Kamu pernah ada, akan selalu ada..
Kalau bukan dirimu yang menemaniku,
ijinkan kisah kita melakukannya..
***
Aku duduk di tengah canda tawa kawan lamaku. Dengan bola mata yang coba mencuri langkah ke ekor kelopaknya untuk memindai seluruh ruangan yang sudah terlihat sangat manis dengan berbagai hiasan. Dan akhirnya manik bening ini lelah, memutuskan untuk berhenti pada satu titik, pintu masuk utama dengan plang bertuliskan SMA Cakra Buana yang bertengger di atasnya. Lampu-lampu yang mengitarinya berkedip silih berganti menyambut setiap yang datang. Namun aku tak menemukannya, dia, alamat untuk sejumput rindu yang masih tersimpan di dada.
“cari siapa, Ai?” tanya Rian mengagetkanku, melamurkan semua lamunanku. Aku juga yang salah, tanpa aku sadari kepalaku telah menoleh penuh didorong rasa penasaranku. “Radith?” tanyanya lagi, kali ini dipulas dengan senyum geli di bibirnya. Hampir lima tahun berlalu, dan ia tetap saja tak berubah, dengan caranya yang menyebalkan itu ia selalu mengetahui apa yang aku pikirkan, benar-benar sahabat sejatiku.
Aku hanya bisa memamerkan cengiran kuda, cengiran polosku yang aku ingat sekarang ini jarang aku kembangkan. Aku tak suka berbohong, bahkan untuk hal kecil sekalipun seperti pertanyaan sepele yang biasanya disembunyikan jawaban jujurnya seperti ini, ada dua alasan, kata itu sangat tidak enak didengar, dan alasan kedua kalau hal kecil saja tak dapat kita lakukan apa lagi yang besar?!
“Rian?” sapa sesorang dari balik tubuhku, penuh semangat dan kegembiraan, pada Rian yang berdiri berseberangan denganku. Sebuah suara yang membuat jantungku berhenti berdetak untuk sekejap dan seterusnya tubuhku beku, tak mampu lagi bergerak, tak berani melihat sumber suara, karena tanpa itu pun aku tau pasti siapa dia.
“woyo.. Radith!!” balas Rian tak kalah semangat sambil mejulurkan tangannya untuk dijabat penyapanya. Dan terbukti intuisiku sama sekali tak salah. Aku sedikit melirik pada dua tangan kokoh yang masih saling bersalaman itu, aku pastikan jika Rian, si raja usil itu akan berbuat macam-macam, dan... dugaanku salah, tangan Rian menarik tangan Radith hingga pria yang dapat aku tangkap sedang mengenakan setelan celana jeans hitam yang dipadu dengan kemeja hitam yang lengannya ia lipat hingga ke siku itu berdiri sejajar dengannya. “pak direktur, masih inget dia enggak?” Rian berkelakar dengan telunjuk tangan kirinya mengarah tepat pada wajahku, sementara lengan kanannya merangkul pundak Radith, yang mau tak mau membuatku mendongak dengan raut penuh aura neraka pada pria tinggi tambun itu.
Kini, tepat di hadapanku aku menemukan kembali senyum yang aku rindukan. Pria tinggi hitam manis itu berdiri tegak di hadapanku, memamerkan gigi gingsulnya yang justru membuat lengkungan bibirnya makin mempesona, ditambah lagi lesung pipit di pipi kanannya. Ya Tuhan, dia tetap sama, dia tetap mempesona.
“hallo... jenong,” sapanya dengan senyum yang lebih lebar, tangannya sekarang terulur lurus di hadapanku.
Aku mendengar keraguan saat ia mengucap panggilan sayangnya padaku saat kami masih bersama merajut kisah itu. Yang hasil rajutannya mungkin masih aku kenakan hingga kini.
“hai, ltem, that’s so nice to meet you, again.” Balasku sambil menjabat tangannya penuh kekawatiran jika ia akan merasakan betapa dinginnya tanganku saat ini.
Tanpa menunggu detik berganti, ia tertawa terbahak-bahak, entah karena apa. Sungguh ia tetap sama, tetap menyebalkan. Aku hanya bisa memajukan bibirku dan membentuknya menjadi kerucut. Tak ingatkah ia aku tak suka tawa penuh pelecehan itu?
“jangan manyun-manyun, Ai! Jelek!”cela Rian ikut-ikutan, namun setelah itu ia pergi meninggalkan kami berdua tanpa pamit, permisi, atau apapun.
“udah puas ketawanya?” tanyaku sebal pada Radith yang baru saja menghentikan tawanya. Ia hanya mengangguk sambil memegangi perutnya. Kurang ajar.
“kamu bener-bener berubah! Bukan Ai-nya Radith lagi!” ucapnya masih di sela sisa tawanya.
Aku semakin memajukan bibirku. Dan saat itu pula aku sadar jika segalanya memang sudah berubah. Aku bukan lagi seorang siswi dengan dandanan seadanya, rambut hanya dikucir ekor kuda asal-asalan, sepasang sepatu keds yang nyaman, rok menggantung beberapa centi meter di atas lulut dan kemeja seragam yang keluar dari persembunyiannya di dalam rok, hal yang sering menjadi bulan-bulanan para guru. Aku sekarang adalah seorang Financial Advisor yang memang dituntut untuk selalu tanpil rapi dan anggun. Saat ini pun aku berdandan begitu feminin dengan short dress biru muda, rambut digerai, dan kakiku aku relakan untuk dialasi sepasang highheels silver.
“kamu pikir kamu nggak berubah? Radith si preman cicak sekolah sekarang bermetamorfosis jadi eksekutif keren begitu, jujur, aku nggak pernah ngebayangin.” Tuturku, masih dongkol rasanya. Aku saja tak bereaksi seradikal itu tentang perubahannya yang drastis, hingga aku tak menemukan lagi preman yang selalu menjadi incaran guru-guru dahulu.
“nggak ada yang nggak berubah dari kita berarti,” simpulnya yang kini telah sepenuhnya berhenti tertawa.
“kisah kita yang nggak akan berubah, atau bahkan nggak akan bisa dirubah.” Selorohku. Kali ini ganti aku yang terkekeh geli.
Tawaku terhenti saat aku menyadari ia menatapku. Bukan tatapan bak busur panah, seumur-umur aku mengenalnya ia tak pernah melayangkan tatapan yang memporak-porandakan seperti itu darinya. Namun, dalam posisi biasapun memang tatapannya tajam.
Tanpa menunggu reaksiku selanjutnya ia menarik tanganku, sedikit kasar, masuk ke dalam sekolah. Pada akhirnya aku pasrah dan mengiringinya berjalan di sepanjang selasar. Ia membawaku kembali terjerembab masuk ke dalam masa lalu, kedalam kisah itu..
***
Kisah ini tentang aku, aku bukan seorang tokoh dongeng dengan sejuta pesona yang ditawarkannya, aku hanya seorang siswi biasa. Aku tidak cantik, tidak berambut elok, tidak tinggi semampai, biasa saja, sama seperti tokoh yang tak pernah teranggap dalam cerita Putri Salju atau Cinderella. Prestasiku juga biasa, bisa dicapai setiap orang dengan kemauannya, hanya menempati posisi tiga teratas pararel di sekolah setiap semesternya. Maaf jika kesannya aku sombong, tetapi tak ada hal lain yang bisa aku banggakan selain itu.
Aku saat ini duduk di bangku kelas sebelas di sebuah sekolah menengah atas di kota kebanggaanku, Yogyakarta. Di sekolah aku bukan orang yang menjadi pusat perhatian dimanapun aku berada, bahkan menurutku cenderung terabaikan. Semuanya biasa saja. Di OSIS aku hanya menjabat seksi kewarganegaraan, tak terlalu penting. Namun aku tak pernah menyangka jika aku yang biasanya invisible ini bisa mendapat sebuah kebanggaan, berada di sisinya, dia yang luar biasa, ia yang juga ku anggap harus dilenyapkan dari area sekolah, namun akhirnya aku merasa kecil di hadapannya.
Seperti pagi biasanya, pagi ini pun aku berjalan menyusuri lorong sekolah dengan senyum yang aku suguhkan saat berpapasan dengan orang yang aku kenal. Langkahku besar-besar, mengingat ada tugas yang harus aku kumpulkan hari ini tetapi belum aku selesaikan.
Tak ku sangka jika pagi itu emosiku akan diuji, melihat bangkuku yang terletak di sudut kanan paling belakang kelas sudah ditenggeri si preman sekolah, Raditya Buana, bersama komplotannya, genk paling terkenal di sekolah. Harus aku akui, kebanyakan dari mereka memang berpenampilan wah, cukup tampan dan keren sehingga menjadi incaran banyak siswi, ditunjang dengan mereka yang berdompet tebal. Tapi sumpah, aku sama sekali tak silau.
“Dith, minggir lah! Gue mau duduk.” Usirku tanpa basa-basi.
“gue duduk sini, Ai, bosen sama Adit.” Jawabnya seenaknya.
“Alia gimana?” aku menyebutkan nama sahabat karibku yang selalu duduk di bangku yang kini ditempati Radith.
“lo sama Lia kan sama-sama pinter, nggak baik kalo duduk barengan terus, sekali-kali lo duduk sama gue.”
Ingin sekali rasanya saat itu aku menamparnya bolak-balik. Seenaknya saja orang ini. Beberapa waktu ke depan aku habiskan untuk berdebat habis-habisan dengannya. Biasanya, aku selalu menang jika beradu argumen seperti ini, namun kali ini, seorang Raditya yang aku anggap “tak punya otak” dengan mudahnya mementahkan apa yang keluar dari mulutku. Sampai akhirnya aku menyerah, mengiklaskan nasib karena malas adu mulut lebih lama dan terutama karena mengingat bu Lastri, guru Bahasa Indonesia atau yang lebih dikenal dengan satpam sekolah karena “kesadisannya” sudah memasuki kelas.
“Radith..” sapanya sambil memusatkan perhatian ke mejaku, jelas terdengar nada heran di sana. “kamu tumben duduk sama Ai?” lanjutnya.
“mau tobat, Bu!” jawab Radith lugas. “sukur kalo bisa tiap hari begini, bu! Kayanya saya bisa jadi anak manis.” Imbuhnya dengan nada imut dibuat-buat, kontan memecahkan gemuruh tawa seisi kelas.
“kalau begitu, duduk saja kamu di situ seterusnya!” titah bu Lastri seenaknya, membuat moodku semakin buruk saja.
“Lia gimana, Bu?” aku mencoba berkelit.
“sama Linda juga tidak masalah.” Jawabnya sewenang-wenang sambil membuka buku paketnya.
Aku mendengus sebal sambil melayangkan tatapan memunuh pada Radith yang sudah menyeringai lebar penuh kemenangan.
“benci sama cinta itu beda tipis loh, padahal biasanya cewek yang deket gue itu langsung jatuh cinta.” Bisiknya setelah mendekatkan bibirnya ke telingaku agar ia bisa berbicara pelan karena pelajaran sudah dimulai namun juga agar aku dapat mendengarnya dengan jelas. Ku dorong kuat-kuat wajahnya yang sedang terkekeh geli dengan telapak tanganku.
“dasar item!” celaku, begitu saja meluncur dari bibirku.
“jenong!” sahutnya tak mau kalah, namun tatapannya kini sudah terfokus pada deretan kalimat yang sedang ditulis bu Lastri di papan tulis.
Aku menelan sendiri kedongkolanku karena apapun yang aku lakukan untuk mengerjainya justru membuatku makin jengel, tak ada hal lain yang bisa aku lakukan kecuali diam sambil membayangkan jalan takdirku ke depan jika harus terus berdekatan dengan orang setengah waras ini.
***
Hari ini kelas begitu hening, menikmati ketegangan saat pak Yanuar, guru BK kami menyampaikan “tausiyah”nya dengan tatapan tajam yang terarah pada kami satu-persatu. Sebab kemarahan beliau hingga memblokir jam mengajar pak Misran adalah tawuran yang dilakukan beberapa siswa sekolah kami dengan sekolah lain. Kalau sudah begini, guru-guru suka seenaknya, yang tidak siswa dan siswi yang tidak mengerti apapun juga menjadi korban mereka, padahal aku yakin jika mereka telah mengantongi nama tersangkanya, kalau tak tahu, jelas bukan hanya kelas kami yang diadili.
“bapak tidak akan menyebutkan siapa tersangkanya, tapi bapak harap kalian mengaku sebagai ksatria!” pak Yanuar mengakhiri pidatonya. Guru berperawakan tinggi dan berkulit hitam karena terlalu sering tersengat matahari itu kembali menatap satu persatu dari kami, namun dalam diam.
Aku membuang tatapanku ke cendela, menerawang ke gumpalan awan yang berarak-arakan dengan langit biru sebagai lintasannya. Bosan sekali rasanya. Aku rasa pak Yanuar sedang melakukan perbuatan yang sia-sia karena menurutku pasti mental pelakunya tak ubahnya kerupuk, kena angin sedikit renyahnya hilang. Tak mungkin mereka mengaku karena nyali mereka kecil, tak punya tanggung jawab sama sekali.
Dugaanku salah. Aku tercengang saat tiba-tiba saja Radith mengundurkan kursinya kemudian mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya.
“saya, Pak! Saya yang tawuran kemarin.” Ucapnya dengan nada yang membuat rahang bawahku lebih susah lagi terkatup, dengan ringannya ia mengakui kesalahan besar yang baru saja ia lakukan, seakan yang baru saja dikatakannya adalah –saya-bisa-mengerjakan-soal-itu-. Kemudian ia berjalan di sela baris sambil memasukan kemeja seragamnya yang sebelumnya ia biarkan menjuntai indah ke dalam celana.
Ya Tuhan, yang lebih gila lagi, Radith berani menatap mata pak Yanuar secara langsung, tatapan yang bahkan sudah berhasil membuat seluruh murid di kelas menundukan kepalanya dalam-dalam karena ketakutan.
“kenapa kamu melakukannya?” interogasi pak Yanuar.
“mereka ngerusak motor kita, Pak.” Dan tak ada nada ketakutan yang terdengar sama sekali dari kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“sama siapa saja kamu?”
“saya kan udah berandalan, Pak, masa bapak mau nyuruh saya jadi orang yang nggak setia kawan juga?” jawab Radith santai, tapi maksud dan kata-katanya telak membuat pak Yanuar susah payah menelan ludahnya.
Goal! Kalau saja aku tak memiliki rasa hormat pada Pak Yanuar, oke, kalau saja aku memiliki nyali sebesar milik Radith, aku akan bertepuk tangan keras untuknya. Sebuah sorakan menggema di otakku, ‘He is a true gentle man!’ pertama, dia bukan hanya berani berbuat, namun juga bertanggung jawab, yang kedua, kejujurannya pantas diacungi jempol, ketiga rasa kesetiakawanannya, dan yang terakhir, ia tak gentar sama sekali membela apa yang ia anggap benar.
Serentak aku merasakan ratusan kupu-kupu berdansa di perutku, menimbulkan kelitkan halus namun begitu nyata di hatiku dan membuat jantungku tersentak-sentak. Gemuruh sorak kekagumanku serentak berubah menjadi tanda tanya besar, ada apa dengan diriku?
“bapak hukum kamu membersihkan seluruh toilet!” pak Yanuar menjatuhkan vonisnya. Suara tegasnya membuatku kembali memusatkan pandanganku ke arahnya, dan Radith tentu saja. Dari bangkuku yang memungkinkanku melihat sebagian besar kelas secara bersama-sama, aku melihat beberapa orang yang aku ketahui anggota genk Radith menatap ketua tanpa pengangkatan mereka penuh permohonan maaf. Banci, kata itu langsung saja meletus di otakku tanpa perintah. Dan apa reaksi Radith yang kulihat? Ia hanya mengibaskan poninya yang sebenarnya tidak terlalu panjang penuh ke banggaan. Membuat seluruh isi kelas terkikik menahan tawa.
“Radith bersihin kamar mandi bisa masuk angin!” seloroh Riva cukup keras setelah pak Yanuar dan Radith keluar kelas, cukup membuat ketegangan di wajah teman-teman Radith yang terselamatkan jiwanya sedikit mengendur. Riva adalah teman cewek yang paling dekat dengan Radith sejak kelas satu.
Selama ini aku hanya tahu siapa dan bagaimana Radith dari cerita-cerita teman-temanku, itupun hanya angin lalu yang tak pernah ku anggap. Meskipun cewek, aku tak terlalu suka gossip, tak penting dan tak punya hak untuk membicarakan dan mengomentari sesuatu yang tak kita ketahui sampai akarnya. Dari sekian banyak kabar hanya aku ingat jika Radith itu banyak yang naksir, Radith itu berandalan dan menjadi center attentionnya para guru, dan yang terakhir ia memiliki hubungan spesial yang sudah cukup lama terjalin dengan kakak kelas yang bernama Nada. Masih banyak lagi kabar tetangnya, namun hanya itu yang aku ingat karena bukan hanya sekali dua kali aku dengar, sering bahkan.
***
Berhari-hari berlalu sejak kejadian itu. Sejak saat itu juga aku merasa semakin nyaman dekat, bicara, dan bertukar pikiran dengan seorang Raditya Buana. Yang menarik darinya adalah dia selalu bisa menempatkan diri sebagai seorang pemimpin, mengajar tanpa menggurui. Pikirannya sulit ditembus dan disangkal. Semakin lama juga aku makin tak heran jika ia memiliki banyak sekali teman.
Dan entah mengapa dua jam ini pikiranku dipenuhi oleh segala sesuatu tentang Radith. Rasanya ingin sekali bertemu dengannya untuk sekedar adu mulut. Aku melirik kursi kosong di sebelahku yang kosong ditinggal pemiliknya, ia tak masuk, atau belum masuk tanpa keterangan yang jelas.
Ku jawil pundak Adit yang duduk tepat di depanku. “Dit, Radith kemana?” tanyaku sedikit berbisik karena tak ingin mengganggu guru yang sedang mengajar. Aku yakin karibnya ini tau dimana Radith.
“nggak tau gue.” Jawab Adit. Kecewa juga mendengar jawabannya, namun tak ada yang bisa aku lakukan.
Jam istirahat aku memilih tetap di kelas, ajakan Lia sampai Adit untuk ke kantin aku tolak. Malas sekali rasanya. Aku sembunyikan wajahku di dalam lipatan tanganku yang disangga meja. Sejenak mencoba memejamkan mata karena rasanya lelah sekali tanpa sebab.
BRAK!
Suara suatu benda yang dibanting kasar tepat di samping kepalaku. Dengan malas aku tengadahkan kepalaku dan mendengus malas setelahnya. Radith berdiri di sebelahku lengkap dengan cengiran tanpa dosanya. Jaket kulit hitam yang sering ia pakai masih melekat di tubuhnya, tanda ia memang baru saja sampai.
“sekali preman cap jengkol ya tetep aja begitu.” Sindirku seolah tak peduli.
“kangen aja lo sama gue? Iya kan?” tuduhnya sambil membanting tubuhnya ke kursinya. Entah mengapa dakwaan sok tahu itu terasa sangat telak untukku.
“sotoy!” hardikku sambil memberesi buku bekas pelajaran sebelumnya, masih berpura-pura acuh.
“kata Adit lo gelisah mulu dari tadi? Terus nanyain gue?” aku rasa bila diteruskan penyakit geernya akan semakin meraja lela. “Ai, ajarin pelajaran yang gue lewatin tadi dong, takut ketinggalan.” Pintanya sambil menahan tanganku untuk memasukan buku yang telah aku tata rapi-rapi. Dan untuk pertama kalinya, aku merasakan jantungku berhenti berdetak dalam tiga hitungan, dan setelahnya berdebar tak terkendali, persis sama dengan saat merasakan kafein dari kopi yang kita minum saat tangan kokohnya menggenggam lembut tanganku.
Tak ambil pusing aku buka kembali bukuku, mulai ku terangkan materi yang Radith lewati tadi. Perlahan, aku coba pilih kata yang paling mudah dan ringkas untuk dipahami, bukan karena aku manganggap ia bodoh, tapi aku mulai tahu jika ia tak suka hal yang terlalu berbelit-belit. Satu soal matematika sejenis dengan yang tadi diajarkan pak Misran aku kerjakan pelan-pelan, paket lengkap dengan penjelasannya. Ada yang aneh, dia tak merespon sama sekali. Aku menoleh ke arahnya. Dan apa yang ku dapati? Radith bukan memperhatikan kertas yang aku gunakan untuk menerangkan malah justru menatapku, seakan mencari sesuatu yang janggal dari wajahku. Dan saat tatapan kami berpapasan, sorot matanya menajam, jantungku yang sudah berangsur berdetak normal kini kembali bekerja ekstra, aku melihat ada yang berbeda dari caranya menatapku, sama sekali berbeda dengan cara Rian, Adit, Galih, atau teman cowokku yang lain memandangku.
“ngerti, Dith?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatian. Pipiku sudah seperti dipanggang rasanya, dan saat itu udara mendadak menjadi sangat panas.
“ngerti..” jawabnya sedikit menggantung sepertinya ia juga mencoba untuk kembali menormalkan keadaan.
“kerjain yang ini!” perintahku sambil menunjuk sebuah soal dari beberapa deretan soal di buku paketku.
Aku lihat Radith justru nyengir lebar sambil menggaruk kepalanya, menyiratkan jika sebenarnya ia tak mengerti. Aku mendengus kesal dan melayangkan tatapan marah padanya.
“tadi bilang ngerti?” makiku.
“gue bisikin sini!”
Dengan polosnya aku mengikuti perintahnya, mendekatkan telingaku padanya.
“ngerti, kalo tadi pipi kamu merah.” Bisiknya di sambung siulan tanpa dosa yang melengking nyaring dari bibirnya.
Spontan aku memukul bahunya gemas. Sama sekali aku tak mengerti apa maunya sekaligus malu setengah mati.
“Ai,” panggilnya setelah beberapa saat keheningan tercipta diantara kami. Aku menoleh dengan tatapan mengisyaratkan aku menanggapinya. “gue pengen berhenti sekolah,” lanjutnya serius, yang membuat rahangku menganga karena terkejut.
“kenapa?” tanyaku mencoba kembali sebiasa mungkin.
“pengen kerja.”
“orang tua lo nggak sanggup bayarin sekolah lo?” yah, aku tahu itu pertanyaan bodoh, karena terakhir aku tanyakan padanya, apa perkerjaan orang tuanya ia menjawab jika ayahnya seorang direktur di sebuah perusahaan swasta.
“bukan! Gue aja yang pingin.”
“bego! Gue tau lo cerdas soal bisnis, main game aja bisa dapet duit, tapi emang lo nggak pengen banggain orang tua elo? Mereka kerja itu prioritasnya untuk biayain sekolah elo, setidaknya harailah usaha mereka.” Nasehatku bijak. Aku lihat sebuah senyum mulai terperdar di bibirnya, demi apapun itu adalah senyum termanis yang pernah aku lihat. Untuk kesekian kali jantungku berdebar hebat, dan kini aku yakin jika pipiku sudah menjadi semerah tomat.
Tangan Radith terulur untuk mengacak-acak puncak kepalaku yang telah terikat rapi ekor kuda, mau tak mau kini menjadi berantakan tak karuan. Sejenak aku terdiam, nyaman sekali rasanya, perlakuan seperti ini bukan hanya sekali dua kali aku dapatkan dari seorang cowok, karena aku memang dekat dengan banyak cowok, namun yang lain justru membuatku emosi, tak seperti ini.
“baru lo cewek yang berani nentang apa mau gue.” Ucapnya sambil merogoh saku celananya. “gue punya hadiah buat lo.” Lanjutnya setelah beberapa saat sibuk dengan aktivitasnya.
“nih!” ucapnya sekali lagi sambil melemparkan sesuatu ke arahku
“RADITH!!! ITEM!!!” pekikku histeris hampir bertepatan dengan sampainya buntalan plastik kecil bening yang ia lemparkan, aku terlonjak dari kursiku mengejar Radith yang sudah lari tunggang langgang dengan tawa yang membahana. Isi bungkusan “hadiah” Radith tadi adalah seekor cicak kecil, binatang yang menurutku bahkan lebih jelek dan mengerikan daripada monster sekalipun.
Scene yang menurut teman-temanku justru seperti adegan film India pun terjadi, kami berkejar-kejaran hampir ke seluruh penjuru sekolah. Dan saat itu aku merasakan jika dunia menjadi milikku seutuhnya, begitu lepas.
***
Perlahan namun pasti ikatan tanpa status itu terjalin. Aku bahkan lupa sejak kapan kata sapaan elo-gue itu berubah menjadi aku-kamu dan adanya kata kita, sejak kapan kata sayang itu sering aku dengar dari bibirnya, kapan aku memberinya izin untuk menggenggam tanganku atau merangkul mesra bahuku. Semuanya mengalir begitu saja, tanpa bisa aku bendung. Dan gilanya aku nyaman dengan hal ini. Aku tahu sampai saat ini pun Radith masih berstatus pacar kak Nada. Aku tahu, sadar bahkan jika apa yang aku lakukan ini egois dan sangat salah, namun apa dayaku?
Banyak teman seangkatan kami yang menyangka pernah tercetus kata jadian di antara kami, membuat hatiku tertohok, karena sebenarnya kata itu tak pernah terucap.
Oh ya, sedikit cerita selain menjadi siswi aku juga memiliki perkerjaan sampingan sebagai “tempat sampah” teman-temanku. Ada saja orang yang mencariku untuk berbagi cerita. Salah satu pelanggan tetapku adalah Adit, sering sekali dia mencariku hanya untuk menuangkan semua uneg-unegnya, soal apa saja, soal wanita, soal keluarga, soal pelajaran, dan yang terakhir adalah perlakuan sewengang-wenang Radith padanya yang menurut penuturannya disebabkan kedeketannya denganku. Aneh. Dan dia memang aneh.
“Ai, Ninda kenapa ngambek mulu sama gue ya?” Adit memulai curhatnya, seingatku saat itu adalah jam istirahat terakhir. Aku mendengarkannya sambil melengkapi tugas untuk jam terakhir
“elo-nya over protective, gue kemarin dengar cerita Ninda, dan gue juga ikut illfeel sama elo.” Jawabku jujur, sama sekali perhatianku tak terlepas dari buku.
“elo illfeel sama gue?” tanyanya, terdengar sangat tidak biasa untukku.
“idih.. santai! Kenapa emang kalo gue illfeel sama elo?!” sedikit membentak dan melotot padanya aku lancarkan pertanyaan itu, karena sungguh, aku tak suka nada bicaranya yang seakan menuntut sesuatu.
Adit diam, memandangku begitu dalam, dan jika bukan aku yang berada di posisi ini sekarang, aku jamin sudah terbang. Ditatap dengan cara seperti itu oleh pria tampan, matanya tajam, dan tatapan itu seakan menyampaikan jawaban dari pertanyaanku. Perlahan tangannya terulur ingin meraih tanganku yang ada dipangkuanku. Namun tiba-tiba saja...
BRAK!
Aku hanya bisa melongo dengan rasa ngeri melihat Adit terjungkal karena kerah kemejanya ditarik kuat-kuat, dan setelah aku menggeser sedikit penglihatanku, ada Radith yang berdiri tegap dengan nafas memburu dan mata penuh sorot neraka. Aku belum pernah melihatnya semarah itu sebelumnya.
“Stop!” perintahku sambil menahan lengan Radith yang sudah bersiap melayangkan sebuah tinju ke muka Adit. Bersyukur, Radith belum terlalu kesetanan dan masih bisa menuruti perintahku. “dia sohib lo!” desisku sambil membantu Adit berdiri.
BRAK!
Sekali lagi aku dengar suara tak enak itu karena Adit menggebrak meja, tak terima dengan perlakuan Radith.
“cemburu? Dia siapa lo?” tanya Adit kalem, namun pasti berefek sangat dahsyat bagi Radith, karena aku juga merasa tertohok dengan pertanyaan itu. Tanpa menunggu pertanyaannya dijawab, Adit berjalan keluar kelas, meninggalkan tatapan tak mengerti dari beberapa temanku yang ada di kelas.
Jam pelajaran terakhir, aku memilih untuk tetap diam. Sebal sekali rasanya pada pria disebelahku. Dibalik semua kelebihannya ia juga kadang kekanakan. Tak sadarkah ia kalau aku bukan sebuah mainan miliknya yang hanya ia yang boleh memainkanku? Aku manusia, boy.
“Ai, maaf.” Ucapnya. Sepertinya tak tahan aku diamkan. Aku hanya mendehem tak minat.
“I love you.” Lirihnya sambil tersenyum sangat manis.
“love you too..” jawabku seadanya.
“kita jadian nih?!” pekiknya hampir lepas kontrol. Aku? Hanya terbelalak kaget dengan anggukan kepala setengah karena refleks.
Dan setelahnya, tak ada yang berbeda. Ia kembali diam menatap dan mendengarkan penjelasan guru di depan. Seakan tak pernah terjadi apapun sebelumnya. Sesimpel dan secepat itu.
***
Kelas sudah hampir kosong, hanya tersisa aku dan Radith, karena sebagian besar penghuninya sudah berhamburan ke laboratorium TIK yang berada di lantai dasar dan untuk menuju ke sana kami harus melewati sebuah tangga tanpa atap pelindung yang memadai sementara di luar sedang hujan lebat, malas sekali rasanya aku harus turun, namun dengan hidup tak mau matipun segan aku beranjak dari tempat dudukku yang hari ini bertukar dengan Radith.
Belum juga sepenuhnya berdiri tubuhku terjatuh kemabali ke tempat semula karena Radith menarik paksa pergelangan tanganku.
“di sini aja, di luar ujan, nanti kamu sakit!” perintahnya sambil memangku gitar yang hari ini sengaja ia bawa dari rumah untuk latihan dengan bandnya sepulang sekolah. Aku menurut saja, toh dari awal aku sudah malas. Kami berdua hanya diam, aku menatap butiran air yang menyergap kaca cendela di samping tempat duduk Radith, sementara Radith sendiri asik menstem gitarnya sambil bersiul sesukanya.
“kamu sama kak Nada gimana?” tanyaku membuyarkan hening. Hanya bahunya yang ia angkat yang ia berikan sebagai jawaban. Aku tahu pasti jika hubungan mereka memang sudah tak jelas sejak beberapa waktu lalu, hal yang membuatku berpikir jika di dalam kisah ini aku hanya berperan sebagai pelarian. “aku cuma hiburan kamu ya?” lanjutku mengungkapkan apa yang mengganjal di hatiku.
“aku pikir kamu bukan orang yang gampang nethink sama orang.” Ucapnya dengan nada biasa saja, namun bagiku seperti vonis hakim. “kalau aku cari pelarian mending sama yang cantik, yang sexy sekalian, bukan kamu!” jawabnya disambung sebuah tawa renyah. Jawaban yang membuatku gondok setengah mati.
“nyebelin!” celaku sambil memainkan ponselku, kembali acuh padanya.
“kamu suka Ada Band kan ya?” tanyanya memastikan karena ia pasti tahu jika jawabannya iya.
Radith mulai memainkan jari-jari kokohnya di atas jajaran senar gitarnya, memainkan sebuah lagu yang sudah begitu akrab di telingaku, lagu favoritku dari band yang cukup aku gemari itu.
Kau auraku..
pancarkan sepercik harapan
Datanglah merasuk..
menjelma, meleburkan cinta
Ku bawa kau terbang
menembus awan yang beriring
kembangkan senyuman
bagai bunga bawa keindahan..
Kau Auraku. Ia memang tak bersuara layaknya malaikat, suaranya juga tak sebagus Afgan Syahreza, sangat biasa bahkan. Namun untukku itu luar biasa. Aku belum pernah membaca ketulusan sebesar itu dari lelaki manapun. Sekejap mataku memanas, seakan ingin memproduksi air mata berlebih, namun aku tahan, tak ingin scene ini terlalu nampak seperti sinetron.
“aku sayang kamu.” Ungkapnya sambil menatapku dalam. Sejenak aku seperti tak mendengar suara apapun, rasanya damai sekali tenggelam dalam tatapan itu. Tak akan ada waktu yang aku sia-siakan, dan nampaknya hal itu lebih disadari olehnya, perlahan ia menghapus rentang jarak antara kami, entah apa kuasanya sehingga aku tak sanggup menolak, and the end, we kissed.
***
Setahun berlalu, segala kisah manis itu kini telah berubah menjadi kenangan. Seperti saat ini, aku hanya sibuk memantul-mantulkan bola basket di lapangan sekolah yang sepi karena sebagian besar warganya masih belajar di kelas dan sementara kami siswa-siswi kelas tiga yang hanya tinggal menunggu hasil ujian akhir tak memiliki banyak kegiatan.
Basket, ia yang mengenalkan olah raga ini padaku. Aku tidak jago, hanya saja aku yang dulunya sama sekali tak bisa kini sedikit-sedikit mengerti. Dulu ia memintaku belajar agar dapat menemaninya berlatih. Sepertinya aku lupa bercerita jika ia adalah kapten basket periode lalu, saat masih kelas dua.
Setelah kenaikan kelas hubunganku dan Radith merenggang karena baru aku sadari jika kami memiliki ego yang sama-sama besar, selalu berpegang pada prinsip masing-masing yang tak selalu sama. Namun tak pernah ada kata apapun yang terucap dariku ataupun darinya untuk menutup hubungan kami. Seperti pada saat memulainya, berakhirnyapun seakan berlalu begitu saja. Ia mulai tak peduli padaku, dan begitu juga aku padanya.
Semuanya semakin parah saat ia jadian dengan Lia, sahabatku, bukan dengan landasan cinta, namun taruhan Radith dengan teman-temannya yang menantangnya untuk mendapatkan Lia. Aku sudah berusaha mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Lia, dan ia justru menyangkaku cemburu padanya, and then, I don’t care. Aku kehilangan dua orang sekaligus Radith dan juga Lia sahabatku.
***
“maaf!” ucap Radith mengaburkan cerita masa lalu yang kembali terputar seperti sebuah kaset film di benakku.
“santai aja lagi! Toh waktu itu kita masih sama-sama ababil.” Jawabku berbonus senyuman.
“lo pernah nungguin gue balik buat elo?” tanyanya lagi, kini aku mendengarkan nada yang lebih santai daripada tadi.
Sejenak aku mengalihkan perhatianku dari bentangan lapangan basket yang menjadi pemandangan kami sejak tadi padanya. Aku tertawa kecil.
“lo cinta pertama gue, sama lo gue ngrasain ciuman pertama, lo bisa bayangin rasanya kan?” aku kembali diam membiarkannya menyelesaikan tawa kecilnya. “gue pernah nunggu elo, hidup dibelakang bayangan masa lalu bertahun-tahun, tapi gue sadar hidup itu terus berjalan dan bukan cuma soal elo.” Akuku penuh kejujuran.
“elo udah lupain gue?” tanyanya sekali lagi. Berisik sekali pria ini, tak pernah berubah.
“nggak, lo selalu punya tempat di hati gue, karena buat gue setiap nama yang udah melekat di hati gue, selamanya dia di sana, tapi ada waktunya kotak penyimpan nama itu harus ditutup.” Jawabku sambil tersenyum sekali lagi.
“lo cewek yang hebat, kekaguman gue sama elo nggak akan pernah habis, jenong!”
Aku tertawa lepas, malah justru merasa terhina dengan ucapannya barusan.
“gue tau semuanya udah nggak kaya dulu, udah berubah, nggak mungkin bisa keulang lagi kaya dulu.” Kataku sedikit miris, tatapanku menerawang bebas ke langit gelap.
“tapi kemungkinan terjadi cerita lain dengan tokoh yang sama masih bisa terjadi kan? Siapa tau elo takdir gue?! Gue bisa buka lagi kotak hati lo yang nyimpen nama gue!” ucapnya sok, meskipun ada keseriusan dalam kata-kata itu, aku yakin jika sebagian besarnya hanya bualan. Aku mencibir kemudian berdiri dari tempat duduk kayu panjang yang semenjak tadi menjadi sarana kami bernostalgia, kembali lagi ke acara reuni angkatan kami yang pasti sudah dimulai sejak beberapa menit lalu.
Aku tak pernah tahu apa lagi yang akan terjadi nanti, namun hati ini masih mampu menyimpan setiap inci kisah ini. Cerita yang terlalu manis untuk dibuang begitu saja. Aku percaya Tuhan tak pernah menggariskan takdir untuk sebuah hal yang percuma. Dan dia, terimakasih ini selalu terlantun untuknya, karena tanpanya aku tak akan pernah memiliki drama semanis ini. Dan itulah kisahku.
the end...
Cerpennya bagus walaupun agak bingung sama endingnya tp jalan ceritanya tetap keren *sperti yg sudah2 ;D
BalasHapus