Sabtu, 30 Juli 2011

Song of Love part 13

Rio menggeliat melonggarkan otot-ototnya saat menyadari hari sudah berganti karena tusukan cahaya matahari pagi yang memaksa kedua kelopak matanya untuk membuka. Diliriknya jam dinding di kamar bercat abu-abu itu, bukan kamarnya, namun sangat tidak asing baginya karena bukan hanya sekali dua kali ia menempati kamar itu, salah satu ruangan yang ada di rumah Gabriel, rumah yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan istananya sendiri karena rumah itu hanya dihuni oleh Gabriel seorang diri ditambah beberapa orang palayan. Kurang sepuluh menit menuju pukul enam pagi.
Dengan gerakan cepat, Rio menyambar handuk yang tergantung di depan almari kayu yang berada di sudut kamar. Bertekat memulai lagi harinya seperti biasa, tak ingin menambah runyam hidupnya dengan menelantarkan sekolahnya yang hanya tinggal hitungan hari sampai ia menanggalkan seragam putih abu-abunya. Toh ia sudah mempersiapkan semuanya di kamar itu, segala miliknya seperti seragam, peralatan sekolah dan buku-buku yang segaja ia rangkap untuk keadaan menyebalkan dalam hidupnya seperti saat ini, keadaan yang sebetulnya sudah sangat sering ia alami.
***
“iya, mamaku sayaaaang.. Iel pasti belajar yang bener!”
Jelas sekali Rio mendengar jawaban Gabriel yang sedang bercakap-cakap dengan ibundanya via telephone. Gabriel yang sedang asik menyantap makan paginya terlihat sangat repot dengan ponsel yang ia jepit dengan bahunya dan kepala yang ia miringkan penuh.
Itu lah bedanya dengan Gabriel, meskipun Gabriel juga memiliki orang tua yang berkesibukan super padat, sama sekali ia tak kekurangan perhatian. Setiap hari ayah atau ibunya pasti menanyakan kehidupannya. Tak sekalipun Gabriel dipaksa untuk menjadi seperti orang tuanya.
Pikiran Rio melayang, ia ingat betul cita-cita masa kecilnya, saat ada di bangku taman kanak-kanak dan ibu gurunya bertanya ingin menjadi apa ia di masa depan, Rio kecil selalu menjawab ingin menjadi seorang pilot agar dapat keliling dunia, mengendarai kendaraan yang begitu keren yang tak harus direpotkan dengan kemacetan, dan tampak gagah dengan topi dan seragam khas profesi itu. Namun khayalannya itu selalu menguap begitu saja saat ia menceritakan semuanya pada sang ayah yang pasti dengan tegas menyuruhnya untuk menjadi orang yang berdasi, memimpin perusahaan.
“Yo, lo mau sekolah?” tanya Gabriel yang baru menyadari keberadaan Rio yang berdiri di balik tubuhnya dengan seragam lengkap walaupun tetap berantakan. Kemeja yang hanya dimasukan separuh di bagian depan saja sementara begian belakangnya ia biarkan berkibar, dengan dua kancing teratas tidak terkait membuat t-shirt rangkapnya terpampang, dasi yang hanya asal masuk dari kepalanya, lengkap dengan blezer yang hanya tergantung asal di bahu kirinya.
“lo pikir gue pake seragam gini mau mangkal?” jawab Rio asal sambil mengambil nasi goreng yang menjadi menu sarapan hari ini. Sedikit kerepotan karena hanya tangan kanannya yang berfungsi normal karena tangan kirinya tak leluasa bergerak akibat lukanya.
“kali, orang lo title doang pake seragam, cara pake lo nggak kalah sama preman pasar.” Gabriel tak ambil pusing dengan jawaban Rio, sekaligus ia tak mau membantu Rio yang tampak kesusahan. Ia masih dongkol dengan tindakan Rio yang ia anggap sangat labil sampai melukai dirinya sendiri, biar saja sekarang Rio merasakan akibatnya sendiri.
Keduanya diam, hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang memenuhi ruangan makan milik keluarga Damanik itu. Sejenak Gabriel melirik Rio yang duduk berseberangan dengannya. Masih jelas ia mengingat keadaan sahabatnya itu seharian kemarin, nyaris seperti orang gila, tak ubahnya seperti raga yang kehilangan sebagian jiwanya. Penampilannya berantakan, tatapan yang kosong, tak mau melakukan apapun dan berbicara pada siapapun. Terlebih saat tiba-tiba saja sahabatnya itu menubruk tubuh Shilla dan memeluknya erat-erat sambil terus memanggil nama Ify, ingin sekali ia menghajar habis Rio kemudian menjebloskannya ke rumah sakit jiwa. Ambil laba sekali cara depresinya.
“lo udah baik kan, Yo?” tanya Gabriel setelah menyelesaikan sarapannya. Berbagai pikiran konyol berkembang di otaknya membayangkan jika Rio tiba-tiba mengamuk atau bahkan menganggap setiap gadis itu Ify dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Shilla.
“kalau pikiran gue sih udah normal, tapi pipi gue masih ngilu, dendam banget lo bongem gue?!” gerutu Rio. Gabriel kemarin menyadarkannya dari kekalapannya memeluk Shilla yang ia lihat sebagai Ify dengan sebuah bogeman mentah karena ia sudah tak lagi bisa dikendalikan dengan bentakan sekalipun.
“elo ngelaba! Cewek gue tu!”
“sumpah, gue nggak sadar! Pantesan aja sensasinya beda luar dalem sama meluk Ify.” Seloroh Rio sambil beranjak dari tempat duduknya.
“maksud lo?!”
Rio menyeringai lebar menganggapi Gabriel. Tak perlu penjelasan yang lebih terang untuk mengutarakan maksudnya karena ia yakin Gabriel pasti sudah mengerti.
“enak..”
“nggak usah diperpanjang, keburu telat, percuma hari ini gue masuk kalo cuma buat wawancara sama BK seharian.” Potong Rio sebelum mantan buaya darat di hadapannya memperpanjang obrolan dengan hal yang lebih frontal dan tidak terlalu penting lagi.
Beberapa saat Gabriel mematung di tempat sambil menatap punggung Rio yang sudah berjalan mendahuluinya. Sampai saat ini pun ia tak habis pikir dengan pikiran dan perasaan seorang Mario, dalam hitungan jam saja ia sudah kembali terlihat baik-baik saja dan seperti tidak pernah terjadi apapun dengannya sebelumnya yang seratus delapan puluh derajat berseberangan dengan keadaannya saat ini.
***
Dari ekor mata sipitnya, Alvin menangkap sosok Ify yang sedang mematut wajahnya di depan kaca kecil di tangannya. Cantik sekali gadis itu hari ini. Caranya berseragam kembali seperti Ify yang ia kenal dulu, sebelum gadis yang kini menjadi tunangannya itu menjadi milik Rio, rok abu-abu rempel yang sengaja ia buat beberapa centi meter di atas lututnya, blus seragam putih yang tak ia masukan ke dalam rok, cara berpakaian yang tentu saja akan memancing keributan dengan para guru. Make up tipis seakan menjadi topengnya hari ini, sekaligus membuat gadis manis itu semakin cantik.
Sedetik kemudian Alvin mengalihkan kembali fokus perhatiannya pada jalanan karena ia sedang menyetir saat ini. Pikirannya melayang ke hari kemarin, saat melihat Ify yang seperti kehilangan nyawanya. Mengurung diri seharian dikamar, menolak bertemu dan berbicara dengan siapapun, tidak sedikitpun menyentuh makanan dan minuman yang disuguhkan padanya, penampilannya pun sangat bertolak belakang dengan ia hari ini.
“udah cantik, Fy.” Ujar Alvin sambil tersenyum simpul melihat Ify tak juga puas bersolek.
Ify menoleh pada Alvin dengan sebelah alisnya terangkat, kemudian ia tertawa kecil. “aku kan emang selalu cantik, liat diri kamu dong yang udah silau sama aku.” Ujung lidah Ify terjulur meledek Alvin.
Alvin tersenyum kecil, nampaknya Ify benar-benar serius dengan perkataannya tempo hari yang memintanya untuk membuat gadis itu jatuh hati. Di sisi lain ia merasa aneh dengan Ify yang mulai ber‘aku-kamu’, tak ada yang spesial menurutnya, kecuali ia merasa seperti kembali ke masa lalu saat ia dan Ify masih menjadi sepasang bocah polos yang selalu membunuh waktu bersama dengan keceriaan khas persahabatan.
“lo bener-bener siap dengan hari ini, mungkin Rio udah nunggu lo di gerbang.” Pancing Alvin.
Ify terdiam sesaat. Nama itu kembali ia dengar saat sudah susah payah ia mencoba menstabilkan lagi jiwanya, namun ia sadar segala sesuatunya tak bisa ia terus hindari, semuanya harus ia hadapi, ia gadis yang kuat. Sebuah senyum sarkastik terukir di bibirnya, pertanda ia harus menang melawan keadaan dan perasaannya.
“di mata aku dia udah mati, terkubur sama janji-janji busuknya.” jawab Ify, terdengar begitu ringan. “aku rasa yang harus aku siapin sekarang argumen buat ngelawan bu Mariam.” Lanjutnya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di kening.
“kaya baru pertama aja lo.” Cibir Alvin sambil mengacak-acak puncak kepala Ify.
***
“nyampe, Fy! Turun yuk.” Ajak Alvin begitu sampai di lapangan parkir sekolah.
Ify menggelenggkan kepalanya kuat-kuat dengan tangan yang ia lipat di depan dada, tanda ia tidak mau mengikuti ajakan Alvin.
“terus?” tanya Alvin sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, heran dengan tanggapan Ify.
Telunjuk Ify mengarah pada handle pintu mobil, memberi isyarat pada Alvin untuk membukakan pintu baginya.
“with pleasure, princess.” Tanggap Alvin sambil tersenyum kemudian keluar dari mobilnya, membukakan pintu untuk Ify dan menyambutnya dengan tangan kanan yang ia ulurkan untuk digenggam gadis manis itu.
Dengan senang hati pula Ify menyambut uluran tangan Alvin. Pemandangan pagi yang membuat beberapa siswa yang berada di sekitar “pasangan baru” itu melongo. Terang saja, yang mereka tahu Ify adalah kekasih Rio, terntu saja apa yang ia lakukan dengan Alvin pagi ini terlihat sangat janggal.
***
Beberapa meter dari lapangan parkir, sepasang mata juga menangkap adegan romantis Alvin-Ify dengan sangat jelas. Tak ada yang mampu menggambarkan dengan pasti apa yang tersirat pada mata itu.
Gabriel yang juga tidak kelewatan adegan itu menoleh ke arah sahabatnya yang berdiri di sebelahnya. Susah payah ia menelan ludahnya setelah membayankan seperti apa hati Rio sekarang, yang pasti tak ubahnya dengan sebuah piring keramik yang dilemparkan dari lantai ke sembilan sebuah gedung sampai ke lantai dasar.
“Yo..” panggil Gabriel ragu. Otaknya terus berputar bagaimana mencari cara untuk setidaknya mengalihkan perhatian Rio.
Rio tak menyahut sama sekali, tatapannya masih tertuju pada gadis yang –mungkin- masih berstatus kekasihnya yang berjalan ke arahnya dengan tangan yang tertaut erat dengan tangan kokoh lain, milik laki-laki lain, bukan dirinya yang biasanya berada di posisi itu.
Seperti diserbu ribuan sembilu, mungkin seperti itulah hati Rio saat ini, saat Ify begitu saja lewat dihadapannya tanpa sedikitpun menganggapnya, seakan tak ada siapapun yang berdiri menatap gadis yang berjalan dengan anggun dan didampingi seorang pangeran lain. Entah kemana terbangnya semua rasa dan kenangan yang pernah terukir nyata dari pancaran mata indah milik Ify, detik itu Rio sama sekali tak mendapatinya.
Emosinya semakin memuncak kala matanya menyusuri kedua jari manis Ify di tangan kanan maupun tangan kirinya, tak ada lagi cincin yang ia pernah selipkan, mata rantai lain kini justru melingkar di jari manisnya.
Sekali lagi, seorang Alyssa mengajari dan memberitahukannya sebuah rasa yang sama sekali belum pernah ia dapati dan rasakan sendiri sebelumnya. Patah hati. Saat tiba-tiba saja ulu hatinya merasakan nyeri tanpa sebab, merasakan sakit yang belum pernah ditemukan obatnya.
Rio menunduk dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal keras menahan emosinya. Rasa bersalahnya seketika menguap begitu saja saat melihat tanggapan Ify padanya. Tak sedikit pun raut kekecewaan tergambar dari raut gadis manis itu. Bukan, Rio bukan meminta Ify menangisi kebodohannya, namun apapun yang telah terjadi, seperti kebanyakan lelaki egonya akan tetap menjadi juara.
“sabar, Yo!” ujar Gabriel sambil menepuk bahu Rio. Ia yakin kalau orang yang ada di sebelahnya itu bukanlah seorang laki-laki yang sudah berstempel dingin dan keras melainkan seorang gadis pasti ia sudah menangis tersedu-sedu dicampakkan begitu saja oleh orang yang paling ia harapkan.
“sial! Karma itu selalu aja balas dendam.” Gerutu Rio, seolah hanya hal kecil yang baru saja menimpanya. Seulas senyum hambar kini terukir di bibirnya.
Gabriel menautkan kedua alisnya, benar-benar tak mengerti dengan apa yang dimaksud Rio.
“gue rasain apa yang dulu dia rasain.” Lanjut Rio memberi penjelasan. Bayangannya kembali berputar menuju beberapa waktu lalu, saat ia mengabaikan keberadaan Ify, memaksa hatinya untuk memproduksi zat untuk melawan virus-virus merah jambu yang mulai menjangkitnya, dan kini semuanya berbalik. Semua kejadian itu seakan menjadi bumerang untuknya sendiri.
“apa yang mau lo lakuin sekarang?”
“sama kaya yang dulu Ify lakuin, dia yakin hati gue punya dia, dan sekarang juga gue yakin hati dia masih punya gue, seutuhnya.” Rio diam sejenak, menatap Ify dan Alvin yang sudah berada cukup jauh dari tempatnya sekarang. “gue akan buat dia, utuh, cuma punya dan buat gue.” Lanjutnya sembari merubah senyuman hampa yang sebelumnya ia ciptakan menjadi sebuah senyuman penuh keyakinan.
Mata Gabriel terbelalak. Susah payah ia menelan ludahnya yang terasa membatu. Ucapan Rio begitu menyeramkan di telinganya karena ia tahu persis siapa sahabatnya itu. Seorang berego besar, keras kepala dan yang paling genting adalah Rio adalah orang yang nekat dan susah untuk mengaku kalah. Tuan besar Haling KW super. Sedikit banyak Gabriel bisa memastikan tidak ada yang akan terus berjalan baik-baik saja selama Ify belum kembali berada di dekapan Rio.
***
Kasak-kusuk tentang kedatangan murid baru membuat kelas begitu gaduh pagi ini bahkan hingga bel masuk berbunyi beberapa menit lalu, namun tetap saja tidak mampu memancing Shilla yang duduk di bangku urutan nomor tiga dari depan, bangku yang repat dengan tembok, untuk ikut serta di dalamnya, ia lebih memilih untuk tenggelam dalam buku Biologi yang dibacanya.
“ini cowok, murid baru, high quality, cuy!” ucap Kanaya, teman sekelas Shilla yang dikenal sebagai sumber gosip paling up to date dan terpercaya, menggebu-gebu.
“Gabriel’s always number one for me, no matter what’s!” timpal Nada, teman Shilla yang lain, penuh kekaguman.
Mendengar nama kekasihnya disebut, otomatis Shilla menoleh pada sumber suara. Merasa si empunya laki-laki yang baru saja ia sebutkan menatapnya, Nada membentuk jari telunjuk dan tengahnya menjadi huruf V, ditambah dengan cengiran kudanya yang hanya dibalas dengan senyuman dan gelengan kepala dari Shilla.
“ssttt... ini bener-bener beda, dan akhirnya nggak dijadiin sekamar sama Rio, Iel, Alvin, enak banget tu kelas!” Tambah Kanaya sedikit melantur. “okay, back to the point, pokoknya dia itu perfect, gue udah liat tadi di ruang guru!”
Sampai kedatangan ibu Dian, sang wali kelas membuyarkan obrolan panas mereka. Terlebih dengan seseorang yang mendampingi guru muda itu, pemuda tampan dengan tatanan penampilan yang membuat hampir seluruh siswi di kelas itu tak kuasa menahan rahang bawahnya untuk tetap tarkatup dengan rahang atasnya.
“kalian hari ini mendapat teman baru, atau gebetan baru untuk para siswi dan saingan baru untuk para siswa.” Sloroh guru bimbingan konseling yang memang terkenal humoris itu dan membuat kelas riuh dengan gelak tawa. Ia tahu pasti jika murid barunya itu memiliki penampilan di atas rata-rata. “silahkan memperkenalkan diri!” perintahnya setelah kelas kembali tenang.
“terimakasih, bu. Nama saya Cakka, saya pindahan dari SMA 87. Mohon bantuannya.” Si murid baru, yang ternyata Cakka memperkenalkan diri. Senyuman manis terpoles di bibirnya, ditatapnya satu persatu teman-teman barunya sarat keramahan, ekspresi yang langsung membuat para gadis semakin terbang dibuatnya.
“Cuma Cakka doang?” celetuk salah seroang siswa yang sedikit janggal mendengar nama sesingkat itu.
Ibu Dian menautkan alis saat Cakka menatapnya, pada data yang ia pegang, ada sebuah nama besar yang mengikuti nama Cakka, nama yang membuatnya dengan sangat mudah dan tidak memerlukan cara yang berbelit-belit untuk memasuki sekolah seelit SMA ini, aneh sekali jika Cakka memilih untuk tidak menyebutkannya dan justru memberi isyarat padanya untuk tidak mengatakan apapun.
“ya.” Jawab Cakka masih dengan keramahannya.
“ada hal lain yang bisa kamu sampaikan, Cakka?” korek bu Dian lagi. Jujur ia sangat penasaran dengan murid barunya ini, ia yang sepertinya berkepribadian sangat bertolak belakang dengan saudara tirinya, Rio, seorang siswa yang hampir setahun ini membuatnya hampir gila dengan ulah-ulah rebelnya.
“saya suka basket, saya tidak suka Fisika, Kimia, Biologi, kurang tau juga bagaimana saya bisa masuk kelas Sains.” Kata Cakka santai.
“tidak suka bukan berarti tidak bisa, kan? baik, silahkan kamu duduk di samping Shilla.” Perintah bu Dian sambil menunjuk meja dimana Shilla duduk. Tanpa mengatakan apa pun lagi Cakka segera melakukan perintah wali kelas barunya.
“hey, gue Cakka.” Ucap Cakka sambil menyodorkan tangan kanannya di hadapan Shilla untuk dijabat setelah ia sampai di tempat duduknya.
“Ashilla, kamu bisa panggil Shilla aja.” Sambut Shilla ramah, ditambah dengan senyum manis di bibirnya.
Sejenak Cakka terpaku menatapi keindahan ukiran Sang Pencipta di hadapannya. Jantungnya seakan ingin segera melompat dan melekat pada milik gadis cantik itu. Sedetik kemudian ia mengalihkan perhatiannya kembali ke depan kelas, tak ingin perasaan yang menurutnya bodoh itu semakin meraja.
“jam ini kalian ibu tinggal, ada urusan yang harus ibu selesaikan.” Pamit ibu Dian sebelum beranjak dari kelas.
Kegaduhan kembali membahana di ruangan kelas itu saat secara serentak para siswi menghampiri Cakka, mengajaknya berkenalan dan mencoba mencari perhatian pemuda tampan itu. Cakka berusaha menanggapinya dengan baik sampai ia merasa cara mereka terlalu berlebihan dan membuatnya tak nyaman.
“Shil, temenin gue kabur.” Bisik Cakka pada Shilla yang nampak acuh dengan “bencana” yang dialami teman semejanya.
Tanpa menunggu jawaban Shilla, Cakka menarik pergelangan tangan Shilla keluar dari kerumunan teman-temannya.
“sorry, gue ada urusan dulu ya, nanti kita sambung.” Pamit Cakka dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. Sambil berlari kecil ia meninggalkan kelas tanpa tujuan yang jelas.
***
Dengan tatapan kosong Rio menjatuhkan pandangannya pada tiruan bola dunia besar yang terletak di sudut meja besar kepala sekolah, sama sekali ia tak mendengarkan ceramah pak Satya, kepala sekolahnya yang sudah melantur entah sampai dimana.
“kamu sudah kelas tiga Rio, bulan depan kamu ujian, baiklah barang sebentar.” Pak Satya menghentikan sebentar khotbahnya untuk menghela nafas. “kemana kamu beberapa hari ini? Menghilang begitu saja tanpa keterangan, sekolah ini tidak bisa terus memberikan kelonggaran untuk kamu.”
Rio mengalihkan perhatiannya pada pak Satya, malas sebenarnya ia untuk melayani pertanyaan yang menurutnya sangat tidak penting.
“pernah saya minta kelonggaran?” tanya Rio enteng.
“tapi ayah kamu adalah salah satu penyandang dana terbesar untuk sekolah ini. Posisi kami sulit!”
“ck! Sekolah yang katanya unggulan ternyata bobrok.” Desis Rio sambil memutar globe yang sejak tadi menjadi fokusnya. “aturan itu tak pandang bulu, pak! Lagian yang sekolah kan saya, bukan bapak saya.”
Ingin sekali pak Satya melempar murid yang kini berhadapan dengannya kini ke dasar jurang paling dalam. Caranya berbicara, caranya berpakaian, tak sedikitpun menunjukan rasa hormat. Namun ia juga terkesan dengan cara pandang Rio yang dengan lugasnya menyampaikan pendapat yang sama sekali tidak salah, walaupun sepertinya ia tidak sadar jika ia sedang dibela saat ini.
“lalu apa yang harus kami lakukan padamu?” bentak pak Satya tak ingin kehilangan wibawanya.
“nyante gimana sih, pak?!” ucap Rio kalem. “hukum saja saya, gampang kan?”
“bersihkan GOR, sekarang!”
Tanpa menunggu perintah dua kali, Rio beranjak untuk segera melaksankan hukumannya.
***
Shilla tertawa lepas mendengar lelucon yang baru saja Cakka keluarkan. Rasanya perutnya hampir kram dibuat pemuda yang baru saja dikenalnya itu, seorang yang sangat menyenangkan, mudah bergaul dan rendah hati.
“lo tau hal apa yang dibenci Tuhan tapi juga dibenci setan?” tanya Cakka dengan mimik yang dibuat serius.
“mana ada? jelas kalo Tuhan nggak suka pasti setan suka!” jawab Shilla setelah beberapa saat sebelumnya memikirkan jawaban untuk pertanyaan Cakka.
“ada lah!”
“apa?”
“selingkuh sama pacarnya setan.” Ucap Cakka garing.
Shilla melengos sambil mendengus sebal, tak habis-habisnya bahan pembicaraan laki-laki ini.
“mau kemana sih kita, Cak?” tanya Shilla yang merasa kakinya sudah mulai lelah mengitari sekolah yang luasnya tak kira-kira.
“panggilnya “Kka” aja, gue bukan abang becak, bukan cicak. Ke gedung olah raga aja deh, masi ngeri gue balik ke kelas.”
Shilla mengangguk menyetujui.
“follow me!” Shilla riang sambil berlari kecil menyusuri lorong sekolah.
Cakka melihat punggung kecil yang tengah berlari untuk menciptakan jarak dengannya itu dengan senyum kecil terukir di wajahnya. Gadis yang sangat berbeda dengan semua gadis yang pernah temui sebelumnya. Shilla yang nampak begitu cantik dan anggun dengan gayanya yang tidak berlebihan, ia sederhana, ia berpemikiran luas dan cerdas, belum terkontaminasi dengan hal-hal negatif. Jauh di lubuk hatinya Cakka berharap jika belum ada yang memiliki gadis itu.
***
Rio merebahkan asal tubuhnya setelah menatap puas hasil pekerjaannya, gedung berukuran cukup besar itu tampak lebih bersih dari sebelumnya. Lelah sekali rasanya. Sedetik kemudian ia tersenyum kecil mengingat sesuatu yang pernah terjadi di ruangan itu beberapa bulan lalu, saat ia dihukum dengan pekerjaan yang sama karena ketahuan melompati pagar karena terlambat masuk sekolah dan diakumulasi dengan tertangkap basah menghisap sebatang rokok siang harinya.
Dan setelah itu, datang bidadarinya dengan sebotol air mineral untuk sekedar membasahi kerongkongannya dan dengan senang hati ia mengusap peluh yang jatuh di pelipisnya, biarpun tak ada tanggapan manis dari Rio kecuali keacuhan. Rio ingat pasti jika saat itu sama sekali ia belum memiliki rasa pada gadis yang ia anggap sangat mengganggu dan menyebalkan itu, dan walaupun sampai sekarangpun ia tak pernah tahu pasti kapan jantungnya mulai berdegub tak karuan untuk Ify dan sejak kapan benih cinta itu mulai berkembang di hatinya hingga kini ia begitu terbelenggu candu gadis itu.
“aku kangen kamu.” Lirih Rio yang kemudian bangun dari tidurnya dan berjalan mengambil bola basket yang teronggok di sudut lapangan.
Dengan lincah ia memainkan bola berwarna biru itu. Seperti biasa ia melepas penatnya. Sampai ia mendengar decitan pintu masuk terbuka dan membuat permainannya terhenti. Sosok yang ia lihat membuat emosinya kembali memuncak, entah apa yang dipikirkan seorang tuan besar Haling hingga menjadikan kedua putranya yang sama sekali tak bisa disebut rukun menjadi satu.
“di sini, Kka! Bagus kan?” ucap Shilla penuh kebanggaan, tak menyadari jika Cakka yang diajaknya bicara sudah tidak lagi memperhatikannya dan justru beradu tatapan dengan Rio, sama-sama dingin dan sama-sama tajam.
Cakka mendekati Rio dan meninggalkan Shilla, namun dengan raut yang sudah berbeda, senyum kecil terpendar di wajahnya seakan ingin melelehkan gunungan es yang mengurung Rio.
“apa kabar, bro? Udah baik tangan lo?” tanya Cakka sambil mendrible bola yang baru saja direbutnya dari Rio.
“bukan urusan lo!” desis Rio sinis.
“hah? Bukan urusan gue? Lo-adik-gue!” balas Cakka sengit.
Kedua mata Rio memicing, heran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada kakak tirinya itu yang tiba-tiba saja berubah menjadi “seperhatian” ini padanya.
Di tempatnya Shilla tercekat mendengar apa yang baru saja diucapkan Cakka. Kedua lelaki tampan itu bersaudara.
“jangan sampai apa yang gue bilang tadi nyebar, Shil!” perintah Cakka yang baru menyadari jika ada orang lain yang ada di ruangan itu, yang mendengar pembicaraannya dengan Rio.
Masih dalam keterkejutannya Shilla mengangguk pasrah. Ia merasa sama sekali tak berhak masuk dalam urusan krusial itu, terlebih ia sering mendengar dari Gabriel jika Rio paling benci jika masalah pribadinya diusik.
“aku keluar dulu.” Ijin Shilla.
Serentak Rio dan Cakka mengangguk lemah untuk memberi izin.
“temenin gue main!” perintah Cakka sambil melemparkan bola basket yang sebelumnya ia pegang pada Rio. Masih dengan setengah hati Rio menerimanya, didorong rasa keingintahuannya tetang seberapa jauh permainan basket kakak tirinya itu.
Bola bergulir lincah kesana kemari, berpindah-pindah tangan antara dua pemuda itu. Permainan cantik diperagakan keduanya, saling berebut dan menyerang. Keduanya memiliki kekuatan yang imbang dan tenaga yang sama-sama gila.
“Masuk!” pekik Cakka entah untuk ke berapa kalinya. Semenjak beberapa waktu lalu si bundar sudah berkali-kali membobol ring kekuasaan Cakka maupun Rio. Mungkin jika bola itu bisa berbicara ia akan berteriak minta tolong karena berkali-kali juga ia dilempar secara tidak manusiawi.
“lo hebat!” aku Rio sambil mendrible bola, santai.
“lo juga, gue pasti kalah telak kalo tangan lo bener.” Tanggap Cakka sambil duduk bersandar di tiang penyangga ring.
“lo kan tadi main santai, kapan-kapan kita mesti tanding mati-matian!”
“anytime! Asal lo balik ke rumah, ini gue yang minta.”
Rio mengangkat sebelah alisnya. Bingung. “tapi gue pergi juga bukan karena elo.”
“tapi kalo lo pergi, lo sama aja nyiksa gue! Elo yang tuan Haling kw super, gue nggak suka terikat, gue bukan orang yang gila kerja, gue mau bebas.” Terang Cakka to the point. Saat ini ia merasa nyaman berbicara dengan Rio, seakan ia sudah lama mengenal seorang Mario.
“barusan lo sama persis sama tuan Haling, otoriter, egois.” Sengit Rio.
“gue juga anaknya kan? sedikit aja boleh dong gue punya mirip sama dia?” Cakka diam sejenak, mengitari seluruh gedung olah raga dengan bola matanya. “lagian lo nggak kangen sama Acha? Dia nanyain lo terus.”
“ngapain gue diem di tempat yang sama sekali gue nggak ngerti?” Rio membalik tubuhnya dan mulai berjalan meninggalkan Cakka ke arah pintu keluar.
“belum semua cerita lo denger! Pulang, dan lo akan tau semuanya!” seru Cakka sebelum Rio benar-benar menghilang. Rio sama sekali tak menanggapi.
***
Rio berjalan menuju cafetaria sekolah. Dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya. Raut wajah yang tetap dingin dan acuh pada setiap orang yang memperhatikannya. Pemandangan yang aneh sepertinya melihat the most perfect guy of Putra Buana SHS ini muncul di tempat seribut ini, karena sekarang jam istirahat sedang berlangsung. Rahasia umum jika Rio tak nyaman berada di area ramai dan menjadi pusat perhatian.
Ia semakin menjadi pusat perhatian karena saat ini ia berada di kawasan biasa siswa-siswi kelas X menghabiskan istirahatnya. Satu tujuannya, Rio sempat melihat Ify duduk berdua dengan salah satu teman lelakinya di sudut tempat itu, dengan buku di hadapannya dan juga sepiring nasi goreng.
“lo, siapa?” tanya Rio setelah sampai di meja Ify dan menepuk bahu teman seorang yang masih ia anggap gadisnya itu.
“O.. Olin, kak..” jawab Olin takut-takut, terlebih nada suara Rio yang sangat dingin. “saya cuma bantu Ify kerjain tugas.” Lanjutnya setelah menyadari tatapan penuh selidik dari mata Rio.
Dengan isyarat Rio menyuruh Olin pergi dari tempatnya.
“makanan saya?” tanya Olin sekali lagi sambil menatap sayang pada semangkuk bakso di hadapannya yang sama sekali belum ia sentuh.
“lo bawa pindah, atau lo pesen lagi, biar gue yang bayar.”
Olin beranjak dari tempatnya duduk.
“tetep di sini, Lin!” perintah Ify tegas setelah sebelumnya memilih bungkam dan berpura-pura tidak menyadari keberadaan Rio.
Kembali Olin menatap Rio dan dibalas tatapan membunuh oleh Rio yang membuat nyali juniornya itu semakin menciut. Tak ingin memiliki masalah dengan orang yang ditakuti hampir seluruh penghuni sekolah itu, Olin memilih pergi dengan tatapan penuh penyesalan dan meminta maaf pada Ify.
Dengan gerakan cepat Ify bangun dari tempat duduknya untuk pergi dari hadapan Rio. Namun ternyata Rio bergerak lebih cepat darinya dan berhasil mencekal lengannya. Dengan sedikit kasar tangan kokoh itu mendorong tubuh Ify kembali ke tempatnya.
“kamu belum lupa siapa Rio kan, cantik? Sadar ini tempat umum?” tanya Rio santai namun penuh ancaman. Ify melengos, tak ingin menatap Rio dan membuatnya kembali luluh. Ia juga cukup sadar jika Rio adalah orang yang nekat dan selalu melakukan apa yang ia inginkan tanpa segan.
“spidol, merah! Kalo ada yang gas!” pinta Rio setelah membaca buku yang sedari tadi ditekuni Ify dan Olin. Ia sodorkan tangannya ke hadapan Ify untuk menerima benda yang baru saja disebutkannya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jajaran soal yang terpampang di buku.
Masih setengah hati Ify menyerahkan yang apa Rio minta. Beberapa saat kemudian matanya terbelalak lebar meratapi bukunya yang penuh dengan warna merah menyala. Rio memenuhi sela kertas yang tidak terpakai dengan berbagai macam rumus Fisika yang kemudian ia menarik beberapa garis untuk menghubungkan antara soal dengan rumus yang digunakan untuk penyelesaiannya. Tidak sampai tiga menit berlalu, Rio sudah menyelesaikan hasil karyanya.
“nih!” ucap Rio sambil melempar pelan buku dan spidol kembali pada pemiliknya. “lain kali kamu bisa cari aku kalo kamu butuh.”
Ify mencibir. “heh? Janji yang kemarin aja masih ngebon, mau lagi?” tanggap Ify ringan disambung dengan menyedot minuman pesanannya.
“kalau nggak tau apa-apa, simpen aja dulu komentarnya.” Balas Rio tak kalah ringan.
“janji kembang api, disulut, meledak, manis sekali, selesai. Bullshit!” nada bicara Ify menajam. Matanya sudah memanas, siap meluncurkan cairan bening dari kelopaknya. Cepat-cepat ia meninggalkan meja itu sebelum Rio melihatnya rapuh.
Rio mengejar Ify. Sekali lagi, dengan gerakan cepat Rio melingkarkan tangan kanannya di perut Ify, menarik paksa tubuh mungil gadis itu hingga terhempas ke pelukannya. Tak peduli dengan erangan tertahan dari bibir Ify karena sedikit merasa kesakitan akibat perlakuannya yang sedikit kasar.
Ify mencoba melepaskan pelukan Rio, namun semakin ia mencoba menghindar, belitan tangan Rio justru semakin erat dan membuatnya kesakitan. Tak ada lagi yang bisa Ify lakukan kecuali pasrah. Toh ia yakin Rio tak akan berbuat buruk padanya.
“apapun, aku cinta kamu, selalu, selamanya.” Bisik Rio tepat di sebelah telinga Ify. Setelah itu ia melepas pelukannya, membiarkan Ify mematung di tempat dan meninggalkannya dengan langkah yang terlihat begitu ringan seolah tak terjadi apapun padanya sebelumnya.
***
Pemuda bermata sipit ini sengaja merelakan dua jam pelajaran terakhirnya untuk berkunjung ke pemukiman kumuh yang lama tak ia singgahi itu. Tiba-tiba saja pikirannya penuh oleh gadis yang memegang janji yang tak lagi ia tepati.
Tak ada siapapun yang ia temui di gubuk tempat biasa ia bertemu Agni, mendadak tempat itu menjadi sangat sepi, padahal jelas tertera di papan besar yang tergantung di sudut gubuk itu jika jam ini adalah waktu Agni untuk mengajar musik.
“kak Alvin?” sapa seorang bocah perempuan yang kira-kira berusia sebelas tahun, sedikit ragu karena takut salah orang.
“ya?” sahut Alvin sedikit terkejut.
“kakak cari kak Agni?”
Alvin mengangguk semangat dibarengi senyum sumringah di bibirnya, seakan sudah menemukan apa yang ia cari.
“kak Agni udah nggak di sini.” Ucap gadis kecil itu dengan raut muram.
“kemana dia?” tanya Alvin panik. Ia berlutut menyamakan tinggi dengan lawan bicaranya. Dilihatnya cairan-cairan bening bergulir dari sudut mata bening gadis mungil itu. “ada apa sama kak Agni?” tanya Alvin sekali lagi dengan nada suaranya yang lebih lembut, disekanya air mata anak itu.
“beberapa hari lalu orang tua kak Agni meninggal karena kecelakaan, sekarang kak Agni ikut pergi jauh sama kakaknya, kita semua nggak tau kemana.” Jawab si bocah disela isakannya.
Alvin menunduk dalam-dalam saat pikirannya menyadari tak akan lagi bisa menemukan gadis itu. Gadis yang diam-diam mulai menghantuinya, walaupun sering ia tepikan. Senyum menenangkan, celoteh, bahkan makian gadis manis itu kini berputar di otaknya.
“kakak tunggu sebentar!” perintah gadis kecil itu sebelum berlari menjauh, pergi entah kemana.
Alvin terduduk lemas, ia sembunyikan wajahnya diantara lipatan tangan yang ia tumpukan pada lututnya. Seakan ada bagian besar dari dirinya yang lari dari tempatnya. Gadis yang belum lama ia temui, namun ia yang sudah mengajarkan arti sebuah kehidupan padanya. Satu hal yang paling ia sesali, nazar yang ia janjikan pada gadis itu belum penuh ia jalankan.
“kak, ini buat kakak.” Ucap gadis kecil yang tadi menyapa Alvin sambil menyodorkan sebuah kotak kardus berukuran sedang ke hadapan Alvin. Nafasnya tersengal-sengal dan butiran keringan mulai mengalir di pelipisnya, cukup jauh nampaknya gadis itu berlari. “titipan dari kak Agni.”
“makasih.” Jawab Alvin sambil menerima kotak itu dan segera dibukanya. Isinya sepasang sneakers miliknya yang tak sengaja ia tinggal saat pertama kali ia datang ke tempat ini dalam keadaan bersimbah lumpur, namun saat ini sudah kembali menjadi putih bersih. Diangkatnya sepatu yang baru ia sadari kehilangan talinya itu, dan ternyata ada sebuah amplop putih bersih tergeletak di bagian dasar kardus itu. Tanpa pikir panjang Alvin membukanya.
Buat Kakak Alvin Jonathan,
Hey.. apa kabar? Pasti baik kan? Udah dapetin cinta lo ya? Sampai lupa sama nazar sendiri, bukan dosa gue kan kalau akhirnya lo nggak bisa penuhi sisa dari tiga belas hari yang udah lo tepati?
Untuk pertama kalinya gue panggil lo kakak, mungkin juga buat yang terakhir, baru sadar gue selama ini nggak sopan banget. :p
Makasih ya buat tiga belas harinya, nggak akan bisa gue lupain seumur hidup. Lo pasti nggak inget kan kalau baru segitu yang lo penuhi dari satu bulan perjanjian? Tapi gue, Agni Trinubuwati akan selalu inget, karena setiap waktu sama elo itu adalah salah satu momen paling manis di hidup gue. Lo ngajarin gue bersyukur, lo buat gue sadar kalau harta itu bukan sumber kebahagiaan yang hakiki, buktinya lo kaya tapi tetep aja doyan marah-marah.
Gue pamit, kakak Alvin yang ganteng, gue ikut abang gue karena kita baru aja kena musibah. Oh, iya, kalau lo mau iseng, jangan cariin gue ya buat jadi pelampiasan, toh kalau kita jodoh juga takdir akan mempertemukan kita lagi.
Terakhir, tali sepatunya gue ambil, buat kenang-kenangan, enak kan punya temen kaya gue? Nggak perlu modal banyak.
Eh, ada yang terakhir lagi, gue suka sama lo, dalam arti cewek ke cowok, maaf ya? Tapi tenang, gue nggak minta balesan, kan gue udah pergi jauh, lagian gue juga sadar sama sekali nggak pantes gue buat lo.
Udah deh, makin jelas aja kalau gue bawel. Jaga diri ya! Jangan sombong! Sampai ketemu. 
Salam,
Agni.
Senyum kecil terukir di wajah Alvin, sebuah senyuman yang sarat kesedihan. Sebuah penyesalan klasik kini membayang, bahwa rasa memiliki itu baru akan timbul setelah kehilangan. Detik itu juga Alvin merasa kehilangan sahabat, guru kecil, bahkan setengah hatinya. Satu rasa yang masih teramat sulit ia ungkapkan dan teramat takut untuknya menyebut jika ia telah jatuh cinta pada gadis itu.
***
Senyuman Cakka merekah ketika melihat Shilla berdiri gelisah di depan gerbang. Peluang lebar untuk bersama gadis itu semakin lama membuatnya tak berpikir panjang untuk memacu motornya untuk menyambangi gadis yang sepertinya telah mencuri hatinya itu. Rasanya tak cukup sepanjang hari tadi bersamanya dan mengetahui banyak hal tentangnya.
“Shil, nggak dijemput?” tanya Cakka setelah berada di samping Shilla.
“eh, enggak, Kka.” Jawab Shilla sedikit kaget. Hari ini memang ia terpaksa pulang sendirian karena Gabriel sedang mengurus acara perpisahan angkatan mereka.
“gue anter mau? Lumayan loh hemat ongkos.”
“nggak ngerepotin?”
Cakka menggeleng sambil tersenyum, justru ia amat senang dan sama sekali tidak direpotkan.
Shilla mengangguk setuju dan tersenyum senang. Buru-buru ia naik ke boncengan motor Cakka dan mereka bergegas meninggalkan area sekolah.
Dari loby utama sekolah yang letaknya tak jauh dari gerbang, Gabriel yang sehabis mengambil berkas di ruang tata usaha tak sengaja melihat gadisnya pergi bersama pria lain, dan ada perasaan tak rela dari hatinya yang coba ia tepikan, mencoba untuk percaya penuh pada Shilla, membuang jauh-jauh rasa takutnya.
***
Ify duduk sendirian di depan gerbang sekolah menunggu supirnya yang tak juga datang. Hatinya terus merutuki Alvin yang tiba-tiba saja menghilang tanpa pesan sama sekali, membuatnya harus menunggu di bawah terik siang yang seperti menghajarnya tanpa ampun.
Iseng, dibukanya lagi buku Fisika yang saat jam istirahat tadi menjadi sasaran kejahilan Rio, buku yang sedari tadi belum ia buka karena malas. Matanya membulat kala melihat untaian kata “RIO LOVE IFY” dengan ukuran yang tidak lebih kecil dari font ukuran empat puluh delapan ditambah aksen bold di atas lembar soalnya dibingkai dengan deretan rumus untuk mengerjakan soal. Ify mendengus kuat-kuat membebaskan emosinya, sungguh gila laki-laki itu. Sama sekali Rio tak memberi kesempatan padanya untuk lari darinya.
Sampai ia merasakan cahaya matahari tak lagi menyengatnya, teduh. Ify mendongakkan kepalanya, dilihatnya Rio yang sedang berdiri dan memayunginya dengan blezer almamater. Rio bersiul tanpa dosa dengan tampang cueknya. Sekuat tenaga Ify menahan telapak tangannya yang sudah sangat gatal untuk tidak menampar pipi pria gila di sampingnya.
“pergi! Gue nggak butuh lo!” desis Ify setelah menutup kasar buku Fisika yang tebalnya saja bisa membuat anjing pingsan sekali lempar.
“masa? Tapi pasti hati lo butuh gue.” Tanggap Rio santai sambil menyandarkan punggungnya pada gerbang.
Rahang Ify terkatup kuat, membuat bunyi gemeretak kecil. Ingin rasanya ia berteriak di depan wajah jika ia tidak membutuhkan Rio, tidak juga hatinya, walaupun mentari akhirnya terbit di utara, pelangi muncul di musim kemarau, gurun pasir tertimpa bencana banjir, atau bahkan jika Justin Bieber memilih menjadi personil baru Smash sekalipun. Namun hati kecilnya benar-benar menolak argumen itu mentah-mentah dan justru berpihak pada Rio.
Beruntung sepertinya dewi Fortuna berpihak pada Ify dengan mengirimkan pak Amin sebagai penyelamatnya. Bergegas gadis manis itu memasuki mobilnya sebelum Rio mengeluarkan pertanyaan yang membuatnya semakin terpojok dan melakukan hal yang lebih gila lagi. Dan beruntung juga sepertinya Rio tak berminat menahannya atau mengejarnya.
Rio tak beranjak dari tempatnya, sambil kembali menyampirkan blezer yang baru saja ia gunakan untuk memayungi Ify di bahunya, ia menatap mobil mewah yang ditumpangi peri cantiknya yang semakin menjauh. Senyum kecil terukir di bibirnya, ternyata menyenangkan juga bermain-main seperti hari ini dengan gadis pemilik hatinya itu dan cukup baginya untuk mengetahui seberapa jauh Ify membencinya dan berusaha lari darinya.

bersambung...

oiya.. maaf ya, dengan amat sangat nih, aku nggak ngijinin Song of Love di repost di tempat lain, biar aja di sini doang :)

Kamis, 14 Juli 2011

Song of Love part 12b

“bukain dong, pak..!!” rajuk Sivia pada satpam sekolah yang baru saja menutup pintu gerbang besar jalan utama memasuki SMA Putra Buana. “saya ada ulangan hari ini, please!”
“tidak! Kamu tidak tau aturan sekolah?” tolak pak Dirman, sang satpam sekolah, yang berperawakan pendek dengan perut yang buncit, kulitnya sawo matang, tak seperti kebanyakan penjaga yang kulitnya berwarna hitam karena terbakar matahari. Namun pria yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu bersuara menggelegar dan bisa saja membuat pendenganya ketakutan sebelum melihat rupanya.
Sedikit cerita, Sivia terjebak macet karena tiba-tiba saja diadakan perbaikan jalan di dekat rumahnya yang membuatnya harus berputar arah untuk sampai di sekolah, padahal jaraknya hampir dua kali lipat dari yang biasa ia tempuh. Ditambah ia bangun cukup siang hari ini, dan telak gerbang sekolah terlah tertutup rapat. Gerbang itu biasanya ditutup lima menit sebelum pelajaran dimulai tepat pukul tujuh pagi.
“tapi saya ada ulangan, em. . bapak boleh ambil bekal saya deh.” Sogok Sivia sekali lagi sambil menyodorkan tempat makan berwarna ungu muda berisi bekal makan siangnya, berharap banyak jika permohonannya akan diluluskan oleh pak Dirman.
“kamu ini! Mau jadi apa Indonesia kalau penerusnya saja sudah main sogok seperti kamu? Biar bapak cuma satpam, pantang bagi bapak korupsi!” jawab pak Dirman panjang lebar disusul menyulut ujung batang rokok yang telah ia sisipkan di bibirnya. “saya ke pos dulu, baca koran.”
Sivia mendengus frustasi. Ia menggigit bibir bawahnya mencari sebuah ide agar bisa masuk. Nihil. Tak satupun ide yang tercipta di otaknya. Sampai suara motor sport yang cukup bising mengganggu lamunannya dan membuat perhatiannya beralih ke si pengendara motor.
“ck! Udah gue tekatin juga malah udah ditutup!” gumam si pengendara motor yang kini telah berdiri di samping Sivia sambil menggenggam jeruji gerbang, mungkin ia berharap ada keajaiban jika dengan sentuhannya itu gerbang akan terbuka.
Mata sipit Sivia memicing, membuatnya hampir menjadi seperti garis lurus, tatapan yang mungkin berarti sedikit em. . jijik setelah menyadari siapa pria berkulit putih yang berdiri tegap di sampingnya.
“lo liatin gue bisa biasa enggak?” tegur orang itu.
“cih! Siapa yang liatin elo?” elak Sivia sambil kembali melongokan kepalanya ke dalam pos satpam mencari keberadaan pak Dirman.
“cih! Nggak usah sok jijik sama gue gitu deh! Posisi kita sama, nona, tapi setidaknya gue lebih pinter dari lo.”
“maksud lo apaan, Vin?” hardik Sivia tak terima dengan perkataan laki-laki tadi yang ternyata adalah Alvin.
“lo suka kan sama Gabriel? Dan gue lebih pinter karena gue mau perjuangin cinta gue, nggak kaya elo, udah pecundang, munafik pula.” Jawab Alvin dengan santainya sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku belakang celana seragamnya, benda yang semakin menambah ketara tatapan jijik dari mata Sivia, kotak rokok.
Gadis berpipi gembul itu terdiam, otaknya seakan dipaksa untuk membenarkan apa yang Alvin katakan. Namun, gensinya juga tak mau kalah, terlebih dengan sosok di depannya yang tidak lain adalah orang yang selalu menyakiti sahabatnya.
“sok tau, lo!” balas Sivia sedikit terbata.
“pak! Gue kasih rokok bukain dong!” seru Alvin tanpa mempedulikan jawaban Sivia, berkali-kali ia meneriakan sebuah merk rokok terkenal, yang ia tahu adalah merk kegemaran pak Dirman.
“yang kemarin masih, le! Makasih!” jawab pak Dirman dengan logat Jawanya, tak sedikitpun perhatiannya beralih dari koran ke Alvin.
Mata Sivia melotot, apa-apaan penjaga sekolahnya itu, tadi dia bilang kebal sogokan, nyatanya mau saja menerima sogokan Alvin kemarin. Sedetik kemudian ia tertawa kecil karena ekspresi wajah Alvin.
“mampus lo, Vin!” cela Sivia di sela tawanya. “lagian ngapain lo nanti sore tunangan sekarang masuk sekolah? Pesimis lo? Takut kalah sama kak Rio?”
“bah! Mana mungkin tu cecunguk satu menang sama gue?”
Pemuda tampan bermata sipit itu membalikan badannya dan bersandar pada gerbang. Ia mengangkat tangan kanannya untuk melindungi unjung batang rokok yang baru saja ia selipkan di antara kedua bibir merahnya dan menggunakan tangan kirinya untuk menyalakan ujung gulungan tembakau.
Sivia masih diam di tempatnya sambil mengamati wajah dan postur tubuh pria bermata sipit itu. Sosok yang ternyata sangat lebih dari cukup untuk sekedar mendapat seorang gadis yang mencintainya, namun kenapa ia lebih memilih bersaing dengan Rio untuk mendapatkan Ify? Sivia menggelengkan kepalanya untuk membuyarkan pikirannya yang semakin lama justru semakin memuji Alvin. Di saat yang bersamaan ia baru sadar jika beberapa waktu sebelumnya justru ia terlihat akrab dengan orang yang sebenarnya sudah ia anggap musuh itu.
“uhhuk!” Sivia terbatuk saat udara membawa kepulan asap dari rokok yang dihembuskan Alvin ke arahnya, sebenarnya ia sangat tidak menyukai benda itu.
“payah! Rokok doang mengguk lo!” cela Alvin sambil melemparkan batang rokok yang baru sedikit terbakar itu ke tanah, kemudian menginjaknya dengan ujung sneakersnya.
Mata sipit Sivia membulat melihat perbuatan Alvin, yang baru saja ia simpulkan jika Alvin mengalah padanya tanpa diminta.
“rokok doang lo bilang? Satu batang yang lo bilang doang itu bisa ngurangin waktu hidup elo lima belas menit!”
“kaya lo tau kapan gue mampus aja?! Lo peduli?” balas Alvin acuh sambil melangkah kembali menuju motornya.
Dengan tatapan yang masih penuh dengan tumpukan pertanyaan, Sivia memperhatikan kepergian Alvin yang tampak begitu gagah di atas motor besar yang ia pacu dengan kecepatan yang cukup tinggi hingga menghilang di ujung jalan.
Orang itu, yang ia anggap tokoh antagonis dalam drama kehidupan sahabatnya, namun ada sisi tak tersentuh dari seorang “penjahat” itu, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya hampir tidak bisa dipatahkan, bahkan kadang terkesan peduli yang melebihi apa yang orang lain lakukan. Sudut lain pemikirannya sibuk berdemo, dengan lantang menyerukan Alvin tak salah, bagian mana yang salah dari mempejuangkan hati dan apa yang kita yakini?
***
Deru nafas dua orang pemuda tampan yang seakan-akan memburu seorang laki-laki di hadapan mereka. Sunyi, tak ada suara apa pun yang mewarnai ruangan bernuansa putih bersih itu. Hanya emosi yang begitu besar menyelimutinya.
Dua pasang bola mata tajam yang terlihat seperti elang menanti buruannya terus mencecar pria yang kini tertunduk, mencoba merangkai setiap kata di otaknya agar tak lagi ada salah paham. Dua jagoannya menunggu penjelasannya.
Cakka mendengus keras, membebaskan emosinya sekaligus membuyarkan sepi yang terus menyelinap. Tak tahan lagi untuk menunggu.
“Mario, Cakka. .” panggil Krishna, tuan besar Haling kepada dua putranya setelah sebelumnya menghambuskan nafasnya. “Papa rasa kalian sudah cukup dewasa untuk mengetahui semuanya.”
“cih. . anda terlalu banyak basa-basi.” Cibir Cakka sambil membuang mukanya.
“Papa dan Tama, dulu adalah sahabat karib, mungkin seperti kamu dan Gabriel saat ini, Rio.” Krishna memulai kisahnya, dengan satu tangan kanannya yang masih nampak begitu kokoh menggenggam tangan kiri Safira. Adegan yang membuat Rio sedikit naik darah karena menganggap ayahnya itu telah melupakan ibundanya. Jika bukan dorongan rasa ingin tahunya mungkin saat ini ia lebih memilih pergi daripada merasa seperti terdampar di planet asing seperti sekarang.
“sahabat terbaik yang pernah papa punya, dia juga yang memperkenalkan papa dengan wanita terindah yang pernah papa kenal.”
Kedua tangan Rio mengepal kuat, menahan emosinya yang semakin membumbung. Yang ia tangkap hanya ada Krishna, Safira, dan satu pemain pendukung Pratama dalam kisah yang dijabarkan ayahnya, tak terselip sama sekali nama Evina, ibundanya di sana.
Rentetan teka-teki yang selama ini tersimpan dalam otaknya mulai terjawab perlahan. Mengapa ayah dan ibunya tak pernah terlihat semesra pasangan lain, karena memang tak ada cinta yang satu di antara keduanya. Mengapa ia diperlakukan seperti robot selama ini, karena ia memang ada hanya untuk melanjutkan tegaknya sebuah kerajaan bisnis besar.
“selama ini kehidupan kita ditanggung oleh papa kamu, Cakka, dan nama kamu pun dia yang memberi.” Tambah Safira setelah Krishna bercerita panjang lebar.
Kebencian di wajah Cakka perlahan memudar seiring dengan terbongkarnya semua rahasia hidupnya. Ia yang ternyata jauh lebih beruntung dari pemikirannya. Meski sedikit dendam itu masih tersimpan karena sang ayah justru membiarkannya hidup bertahun-tahun tanpa pengakuan.
PRANG..
Almari kaca yang terletak pesis berada di samping Rio salah satu sisinya pecah berkeping-keping karena kepalan tangannya yang tak mampu lagi ia tahan mendarat bebas ke sana. Seakan tak ada cara lain untuk memperlihatkan keberadaannya di ruangan itu sekaligus untuk melimpahkan semua emosi yang ia tahan.
Cairan berwarna merah pekat mengucur deras dari tangan kiri Rio hingga berjatuhan di beberapa tempat. Entah setan apa yang merasukinya hingga tak sedikitpun rasa sakit yang ia rasakan. Tiga pasang mata menatapnya, terlihat jelas bahwa mereka pun tak tau harus bereaksi apa dengan tindakan Rio.
“Ri.. Rio..” ucap Safira terbata, dengan bodohnya ia baru menyadari keberadaan Rio yang sejak tadi mendengar apa yang ia dan Krishna bicarakan. Ia tau pasti bagaimana perasaan Rio saat ini. Hancur, orang yang sangat ia kasihi ternyata telah dihianati sedalam dan sekejam itu dengan sebuah perselingkuhan.
“makasih, Pa.. sekarang Papa punya Cakka, cukup buat Rio tau semua, cukup buat Rio jadi robot.” Ucap Rio sarkastik sambil beranjak dari tempat duduknya. Tangan kanannya mencengkeram erat tangan kirinya untuk menahan rasa nyeri hebat yang mulai ia rasakan sekaligus menahan darahnya agar tidak terus mengucur.
Tak ada yang mampu bergerak dari tempatnya untuk menahan kepergian Rio. Semuanya seakan terpaku oleh rasa besalah dan sadar jika saat ini Rio sedang sangat labil dan membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
***
Gabriel terus mondar-mandir tak tenang. Berkali-kali rambutnya menjadi sasaran kekesalannya dan membuatnya kini terlihat sangat tak beraturan. Jarum jam yang menempel di dinding menjadi berputar dengan kecepatan tak wajar menurutnya.
Lebih dua puluh menit dari pukul lima sore, dan sampai saat ini Rio belum menunjukan batang hidungnya. Tinggal dua jam waktu tersisa sebelum acara pertunangan Alvin dan Ify ditambah bonus beberapa menit hingga cincin pengikat itu tersemat di jari manis keduanya.
“arghh.. pesek! Bisa banget bikin gue susah!” gerutu Gabriel sambil sekali lagi mengacak-acak rambutnya.
“tenang, Yel! Semuanya akan baik-baik aja.” Ucap Shilla yang sejak tadi hanya mampu menatap prihatin pada kekasihnya.
“baik gimana sih? Ini nyawa Rio terancam, aku yakin kalau Ify nggak jadi punya dia, dia lebih baik mati!”
“nggak segitunya juga, sayang.”
Shilla beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Gabriel. Ia sedikit berjinjit untuk menyamakan tingginya dengan sang kekasih. Perlahan tangan mungilnya tergerak merapikan tatanan rambut Gabriel menjadi seperti biasanya.
“makasih..” lirih Gabriel sambil mencekal lembut pergelangan tangan Shilla dan menurunkannya.
Dengan senyum lembut yang terpendar di wajahnya, senyuman menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya. Seulas senyum kembali terukir di wajah tampan Gabriel, mengendorkan setiap ototnya yang sudah menegang karena Rio sama sekali belum memberinya kabar, dan sangat sulit baginya untuk mendapat informasi bagaimana keadaan Ify saat ini.
Tangan Shilla memeluk lengan Gabriel dan membimbingnya menuju sofa yang sebelumnya ia duduki. Perlahan ia mengusap punggung kekasihnya itu untuk menenangkan emosinya. Shilla sama sekali tak mengajak Gabriel berbicara untuk membiarkannya mengatur nafas.
“aku beruntung punya kamu..” lirih Gabriel setelah ia dapat menenangkan perasaannya.
“aku lebih!” balas Shilla mantab. “semua orang yang merasa punya kamu itu beruntung, Gab!”
Gabriel mengacak-acak poni Shilla gemas.
“Shil, kamu percaya karma?” tanya Gabriel sedikit ragu.
Hanya sebuah anggukan yang Shilla beri untuk menjawab pertanyaan sang kekasih.
“aku harap itu nggak berlaku buat aku.”
Shilla mengerti benar apa yang dimaksud Gabriel. Ia tau pengerannya itu tak ingin kehilangannya karena ganjaran untuk kesalahannya di masa lalu. Gadis cantik itu menyenderkan kepalanya di bahu kokoh Gabriel, mencoba meredam segala kekuatiran yang membelenggu kekasihnya.
“aku cuma bisa kasih yang terbaik, tapi apa yang terjadi nanti, biar waktu yang jawab.” Lirih Shilla
***
Tubuh mungil gadis cantik itu seakan terpaku pada jam berwarna biru langit yang bertengger manis di dinding kamarnya. Bola matanya seolan terhipnotis mengikuti laju jarum yang berporos tepat pada bagian tengah jam berbentuk oval itu. Rasanya ingin sekali ia meraih benda itu dan melemparnya jauh-jauh agar ia tak lagi menyaksikan waktu bergulir dan menyaksikannya menjadi milik orang lain, bukan pangeran hatinya.
Matanya terasa pedih namun entah mengapa air matanya tak juga bersedia mengalir. Ia hanya bisa diam dan pasrah dengan apa yang orang-orang di sekitarnya lakukan padanya. Memoles wajah cantiknya dengan make up tebal untuk menutup sembabnya, memakaikan berbagai perhiasan indah di tubuhnya, dan sebuah gaun yang sangat cantik yang nampak begitu serasi dengan tubuhnya. Tak ubahnya sebuah boneka Barbie yang tak mampu berkelit saat dimainkan pemiliknya.
“nona Ify memang cantik sekali.” Puji salah satu pelayan yang baru saja masuk ke dalam kamar Ify dan menyaksika nona mudanya baru saja selesai didandani.
Ify hanya membalasnya dengan senyuman hambar. Meskipun ia diperlakukan bak seorang putri raja namun ia justru merasa menjadi seorang tawanan.
“bi, tolong gantikan air di vas bunga itu!” perintah Ify lirih sambil menunjuk mawar biru pemberian Rio. Terlihat dari luar vas bening itu jika air yang Ify tuang ke dalamnya mulai berkurang karena kapilaritas batang bunga langka itu.
“nona, tuan Alvin ingin bertemu nona.” Ucap pelayan tadi setelah mengerjakan apa yang diperintahkan Ify.
“hm? Memang di hadapannya aku masih punya hak untuk melarang?” cibir Ify. “suruh dia masuk, supaya puas dia nyiksa aku.”
Satu persatu pelayan yang ada di kamar besar itu berjalan keluar meninggalkan nona mudanya seorang diri.
Ify mengangkat sedikit gaun panjangnya agar ia leluasa berjalan menuju berada kamarnya. Gadis manis itu menatap nanar pada pantulan bayang dirinya yang ada pada pintu kaca besar pembatas kamarnya.
“putri ini masih menunggu pangerannya..” lirih Ify sambil menghapus setetes air matanya yang tiba-tiba saja menetes membasahi pipinya.
Derap langkah kaki yang beralas sepasang sepatu phantoefel beradu dengan lantai kayu kamarnya membuat Ify menghentikan tangisnya dan membusungkan dadanya, sama sekali ia tak ingin terlihat lemah di depan lelaki itu.
“sore, cantik.” Sapa Alvin setelah berdiri tepat di samping Ify.
Ify tak menyahut ataupun menatap orang yang mengajaknya berbicara. Ia hanya menangkap sosok Alvin dari ekor matanya. Pria tampan itu sedang menatap lurus ke ufuk barat, menyaksikan semburat kuning kemerahan yang masih tersisa di ujung langit, sorot matanya begitu tenang dan tanpa beban. Kedua tangannya ia masukan ke dalam celana kain hitamnya.
Tak dapat Ify pungkiri jika sahabat kecilnya itu nampak begitu gagah dengan balutan tuxedo yang belum ia kancingkan sama sekali dan mempelihatkan kaos putih polos yang Alvin gunakan.
“gue tau di mata elo, gue nggak lebih baik dari Hilter.” Kata Alvin dengan sorot ketenangan yang tak juga pudar dari wajahnya. “hampir seumur hidup kita sama-sama, lo belum juga ngarti gue?”
“egois, ambisius..” sahut Ify dengan emosi yang tertahan.
“dan itu gue!”
Kini hanya dentingan jarum jam yang terdengar di ruangan besar itu. Tak ada yang mulai berkata-kata kembali.
“gue mau bikin kesepakatan, gue rasa kita akan sama-sama untung.” Ucap Alvin memecah hening seraya menoleh pada Ify yang juga tengah melihatnya, nampaknya gadis itu mulai tertarik dengan apa yang Alvin bicarakan. “kalau sampai cincin yang akan mengikat kita terpasang dan Rio belum datang, lo harus coba terima gue, sebaliknya, kalau Rio bisa hentikan acara ini, gue harus coba lepasin elo.”
Sebelah garis tebal yang melintang di atas mata Ify terangkat, heran dengan penawaran Alvin yang menurutnya sedikit bijak dan tak lagi mementingkan dirinya sendiri.
“gimana?” tanya Alvin.
“lo serius?” masih terdengar jelas nada tidak percaya pada ucapan Ify.
“of course! Ini gue coba buat jadi sahabat elo sekaligus orang yang mengharapkan elo.” Alvin menggaruk tengkuknya sambil tertawa hambar untuk menutup kalimatnya. “deal?”
Ify menggigit bibir bawahnya. Pikirannya masih terus menimang penawaran Alvin. Perlahan tangannya bergerak mendekati tangan Alvin yang sebelumnya telah disodorkan di hadapannya.
“yes!” ucap Ify akhirnya.
Sudut bibir Alvin terangkat namun sebisa mungkin ia menahan sebuah senyum penuh kemenangannya lepas begitu saja. Keyakinannya sudah terkumpul penuh bahwa Rio tak akan datang malam ini atau setidaknya saingannya itu tidak akan datang tepat waktu. Memang benar kata orang, wanita justru akan lebih bertekuk lutut pada kelembutan dibandingkan menggunakan kekerasan.
Sambil membenahi pakaiannya, Alvin tersenyum kecil melihat sedikit kelegaan terpendar di wajah Ify walaupun masih tak mampu menutupi raut ketakutan gadis yang saat ini sedang menatap cemas pada pintu gerbang belakang istananya. Dan Alvin tau benar jika Ify sedang sangat mengharapkan pangerannya muncul dari gerbang itu, dalam keadaan apapun, dan walaupun tidak menggunakan kuda putihnya.
“gue turun dulu, tamu udah pada dateng.”
Alvin mengayunkan tungkainya keluar dari kamar Ify, meninggalkan gadis pujaannya itu bersama kumpulan rasa takut dan kawatir.
Tak ada yang bisa Ify lakukan kini kecuali berdoa meletakkan semua di hadapan tuhan dan mengharapkan penuh pada Rio untuk menepati janjinya.
***
Di samping gundukan pasir yang terlah terselimuti rumput yang tumbuh rapat itu kini Rio berdiri lesu. Matanya menatap nanar pada sebongkah batu marmer hitam yang teronggok di ujung utara gundukan tanah itu. Evina Haling. Begitu nama indah yang terukir di atasnya.
Ujung bibir Rio terangkat, membetuk sebuah cibiran tajam yang bahkan ia sendiri tak tau pasti kemana dan kepada siapa ditujukan, kepada dirinya sendiri atau kepada nasib yang sekarang seakan tertawa terbahak-bahak menertawakan kepedihannya, namun sepertinya lebih tertuju pada nama terakhir yang terukir di atas batu indah itu.
Beberapa tetes darah masih mengalir dari tangan kirinya, mungkin karena beberapa kepingan benda bening yang tadi menjadi samsak kemarahannya masih tertinggal dan membuat sel-sel darah putihnya belum bekerja sempurna. Beberapa titik dedaunan rumput memerah tertutup cairan kental itu. Dan si empunya pun masih tak peduli dengan keadaannya sendiri.
“maaf, Rio ngotorin tempat istirahat mama..” lirih Rio setelah jatuh bertelut di samping makam sang bunda. Ia melepas jaket yang ia gunakan dan ia belitkan asal di atas lukanya.
“Rio sayang mama, Rio kangen.. kenapa mama nggak ajak Rio?” setiap kata yang keluar dari bibir pemuda tampan itu terdengar sangat pilu, kalau saja ia tak ingat ia adalah seorang laki-laki dan ia tak pernah memegang janji pada sang ibu untuk tidak lagi mengeluarkan isakan dan air mata, mungkin saat ini Rio sudah mengangis tersedu-sedu.
“tolong kasih tau apa yang harus Rio lakuin sekarang!” ucap Rio sedikit membentak, seakan segalanya memang sudah menghabiskan kekuatannya.
Rio menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan kedua tangannya yang disangga lututnya setelah sebelumnya mentap langit yang sudah beranjak gelap di atasnya seakan menantangnya untuk menelannya dan membawanya moksa, bersatu dengan Sang Pencipta bersama seluruh raganya.
***
Semua mata tertuju pada gadis yang melangkah dengan begitu anggunnya di atas karpet merah yang tergelar membelah sebuah area yang telah ditata dengan sangat manis, gadis cantik yang terlihat seperti putri raja yang sedang menyongsong pangeran tampan yang kini sedang berdiri di atas panggung kecil dengan senyum sumringah yang terus menghiasi wajahnya. Nampaknya tak satupun dari sekelompok manusia itu yang menyadari jika wajah sang putri yang mempesona mereka itu tidak benar-benar dalam keadaan berseri.
Ify melangkah pongah, dengan dagu lancipnya yang terangkat seolah ingin menunjukan pada pemuda yang sedang ditatapnya tajam bahwa ia tak gentar dengan semua yang akan didapatinya nanti. Sama sekali ia tidak peduli pada orang-orang yang menatapnya. Suara riuh musik penyambutanpun seakan tak ia dengar.
Keduanya telah bersanding, Ify dan Alvin, membuat semua undangan makin berdecak kagum karena keserasian mereka, seorang laki-laki yang sangat tampan menyading gadis yang sangat cantik. Namun Ify masih belum berkelit dari tatapannya pada gerbang besar yang berada jauh di hadapannya, membayangkan kisah seperti drama yang pernah ia lihat akan terjadi juga padanya. Pangerannya yang sesungguhnya datang dengan gagahnya dan membawanya pergi dari tempat yang tak lebih dari penjara baginya itu.
“ini lah alasan kami mengudang bapak dan ibu sekalian, yaitu untuk menjadi saksi pertunangan putra-putri kami..” ucap Pratama Umari setelah memberi isyarat pada istrinya untuk menyiapakan cincin yang akan digunakan.
Ify tak lagi mampu mendengar jelas apa yang dikatakan ayahnya, ia masih terpaku pada gerbang besar yang semenjak tadi diperhatikannya. Sedikit demi sedikit semua kepercayaannya pada Rio menguap, hatinya seakan terhujam ribuan jarum, perih sangat perih,bahkan mungkin hingga ia tak lagi mampu merasaan apapun pada pusat perasaannya itu.
Kata-kata Rio terus berputar di otaknya, sebuah janji manis yang mengatakan jika ia akan kembali sebelum acara pertunangan itu. Dan akhirnya sama sekali tak terbukti. Semua kebaikan Rio seakan tertutup sebuah kelambu bernama kebohongan, hal yang langsung membuat sosok pangerannya itu masuk dalam deretan lelaki kebanyakan, yang tak pernah berkata jujur.
Lamunan Ify buyar saat tangan kokoh Alvin menggenggam tangannya. Seperti seorang budak yang pasrah saja dengan perlakuan majikannya, Ify merubah posisi tubuhnya menghadap Alvin, menatap kosong pada lelaki tampan yang sedang tersenyum padanya itu, sebuah senyum kemenangan yang sepertinya tak lagi dapat ia tahan.
“l’m your future, dear.” Bisik Alvin tepat di sebelah telinga kiri Ify, tangan kanannya mengusap lembut puncak kepala gadis manis itu, seakan ia ingin memberi pemanis dan hiburan tambahan pada penonton yang menyaksikan drama hidup itu, mereka yang kini bersorak riuh untuk adegan indah itu.
Senyum Alvin sedikit memudar kala tak mendapati reaksi penentangan dari Ify yang justru sama sekali tak merubah ekspresinya. Tetap pasrah dan hanya pasrah, gambaran yang sangat menyedihkan di mata Alvin. Perasaannya mungkin seperti seorang anak kecil yang melihat mainannya hancur berkeping-keping di hadapannya.
Jiwa dan raga Ify benar-benar serasa terpisah saat menyadari cincin indah bertahta ukiran nama Alvin tersemat di jarinya. Perasaannya seperti membeku, tak tau lagi apa yang ia rasakan, tidak lagi sakit, tidak lagi sedih, atau apapun, hanya sebuah kehampaan yang begitu nyata yang dapat ia rasakan. Dengan sisa kesadarannya, jemari Ify memakaikan cincin berukiran namanya di jari manis Alvin.
Lirih alunan nada yang begitu manis mulai mengalun, melawan deru petir yang sedang memberi pertanda jika langit akan segera bersedekah untuk bumi yang dipayunginya. Melodi yang membawa para tamu undangan untuk berdansa tanpa cemas hujan akan segera datang.
Belum habis dengan keheranannya karena sikap Ify, Alvin kembali dikejutkan dengan perderakan Ify yang tiba-tiba saja memeluknya. Tak ingin merepotkan diri dengan berpikir keras dengan apa yang terjadi dan tenggelam dalam lamunannya terlalu lama, Alvin segera merengkuh pinggang Ify.
Keduanya bergerak mengikuti lantunan irama lagu, berdansa dengan indah dan begitu serasi. Tak pernah terbersit sedikitpun jika saat ini mereka menari di atas puing-puing perasaan seorang gadis yang terlah hancur.
Ify menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Alvin, sama seperti dahulu ia lakukan dengan sosok sahabatnya untuk mencari sebuah ketenangan. Tuhan masih berbaik hati ternyata, ia masih bisa menemukan ketenangan yang sama seperti dulu pernah ia rasakan.
“Fy..” panggil Alvin sambil melonggarkan sedikit pelukannya. “are you fine?”
Ify hanya mendehem lembut, bahkan hampir tak terdengar. Seakan tak ada daya lagi yang ia miliki untuk sekedar menjawab. Benar-benar tak bisa digambarkan apa yang ia rasakan saat ini, tak ada air mata yang jatuh dari kelopak pelindung mata indahnya, sungguh ia tak ingin dunia menertawakannya, mengolok-olok semua kebodohannya.
Setiap yang diciptakan pasti memiliki pasangan yang tak akan mampu dipisahkan, seperti kiri dan kanan, awal dan akhir, dan mungkin juga berlaku pada janji dan ingkar.
Rintik-rintik air langit mulai berjatuhan. Para tamu undangan berhamburan menuju tenda yang terpasang mengitari bagian tepi halaman rumah keluarga Umari yang begitu luas, meninggalkan area sebelumnya yang terbuka.
Namun Alvin dan Ify tidak beranjak dari tempatnya. Ify menengadahkan wajahnya, menantang bulir-bulir embun awan yang tak segan membasahi wajah cantiknya. Alvin masih diam menunggu Ify, ia tau pasti hujan pasti dan akan selalu mampu mengangkat duka gadis manis yang selalu dipujanya itu.
“hujan Fy, nanti lo sakit.” Ucap Alvin setelah beberapa saat membiarkan Ify melepas perasaannya. Tak segan ia melepas tuxedonya untuk memayungi Ify.
“buat aku jatuh cinta sama kamu, Vin!” kata Ify mantab, seakan ia sedang memberikan sebuah tantangan pada pria tampan yang kini sedang ditatapnya lekat-lekat.
Alvin terperanjat dengan apa yang baru saja didengarnya. Dan entah apa yang terjadi justru hatinya seakan sedang berorasi memintanya untuk menolak penawaran yang seharusnya sangat ia syukuri. Bukan, bukan hal itu yang ia cari.
“Vin!” sentak Ify tak sabar menunggu jawaban Alvin.
Tak ada yang lain yang bisa Alvin lakukan kecuali mengangguk, walaupun dengan kebingungan dan kegalauannya yang belum juga mereda. Tanpa pikir panjang tangan kokohnya menarik tangan Ify untuk segera berteduh.
***
Hentakan musik yang begitu keras sayup-sayup masih bisa ia dengarkan diantara kesadarannya yang mulai timbul-tenggelam. Entah setan apa yang mampu merasuki Rio hingga ia kembali ke dunia gelap itu.
Hampir tiga botol ia habiskan hingga hari beranjak pagi. Bibirnya terangkat mendapati kristal bening terakhirnya mulai kosong. Masih luar biasa saja kemampuannya dalam hal yang satu ini walaupun sudah sangat lama ia tak melakukannya. Sebuah prestasi yang amat sangat tidak bisa dibanggakan.
“boss, duit di dompet lo ludes!” lapor seorang pria berperawakan sedang namun berbadan altetis pada Rio, nampak ia sudah mengenal baik orang yang sedang ia ajak berbicara.
“gesek aja debitnya, goblok!” maki Rio dengan suara diseret sehingga tak terdengar terlalu jelas.
“tapi. . lo pulang aja deh, hampir collapse gini juga, gue anter deh!” ujar orang itu yang masih seratus persen sadar tanpa pengaruh alkohol seperti Rio. Ia tau bukan waktunya ikut lupa diri bersama temannya itu.
Tanpa melancarkan protes lagi, Rio beranjak dari tempat duduknya dan berjalan sempoyongan meninggalkan tempat itu dikawal pria yang tadi memanggilnya boss.
***
“lo mau balik kemana, Yo?” tanya Dayat, orang yang semenjak tadi mengawal Rio. “atau ke rumah sakit dulu buat ngobatin tangan lo?” tawarnya sekali lagi karena ia juga sudah merinding dengan darah yang mulai tak tertahan lagi oleh jaket yang dibelitkan asal oleh Rio untuk menutupi lukanya.
“terserah lo mau bawa gue kemana!” jawab Rio keras, matanya sudah terpejam rapat menahan kepalanya yang terasa berputar.
Dayat mendengus. Terbayang kembali di ingatannya peristiwa beberapa jam lalu saat sahabat yang sudah lama tak ditemuinya ini menghampirinya dalam keadaan kacau balau di tempat ia biasa berkumpul dengan gerombolannya, baik kelakuannya dan juga pakaiannya tak satupun menunjukan ia orang baik-baik dan putra dari keluarga yang begitu disegani. Tanpa kendaraan mewah yang biasanya selalu menemaninya. Dan tiba-tiba saja Rio memaksanya untuk mengantarkannya ke club malam yang dulu sering mereka kunjungi.
“gue bawa lo ke rumah Gabriel aja ya?!” simpul Dayat cepat. Ia hapal betul jika Rio sedang kalap seperti saat ini pasti hanya berurusan dengan keluarganya, rasanya tidak mungkin jika ia harus mengantar Rio kembali ke rumahnya.
Tak ada jawaban dari Rio, hal yang Dayat anggap sebuah persetujuan. Dayat mengalihkan perhatiannya dari jalanan sekejap untuk melihat kondisi Rio yang berada di sampingnya, nampaknya ia sudah terlelap.
***
Gabriel terlonjak dari tempat duduknya saat mendengar bel rumahnya berbunyi berkali-kali. Ia belum terlelap sebelumnya, hanya menyibukan diri menggonta-ganti channel televisi karena tak juga menemukan acara yang menarik perhatiannya.
Pikirannya masih tertuju pada Rio yang tak juga memberinya kabar. Bukan hanya sekali dua kali ia mencoba menghubungi sahabatnya itu namun tetap saja hasilnya nihil, sama sekali tak ada jawaban dari sahabatnya itu kecuali suara customer service yang sudah tidak asing lagi. Membuatnya berkali-kali juga ingin membanting ponselnya.
Sebelum membukakan pintu, Gabriel melirik jam yang tertempel di dinding rumahnya. Pukul dua lebih dua puluh menit dini hari, sungguh gila orang yang nekat bertamu pagi-pagi buta seperti ini. Namun kejengkelannya justru membuatnya yakin siapa yang bertamu sebenarnya. Dengan gerakan cepat ia segera memutar handle pintu dan menariknya asal.
“ck! Benerkan hipotesa gue?!” gumam Gabriel saat mendapati cengiran Dayat yang masih memapah Rio tepat di depan pintunya. Gabriel segera menggantikan posisi Dayat menjadi penyangga tubuh Rio yang mulai kehilangan keseimbangan.
“sorry, bro, gue bawa Rio ke sini, bonyok gue ada di rumah.” Jelas Dayat sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“hangover ni bocah?” tanya Gabriel tak mengiraukan penjelasan Dayat. Ia memapah Rio menuju kamar tidur terdekat dari pintu utama rumahnya.
“udah tau pake nanya.”
“lo labil banget sih?!” dengus Gabriel sambil membaringkan Rio di tempat tidur sedikit asal karena sejujurnya ia pun masih kesal dengan ulah Rio hari ini. “biarin aja dia dulu, Day! Lo mau nginep sekalian apa mau balik?”
“gue balik aja deh, sorry ganggu.” Pamit Dayat sebelum menyalami Gabriel dan akhirnya berlalu pergi meninggalkan rumah besar milik keluarga Gabriel yang sepertinya sedang kosong dan hanya dihuni Gabriel seorang diri.
Merasa tak ada lagi yang bisa ia kerjakan, Gabriel merebahkan tubuhnya asal-asalan di atas sofa besar di sudut kamar yang sama dengan Rio.
***
Matahari sudah bersinar penuh hingga ke atas ubun-ubun. Rio belum juga sadar dari pingsannya. Sementara itu di sebelahnya ada Shilla yang dengan telaten membersihkan beling-beling kecil yang masih tersisa di lukanya serta mengobatinya.
“temen lo ini gila banget, Gab!” tutur Shilla pada Gabriel yang sedang berdiri di sebelahnya dan memperhatikannya. “ada aja orang yang rela nyakitin diri sendiri begini.”
“nanti aja deh protesnya, daripada nanti dia keburu bangun, kamu bukannya harus ngobatin anak orang tapi macan ngamuk.” Ujar Gabriel sedikit tegang. Ia sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.
Shilla kembali melanjutkan pekerjaannya, namun kali ini dalam diam dan tak lagi mengajukan protes atau pertanyaan apapun pada Gabriel yang sepertinya sedang tidak dalam mood yang baik untuk meladeninya.
“ergh...” rintihan pelan keluar dari bibir Rio. Sebuah erangan kesakitan. Kesadarannya sudah mulai beranjak pulih.
Shilla mempercepat pekerjaannya, karena jujur ia juga menjadi paranoid dengan ucapan Gabriel sebelumnya jika Rio bangun maka yang harus ia obati bukan lagi seorang manusia melaikan seekor macan.
“aw.. sakit!” pekik Rio sedikit lebih keras dari sebelumnya, tangan kirinya sedikit ia sentakan untuk melepaskan genggaman Shilla.
“bentar, Yo! Tanggung! Daripada infeksi.” Shilla mencoba menahan tangan kokoh itu dan mengolesinya dengan obat penyembuh luka.
Rio membuka sedikit sebelah matanya. Mencari jawaban siapa saja yang ada di sekitarnya, apa yang terjadi padanya dan ada dimana ia saat ini. Pertanyaan yang akhirnya tak semuanya dapat ia jawab karena rasa nyeri dan panas hebat di tangannya. Setidaknya ia tau ada Shilla yang sedang mengobatinya dan Gabriel yang sedang berdiri di samping sang kekasih.
Berkali-kali Rio merancu kesakitan dan berkali-kali ia dibentak Gabriel dan diperintah untuk diam.
“aw! Pelan, Shil!” bentak Rio sekali lagi, entah untuk yang keberapa kali.
“lo diem bentar gimana sih?!” hardik Gabriel didasari rasa kasihan pada Shilla yang sebenarnya semenjak tadi ia suruh untuk membersihkan luka Rio yang cukup parah itu sudah tidak bersedia karena tidak tega. “kalau nggak berani nanggung makanya nggak usah nglakuin!”
“dosa apa sih tu kaca lo hajar begini?” tanya Shilla setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Rio tak menjawab, perutnya terasa begitu panas dan mual. Detik berikutnya ia beranjak cepat dari tempat tidur dan berlari ke toilet untuk memuntahkan isi perutnya.
“lo tunggu sini aja, Shil!” perintah Gabriel pada Shilla yang ingin menyusul Rio.
Gabriel segera mengikuti Rio. Mengurut punggung sahabatnya itu.
“lo kenapa?” tanya Gabriel tenang sambil menyandarkan tubunya di dinding toilet setelah Rio terlihat lebih baik.
“panjang ceritanya, gue juga males cerita.” Jawab Rio seadaanya, seakan tak terjadi apapun padanya. Ia mambasuh mukanya dan memperhatikan bayangan wajahnya di cermin, ia nampak begitu pucat. Tak usah heran, seharian sama sekali ia tak makan, perutnya hanya terisi minuman haram yang akhirnya justru membuat tubuhnya makin tak karuan, ditambah banyak darah yang harus ia keluarkan kemarin.
“Ify?” tanya Gabriel lebih berhati-hati, ia tau pasti nama itu dapat menimbulkan reaksi yang tak terduga dari sahabatnya itu.
DEG!
Jantung Rio seakan berhenti berdetak mendengar nama itu. tubuhnya yang sebelumnya meman sudah lemah seakan tak mampu lagi berdiri. Jika kedua tangannya sedang tidak bertumpu pada tepian washtafel mungkin saja ia sudah limbung.
Rio terus merutuki dirinya sediri dan setan yang telah merasukinya kemarin hingga sama sekali ia lupa pada sosok gadis yang sangat menantinya, sehingga ia mengabaikan janjinya untuk membawa putri hatinya itu untuk pergi dari sangkar emasnya. Sebuah kenyataan perih harus ia telan bulat-bulat sekali lagi, pemilik hatinya kini telah terikat dengan orang lain.
“Yo.. sorry!” lirih Gabriel merasa tak enak dengan reaksi Rio.
“gue goblok banget, Yel!” cibir Rio pada diriya sendiri.
“udahlah, toh emang lo lagi punya masalah berat.”
“tapi Ify nggak ada hubungannya sama masalah gue!”
Rio kembali diam, memejamkan matanya rapat-rapat kemudian menghembuskan nafas kuat-kuat. Membuang semua amarahnya dan membulatkan tekatnya.
“dia, punya gue, cuma punya gue!” ucap Rio mantab. Menegaskan bila tak seorangpun memiliki hak untuk menyanggah ataupun menolak pernyataannya. Membongkar semua keyakinannya jika gadis yang duduk di tahta tertinggi hatinya saat ini mememang benar takdirnya, Ify adalah miliknya, tidak yang lain, tak juga seorang Alvin.
Sekuat-kuatnya emas, banyak benda yang mampu meleburkannya, seindah-indahnya batu mulia itu setelah ditempa pasti cacat, namun tidak dengan cinta, karena ia sempurna. Sebuah keyakinan besar yang sedang berkobar di hati Rio yang terus mendorongnya untuk maju dan tetap memintanya untuk menjadi pemeran utama dalam romansa nyata dalam kasihnya bersama Ify, karena mereka diikat oleh cinta bukan hanya emas.

bersambung..