Sabtu, 30 Juli 2011

Song of Love part 13

Rio menggeliat melonggarkan otot-ototnya saat menyadari hari sudah berganti karena tusukan cahaya matahari pagi yang memaksa kedua kelopak matanya untuk membuka. Diliriknya jam dinding di kamar bercat abu-abu itu, bukan kamarnya, namun sangat tidak asing baginya karena bukan hanya sekali dua kali ia menempati kamar itu, salah satu ruangan yang ada di rumah Gabriel, rumah yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan istananya sendiri karena rumah itu hanya dihuni oleh Gabriel seorang diri ditambah beberapa orang palayan. Kurang sepuluh menit menuju pukul enam pagi.
Dengan gerakan cepat, Rio menyambar handuk yang tergantung di depan almari kayu yang berada di sudut kamar. Bertekat memulai lagi harinya seperti biasa, tak ingin menambah runyam hidupnya dengan menelantarkan sekolahnya yang hanya tinggal hitungan hari sampai ia menanggalkan seragam putih abu-abunya. Toh ia sudah mempersiapkan semuanya di kamar itu, segala miliknya seperti seragam, peralatan sekolah dan buku-buku yang segaja ia rangkap untuk keadaan menyebalkan dalam hidupnya seperti saat ini, keadaan yang sebetulnya sudah sangat sering ia alami.
***
“iya, mamaku sayaaaang.. Iel pasti belajar yang bener!”
Jelas sekali Rio mendengar jawaban Gabriel yang sedang bercakap-cakap dengan ibundanya via telephone. Gabriel yang sedang asik menyantap makan paginya terlihat sangat repot dengan ponsel yang ia jepit dengan bahunya dan kepala yang ia miringkan penuh.
Itu lah bedanya dengan Gabriel, meskipun Gabriel juga memiliki orang tua yang berkesibukan super padat, sama sekali ia tak kekurangan perhatian. Setiap hari ayah atau ibunya pasti menanyakan kehidupannya. Tak sekalipun Gabriel dipaksa untuk menjadi seperti orang tuanya.
Pikiran Rio melayang, ia ingat betul cita-cita masa kecilnya, saat ada di bangku taman kanak-kanak dan ibu gurunya bertanya ingin menjadi apa ia di masa depan, Rio kecil selalu menjawab ingin menjadi seorang pilot agar dapat keliling dunia, mengendarai kendaraan yang begitu keren yang tak harus direpotkan dengan kemacetan, dan tampak gagah dengan topi dan seragam khas profesi itu. Namun khayalannya itu selalu menguap begitu saja saat ia menceritakan semuanya pada sang ayah yang pasti dengan tegas menyuruhnya untuk menjadi orang yang berdasi, memimpin perusahaan.
“Yo, lo mau sekolah?” tanya Gabriel yang baru menyadari keberadaan Rio yang berdiri di balik tubuhnya dengan seragam lengkap walaupun tetap berantakan. Kemeja yang hanya dimasukan separuh di bagian depan saja sementara begian belakangnya ia biarkan berkibar, dengan dua kancing teratas tidak terkait membuat t-shirt rangkapnya terpampang, dasi yang hanya asal masuk dari kepalanya, lengkap dengan blezer yang hanya tergantung asal di bahu kirinya.
“lo pikir gue pake seragam gini mau mangkal?” jawab Rio asal sambil mengambil nasi goreng yang menjadi menu sarapan hari ini. Sedikit kerepotan karena hanya tangan kanannya yang berfungsi normal karena tangan kirinya tak leluasa bergerak akibat lukanya.
“kali, orang lo title doang pake seragam, cara pake lo nggak kalah sama preman pasar.” Gabriel tak ambil pusing dengan jawaban Rio, sekaligus ia tak mau membantu Rio yang tampak kesusahan. Ia masih dongkol dengan tindakan Rio yang ia anggap sangat labil sampai melukai dirinya sendiri, biar saja sekarang Rio merasakan akibatnya sendiri.
Keduanya diam, hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang memenuhi ruangan makan milik keluarga Damanik itu. Sejenak Gabriel melirik Rio yang duduk berseberangan dengannya. Masih jelas ia mengingat keadaan sahabatnya itu seharian kemarin, nyaris seperti orang gila, tak ubahnya seperti raga yang kehilangan sebagian jiwanya. Penampilannya berantakan, tatapan yang kosong, tak mau melakukan apapun dan berbicara pada siapapun. Terlebih saat tiba-tiba saja sahabatnya itu menubruk tubuh Shilla dan memeluknya erat-erat sambil terus memanggil nama Ify, ingin sekali ia menghajar habis Rio kemudian menjebloskannya ke rumah sakit jiwa. Ambil laba sekali cara depresinya.
“lo udah baik kan, Yo?” tanya Gabriel setelah menyelesaikan sarapannya. Berbagai pikiran konyol berkembang di otaknya membayangkan jika Rio tiba-tiba mengamuk atau bahkan menganggap setiap gadis itu Ify dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Shilla.
“kalau pikiran gue sih udah normal, tapi pipi gue masih ngilu, dendam banget lo bongem gue?!” gerutu Rio. Gabriel kemarin menyadarkannya dari kekalapannya memeluk Shilla yang ia lihat sebagai Ify dengan sebuah bogeman mentah karena ia sudah tak lagi bisa dikendalikan dengan bentakan sekalipun.
“elo ngelaba! Cewek gue tu!”
“sumpah, gue nggak sadar! Pantesan aja sensasinya beda luar dalem sama meluk Ify.” Seloroh Rio sambil beranjak dari tempat duduknya.
“maksud lo?!”
Rio menyeringai lebar menganggapi Gabriel. Tak perlu penjelasan yang lebih terang untuk mengutarakan maksudnya karena ia yakin Gabriel pasti sudah mengerti.
“enak..”
“nggak usah diperpanjang, keburu telat, percuma hari ini gue masuk kalo cuma buat wawancara sama BK seharian.” Potong Rio sebelum mantan buaya darat di hadapannya memperpanjang obrolan dengan hal yang lebih frontal dan tidak terlalu penting lagi.
Beberapa saat Gabriel mematung di tempat sambil menatap punggung Rio yang sudah berjalan mendahuluinya. Sampai saat ini pun ia tak habis pikir dengan pikiran dan perasaan seorang Mario, dalam hitungan jam saja ia sudah kembali terlihat baik-baik saja dan seperti tidak pernah terjadi apapun dengannya sebelumnya yang seratus delapan puluh derajat berseberangan dengan keadaannya saat ini.
***
Dari ekor mata sipitnya, Alvin menangkap sosok Ify yang sedang mematut wajahnya di depan kaca kecil di tangannya. Cantik sekali gadis itu hari ini. Caranya berseragam kembali seperti Ify yang ia kenal dulu, sebelum gadis yang kini menjadi tunangannya itu menjadi milik Rio, rok abu-abu rempel yang sengaja ia buat beberapa centi meter di atas lututnya, blus seragam putih yang tak ia masukan ke dalam rok, cara berpakaian yang tentu saja akan memancing keributan dengan para guru. Make up tipis seakan menjadi topengnya hari ini, sekaligus membuat gadis manis itu semakin cantik.
Sedetik kemudian Alvin mengalihkan kembali fokus perhatiannya pada jalanan karena ia sedang menyetir saat ini. Pikirannya melayang ke hari kemarin, saat melihat Ify yang seperti kehilangan nyawanya. Mengurung diri seharian dikamar, menolak bertemu dan berbicara dengan siapapun, tidak sedikitpun menyentuh makanan dan minuman yang disuguhkan padanya, penampilannya pun sangat bertolak belakang dengan ia hari ini.
“udah cantik, Fy.” Ujar Alvin sambil tersenyum simpul melihat Ify tak juga puas bersolek.
Ify menoleh pada Alvin dengan sebelah alisnya terangkat, kemudian ia tertawa kecil. “aku kan emang selalu cantik, liat diri kamu dong yang udah silau sama aku.” Ujung lidah Ify terjulur meledek Alvin.
Alvin tersenyum kecil, nampaknya Ify benar-benar serius dengan perkataannya tempo hari yang memintanya untuk membuat gadis itu jatuh hati. Di sisi lain ia merasa aneh dengan Ify yang mulai ber‘aku-kamu’, tak ada yang spesial menurutnya, kecuali ia merasa seperti kembali ke masa lalu saat ia dan Ify masih menjadi sepasang bocah polos yang selalu membunuh waktu bersama dengan keceriaan khas persahabatan.
“lo bener-bener siap dengan hari ini, mungkin Rio udah nunggu lo di gerbang.” Pancing Alvin.
Ify terdiam sesaat. Nama itu kembali ia dengar saat sudah susah payah ia mencoba menstabilkan lagi jiwanya, namun ia sadar segala sesuatunya tak bisa ia terus hindari, semuanya harus ia hadapi, ia gadis yang kuat. Sebuah senyum sarkastik terukir di bibirnya, pertanda ia harus menang melawan keadaan dan perasaannya.
“di mata aku dia udah mati, terkubur sama janji-janji busuknya.” jawab Ify, terdengar begitu ringan. “aku rasa yang harus aku siapin sekarang argumen buat ngelawan bu Mariam.” Lanjutnya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di kening.
“kaya baru pertama aja lo.” Cibir Alvin sambil mengacak-acak puncak kepala Ify.
***
“nyampe, Fy! Turun yuk.” Ajak Alvin begitu sampai di lapangan parkir sekolah.
Ify menggelenggkan kepalanya kuat-kuat dengan tangan yang ia lipat di depan dada, tanda ia tidak mau mengikuti ajakan Alvin.
“terus?” tanya Alvin sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, heran dengan tanggapan Ify.
Telunjuk Ify mengarah pada handle pintu mobil, memberi isyarat pada Alvin untuk membukakan pintu baginya.
“with pleasure, princess.” Tanggap Alvin sambil tersenyum kemudian keluar dari mobilnya, membukakan pintu untuk Ify dan menyambutnya dengan tangan kanan yang ia ulurkan untuk digenggam gadis manis itu.
Dengan senang hati pula Ify menyambut uluran tangan Alvin. Pemandangan pagi yang membuat beberapa siswa yang berada di sekitar “pasangan baru” itu melongo. Terang saja, yang mereka tahu Ify adalah kekasih Rio, terntu saja apa yang ia lakukan dengan Alvin pagi ini terlihat sangat janggal.
***
Beberapa meter dari lapangan parkir, sepasang mata juga menangkap adegan romantis Alvin-Ify dengan sangat jelas. Tak ada yang mampu menggambarkan dengan pasti apa yang tersirat pada mata itu.
Gabriel yang juga tidak kelewatan adegan itu menoleh ke arah sahabatnya yang berdiri di sebelahnya. Susah payah ia menelan ludahnya setelah membayankan seperti apa hati Rio sekarang, yang pasti tak ubahnya dengan sebuah piring keramik yang dilemparkan dari lantai ke sembilan sebuah gedung sampai ke lantai dasar.
“Yo..” panggil Gabriel ragu. Otaknya terus berputar bagaimana mencari cara untuk setidaknya mengalihkan perhatian Rio.
Rio tak menyahut sama sekali, tatapannya masih tertuju pada gadis yang –mungkin- masih berstatus kekasihnya yang berjalan ke arahnya dengan tangan yang tertaut erat dengan tangan kokoh lain, milik laki-laki lain, bukan dirinya yang biasanya berada di posisi itu.
Seperti diserbu ribuan sembilu, mungkin seperti itulah hati Rio saat ini, saat Ify begitu saja lewat dihadapannya tanpa sedikitpun menganggapnya, seakan tak ada siapapun yang berdiri menatap gadis yang berjalan dengan anggun dan didampingi seorang pangeran lain. Entah kemana terbangnya semua rasa dan kenangan yang pernah terukir nyata dari pancaran mata indah milik Ify, detik itu Rio sama sekali tak mendapatinya.
Emosinya semakin memuncak kala matanya menyusuri kedua jari manis Ify di tangan kanan maupun tangan kirinya, tak ada lagi cincin yang ia pernah selipkan, mata rantai lain kini justru melingkar di jari manisnya.
Sekali lagi, seorang Alyssa mengajari dan memberitahukannya sebuah rasa yang sama sekali belum pernah ia dapati dan rasakan sendiri sebelumnya. Patah hati. Saat tiba-tiba saja ulu hatinya merasakan nyeri tanpa sebab, merasakan sakit yang belum pernah ditemukan obatnya.
Rio menunduk dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal keras menahan emosinya. Rasa bersalahnya seketika menguap begitu saja saat melihat tanggapan Ify padanya. Tak sedikit pun raut kekecewaan tergambar dari raut gadis manis itu. Bukan, Rio bukan meminta Ify menangisi kebodohannya, namun apapun yang telah terjadi, seperti kebanyakan lelaki egonya akan tetap menjadi juara.
“sabar, Yo!” ujar Gabriel sambil menepuk bahu Rio. Ia yakin kalau orang yang ada di sebelahnya itu bukanlah seorang laki-laki yang sudah berstempel dingin dan keras melainkan seorang gadis pasti ia sudah menangis tersedu-sedu dicampakkan begitu saja oleh orang yang paling ia harapkan.
“sial! Karma itu selalu aja balas dendam.” Gerutu Rio, seolah hanya hal kecil yang baru saja menimpanya. Seulas senyum hambar kini terukir di bibirnya.
Gabriel menautkan kedua alisnya, benar-benar tak mengerti dengan apa yang dimaksud Rio.
“gue rasain apa yang dulu dia rasain.” Lanjut Rio memberi penjelasan. Bayangannya kembali berputar menuju beberapa waktu lalu, saat ia mengabaikan keberadaan Ify, memaksa hatinya untuk memproduksi zat untuk melawan virus-virus merah jambu yang mulai menjangkitnya, dan kini semuanya berbalik. Semua kejadian itu seakan menjadi bumerang untuknya sendiri.
“apa yang mau lo lakuin sekarang?”
“sama kaya yang dulu Ify lakuin, dia yakin hati gue punya dia, dan sekarang juga gue yakin hati dia masih punya gue, seutuhnya.” Rio diam sejenak, menatap Ify dan Alvin yang sudah berada cukup jauh dari tempatnya sekarang. “gue akan buat dia, utuh, cuma punya dan buat gue.” Lanjutnya sembari merubah senyuman hampa yang sebelumnya ia ciptakan menjadi sebuah senyuman penuh keyakinan.
Mata Gabriel terbelalak. Susah payah ia menelan ludahnya yang terasa membatu. Ucapan Rio begitu menyeramkan di telinganya karena ia tahu persis siapa sahabatnya itu. Seorang berego besar, keras kepala dan yang paling genting adalah Rio adalah orang yang nekat dan susah untuk mengaku kalah. Tuan besar Haling KW super. Sedikit banyak Gabriel bisa memastikan tidak ada yang akan terus berjalan baik-baik saja selama Ify belum kembali berada di dekapan Rio.
***
Kasak-kusuk tentang kedatangan murid baru membuat kelas begitu gaduh pagi ini bahkan hingga bel masuk berbunyi beberapa menit lalu, namun tetap saja tidak mampu memancing Shilla yang duduk di bangku urutan nomor tiga dari depan, bangku yang repat dengan tembok, untuk ikut serta di dalamnya, ia lebih memilih untuk tenggelam dalam buku Biologi yang dibacanya.
“ini cowok, murid baru, high quality, cuy!” ucap Kanaya, teman sekelas Shilla yang dikenal sebagai sumber gosip paling up to date dan terpercaya, menggebu-gebu.
“Gabriel’s always number one for me, no matter what’s!” timpal Nada, teman Shilla yang lain, penuh kekaguman.
Mendengar nama kekasihnya disebut, otomatis Shilla menoleh pada sumber suara. Merasa si empunya laki-laki yang baru saja ia sebutkan menatapnya, Nada membentuk jari telunjuk dan tengahnya menjadi huruf V, ditambah dengan cengiran kudanya yang hanya dibalas dengan senyuman dan gelengan kepala dari Shilla.
“ssttt... ini bener-bener beda, dan akhirnya nggak dijadiin sekamar sama Rio, Iel, Alvin, enak banget tu kelas!” Tambah Kanaya sedikit melantur. “okay, back to the point, pokoknya dia itu perfect, gue udah liat tadi di ruang guru!”
Sampai kedatangan ibu Dian, sang wali kelas membuyarkan obrolan panas mereka. Terlebih dengan seseorang yang mendampingi guru muda itu, pemuda tampan dengan tatanan penampilan yang membuat hampir seluruh siswi di kelas itu tak kuasa menahan rahang bawahnya untuk tetap tarkatup dengan rahang atasnya.
“kalian hari ini mendapat teman baru, atau gebetan baru untuk para siswi dan saingan baru untuk para siswa.” Sloroh guru bimbingan konseling yang memang terkenal humoris itu dan membuat kelas riuh dengan gelak tawa. Ia tahu pasti jika murid barunya itu memiliki penampilan di atas rata-rata. “silahkan memperkenalkan diri!” perintahnya setelah kelas kembali tenang.
“terimakasih, bu. Nama saya Cakka, saya pindahan dari SMA 87. Mohon bantuannya.” Si murid baru, yang ternyata Cakka memperkenalkan diri. Senyuman manis terpoles di bibirnya, ditatapnya satu persatu teman-teman barunya sarat keramahan, ekspresi yang langsung membuat para gadis semakin terbang dibuatnya.
“Cuma Cakka doang?” celetuk salah seroang siswa yang sedikit janggal mendengar nama sesingkat itu.
Ibu Dian menautkan alis saat Cakka menatapnya, pada data yang ia pegang, ada sebuah nama besar yang mengikuti nama Cakka, nama yang membuatnya dengan sangat mudah dan tidak memerlukan cara yang berbelit-belit untuk memasuki sekolah seelit SMA ini, aneh sekali jika Cakka memilih untuk tidak menyebutkannya dan justru memberi isyarat padanya untuk tidak mengatakan apapun.
“ya.” Jawab Cakka masih dengan keramahannya.
“ada hal lain yang bisa kamu sampaikan, Cakka?” korek bu Dian lagi. Jujur ia sangat penasaran dengan murid barunya ini, ia yang sepertinya berkepribadian sangat bertolak belakang dengan saudara tirinya, Rio, seorang siswa yang hampir setahun ini membuatnya hampir gila dengan ulah-ulah rebelnya.
“saya suka basket, saya tidak suka Fisika, Kimia, Biologi, kurang tau juga bagaimana saya bisa masuk kelas Sains.” Kata Cakka santai.
“tidak suka bukan berarti tidak bisa, kan? baik, silahkan kamu duduk di samping Shilla.” Perintah bu Dian sambil menunjuk meja dimana Shilla duduk. Tanpa mengatakan apa pun lagi Cakka segera melakukan perintah wali kelas barunya.
“hey, gue Cakka.” Ucap Cakka sambil menyodorkan tangan kanannya di hadapan Shilla untuk dijabat setelah ia sampai di tempat duduknya.
“Ashilla, kamu bisa panggil Shilla aja.” Sambut Shilla ramah, ditambah dengan senyum manis di bibirnya.
Sejenak Cakka terpaku menatapi keindahan ukiran Sang Pencipta di hadapannya. Jantungnya seakan ingin segera melompat dan melekat pada milik gadis cantik itu. Sedetik kemudian ia mengalihkan perhatiannya kembali ke depan kelas, tak ingin perasaan yang menurutnya bodoh itu semakin meraja.
“jam ini kalian ibu tinggal, ada urusan yang harus ibu selesaikan.” Pamit ibu Dian sebelum beranjak dari kelas.
Kegaduhan kembali membahana di ruangan kelas itu saat secara serentak para siswi menghampiri Cakka, mengajaknya berkenalan dan mencoba mencari perhatian pemuda tampan itu. Cakka berusaha menanggapinya dengan baik sampai ia merasa cara mereka terlalu berlebihan dan membuatnya tak nyaman.
“Shil, temenin gue kabur.” Bisik Cakka pada Shilla yang nampak acuh dengan “bencana” yang dialami teman semejanya.
Tanpa menunggu jawaban Shilla, Cakka menarik pergelangan tangan Shilla keluar dari kerumunan teman-temannya.
“sorry, gue ada urusan dulu ya, nanti kita sambung.” Pamit Cakka dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. Sambil berlari kecil ia meninggalkan kelas tanpa tujuan yang jelas.
***
Dengan tatapan kosong Rio menjatuhkan pandangannya pada tiruan bola dunia besar yang terletak di sudut meja besar kepala sekolah, sama sekali ia tak mendengarkan ceramah pak Satya, kepala sekolahnya yang sudah melantur entah sampai dimana.
“kamu sudah kelas tiga Rio, bulan depan kamu ujian, baiklah barang sebentar.” Pak Satya menghentikan sebentar khotbahnya untuk menghela nafas. “kemana kamu beberapa hari ini? Menghilang begitu saja tanpa keterangan, sekolah ini tidak bisa terus memberikan kelonggaran untuk kamu.”
Rio mengalihkan perhatiannya pada pak Satya, malas sebenarnya ia untuk melayani pertanyaan yang menurutnya sangat tidak penting.
“pernah saya minta kelonggaran?” tanya Rio enteng.
“tapi ayah kamu adalah salah satu penyandang dana terbesar untuk sekolah ini. Posisi kami sulit!”
“ck! Sekolah yang katanya unggulan ternyata bobrok.” Desis Rio sambil memutar globe yang sejak tadi menjadi fokusnya. “aturan itu tak pandang bulu, pak! Lagian yang sekolah kan saya, bukan bapak saya.”
Ingin sekali pak Satya melempar murid yang kini berhadapan dengannya kini ke dasar jurang paling dalam. Caranya berbicara, caranya berpakaian, tak sedikitpun menunjukan rasa hormat. Namun ia juga terkesan dengan cara pandang Rio yang dengan lugasnya menyampaikan pendapat yang sama sekali tidak salah, walaupun sepertinya ia tidak sadar jika ia sedang dibela saat ini.
“lalu apa yang harus kami lakukan padamu?” bentak pak Satya tak ingin kehilangan wibawanya.
“nyante gimana sih, pak?!” ucap Rio kalem. “hukum saja saya, gampang kan?”
“bersihkan GOR, sekarang!”
Tanpa menunggu perintah dua kali, Rio beranjak untuk segera melaksankan hukumannya.
***
Shilla tertawa lepas mendengar lelucon yang baru saja Cakka keluarkan. Rasanya perutnya hampir kram dibuat pemuda yang baru saja dikenalnya itu, seorang yang sangat menyenangkan, mudah bergaul dan rendah hati.
“lo tau hal apa yang dibenci Tuhan tapi juga dibenci setan?” tanya Cakka dengan mimik yang dibuat serius.
“mana ada? jelas kalo Tuhan nggak suka pasti setan suka!” jawab Shilla setelah beberapa saat sebelumnya memikirkan jawaban untuk pertanyaan Cakka.
“ada lah!”
“apa?”
“selingkuh sama pacarnya setan.” Ucap Cakka garing.
Shilla melengos sambil mendengus sebal, tak habis-habisnya bahan pembicaraan laki-laki ini.
“mau kemana sih kita, Cak?” tanya Shilla yang merasa kakinya sudah mulai lelah mengitari sekolah yang luasnya tak kira-kira.
“panggilnya “Kka” aja, gue bukan abang becak, bukan cicak. Ke gedung olah raga aja deh, masi ngeri gue balik ke kelas.”
Shilla mengangguk menyetujui.
“follow me!” Shilla riang sambil berlari kecil menyusuri lorong sekolah.
Cakka melihat punggung kecil yang tengah berlari untuk menciptakan jarak dengannya itu dengan senyum kecil terukir di wajahnya. Gadis yang sangat berbeda dengan semua gadis yang pernah temui sebelumnya. Shilla yang nampak begitu cantik dan anggun dengan gayanya yang tidak berlebihan, ia sederhana, ia berpemikiran luas dan cerdas, belum terkontaminasi dengan hal-hal negatif. Jauh di lubuk hatinya Cakka berharap jika belum ada yang memiliki gadis itu.
***
Rio merebahkan asal tubuhnya setelah menatap puas hasil pekerjaannya, gedung berukuran cukup besar itu tampak lebih bersih dari sebelumnya. Lelah sekali rasanya. Sedetik kemudian ia tersenyum kecil mengingat sesuatu yang pernah terjadi di ruangan itu beberapa bulan lalu, saat ia dihukum dengan pekerjaan yang sama karena ketahuan melompati pagar karena terlambat masuk sekolah dan diakumulasi dengan tertangkap basah menghisap sebatang rokok siang harinya.
Dan setelah itu, datang bidadarinya dengan sebotol air mineral untuk sekedar membasahi kerongkongannya dan dengan senang hati ia mengusap peluh yang jatuh di pelipisnya, biarpun tak ada tanggapan manis dari Rio kecuali keacuhan. Rio ingat pasti jika saat itu sama sekali ia belum memiliki rasa pada gadis yang ia anggap sangat mengganggu dan menyebalkan itu, dan walaupun sampai sekarangpun ia tak pernah tahu pasti kapan jantungnya mulai berdegub tak karuan untuk Ify dan sejak kapan benih cinta itu mulai berkembang di hatinya hingga kini ia begitu terbelenggu candu gadis itu.
“aku kangen kamu.” Lirih Rio yang kemudian bangun dari tidurnya dan berjalan mengambil bola basket yang teronggok di sudut lapangan.
Dengan lincah ia memainkan bola berwarna biru itu. Seperti biasa ia melepas penatnya. Sampai ia mendengar decitan pintu masuk terbuka dan membuat permainannya terhenti. Sosok yang ia lihat membuat emosinya kembali memuncak, entah apa yang dipikirkan seorang tuan besar Haling hingga menjadikan kedua putranya yang sama sekali tak bisa disebut rukun menjadi satu.
“di sini, Kka! Bagus kan?” ucap Shilla penuh kebanggaan, tak menyadari jika Cakka yang diajaknya bicara sudah tidak lagi memperhatikannya dan justru beradu tatapan dengan Rio, sama-sama dingin dan sama-sama tajam.
Cakka mendekati Rio dan meninggalkan Shilla, namun dengan raut yang sudah berbeda, senyum kecil terpendar di wajahnya seakan ingin melelehkan gunungan es yang mengurung Rio.
“apa kabar, bro? Udah baik tangan lo?” tanya Cakka sambil mendrible bola yang baru saja direbutnya dari Rio.
“bukan urusan lo!” desis Rio sinis.
“hah? Bukan urusan gue? Lo-adik-gue!” balas Cakka sengit.
Kedua mata Rio memicing, heran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada kakak tirinya itu yang tiba-tiba saja berubah menjadi “seperhatian” ini padanya.
Di tempatnya Shilla tercekat mendengar apa yang baru saja diucapkan Cakka. Kedua lelaki tampan itu bersaudara.
“jangan sampai apa yang gue bilang tadi nyebar, Shil!” perintah Cakka yang baru menyadari jika ada orang lain yang ada di ruangan itu, yang mendengar pembicaraannya dengan Rio.
Masih dalam keterkejutannya Shilla mengangguk pasrah. Ia merasa sama sekali tak berhak masuk dalam urusan krusial itu, terlebih ia sering mendengar dari Gabriel jika Rio paling benci jika masalah pribadinya diusik.
“aku keluar dulu.” Ijin Shilla.
Serentak Rio dan Cakka mengangguk lemah untuk memberi izin.
“temenin gue main!” perintah Cakka sambil melemparkan bola basket yang sebelumnya ia pegang pada Rio. Masih dengan setengah hati Rio menerimanya, didorong rasa keingintahuannya tetang seberapa jauh permainan basket kakak tirinya itu.
Bola bergulir lincah kesana kemari, berpindah-pindah tangan antara dua pemuda itu. Permainan cantik diperagakan keduanya, saling berebut dan menyerang. Keduanya memiliki kekuatan yang imbang dan tenaga yang sama-sama gila.
“Masuk!” pekik Cakka entah untuk ke berapa kalinya. Semenjak beberapa waktu lalu si bundar sudah berkali-kali membobol ring kekuasaan Cakka maupun Rio. Mungkin jika bola itu bisa berbicara ia akan berteriak minta tolong karena berkali-kali juga ia dilempar secara tidak manusiawi.
“lo hebat!” aku Rio sambil mendrible bola, santai.
“lo juga, gue pasti kalah telak kalo tangan lo bener.” Tanggap Cakka sambil duduk bersandar di tiang penyangga ring.
“lo kan tadi main santai, kapan-kapan kita mesti tanding mati-matian!”
“anytime! Asal lo balik ke rumah, ini gue yang minta.”
Rio mengangkat sebelah alisnya. Bingung. “tapi gue pergi juga bukan karena elo.”
“tapi kalo lo pergi, lo sama aja nyiksa gue! Elo yang tuan Haling kw super, gue nggak suka terikat, gue bukan orang yang gila kerja, gue mau bebas.” Terang Cakka to the point. Saat ini ia merasa nyaman berbicara dengan Rio, seakan ia sudah lama mengenal seorang Mario.
“barusan lo sama persis sama tuan Haling, otoriter, egois.” Sengit Rio.
“gue juga anaknya kan? sedikit aja boleh dong gue punya mirip sama dia?” Cakka diam sejenak, mengitari seluruh gedung olah raga dengan bola matanya. “lagian lo nggak kangen sama Acha? Dia nanyain lo terus.”
“ngapain gue diem di tempat yang sama sekali gue nggak ngerti?” Rio membalik tubuhnya dan mulai berjalan meninggalkan Cakka ke arah pintu keluar.
“belum semua cerita lo denger! Pulang, dan lo akan tau semuanya!” seru Cakka sebelum Rio benar-benar menghilang. Rio sama sekali tak menanggapi.
***
Rio berjalan menuju cafetaria sekolah. Dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya. Raut wajah yang tetap dingin dan acuh pada setiap orang yang memperhatikannya. Pemandangan yang aneh sepertinya melihat the most perfect guy of Putra Buana SHS ini muncul di tempat seribut ini, karena sekarang jam istirahat sedang berlangsung. Rahasia umum jika Rio tak nyaman berada di area ramai dan menjadi pusat perhatian.
Ia semakin menjadi pusat perhatian karena saat ini ia berada di kawasan biasa siswa-siswi kelas X menghabiskan istirahatnya. Satu tujuannya, Rio sempat melihat Ify duduk berdua dengan salah satu teman lelakinya di sudut tempat itu, dengan buku di hadapannya dan juga sepiring nasi goreng.
“lo, siapa?” tanya Rio setelah sampai di meja Ify dan menepuk bahu teman seorang yang masih ia anggap gadisnya itu.
“O.. Olin, kak..” jawab Olin takut-takut, terlebih nada suara Rio yang sangat dingin. “saya cuma bantu Ify kerjain tugas.” Lanjutnya setelah menyadari tatapan penuh selidik dari mata Rio.
Dengan isyarat Rio menyuruh Olin pergi dari tempatnya.
“makanan saya?” tanya Olin sekali lagi sambil menatap sayang pada semangkuk bakso di hadapannya yang sama sekali belum ia sentuh.
“lo bawa pindah, atau lo pesen lagi, biar gue yang bayar.”
Olin beranjak dari tempatnya duduk.
“tetep di sini, Lin!” perintah Ify tegas setelah sebelumnya memilih bungkam dan berpura-pura tidak menyadari keberadaan Rio.
Kembali Olin menatap Rio dan dibalas tatapan membunuh oleh Rio yang membuat nyali juniornya itu semakin menciut. Tak ingin memiliki masalah dengan orang yang ditakuti hampir seluruh penghuni sekolah itu, Olin memilih pergi dengan tatapan penuh penyesalan dan meminta maaf pada Ify.
Dengan gerakan cepat Ify bangun dari tempat duduknya untuk pergi dari hadapan Rio. Namun ternyata Rio bergerak lebih cepat darinya dan berhasil mencekal lengannya. Dengan sedikit kasar tangan kokoh itu mendorong tubuh Ify kembali ke tempatnya.
“kamu belum lupa siapa Rio kan, cantik? Sadar ini tempat umum?” tanya Rio santai namun penuh ancaman. Ify melengos, tak ingin menatap Rio dan membuatnya kembali luluh. Ia juga cukup sadar jika Rio adalah orang yang nekat dan selalu melakukan apa yang ia inginkan tanpa segan.
“spidol, merah! Kalo ada yang gas!” pinta Rio setelah membaca buku yang sedari tadi ditekuni Ify dan Olin. Ia sodorkan tangannya ke hadapan Ify untuk menerima benda yang baru saja disebutkannya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jajaran soal yang terpampang di buku.
Masih setengah hati Ify menyerahkan yang apa Rio minta. Beberapa saat kemudian matanya terbelalak lebar meratapi bukunya yang penuh dengan warna merah menyala. Rio memenuhi sela kertas yang tidak terpakai dengan berbagai macam rumus Fisika yang kemudian ia menarik beberapa garis untuk menghubungkan antara soal dengan rumus yang digunakan untuk penyelesaiannya. Tidak sampai tiga menit berlalu, Rio sudah menyelesaikan hasil karyanya.
“nih!” ucap Rio sambil melempar pelan buku dan spidol kembali pada pemiliknya. “lain kali kamu bisa cari aku kalo kamu butuh.”
Ify mencibir. “heh? Janji yang kemarin aja masih ngebon, mau lagi?” tanggap Ify ringan disambung dengan menyedot minuman pesanannya.
“kalau nggak tau apa-apa, simpen aja dulu komentarnya.” Balas Rio tak kalah ringan.
“janji kembang api, disulut, meledak, manis sekali, selesai. Bullshit!” nada bicara Ify menajam. Matanya sudah memanas, siap meluncurkan cairan bening dari kelopaknya. Cepat-cepat ia meninggalkan meja itu sebelum Rio melihatnya rapuh.
Rio mengejar Ify. Sekali lagi, dengan gerakan cepat Rio melingkarkan tangan kanannya di perut Ify, menarik paksa tubuh mungil gadis itu hingga terhempas ke pelukannya. Tak peduli dengan erangan tertahan dari bibir Ify karena sedikit merasa kesakitan akibat perlakuannya yang sedikit kasar.
Ify mencoba melepaskan pelukan Rio, namun semakin ia mencoba menghindar, belitan tangan Rio justru semakin erat dan membuatnya kesakitan. Tak ada lagi yang bisa Ify lakukan kecuali pasrah. Toh ia yakin Rio tak akan berbuat buruk padanya.
“apapun, aku cinta kamu, selalu, selamanya.” Bisik Rio tepat di sebelah telinga Ify. Setelah itu ia melepas pelukannya, membiarkan Ify mematung di tempat dan meninggalkannya dengan langkah yang terlihat begitu ringan seolah tak terjadi apapun padanya sebelumnya.
***
Pemuda bermata sipit ini sengaja merelakan dua jam pelajaran terakhirnya untuk berkunjung ke pemukiman kumuh yang lama tak ia singgahi itu. Tiba-tiba saja pikirannya penuh oleh gadis yang memegang janji yang tak lagi ia tepati.
Tak ada siapapun yang ia temui di gubuk tempat biasa ia bertemu Agni, mendadak tempat itu menjadi sangat sepi, padahal jelas tertera di papan besar yang tergantung di sudut gubuk itu jika jam ini adalah waktu Agni untuk mengajar musik.
“kak Alvin?” sapa seorang bocah perempuan yang kira-kira berusia sebelas tahun, sedikit ragu karena takut salah orang.
“ya?” sahut Alvin sedikit terkejut.
“kakak cari kak Agni?”
Alvin mengangguk semangat dibarengi senyum sumringah di bibirnya, seakan sudah menemukan apa yang ia cari.
“kak Agni udah nggak di sini.” Ucap gadis kecil itu dengan raut muram.
“kemana dia?” tanya Alvin panik. Ia berlutut menyamakan tinggi dengan lawan bicaranya. Dilihatnya cairan-cairan bening bergulir dari sudut mata bening gadis mungil itu. “ada apa sama kak Agni?” tanya Alvin sekali lagi dengan nada suaranya yang lebih lembut, disekanya air mata anak itu.
“beberapa hari lalu orang tua kak Agni meninggal karena kecelakaan, sekarang kak Agni ikut pergi jauh sama kakaknya, kita semua nggak tau kemana.” Jawab si bocah disela isakannya.
Alvin menunduk dalam-dalam saat pikirannya menyadari tak akan lagi bisa menemukan gadis itu. Gadis yang diam-diam mulai menghantuinya, walaupun sering ia tepikan. Senyum menenangkan, celoteh, bahkan makian gadis manis itu kini berputar di otaknya.
“kakak tunggu sebentar!” perintah gadis kecil itu sebelum berlari menjauh, pergi entah kemana.
Alvin terduduk lemas, ia sembunyikan wajahnya diantara lipatan tangan yang ia tumpukan pada lututnya. Seakan ada bagian besar dari dirinya yang lari dari tempatnya. Gadis yang belum lama ia temui, namun ia yang sudah mengajarkan arti sebuah kehidupan padanya. Satu hal yang paling ia sesali, nazar yang ia janjikan pada gadis itu belum penuh ia jalankan.
“kak, ini buat kakak.” Ucap gadis kecil yang tadi menyapa Alvin sambil menyodorkan sebuah kotak kardus berukuran sedang ke hadapan Alvin. Nafasnya tersengal-sengal dan butiran keringan mulai mengalir di pelipisnya, cukup jauh nampaknya gadis itu berlari. “titipan dari kak Agni.”
“makasih.” Jawab Alvin sambil menerima kotak itu dan segera dibukanya. Isinya sepasang sneakers miliknya yang tak sengaja ia tinggal saat pertama kali ia datang ke tempat ini dalam keadaan bersimbah lumpur, namun saat ini sudah kembali menjadi putih bersih. Diangkatnya sepatu yang baru ia sadari kehilangan talinya itu, dan ternyata ada sebuah amplop putih bersih tergeletak di bagian dasar kardus itu. Tanpa pikir panjang Alvin membukanya.
Buat Kakak Alvin Jonathan,
Hey.. apa kabar? Pasti baik kan? Udah dapetin cinta lo ya? Sampai lupa sama nazar sendiri, bukan dosa gue kan kalau akhirnya lo nggak bisa penuhi sisa dari tiga belas hari yang udah lo tepati?
Untuk pertama kalinya gue panggil lo kakak, mungkin juga buat yang terakhir, baru sadar gue selama ini nggak sopan banget. :p
Makasih ya buat tiga belas harinya, nggak akan bisa gue lupain seumur hidup. Lo pasti nggak inget kan kalau baru segitu yang lo penuhi dari satu bulan perjanjian? Tapi gue, Agni Trinubuwati akan selalu inget, karena setiap waktu sama elo itu adalah salah satu momen paling manis di hidup gue. Lo ngajarin gue bersyukur, lo buat gue sadar kalau harta itu bukan sumber kebahagiaan yang hakiki, buktinya lo kaya tapi tetep aja doyan marah-marah.
Gue pamit, kakak Alvin yang ganteng, gue ikut abang gue karena kita baru aja kena musibah. Oh, iya, kalau lo mau iseng, jangan cariin gue ya buat jadi pelampiasan, toh kalau kita jodoh juga takdir akan mempertemukan kita lagi.
Terakhir, tali sepatunya gue ambil, buat kenang-kenangan, enak kan punya temen kaya gue? Nggak perlu modal banyak.
Eh, ada yang terakhir lagi, gue suka sama lo, dalam arti cewek ke cowok, maaf ya? Tapi tenang, gue nggak minta balesan, kan gue udah pergi jauh, lagian gue juga sadar sama sekali nggak pantes gue buat lo.
Udah deh, makin jelas aja kalau gue bawel. Jaga diri ya! Jangan sombong! Sampai ketemu. 
Salam,
Agni.
Senyum kecil terukir di wajah Alvin, sebuah senyuman yang sarat kesedihan. Sebuah penyesalan klasik kini membayang, bahwa rasa memiliki itu baru akan timbul setelah kehilangan. Detik itu juga Alvin merasa kehilangan sahabat, guru kecil, bahkan setengah hatinya. Satu rasa yang masih teramat sulit ia ungkapkan dan teramat takut untuknya menyebut jika ia telah jatuh cinta pada gadis itu.
***
Senyuman Cakka merekah ketika melihat Shilla berdiri gelisah di depan gerbang. Peluang lebar untuk bersama gadis itu semakin lama membuatnya tak berpikir panjang untuk memacu motornya untuk menyambangi gadis yang sepertinya telah mencuri hatinya itu. Rasanya tak cukup sepanjang hari tadi bersamanya dan mengetahui banyak hal tentangnya.
“Shil, nggak dijemput?” tanya Cakka setelah berada di samping Shilla.
“eh, enggak, Kka.” Jawab Shilla sedikit kaget. Hari ini memang ia terpaksa pulang sendirian karena Gabriel sedang mengurus acara perpisahan angkatan mereka.
“gue anter mau? Lumayan loh hemat ongkos.”
“nggak ngerepotin?”
Cakka menggeleng sambil tersenyum, justru ia amat senang dan sama sekali tidak direpotkan.
Shilla mengangguk setuju dan tersenyum senang. Buru-buru ia naik ke boncengan motor Cakka dan mereka bergegas meninggalkan area sekolah.
Dari loby utama sekolah yang letaknya tak jauh dari gerbang, Gabriel yang sehabis mengambil berkas di ruang tata usaha tak sengaja melihat gadisnya pergi bersama pria lain, dan ada perasaan tak rela dari hatinya yang coba ia tepikan, mencoba untuk percaya penuh pada Shilla, membuang jauh-jauh rasa takutnya.
***
Ify duduk sendirian di depan gerbang sekolah menunggu supirnya yang tak juga datang. Hatinya terus merutuki Alvin yang tiba-tiba saja menghilang tanpa pesan sama sekali, membuatnya harus menunggu di bawah terik siang yang seperti menghajarnya tanpa ampun.
Iseng, dibukanya lagi buku Fisika yang saat jam istirahat tadi menjadi sasaran kejahilan Rio, buku yang sedari tadi belum ia buka karena malas. Matanya membulat kala melihat untaian kata “RIO LOVE IFY” dengan ukuran yang tidak lebih kecil dari font ukuran empat puluh delapan ditambah aksen bold di atas lembar soalnya dibingkai dengan deretan rumus untuk mengerjakan soal. Ify mendengus kuat-kuat membebaskan emosinya, sungguh gila laki-laki itu. Sama sekali Rio tak memberi kesempatan padanya untuk lari darinya.
Sampai ia merasakan cahaya matahari tak lagi menyengatnya, teduh. Ify mendongakkan kepalanya, dilihatnya Rio yang sedang berdiri dan memayunginya dengan blezer almamater. Rio bersiul tanpa dosa dengan tampang cueknya. Sekuat tenaga Ify menahan telapak tangannya yang sudah sangat gatal untuk tidak menampar pipi pria gila di sampingnya.
“pergi! Gue nggak butuh lo!” desis Ify setelah menutup kasar buku Fisika yang tebalnya saja bisa membuat anjing pingsan sekali lempar.
“masa? Tapi pasti hati lo butuh gue.” Tanggap Rio santai sambil menyandarkan punggungnya pada gerbang.
Rahang Ify terkatup kuat, membuat bunyi gemeretak kecil. Ingin rasanya ia berteriak di depan wajah jika ia tidak membutuhkan Rio, tidak juga hatinya, walaupun mentari akhirnya terbit di utara, pelangi muncul di musim kemarau, gurun pasir tertimpa bencana banjir, atau bahkan jika Justin Bieber memilih menjadi personil baru Smash sekalipun. Namun hati kecilnya benar-benar menolak argumen itu mentah-mentah dan justru berpihak pada Rio.
Beruntung sepertinya dewi Fortuna berpihak pada Ify dengan mengirimkan pak Amin sebagai penyelamatnya. Bergegas gadis manis itu memasuki mobilnya sebelum Rio mengeluarkan pertanyaan yang membuatnya semakin terpojok dan melakukan hal yang lebih gila lagi. Dan beruntung juga sepertinya Rio tak berminat menahannya atau mengejarnya.
Rio tak beranjak dari tempatnya, sambil kembali menyampirkan blezer yang baru saja ia gunakan untuk memayungi Ify di bahunya, ia menatap mobil mewah yang ditumpangi peri cantiknya yang semakin menjauh. Senyum kecil terukir di bibirnya, ternyata menyenangkan juga bermain-main seperti hari ini dengan gadis pemilik hatinya itu dan cukup baginya untuk mengetahui seberapa jauh Ify membencinya dan berusaha lari darinya.

bersambung...

oiya.. maaf ya, dengan amat sangat nih, aku nggak ngijinin Song of Love di repost di tempat lain, biar aja di sini doang :)

1 komentar:

  1. keren cekayi qqaqa ;3 part 14 cepet ya kak ._. penasaran sumpah :D seneng nih aku, belom end~ wkwk

    BalasHapus