“bukain dong, pak..!!” rajuk Sivia pada satpam sekolah yang baru saja menutup pintu gerbang besar jalan utama memasuki SMA Putra Buana. “saya ada ulangan hari ini, please!”
“tidak! Kamu tidak tau aturan sekolah?” tolak pak Dirman, sang satpam sekolah, yang berperawakan pendek dengan perut yang buncit, kulitnya sawo matang, tak seperti kebanyakan penjaga yang kulitnya berwarna hitam karena terbakar matahari. Namun pria yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu bersuara menggelegar dan bisa saja membuat pendenganya ketakutan sebelum melihat rupanya.
Sedikit cerita, Sivia terjebak macet karena tiba-tiba saja diadakan perbaikan jalan di dekat rumahnya yang membuatnya harus berputar arah untuk sampai di sekolah, padahal jaraknya hampir dua kali lipat dari yang biasa ia tempuh. Ditambah ia bangun cukup siang hari ini, dan telak gerbang sekolah terlah tertutup rapat. Gerbang itu biasanya ditutup lima menit sebelum pelajaran dimulai tepat pukul tujuh pagi.
“tapi saya ada ulangan, em. . bapak boleh ambil bekal saya deh.” Sogok Sivia sekali lagi sambil menyodorkan tempat makan berwarna ungu muda berisi bekal makan siangnya, berharap banyak jika permohonannya akan diluluskan oleh pak Dirman.
“kamu ini! Mau jadi apa Indonesia kalau penerusnya saja sudah main sogok seperti kamu? Biar bapak cuma satpam, pantang bagi bapak korupsi!” jawab pak Dirman panjang lebar disusul menyulut ujung batang rokok yang telah ia sisipkan di bibirnya. “saya ke pos dulu, baca koran.”
Sivia mendengus frustasi. Ia menggigit bibir bawahnya mencari sebuah ide agar bisa masuk. Nihil. Tak satupun ide yang tercipta di otaknya. Sampai suara motor sport yang cukup bising mengganggu lamunannya dan membuat perhatiannya beralih ke si pengendara motor.
“ck! Udah gue tekatin juga malah udah ditutup!” gumam si pengendara motor yang kini telah berdiri di samping Sivia sambil menggenggam jeruji gerbang, mungkin ia berharap ada keajaiban jika dengan sentuhannya itu gerbang akan terbuka.
Mata sipit Sivia memicing, membuatnya hampir menjadi seperti garis lurus, tatapan yang mungkin berarti sedikit em. . jijik setelah menyadari siapa pria berkulit putih yang berdiri tegap di sampingnya.
“lo liatin gue bisa biasa enggak?” tegur orang itu.
“cih! Siapa yang liatin elo?” elak Sivia sambil kembali melongokan kepalanya ke dalam pos satpam mencari keberadaan pak Dirman.
“cih! Nggak usah sok jijik sama gue gitu deh! Posisi kita sama, nona, tapi setidaknya gue lebih pinter dari lo.”
“maksud lo apaan, Vin?” hardik Sivia tak terima dengan perkataan laki-laki tadi yang ternyata adalah Alvin.
“lo suka kan sama Gabriel? Dan gue lebih pinter karena gue mau perjuangin cinta gue, nggak kaya elo, udah pecundang, munafik pula.” Jawab Alvin dengan santainya sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku belakang celana seragamnya, benda yang semakin menambah ketara tatapan jijik dari mata Sivia, kotak rokok.
Gadis berpipi gembul itu terdiam, otaknya seakan dipaksa untuk membenarkan apa yang Alvin katakan. Namun, gensinya juga tak mau kalah, terlebih dengan sosok di depannya yang tidak lain adalah orang yang selalu menyakiti sahabatnya.
“sok tau, lo!” balas Sivia sedikit terbata.
“pak! Gue kasih rokok bukain dong!” seru Alvin tanpa mempedulikan jawaban Sivia, berkali-kali ia meneriakan sebuah merk rokok terkenal, yang ia tahu adalah merk kegemaran pak Dirman.
“yang kemarin masih, le! Makasih!” jawab pak Dirman dengan logat Jawanya, tak sedikitpun perhatiannya beralih dari koran ke Alvin.
Mata Sivia melotot, apa-apaan penjaga sekolahnya itu, tadi dia bilang kebal sogokan, nyatanya mau saja menerima sogokan Alvin kemarin. Sedetik kemudian ia tertawa kecil karena ekspresi wajah Alvin.
“mampus lo, Vin!” cela Sivia di sela tawanya. “lagian ngapain lo nanti sore tunangan sekarang masuk sekolah? Pesimis lo? Takut kalah sama kak Rio?”
“bah! Mana mungkin tu cecunguk satu menang sama gue?”
Pemuda tampan bermata sipit itu membalikan badannya dan bersandar pada gerbang. Ia mengangkat tangan kanannya untuk melindungi unjung batang rokok yang baru saja ia selipkan di antara kedua bibir merahnya dan menggunakan tangan kirinya untuk menyalakan ujung gulungan tembakau.
Sivia masih diam di tempatnya sambil mengamati wajah dan postur tubuh pria bermata sipit itu. Sosok yang ternyata sangat lebih dari cukup untuk sekedar mendapat seorang gadis yang mencintainya, namun kenapa ia lebih memilih bersaing dengan Rio untuk mendapatkan Ify? Sivia menggelengkan kepalanya untuk membuyarkan pikirannya yang semakin lama justru semakin memuji Alvin. Di saat yang bersamaan ia baru sadar jika beberapa waktu sebelumnya justru ia terlihat akrab dengan orang yang sebenarnya sudah ia anggap musuh itu.
“uhhuk!” Sivia terbatuk saat udara membawa kepulan asap dari rokok yang dihembuskan Alvin ke arahnya, sebenarnya ia sangat tidak menyukai benda itu.
“payah! Rokok doang mengguk lo!” cela Alvin sambil melemparkan batang rokok yang baru sedikit terbakar itu ke tanah, kemudian menginjaknya dengan ujung sneakersnya.
Mata sipit Sivia membulat melihat perbuatan Alvin, yang baru saja ia simpulkan jika Alvin mengalah padanya tanpa diminta.
“rokok doang lo bilang? Satu batang yang lo bilang doang itu bisa ngurangin waktu hidup elo lima belas menit!”
“kaya lo tau kapan gue mampus aja?! Lo peduli?” balas Alvin acuh sambil melangkah kembali menuju motornya.
Dengan tatapan yang masih penuh dengan tumpukan pertanyaan, Sivia memperhatikan kepergian Alvin yang tampak begitu gagah di atas motor besar yang ia pacu dengan kecepatan yang cukup tinggi hingga menghilang di ujung jalan.
Orang itu, yang ia anggap tokoh antagonis dalam drama kehidupan sahabatnya, namun ada sisi tak tersentuh dari seorang “penjahat” itu, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya hampir tidak bisa dipatahkan, bahkan kadang terkesan peduli yang melebihi apa yang orang lain lakukan. Sudut lain pemikirannya sibuk berdemo, dengan lantang menyerukan Alvin tak salah, bagian mana yang salah dari mempejuangkan hati dan apa yang kita yakini?
***
Deru nafas dua orang pemuda tampan yang seakan-akan memburu seorang laki-laki di hadapan mereka. Sunyi, tak ada suara apa pun yang mewarnai ruangan bernuansa putih bersih itu. Hanya emosi yang begitu besar menyelimutinya.
Dua pasang bola mata tajam yang terlihat seperti elang menanti buruannya terus mencecar pria yang kini tertunduk, mencoba merangkai setiap kata di otaknya agar tak lagi ada salah paham. Dua jagoannya menunggu penjelasannya.
Cakka mendengus keras, membebaskan emosinya sekaligus membuyarkan sepi yang terus menyelinap. Tak tahan lagi untuk menunggu.
“Mario, Cakka. .” panggil Krishna, tuan besar Haling kepada dua putranya setelah sebelumnya menghambuskan nafasnya. “Papa rasa kalian sudah cukup dewasa untuk mengetahui semuanya.”
“cih. . anda terlalu banyak basa-basi.” Cibir Cakka sambil membuang mukanya.
“Papa dan Tama, dulu adalah sahabat karib, mungkin seperti kamu dan Gabriel saat ini, Rio.” Krishna memulai kisahnya, dengan satu tangan kanannya yang masih nampak begitu kokoh menggenggam tangan kiri Safira. Adegan yang membuat Rio sedikit naik darah karena menganggap ayahnya itu telah melupakan ibundanya. Jika bukan dorongan rasa ingin tahunya mungkin saat ini ia lebih memilih pergi daripada merasa seperti terdampar di planet asing seperti sekarang.
“sahabat terbaik yang pernah papa punya, dia juga yang memperkenalkan papa dengan wanita terindah yang pernah papa kenal.”
Kedua tangan Rio mengepal kuat, menahan emosinya yang semakin membumbung. Yang ia tangkap hanya ada Krishna, Safira, dan satu pemain pendukung Pratama dalam kisah yang dijabarkan ayahnya, tak terselip sama sekali nama Evina, ibundanya di sana.
Rentetan teka-teki yang selama ini tersimpan dalam otaknya mulai terjawab perlahan. Mengapa ayah dan ibunya tak pernah terlihat semesra pasangan lain, karena memang tak ada cinta yang satu di antara keduanya. Mengapa ia diperlakukan seperti robot selama ini, karena ia memang ada hanya untuk melanjutkan tegaknya sebuah kerajaan bisnis besar.
“selama ini kehidupan kita ditanggung oleh papa kamu, Cakka, dan nama kamu pun dia yang memberi.” Tambah Safira setelah Krishna bercerita panjang lebar.
Kebencian di wajah Cakka perlahan memudar seiring dengan terbongkarnya semua rahasia hidupnya. Ia yang ternyata jauh lebih beruntung dari pemikirannya. Meski sedikit dendam itu masih tersimpan karena sang ayah justru membiarkannya hidup bertahun-tahun tanpa pengakuan.
PRANG..
Almari kaca yang terletak pesis berada di samping Rio salah satu sisinya pecah berkeping-keping karena kepalan tangannya yang tak mampu lagi ia tahan mendarat bebas ke sana. Seakan tak ada cara lain untuk memperlihatkan keberadaannya di ruangan itu sekaligus untuk melimpahkan semua emosi yang ia tahan.
Cairan berwarna merah pekat mengucur deras dari tangan kiri Rio hingga berjatuhan di beberapa tempat. Entah setan apa yang merasukinya hingga tak sedikitpun rasa sakit yang ia rasakan. Tiga pasang mata menatapnya, terlihat jelas bahwa mereka pun tak tau harus bereaksi apa dengan tindakan Rio.
“Ri.. Rio..” ucap Safira terbata, dengan bodohnya ia baru menyadari keberadaan Rio yang sejak tadi mendengar apa yang ia dan Krishna bicarakan. Ia tau pasti bagaimana perasaan Rio saat ini. Hancur, orang yang sangat ia kasihi ternyata telah dihianati sedalam dan sekejam itu dengan sebuah perselingkuhan.
“makasih, Pa.. sekarang Papa punya Cakka, cukup buat Rio tau semua, cukup buat Rio jadi robot.” Ucap Rio sarkastik sambil beranjak dari tempat duduknya. Tangan kanannya mencengkeram erat tangan kirinya untuk menahan rasa nyeri hebat yang mulai ia rasakan sekaligus menahan darahnya agar tidak terus mengucur.
Tak ada yang mampu bergerak dari tempatnya untuk menahan kepergian Rio. Semuanya seakan terpaku oleh rasa besalah dan sadar jika saat ini Rio sedang sangat labil dan membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
***
Gabriel terus mondar-mandir tak tenang. Berkali-kali rambutnya menjadi sasaran kekesalannya dan membuatnya kini terlihat sangat tak beraturan. Jarum jam yang menempel di dinding menjadi berputar dengan kecepatan tak wajar menurutnya.
Lebih dua puluh menit dari pukul lima sore, dan sampai saat ini Rio belum menunjukan batang hidungnya. Tinggal dua jam waktu tersisa sebelum acara pertunangan Alvin dan Ify ditambah bonus beberapa menit hingga cincin pengikat itu tersemat di jari manis keduanya.
“arghh.. pesek! Bisa banget bikin gue susah!” gerutu Gabriel sambil sekali lagi mengacak-acak rambutnya.
“tenang, Yel! Semuanya akan baik-baik aja.” Ucap Shilla yang sejak tadi hanya mampu menatap prihatin pada kekasihnya.
“baik gimana sih? Ini nyawa Rio terancam, aku yakin kalau Ify nggak jadi punya dia, dia lebih baik mati!”
“nggak segitunya juga, sayang.”
Shilla beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Gabriel. Ia sedikit berjinjit untuk menyamakan tingginya dengan sang kekasih. Perlahan tangan mungilnya tergerak merapikan tatanan rambut Gabriel menjadi seperti biasanya.
“makasih..” lirih Gabriel sambil mencekal lembut pergelangan tangan Shilla dan menurunkannya.
Dengan senyum lembut yang terpendar di wajahnya, senyuman menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya. Seulas senyum kembali terukir di wajah tampan Gabriel, mengendorkan setiap ototnya yang sudah menegang karena Rio sama sekali belum memberinya kabar, dan sangat sulit baginya untuk mendapat informasi bagaimana keadaan Ify saat ini.
Tangan Shilla memeluk lengan Gabriel dan membimbingnya menuju sofa yang sebelumnya ia duduki. Perlahan ia mengusap punggung kekasihnya itu untuk menenangkan emosinya. Shilla sama sekali tak mengajak Gabriel berbicara untuk membiarkannya mengatur nafas.
“aku beruntung punya kamu..” lirih Gabriel setelah ia dapat menenangkan perasaannya.
“aku lebih!” balas Shilla mantab. “semua orang yang merasa punya kamu itu beruntung, Gab!”
Gabriel mengacak-acak poni Shilla gemas.
“Shil, kamu percaya karma?” tanya Gabriel sedikit ragu.
Hanya sebuah anggukan yang Shilla beri untuk menjawab pertanyaan sang kekasih.
“aku harap itu nggak berlaku buat aku.”
Shilla mengerti benar apa yang dimaksud Gabriel. Ia tau pengerannya itu tak ingin kehilangannya karena ganjaran untuk kesalahannya di masa lalu. Gadis cantik itu menyenderkan kepalanya di bahu kokoh Gabriel, mencoba meredam segala kekuatiran yang membelenggu kekasihnya.
“aku cuma bisa kasih yang terbaik, tapi apa yang terjadi nanti, biar waktu yang jawab.” Lirih Shilla
***
Tubuh mungil gadis cantik itu seakan terpaku pada jam berwarna biru langit yang bertengger manis di dinding kamarnya. Bola matanya seolan terhipnotis mengikuti laju jarum yang berporos tepat pada bagian tengah jam berbentuk oval itu. Rasanya ingin sekali ia meraih benda itu dan melemparnya jauh-jauh agar ia tak lagi menyaksikan waktu bergulir dan menyaksikannya menjadi milik orang lain, bukan pangeran hatinya.
Matanya terasa pedih namun entah mengapa air matanya tak juga bersedia mengalir. Ia hanya bisa diam dan pasrah dengan apa yang orang-orang di sekitarnya lakukan padanya. Memoles wajah cantiknya dengan make up tebal untuk menutup sembabnya, memakaikan berbagai perhiasan indah di tubuhnya, dan sebuah gaun yang sangat cantik yang nampak begitu serasi dengan tubuhnya. Tak ubahnya sebuah boneka Barbie yang tak mampu berkelit saat dimainkan pemiliknya.
“nona Ify memang cantik sekali.” Puji salah satu pelayan yang baru saja masuk ke dalam kamar Ify dan menyaksika nona mudanya baru saja selesai didandani.
Ify hanya membalasnya dengan senyuman hambar. Meskipun ia diperlakukan bak seorang putri raja namun ia justru merasa menjadi seorang tawanan.
“bi, tolong gantikan air di vas bunga itu!” perintah Ify lirih sambil menunjuk mawar biru pemberian Rio. Terlihat dari luar vas bening itu jika air yang Ify tuang ke dalamnya mulai berkurang karena kapilaritas batang bunga langka itu.
“nona, tuan Alvin ingin bertemu nona.” Ucap pelayan tadi setelah mengerjakan apa yang diperintahkan Ify.
“hm? Memang di hadapannya aku masih punya hak untuk melarang?” cibir Ify. “suruh dia masuk, supaya puas dia nyiksa aku.”
Satu persatu pelayan yang ada di kamar besar itu berjalan keluar meninggalkan nona mudanya seorang diri.
Ify mengangkat sedikit gaun panjangnya agar ia leluasa berjalan menuju berada kamarnya. Gadis manis itu menatap nanar pada pantulan bayang dirinya yang ada pada pintu kaca besar pembatas kamarnya.
“putri ini masih menunggu pangerannya..” lirih Ify sambil menghapus setetes air matanya yang tiba-tiba saja menetes membasahi pipinya.
Derap langkah kaki yang beralas sepasang sepatu phantoefel beradu dengan lantai kayu kamarnya membuat Ify menghentikan tangisnya dan membusungkan dadanya, sama sekali ia tak ingin terlihat lemah di depan lelaki itu.
“sore, cantik.” Sapa Alvin setelah berdiri tepat di samping Ify.
Ify tak menyahut ataupun menatap orang yang mengajaknya berbicara. Ia hanya menangkap sosok Alvin dari ekor matanya. Pria tampan itu sedang menatap lurus ke ufuk barat, menyaksikan semburat kuning kemerahan yang masih tersisa di ujung langit, sorot matanya begitu tenang dan tanpa beban. Kedua tangannya ia masukan ke dalam celana kain hitamnya.
Tak dapat Ify pungkiri jika sahabat kecilnya itu nampak begitu gagah dengan balutan tuxedo yang belum ia kancingkan sama sekali dan mempelihatkan kaos putih polos yang Alvin gunakan.
“gue tau di mata elo, gue nggak lebih baik dari Hilter.” Kata Alvin dengan sorot ketenangan yang tak juga pudar dari wajahnya. “hampir seumur hidup kita sama-sama, lo belum juga ngarti gue?”
“egois, ambisius..” sahut Ify dengan emosi yang tertahan.
“dan itu gue!”
Kini hanya dentingan jarum jam yang terdengar di ruangan besar itu. Tak ada yang mulai berkata-kata kembali.
“gue mau bikin kesepakatan, gue rasa kita akan sama-sama untung.” Ucap Alvin memecah hening seraya menoleh pada Ify yang juga tengah melihatnya, nampaknya gadis itu mulai tertarik dengan apa yang Alvin bicarakan. “kalau sampai cincin yang akan mengikat kita terpasang dan Rio belum datang, lo harus coba terima gue, sebaliknya, kalau Rio bisa hentikan acara ini, gue harus coba lepasin elo.”
Sebelah garis tebal yang melintang di atas mata Ify terangkat, heran dengan penawaran Alvin yang menurutnya sedikit bijak dan tak lagi mementingkan dirinya sendiri.
“gimana?” tanya Alvin.
“lo serius?” masih terdengar jelas nada tidak percaya pada ucapan Ify.
“of course! Ini gue coba buat jadi sahabat elo sekaligus orang yang mengharapkan elo.” Alvin menggaruk tengkuknya sambil tertawa hambar untuk menutup kalimatnya. “deal?”
Ify menggigit bibir bawahnya. Pikirannya masih terus menimang penawaran Alvin. Perlahan tangannya bergerak mendekati tangan Alvin yang sebelumnya telah disodorkan di hadapannya.
“yes!” ucap Ify akhirnya.
Sudut bibir Alvin terangkat namun sebisa mungkin ia menahan sebuah senyum penuh kemenangannya lepas begitu saja. Keyakinannya sudah terkumpul penuh bahwa Rio tak akan datang malam ini atau setidaknya saingannya itu tidak akan datang tepat waktu. Memang benar kata orang, wanita justru akan lebih bertekuk lutut pada kelembutan dibandingkan menggunakan kekerasan.
Sambil membenahi pakaiannya, Alvin tersenyum kecil melihat sedikit kelegaan terpendar di wajah Ify walaupun masih tak mampu menutupi raut ketakutan gadis yang saat ini sedang menatap cemas pada pintu gerbang belakang istananya. Dan Alvin tau benar jika Ify sedang sangat mengharapkan pangerannya muncul dari gerbang itu, dalam keadaan apapun, dan walaupun tidak menggunakan kuda putihnya.
“gue turun dulu, tamu udah pada dateng.”
Alvin mengayunkan tungkainya keluar dari kamar Ify, meninggalkan gadis pujaannya itu bersama kumpulan rasa takut dan kawatir.
Tak ada yang bisa Ify lakukan kini kecuali berdoa meletakkan semua di hadapan tuhan dan mengharapkan penuh pada Rio untuk menepati janjinya.
***
Di samping gundukan pasir yang terlah terselimuti rumput yang tumbuh rapat itu kini Rio berdiri lesu. Matanya menatap nanar pada sebongkah batu marmer hitam yang teronggok di ujung utara gundukan tanah itu. Evina Haling. Begitu nama indah yang terukir di atasnya.
Ujung bibir Rio terangkat, membetuk sebuah cibiran tajam yang bahkan ia sendiri tak tau pasti kemana dan kepada siapa ditujukan, kepada dirinya sendiri atau kepada nasib yang sekarang seakan tertawa terbahak-bahak menertawakan kepedihannya, namun sepertinya lebih tertuju pada nama terakhir yang terukir di atas batu indah itu.
Beberapa tetes darah masih mengalir dari tangan kirinya, mungkin karena beberapa kepingan benda bening yang tadi menjadi samsak kemarahannya masih tertinggal dan membuat sel-sel darah putihnya belum bekerja sempurna. Beberapa titik dedaunan rumput memerah tertutup cairan kental itu. Dan si empunya pun masih tak peduli dengan keadaannya sendiri.
“maaf, Rio ngotorin tempat istirahat mama..” lirih Rio setelah jatuh bertelut di samping makam sang bunda. Ia melepas jaket yang ia gunakan dan ia belitkan asal di atas lukanya.
“Rio sayang mama, Rio kangen.. kenapa mama nggak ajak Rio?” setiap kata yang keluar dari bibir pemuda tampan itu terdengar sangat pilu, kalau saja ia tak ingat ia adalah seorang laki-laki dan ia tak pernah memegang janji pada sang ibu untuk tidak lagi mengeluarkan isakan dan air mata, mungkin saat ini Rio sudah mengangis tersedu-sedu.
“tolong kasih tau apa yang harus Rio lakuin sekarang!” ucap Rio sedikit membentak, seakan segalanya memang sudah menghabiskan kekuatannya.
Rio menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan kedua tangannya yang disangga lututnya setelah sebelumnya mentap langit yang sudah beranjak gelap di atasnya seakan menantangnya untuk menelannya dan membawanya moksa, bersatu dengan Sang Pencipta bersama seluruh raganya.
***
Semua mata tertuju pada gadis yang melangkah dengan begitu anggunnya di atas karpet merah yang tergelar membelah sebuah area yang telah ditata dengan sangat manis, gadis cantik yang terlihat seperti putri raja yang sedang menyongsong pangeran tampan yang kini sedang berdiri di atas panggung kecil dengan senyum sumringah yang terus menghiasi wajahnya. Nampaknya tak satupun dari sekelompok manusia itu yang menyadari jika wajah sang putri yang mempesona mereka itu tidak benar-benar dalam keadaan berseri.
Ify melangkah pongah, dengan dagu lancipnya yang terangkat seolah ingin menunjukan pada pemuda yang sedang ditatapnya tajam bahwa ia tak gentar dengan semua yang akan didapatinya nanti. Sama sekali ia tidak peduli pada orang-orang yang menatapnya. Suara riuh musik penyambutanpun seakan tak ia dengar.
Keduanya telah bersanding, Ify dan Alvin, membuat semua undangan makin berdecak kagum karena keserasian mereka, seorang laki-laki yang sangat tampan menyading gadis yang sangat cantik. Namun Ify masih belum berkelit dari tatapannya pada gerbang besar yang berada jauh di hadapannya, membayangkan kisah seperti drama yang pernah ia lihat akan terjadi juga padanya. Pangerannya yang sesungguhnya datang dengan gagahnya dan membawanya pergi dari tempat yang tak lebih dari penjara baginya itu.
“ini lah alasan kami mengudang bapak dan ibu sekalian, yaitu untuk menjadi saksi pertunangan putra-putri kami..” ucap Pratama Umari setelah memberi isyarat pada istrinya untuk menyiapakan cincin yang akan digunakan.
Ify tak lagi mampu mendengar jelas apa yang dikatakan ayahnya, ia masih terpaku pada gerbang besar yang semenjak tadi diperhatikannya. Sedikit demi sedikit semua kepercayaannya pada Rio menguap, hatinya seakan terhujam ribuan jarum, perih sangat perih,bahkan mungkin hingga ia tak lagi mampu merasaan apapun pada pusat perasaannya itu.
Kata-kata Rio terus berputar di otaknya, sebuah janji manis yang mengatakan jika ia akan kembali sebelum acara pertunangan itu. Dan akhirnya sama sekali tak terbukti. Semua kebaikan Rio seakan tertutup sebuah kelambu bernama kebohongan, hal yang langsung membuat sosok pangerannya itu masuk dalam deretan lelaki kebanyakan, yang tak pernah berkata jujur.
Lamunan Ify buyar saat tangan kokoh Alvin menggenggam tangannya. Seperti seorang budak yang pasrah saja dengan perlakuan majikannya, Ify merubah posisi tubuhnya menghadap Alvin, menatap kosong pada lelaki tampan yang sedang tersenyum padanya itu, sebuah senyum kemenangan yang sepertinya tak lagi dapat ia tahan.
“l’m your future, dear.” Bisik Alvin tepat di sebelah telinga kiri Ify, tangan kanannya mengusap lembut puncak kepala gadis manis itu, seakan ia ingin memberi pemanis dan hiburan tambahan pada penonton yang menyaksikan drama hidup itu, mereka yang kini bersorak riuh untuk adegan indah itu.
Senyum Alvin sedikit memudar kala tak mendapati reaksi penentangan dari Ify yang justru sama sekali tak merubah ekspresinya. Tetap pasrah dan hanya pasrah, gambaran yang sangat menyedihkan di mata Alvin. Perasaannya mungkin seperti seorang anak kecil yang melihat mainannya hancur berkeping-keping di hadapannya.
Jiwa dan raga Ify benar-benar serasa terpisah saat menyadari cincin indah bertahta ukiran nama Alvin tersemat di jarinya. Perasaannya seperti membeku, tak tau lagi apa yang ia rasakan, tidak lagi sakit, tidak lagi sedih, atau apapun, hanya sebuah kehampaan yang begitu nyata yang dapat ia rasakan. Dengan sisa kesadarannya, jemari Ify memakaikan cincin berukiran namanya di jari manis Alvin.
Lirih alunan nada yang begitu manis mulai mengalun, melawan deru petir yang sedang memberi pertanda jika langit akan segera bersedekah untuk bumi yang dipayunginya. Melodi yang membawa para tamu undangan untuk berdansa tanpa cemas hujan akan segera datang.
Belum habis dengan keheranannya karena sikap Ify, Alvin kembali dikejutkan dengan perderakan Ify yang tiba-tiba saja memeluknya. Tak ingin merepotkan diri dengan berpikir keras dengan apa yang terjadi dan tenggelam dalam lamunannya terlalu lama, Alvin segera merengkuh pinggang Ify.
Keduanya bergerak mengikuti lantunan irama lagu, berdansa dengan indah dan begitu serasi. Tak pernah terbersit sedikitpun jika saat ini mereka menari di atas puing-puing perasaan seorang gadis yang terlah hancur.
Ify menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Alvin, sama seperti dahulu ia lakukan dengan sosok sahabatnya untuk mencari sebuah ketenangan. Tuhan masih berbaik hati ternyata, ia masih bisa menemukan ketenangan yang sama seperti dulu pernah ia rasakan.
“Fy..” panggil Alvin sambil melonggarkan sedikit pelukannya. “are you fine?”
Ify hanya mendehem lembut, bahkan hampir tak terdengar. Seakan tak ada daya lagi yang ia miliki untuk sekedar menjawab. Benar-benar tak bisa digambarkan apa yang ia rasakan saat ini, tak ada air mata yang jatuh dari kelopak pelindung mata indahnya, sungguh ia tak ingin dunia menertawakannya, mengolok-olok semua kebodohannya.
Setiap yang diciptakan pasti memiliki pasangan yang tak akan mampu dipisahkan, seperti kiri dan kanan, awal dan akhir, dan mungkin juga berlaku pada janji dan ingkar.
Rintik-rintik air langit mulai berjatuhan. Para tamu undangan berhamburan menuju tenda yang terpasang mengitari bagian tepi halaman rumah keluarga Umari yang begitu luas, meninggalkan area sebelumnya yang terbuka.
Namun Alvin dan Ify tidak beranjak dari tempatnya. Ify menengadahkan wajahnya, menantang bulir-bulir embun awan yang tak segan membasahi wajah cantiknya. Alvin masih diam menunggu Ify, ia tau pasti hujan pasti dan akan selalu mampu mengangkat duka gadis manis yang selalu dipujanya itu.
“hujan Fy, nanti lo sakit.” Ucap Alvin setelah beberapa saat membiarkan Ify melepas perasaannya. Tak segan ia melepas tuxedonya untuk memayungi Ify.
“buat aku jatuh cinta sama kamu, Vin!” kata Ify mantab, seakan ia sedang memberikan sebuah tantangan pada pria tampan yang kini sedang ditatapnya lekat-lekat.
Alvin terperanjat dengan apa yang baru saja didengarnya. Dan entah apa yang terjadi justru hatinya seakan sedang berorasi memintanya untuk menolak penawaran yang seharusnya sangat ia syukuri. Bukan, bukan hal itu yang ia cari.
“Vin!” sentak Ify tak sabar menunggu jawaban Alvin.
Tak ada yang lain yang bisa Alvin lakukan kecuali mengangguk, walaupun dengan kebingungan dan kegalauannya yang belum juga mereda. Tanpa pikir panjang tangan kokohnya menarik tangan Ify untuk segera berteduh.
***
Hentakan musik yang begitu keras sayup-sayup masih bisa ia dengarkan diantara kesadarannya yang mulai timbul-tenggelam. Entah setan apa yang mampu merasuki Rio hingga ia kembali ke dunia gelap itu.
Hampir tiga botol ia habiskan hingga hari beranjak pagi. Bibirnya terangkat mendapati kristal bening terakhirnya mulai kosong. Masih luar biasa saja kemampuannya dalam hal yang satu ini walaupun sudah sangat lama ia tak melakukannya. Sebuah prestasi yang amat sangat tidak bisa dibanggakan.
“boss, duit di dompet lo ludes!” lapor seorang pria berperawakan sedang namun berbadan altetis pada Rio, nampak ia sudah mengenal baik orang yang sedang ia ajak berbicara.
“gesek aja debitnya, goblok!” maki Rio dengan suara diseret sehingga tak terdengar terlalu jelas.
“tapi. . lo pulang aja deh, hampir collapse gini juga, gue anter deh!” ujar orang itu yang masih seratus persen sadar tanpa pengaruh alkohol seperti Rio. Ia tau bukan waktunya ikut lupa diri bersama temannya itu.
Tanpa melancarkan protes lagi, Rio beranjak dari tempat duduknya dan berjalan sempoyongan meninggalkan tempat itu dikawal pria yang tadi memanggilnya boss.
***
“lo mau balik kemana, Yo?” tanya Dayat, orang yang semenjak tadi mengawal Rio. “atau ke rumah sakit dulu buat ngobatin tangan lo?” tawarnya sekali lagi karena ia juga sudah merinding dengan darah yang mulai tak tertahan lagi oleh jaket yang dibelitkan asal oleh Rio untuk menutupi lukanya.
“terserah lo mau bawa gue kemana!” jawab Rio keras, matanya sudah terpejam rapat menahan kepalanya yang terasa berputar.
Dayat mendengus. Terbayang kembali di ingatannya peristiwa beberapa jam lalu saat sahabat yang sudah lama tak ditemuinya ini menghampirinya dalam keadaan kacau balau di tempat ia biasa berkumpul dengan gerombolannya, baik kelakuannya dan juga pakaiannya tak satupun menunjukan ia orang baik-baik dan putra dari keluarga yang begitu disegani. Tanpa kendaraan mewah yang biasanya selalu menemaninya. Dan tiba-tiba saja Rio memaksanya untuk mengantarkannya ke club malam yang dulu sering mereka kunjungi.
“gue bawa lo ke rumah Gabriel aja ya?!” simpul Dayat cepat. Ia hapal betul jika Rio sedang kalap seperti saat ini pasti hanya berurusan dengan keluarganya, rasanya tidak mungkin jika ia harus mengantar Rio kembali ke rumahnya.
Tak ada jawaban dari Rio, hal yang Dayat anggap sebuah persetujuan. Dayat mengalihkan perhatiannya dari jalanan sekejap untuk melihat kondisi Rio yang berada di sampingnya, nampaknya ia sudah terlelap.
***
Gabriel terlonjak dari tempat duduknya saat mendengar bel rumahnya berbunyi berkali-kali. Ia belum terlelap sebelumnya, hanya menyibukan diri menggonta-ganti channel televisi karena tak juga menemukan acara yang menarik perhatiannya.
Pikirannya masih tertuju pada Rio yang tak juga memberinya kabar. Bukan hanya sekali dua kali ia mencoba menghubungi sahabatnya itu namun tetap saja hasilnya nihil, sama sekali tak ada jawaban dari sahabatnya itu kecuali suara customer service yang sudah tidak asing lagi. Membuatnya berkali-kali juga ingin membanting ponselnya.
Sebelum membukakan pintu, Gabriel melirik jam yang tertempel di dinding rumahnya. Pukul dua lebih dua puluh menit dini hari, sungguh gila orang yang nekat bertamu pagi-pagi buta seperti ini. Namun kejengkelannya justru membuatnya yakin siapa yang bertamu sebenarnya. Dengan gerakan cepat ia segera memutar handle pintu dan menariknya asal.
“ck! Benerkan hipotesa gue?!” gumam Gabriel saat mendapati cengiran Dayat yang masih memapah Rio tepat di depan pintunya. Gabriel segera menggantikan posisi Dayat menjadi penyangga tubuh Rio yang mulai kehilangan keseimbangan.
“sorry, bro, gue bawa Rio ke sini, bonyok gue ada di rumah.” Jelas Dayat sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“hangover ni bocah?” tanya Gabriel tak mengiraukan penjelasan Dayat. Ia memapah Rio menuju kamar tidur terdekat dari pintu utama rumahnya.
“udah tau pake nanya.”
“lo labil banget sih?!” dengus Gabriel sambil membaringkan Rio di tempat tidur sedikit asal karena sejujurnya ia pun masih kesal dengan ulah Rio hari ini. “biarin aja dia dulu, Day! Lo mau nginep sekalian apa mau balik?”
“gue balik aja deh, sorry ganggu.” Pamit Dayat sebelum menyalami Gabriel dan akhirnya berlalu pergi meninggalkan rumah besar milik keluarga Gabriel yang sepertinya sedang kosong dan hanya dihuni Gabriel seorang diri.
Merasa tak ada lagi yang bisa ia kerjakan, Gabriel merebahkan tubuhnya asal-asalan di atas sofa besar di sudut kamar yang sama dengan Rio.
***
Matahari sudah bersinar penuh hingga ke atas ubun-ubun. Rio belum juga sadar dari pingsannya. Sementara itu di sebelahnya ada Shilla yang dengan telaten membersihkan beling-beling kecil yang masih tersisa di lukanya serta mengobatinya.
“temen lo ini gila banget, Gab!” tutur Shilla pada Gabriel yang sedang berdiri di sebelahnya dan memperhatikannya. “ada aja orang yang rela nyakitin diri sendiri begini.”
“nanti aja deh protesnya, daripada nanti dia keburu bangun, kamu bukannya harus ngobatin anak orang tapi macan ngamuk.” Ujar Gabriel sedikit tegang. Ia sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.
Shilla kembali melanjutkan pekerjaannya, namun kali ini dalam diam dan tak lagi mengajukan protes atau pertanyaan apapun pada Gabriel yang sepertinya sedang tidak dalam mood yang baik untuk meladeninya.
“ergh...” rintihan pelan keluar dari bibir Rio. Sebuah erangan kesakitan. Kesadarannya sudah mulai beranjak pulih.
Shilla mempercepat pekerjaannya, karena jujur ia juga menjadi paranoid dengan ucapan Gabriel sebelumnya jika Rio bangun maka yang harus ia obati bukan lagi seorang manusia melaikan seekor macan.
“aw.. sakit!” pekik Rio sedikit lebih keras dari sebelumnya, tangan kirinya sedikit ia sentakan untuk melepaskan genggaman Shilla.
“bentar, Yo! Tanggung! Daripada infeksi.” Shilla mencoba menahan tangan kokoh itu dan mengolesinya dengan obat penyembuh luka.
Rio membuka sedikit sebelah matanya. Mencari jawaban siapa saja yang ada di sekitarnya, apa yang terjadi padanya dan ada dimana ia saat ini. Pertanyaan yang akhirnya tak semuanya dapat ia jawab karena rasa nyeri dan panas hebat di tangannya. Setidaknya ia tau ada Shilla yang sedang mengobatinya dan Gabriel yang sedang berdiri di samping sang kekasih.
Berkali-kali Rio merancu kesakitan dan berkali-kali ia dibentak Gabriel dan diperintah untuk diam.
“aw! Pelan, Shil!” bentak Rio sekali lagi, entah untuk yang keberapa kali.
“lo diem bentar gimana sih?!” hardik Gabriel didasari rasa kasihan pada Shilla yang sebenarnya semenjak tadi ia suruh untuk membersihkan luka Rio yang cukup parah itu sudah tidak bersedia karena tidak tega. “kalau nggak berani nanggung makanya nggak usah nglakuin!”
“dosa apa sih tu kaca lo hajar begini?” tanya Shilla setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Rio tak menjawab, perutnya terasa begitu panas dan mual. Detik berikutnya ia beranjak cepat dari tempat tidur dan berlari ke toilet untuk memuntahkan isi perutnya.
“lo tunggu sini aja, Shil!” perintah Gabriel pada Shilla yang ingin menyusul Rio.
Gabriel segera mengikuti Rio. Mengurut punggung sahabatnya itu.
“lo kenapa?” tanya Gabriel tenang sambil menyandarkan tubunya di dinding toilet setelah Rio terlihat lebih baik.
“panjang ceritanya, gue juga males cerita.” Jawab Rio seadaanya, seakan tak terjadi apapun padanya. Ia mambasuh mukanya dan memperhatikan bayangan wajahnya di cermin, ia nampak begitu pucat. Tak usah heran, seharian sama sekali ia tak makan, perutnya hanya terisi minuman haram yang akhirnya justru membuat tubuhnya makin tak karuan, ditambah banyak darah yang harus ia keluarkan kemarin.
“Ify?” tanya Gabriel lebih berhati-hati, ia tau pasti nama itu dapat menimbulkan reaksi yang tak terduga dari sahabatnya itu.
DEG!
Jantung Rio seakan berhenti berdetak mendengar nama itu. tubuhnya yang sebelumnya meman sudah lemah seakan tak mampu lagi berdiri. Jika kedua tangannya sedang tidak bertumpu pada tepian washtafel mungkin saja ia sudah limbung.
Rio terus merutuki dirinya sediri dan setan yang telah merasukinya kemarin hingga sama sekali ia lupa pada sosok gadis yang sangat menantinya, sehingga ia mengabaikan janjinya untuk membawa putri hatinya itu untuk pergi dari sangkar emasnya. Sebuah kenyataan perih harus ia telan bulat-bulat sekali lagi, pemilik hatinya kini telah terikat dengan orang lain.
“Yo.. sorry!” lirih Gabriel merasa tak enak dengan reaksi Rio.
“gue goblok banget, Yel!” cibir Rio pada diriya sendiri.
“udahlah, toh emang lo lagi punya masalah berat.”
“tapi Ify nggak ada hubungannya sama masalah gue!”
Rio kembali diam, memejamkan matanya rapat-rapat kemudian menghembuskan nafas kuat-kuat. Membuang semua amarahnya dan membulatkan tekatnya.
“dia, punya gue, cuma punya gue!” ucap Rio mantab. Menegaskan bila tak seorangpun memiliki hak untuk menyanggah ataupun menolak pernyataannya. Membongkar semua keyakinannya jika gadis yang duduk di tahta tertinggi hatinya saat ini mememang benar takdirnya, Ify adalah miliknya, tidak yang lain, tak juga seorang Alvin.
Sekuat-kuatnya emas, banyak benda yang mampu meleburkannya, seindah-indahnya batu mulia itu setelah ditempa pasti cacat, namun tidak dengan cinta, karena ia sempurna. Sebuah keyakinan besar yang sedang berkobar di hati Rio yang terus mendorongnya untuk maju dan tetap memintanya untuk menjadi pemeran utama dalam romansa nyata dalam kasihnya bersama Ify, karena mereka diikat oleh cinta bukan hanya emas.
bersambung..
kak demi apa kok tunangannya jadi??? huaaaa rioooo sini sini sama aku aja u,u
BalasHapusSi alvin gimana sih udh ngedapetin ify tapi kok keliatannya ga seneng gitu dianya -__-
Shilla-gabriel kok so sweet sih :3:3
ka sari kok tega banget nyiksa riooooo??????._.
Udah keluarganya bermasalah, cintanya juga bermasalah sekalian aja di bikin si rio jadi penyakitan -___-v
kak alvin ify kan tunangan tuh, nah ntar ify selingkuh sama rio, alvin juga selingkuh sama sivia seru tuh kak *eh #plak .-.
Lanjutlah pokok'e mbak kecee wkwkwk jangan lama :p
jiaahh, ni cerita bikin gue galau setengah mampus !
BalasHapusKok jadi tunangan sih ??
Aduhh kasian Rio v.v
Ifyy jangan gitu dong ama Rio, jangan berpaling dari rio, aduhhh galau bgt sumpah ,, nyeseekk
lanjutannya yg cepet ya ._.v
Eh, trus si agni tuh apa kabar ??
Maaf komentar saya tidak berbobot ,,
Muahahahaha jiaahh, ni cerita bikin gue galau setengah mampus !
Kok jadi tunangan sih ??
Aduhh kasian Rio v.v
Ifyy jangan gitu dong ama Rio, jangan berpaling dari rio, aduhhh galau bgt sumpah ,, nyeseekk
lanjutannya yg cepet ya ._.v
Eh, trus si agni tuh apa kabar ??
Maaf komentar saya tidak berbobot ,,
Muahahahaha
kaaaaaaaaaaaaakkkkkkk................ 12c nya mana? T.T
BalasHapusKak sumvah kak si Rio bege...Ngapa dia malah mabokk ishh...Ify nya gimana tuh jadinya...kan kasian tauk...ihhh...penasaran deh gw ama cerita lanjutannya...
BalasHapus