah kita.”
Rio menurunkan tangannya dari wajah Ify, bangun dari duduknya. Ify menyusul.
“doakan aku berhasil!” ucap Rio sebelum berjalan menjauh, meninggalkan Ify.
Senyum Ify merekah. Tangan kanannya tergerak meraba bibir merahnya. Kecupan-kecupan lembut yang baru saja diterimanya terasa kekal, penyatu yang kasat yang justru tak akan pernah hilang. Rio bukan lagi seorang pemuda yang dulu membuatnya jatuh cinta, tapi seorang lelaki dewasa yang akan menjaganya melewati sisa jalan hidupnya, dan Ify tahu apa yang baru saja Rio ucapkan bukan sebuah janji, hanya harapan tulus pada Sang Pencipta yang telah menyatukan mereka untuk mengabadikannya. Gadis mungil itu melangkah ringan menyongsong Rio yang sudah cukup jauh. Semuanya akan baik-baik saja.
bersambung.....
alhamdulilah akhirnya dilanjutin lagi. . kak bikin sekuelnya juga dong hehe
BalasHapus