Sabtu, 27 Agustus 2011

Song of Love part 14

Sebuah caffe kecil menjadi tujuan Cakka dan Shilla. Cakka yang memaksa Shilla untuk menemaninya menyantap makan siang karena rasa laparnya benar-benar tak bisa ditahan.
Sepi, bahkan suara sendok yang digunakan Cakka saat beradu dengan piring pun bisa didengar Shilla dengan jelas di sela-sela lagu Lucky milik Jason Mraz yang mengalun memenuhi caffe kecil itu. Gadis cantik itu diam sambil mengaduk-aduk asal cappucinno float pesanannya dengan sedotan, setelah tadi ia memutuskan tidak memesan makanan dengan alasan masih kenyang. Dipindainya wajah tampan yang duduk berseberangan dengannya dan sedang asik menikmati nasi gorengnya dengan cara yang sangat meyakinkan jika ia memang sangat lapar, lahap sekali. Sampai sebuah kesimpulan besar didapatnya, garis wajah Cakka dan Rio memang sedikit mirip, tapi benar-benar sangat samar, sulit menyimpulkan langsung jika mereka bersaudara, apa lagi sedarah. Sampai Cakka mendesis meminta perhatiannya, memerintahkannya untuk mendekatkan telinganya karena pria itu akan bersuara lirih agar tidak didengar orang lain.
“makanannya nggak enak!” bisik Cakka dengan polosnya.
Shilla memutar kedua bola matanya. Ajaib sekali kelakuan laki-laki di hadapannya itu. “kenapa kamu baru bilang nggak enak setelah makanannya tandas nggak tersisa barang sebutir nasi pun?” cibirnya.
Cakka nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “kepepet laper.” Jawabnya tanpa dosa.
“aku.. boleh tanya?” ijin Shilla ragu.
“bayar!” jawab Cakka disambung dengan menyeruput orange juice pesanannya. “ya boleh lah..” lanjutnya untuk menjelaskan jika sebelunya ia hanya bergurau.
“kamu beneran saudaraan sama Rio?”
Kening Cakka berkerut, seperti mencerna pertanyaan Shilla, dan sedetik kemudian ia terpingkal.
“kenapa? Nggak mirip sama sekali ya?”
Sebuah senyuman kaku terukir di bibir mungil Shilla, mudah sekali sepertinya bagi pemuda di hadapannya itu untuk menebak jalan pikirannya.
“gue sama dia punya bokap yang sama, tapi nyokap kita beda, dan saham nyokap gue pas produksi gue itu lebih gede, jadinya gue mirip beliau, bukan bokap gue.” Terang Cakka dengan mimik wajah yang ia buat serius walaupun dengan pemilihan kata yang konyol. “tapi ya emang nyatanya gue sama Rio itu putra Krishna Haling.”
Mulut Shilla membulat sambil mengangguk paham. Bahasa yang digunakan Cakka untuk menjelaskan apa yang ingin ia ketahui membuatnya puas dan tidak lagi ingin menyinggung hal lain karena semuanya terdengar sangat mudah.
“lo tau dimana Rio biasa nongkrong?” tanya Cakka setelah membiarkan Shilla bereaksi. “tu anak belum pernah gue ajarin gimana cara menghormati kakaknya.” Kata-kata yang terdengar begitu sok ditelinga Shilla, namun justru membuatnya terkikik geli.
“balapan di arena deket sekolah, night club, rumah Gabriel, nggak ada yang bener pokoknya tu orang.” Jawab Shilla setelah tawanya mereda.
“balapan?” Cakka mengalihkan perhatiannya pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Arena di dekat sekolah barunya sudah cukup ia ketahui saat dulu memata-matai Rio, sedikit merutuki kebodohannya karena bertanya tetang hal yang sudah jelas ia ketahui jawabannya. “balik yuk!” ajak Cakka sambil menyahut jaketnya yang tersampir di kursi. Dan tanpa bertanya lebih banyak lagi Shilla mengikutinya.
***
Tatapan beberapa orang dengan penampilan urakan itu tertuju pada si pemuda tampan yang melangkah dengan demikian jumawanya, dagunya sedikit ia naikan, dihiasi tatapan elang yang membuat nyali orang-orang di sekitarnya semakin ciut. Mereka mengenalnya, Cakka, si raja balap dari kelompok lain yang beraliran seperti mereka.
Dengan gerakan bola mata yang tidak terlalu nyata, ia mencari orang yang dikenalnya dari kawanan itu. Sedikit bernafas lega setelah menemukan seseorang yang ia anggap bisa membantu. Dengan tidak merubah ekspresi wajahnya, ia mendekati salah seorang dari mereka yang duduk pada bangku yang terbuat dari krat botol softdrink yang sudah berubah fungsi.
“bro, Rio dimana?” tanya Cakka to the point, sedikit sok akrab memang karena sebenarnya ia sama sekali tak mengetahui nama orang itu, hanya ia yakin pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya di arena balap, dan keyakinannya juga mengatakan jika orang itu mengenalnya.
“lagi makan di warung depan sama Gabriel.” Jawab pria berbadan kekar dengan piercing besar di kedua telinganya. Rasanya wajah Rio terlalu baik dan innocent untuk berada di tempat seperti ini, pikir Cakka.
“thanks.”
Cakka menyimpan kedua tangannya di saku celananya, kemudian mengayunkan tungkainya enjauh dari kerumunan manusia yang tak juga membuang tatapan heran ditambah penuh tanya setelah mengendengar pertanyaan pemuda tampan itu sebelumnya.
***
Ujung bibir Cakka sedikit terangkat membentuk sebuah cibiran saat mendapati warung makan sederhana di hadapannya. Bisa diterka pikirannya jika memang sudah tak mungkin Rio makan di tempat yang mewah karena saudara tirinya itu pergi tanpa sepeserpun uang kecuali jumlah yang tidak sengaja masih tersisa di dompetnya. Namun ia juga tak habis pikir jika orang yang selalu diselimuti kemewahan sepanjang hidup seperti Rio bersedia menyantap makanan dari tempat seperti ini.
Perlahan diubahnya ekspresi wajahnya menjadi lebih datar karena tak ingin Rio salah paham dan mengira ia sedang menari di atas kekalutannya.
“bu, es teh satu!” seru Cakka lantang pada si pejaga warung sembari melangkahkan kakinya di atas bangku panjang agar ia bisa duduk menghadap ke meja, tepat di samping Rio yang nampak lahap menyantap makan siangnya.
Menangkap kehadiran sang kakak dari sudut matanya, serentak selera makan Rio menguap, kenyang mendadak. Tak habis pikir dengan apa yang dipikirkan Cakka dengan terus membuntutinya.
“Yel, lo tungguin gue di depan aja.” Perintah Rio setelah memastikan jika isi piring Gabriel yang duduk di sisi lainnya sudah tandas. Seolah tak peduli dengan kehadiran Cakka.
“nggak usah bikin ribut! Tempat orang!” pesan Gabriel sambil menepuk bahu sahabat karibnya, walaupun dengan sorot mata yang ia arahkan lurus pada Cakka yang juga tengah menatapnya. Pesan untuk keduanya.
“mau apa lo? Lo udah dapet semua yang lo mau kan?” tanya Rio berusaha santai, ia sadar hanya akan menghabiskan tenaganya jika ia berbicara dengan emosi pada Cakka.
“lebih dari yang gue mau.” Jawab Cakka dengan seulas senyum hangat yang terpoles di bibirnya. “sebelumnya gue nggak pernah berharap dapetin kasih sayang yang begitu utuh, gue nggak pernah berharap ngerasain betapa bangganya menjadi seorang kakak, tapi gue dapetin itu.”
Keduanya diam. Rio tenggelam dalam kerinduan akan yang begitu dalam dengan semua sentuhan kasih yang dulu selalu ia dapatkan dari kedua orang tuanya, saat pikiran polosnya tak mampu menembus kesungguhan dari sandiwara yang dilakoni ayah dan bundanya. Dan gadis kecil dengan senyum malaikat yang selalu mampu membuatnya bertahan di tempat bernama rumah dalam arti hanya bentuk. Adik kesayangannya yang entah berapa lama tak ia temui.
“Acha kangen banget sama elo, elo punya janji kan buat selalu jagain dia? Lo nggak sadar udah nyakitin dua gadis paling penting buat elo sekaligus kan?” lanjut Cakka sambil menerima pesanannya yang baru saja datang. Minuman yang akhirnya hanya ia campakkan karena justru sibuk mengaduk-aduk isi ranselnya, mencari sesuatu yang nampaknya penting.
Tak lama, Cakka mengulurkan seberkas amplop besar berwarna coklat muda ke hadapan Rio. “Erasmus Universiteit Rotterdam.” Ucap Cakka penuh kebanggaan. Kata-kata yang sama persis dengan apa yang tertera dengan tinta biru tua dengan format vertikal berukuran besar pada bagian depan pelindung dokumen itu.
Mata Rio berbinar, tak dapat ia sembunyikan. Salah satu universitas dengan fakultas ekonomi terbaik di dunia. Salah satu impian terbesarnya untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi yang terletak di negeri kincir, Belanda itu. Ia dapat menerka jika isi dari amplop itu adalah undangan seleksi memasuki universitas tersebut lengkap dengan formulirnya, sebuah tiket emas yang sebelumnya harus ia relakan demi mengejar Ify yang akhirnya juga tak ia dapati.
“the golden ticket for your dream, my bro!” pekik Cakka tak sabar melihat ekspresi Rio yang tak kalah dengan seorang gadis yang melihat seorang pangeran tampan lewat di hadapannya.
“lo tau darimana?” tanya Rio antusias sambil merebut amplop dari tangan Cakka.
“apa sih yang gue nggak tau?!” ucap Cakka penuh kebanggaan sambil menarik ujung kerah bajunya.
“thanks bro!” lirih, tak terlalu jelas terdengar dan sontak membuat hingar-bingar yang tercipta di antara keduanya luruh begitu saja. Rio benar-benar tak habis pikir dengan isi otak Cakka yang semula ia anggap menyimpan dendam kesumat padanya. “lo nggak dendam sama gue?”
“kadang gue suka ngeluh sama Tuhan, kenapa Dia menciptakan hati gue sama persis sama malaikat.” Seloroh Cakka sambil memamerkan cengiran kudanya. Bonus sebuah toyoran ia dapatkan dari Rio.
“ini kepala kakak elo, bro!” dengus Cakka. Tangan kanannya sibuk mengusap bekas toyoran Rio yang sebenarnya tidak seberapa sakitnya. “nggak, sama sekali gue nggak dendam sama elo, mungkin apa ya, gue kemarin envy aja kali sama elo.” Tutur pemuda tampan itu dengan begitu ringannya, sangat tulus.
Tak menunggu lebih lama lagi, Rio menubruk tubuh tegap kakak tirinya hingga tubuh yang tidak lebih tinggi dari tubuhnya itu sedikit terjengkang. Memeluknya penuh kehangatan sepasang saudara laki-laki.
“Rio! Lepasin gue!” pekik Cakka sambil mendorong tubuh Rio kuat-kuat dan kemudian dengan jumawa menyisir poninya ke belakang dengan jemarinya, membuatnya menjadi sedikit berantakan. “geli, bego! Kesian banget gue kalo ganteng-ganteng begini dikira homo.”
Rio menyeringai lebar sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tak merasakan gatal. Sedikit merutuki perbuatannya barusan, coba saja jika teman-temannya melihat mereka dengan posse seperti tadi, mau ditaruh dimana citranya sebagai orang yang selalu disegani.
“satu lagi! Gue nggak mau orang banyak tau kalo gue juga putra Haling, gue mau bebas, gue nggak mau semua orang takut sama nama gue. Gue nggak suka perbedaan semacam itu.” pesan Cakka kemudian meneguk es teh manis pesanannya hingga hanya tersisa setengahnya.
“oh, jadi alesannya lo baikin gue gara-gara lo nggak mau jadi tumbal keotoriteran papa?” tuduh Rio dengan nada yang mulai kembali naik. Matanya yang semula datar kembali berubah nyalang.
“lo suka kan dengan dunia elit itu? tingkah lo yang berandalan itu cuma topeng lo supaya semua orang bisa liat lo dengan kekuatan elo, bukan dengan harta elo?” Cakka membalas tuduhan Rio dengan begitu tenangnya. Orang yang benar-benar berbeda dengan Rio yang hanya bisa menyelesaikan masalah dengan kepala mendidih.
“sok tau!” hardik Rio, pelan, namun sangat tajam.
“come on! Selera cewek lo aja udah nunjukin kalo lo emang highclass!”
Telak. Rio terdiam. Tampaknya saat ini ia sudah bertemu dengan pawang keduanya setelah Gabriel. Ia tahu pasti jika lebih baik ia berhubungan dengan orang-orang yang mampu mematahkan keegoisannya, bukan hanya menjadi budak dan menuruti semua komandonya karena rasa segan dan takut.
“gue balik. Rumah selalu terbuka buat elo.” Pamit Cakka sambil menepuk pundak Rio yang masih terpaku beberapa kali. Sama sekali Rio tak menyahut, memilih tetap tenggelam dalam pikirannya.
“oh iya, gue hampir lupa! Mungkin akan lebih lengkap kabahagiaan gue kalo gue bisa ngrasain punya saudara laki-laki.” Ucap Cakka sekali lagi saat berdiri di ambang pintu yang berukuran sedang akses utama keluar-masuk warung makan kecil itu.
“Kka, bawa Acha ke taman deket rumah nanti sore!” seru Rio sebelum Cakka benar-benar pergi.
Cakka mengangkat sebelah alisnya, mempertimbangkan permintaan Rio.
“oke, jam 5.” Akhirnya Cakka memberi persetujuan dengan senyum hangat yang merekah di bibirnya. Ibu jari kanannya juga terangkat untuk menegaskan jika ia bersungguh-sungguh, baru kemudian ia melangkah pergi.
***
Masih setengah jam lagi menuju pukul lima sore, sesuai yang Cakka janjikan agar ia dapat bertemu dengan Acha. Taman ini begitu ramai sore ini, memampangkan berbagai bentuk kehangatan keluarga yang sedang berkumpul, atau kemesraan beberapa pasangan kekasih yang sedang kasmaran.
Rio duduk seorang diri di tengahnya. Dengan mata yang menerawang jauh menembus gumpalan kapas yang berayun pada birunya langit. Tak mempedulikan setiap orang yang lewat di hadapannya dengan berbagai ekspresi, ada segerombolan gadis yang menatapnya dengan terpesona, ada yang menatapnya janggal, ada pula yang acuh tak acuh, namun tak satu pun yang mampu menarik perhatian pemuda hitam manis itu.
Satu yang ia sadari, bangku itu, adalah bangku tempat pertama kali ia mendekap erat tubuh Ify, tepat dimana ia membiarkan gadis itu menyaksikan kejujurannya, mendengar detak jatungnya yang selalu tak biasa jika gadis itu ada di dekatnya. Namun semuanya hanya sebatas sadar, bukan kegalauan seperti remaja labil yang akan depresi jika disangkutkan dengan segala sesuatu yang menyangkut kenangan manisnya yang tak lagi dapat ia rasakan.
“kak Rio!” pekikan suara melengking kecil itu membuat Rio tersadar dari lamunannya, wajahnya kini terhiasi senyuman lebar dan mata berseri dengan kedua tangan yang ia rentangkan lebar-lebar untuk menyambut gadis kecil yang menyongsongnya. Kemudian didekapnya erat-erat tubuh mungil itu.
“kak Rio kangen banget sama Acha.” Lirih Rio sambil mengecup ubun-ubun adik semata wayangnya.
“Acha kangeeeeeen... bangeeeet... sama kak Rio!” balas Acha. Kedua lengannya semakin terulur untuk memeluk sang kakak lebih erat lagi. Adegan Itu berlangsung cukup lama, disaksikan Cakka yang berdiri tak jauh dari keduanya dengan senyum kecil penuh keharuan, dan mungkin juga sedikit kecemburuan, ia juga sangat menyayangi Acha, mungkin sama besarnya dengan sayang Rio pada Acha, namun ia sadar tak akan mampu menggantikan posisi Rio untuk Acha.
“kak Rio kenapa ninggalin Acha sendirian?” tanya Acha pelan sambil menunduk dalam, jelas terlihat jika gadis kecil itu sedang menahan tangisnya. “untung ada kak Cakka yang ganti jagain Acha.” Lanjutnya polos.
Rio melirik sekilas pada Cakka yang sedang nyengir lebar. Senyumnya terukir untuk mengucapkan banyak terimakasih, yang akhirnya dibalas anggukan dari Cakka.
“maaf, kak Rio cuma baru belajar buat jadi lebih baik lagi, makanya Acha dukung kakak, kakak juga nggak akan bener-bener ninggalin Acha, Acha ada kak Cakka juga kan yang sayang sama Acha.” Jelas Rio, sebisanya ia membuat kalimat yang sanggup Acha mengerti dan menbuat peri kecilnya itu tenang.
“tapi Acha nggak mau kehilangan kalian semua, kakak-kakak Acha, kak Rio, kak Cakka, kak Ify.” Rajuk Acha dengan polosnya.
“Acha mau ketemu kak Ify juga?” tanya Rio dengan senyuman hambar di bibirnya, kemudian terdiam, mencelos mendengar nama terakhir yang Acha sebut. Sentilan untuk otak dan hatinya jika memang kenyataannya Ify tak lagi di sisinya, dan kenyataan lain jika ia tak mampu memenuhi kemauan adiknya.
“Acha besok ketemu kak Ifynya sama kak Cakka aja deh.” Sela Cakka yang dengan sigap mampu membaca ekspresi Rio. “sekarang Acha main-main aja sama kak Rio.” Lanjutnya dengan senyuman menenangkan dan dengan jitu pula membuat Acha ikut tersenyum.
“nggak mau!” tolak Acha tegas, kepalanya ia gelengkan kuat-kuat, membuat helaian rambut keritingnya ikut bergerak mengibas. “Acha maunya sama kak Cakka juga, kakak kan kakak Acha juga, kita main bertiga!” jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis gadis kecil itu terangkat tinggi-tinggi, ditambah senyum lebar yang membuat kedua pipinya terlihat semakin gembul dan menggoda Cakka dan Rio untuk mencubitnya. Rio dan Cakka spontan tertawa bersama sambil mengacak puncak kepala Acha bergantian.
“baik tuan putri.” Sahut kedua pria tampan itu bersamaan ditambah dengan gaya khas pengawal kerajaan yang ganti membuat Acha tergelak.
Sore ini menjadi waktu-waktu yang tak akan terlupakan untuk ketiganya. Hangatnya mentari jinggapun kalah dengan hangatnya tali persaudaraan yang akhirnya terajut. Hanya ada canda dan gelak tawa yang bersahutan antara Rio, Acha, dan Cakka, seolah meleburkan masalah lalu.
Tak jauh dari tempat itu, seorang wanita anggun berdiri dengan tatapan penuh haru bercampur dengan senyum penuh kebanggaan. Ia yang sengaja membuntuti putranya dan putri tirinya saat mereka keluar dari rumah tadi. Dan kini tak ada yang berbeda dari mereka, karena ia menyayangi Acha dan Rio dengan cara yang tidak berbeda dengan caranya menyayangi Cakka. Ia percaya hanya membutuhkan waktu untuk mengungkap semua yang telah terjadi secara keseluruhan. Hanya butuh kuatnya deburan cinta untuk menghancurkan segala karang dendam.
***
Keesokan harinya...
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit lalu, namun Ify masih belum juga beranjak dari tempat duduknya, ia lebih memilih untuk mendengarkan aksi demo daripada harus ke kantin dan bertemu lagi dengan Rio seperti kemarin. Rasanya suara cacing-cacing itu akan jauh lebih merdu dibandingkan sengan setiap kata-kata manis yang akan ia dengar jika bertemu dengan Rio nantinya, terlebih Alvin yang rencananya akan ia jadikan tameng, karena jika ia bersama pria sipit itu pasti Rio tak akan berani mendekat, namun ternyata dewa keuntungan sedang tidak berpihak padanya, sejak kemarin Alvin menghilang tanpa kabar.
“Fy, gue laper..” keluh Sivia sambil mengelus perutnya, ditambah muka melas agar Ify terenyuh dan mau mengantarkannya.
“pergi aja sama Cahya tu!” ujar Ify seraya menunjuk salah satu teman sekelasnya yang sebelumnya sempat sesumbar akan pergi ke kantin dengan dagunya.
“gue maunya sama elo.” Rajuk Sivia tak menyerah sambil menggoyang-goyangkan lengan Ify.
“ogah! Cari mati gue ke sana! Gue yakin si Rio udah berdiri dengan songongnya nungguin gue!” tolak Ify mentah-mentah. Perhatiannya sama sekali tak tertuju pada sang sahabat melainkan pada poselnya yang baru saja dikembalikan ayahnya setelah beliau tahu jika Ify sudah benar-benar menjauh dari putra seterunya.
Sebuah siulan terdengar dari balik pintu kelas dengan begitu melengking seakan menjadi musik pengiring masuknya sosok jangkung itu ke dalam setting drama dadakan buatnya. Sosok dengan nampan berisi segelas jus stroberi dan sebuah mangkuk yang isinya tak dapat ditebak oleh Ify maupun Sivia.
Mulut Sivia menganga melihat Rio –sosok tadi- dengan senyum lebar di bibirnya yang terarah lurus pada sahabatnya yang terlihat menegang, terpaku dengan tatapan tajam pada pria hitam manis itu, tangan kiri Ify terkepal keras dan tangan kanannya meremas ponsel tak berdosa miliknya.
“buat lo! Gue yakin hari ini lo takut ke kantin.” Ucap Rio ringan sambil menyodorkan nampan yang dibawanya ke hadapan Ify. “apa lagi satpam, eh, tunangan lo maksud gue, dia ngabur hari ini.” Tambahnya seraya melangkahkan kakinya melewati bangku yang terbatasi oleh sebuah meja, tepat di hadapan Ify.
Lo-Gue, sapaan yang kini lebih dipilih Rio karena ia sadar hubungannya dan Ify tak seindah dulu, ditambah ia sama sekali tak ingin terlihat sebagai pengemis cinta, bermanis-manis ria pada gadis yang bertingkah seolah tak peduli padanya.
Ify melayangkan tatapan sinis pada Rio. Tak habis pikir kenapa sama sekali ia tak bisa menghindari pria itu, orang yang dalam satu waktu yang sama mampu membuatnya merasakan kebencian yang begitu besar sekaligus rasa ingin merengkuh tubuh tegap itu erat-erat.
“gue nggak butuh!” desis Ify, mencoba sekuatnya untuk tidak peduli. “lo laper kan, Vi? Buat lo aja nih, sayang makanan nggak kemakan, mubazir.” Lanjutnya sambil mengoper nampan pada Sivia dan kemudian kembali tenggelam, atau berusaha menenggelamkan diri pada layar ponselnya yang sebenarnya tak sedang digunakan untuk aplikasi apapun, hanya ia gerakkan kursor naik-turun, kiri dan kanan dengan telunjuknya.
Sivia diam, ia sadar saat ini ia terjebak dalam posisi yang serba salah, jika ia tetap diam, rasanya seperti batuan kecil tak berarti di tengah taman, namun jika ia bergerak pergi ia tak tega meninggalkan Ify sendiri.
“come on! Mau sampai kapan lo nyiksa perasaan lo sendiri?” Rio juga tenggelam dalam ponselnya, menshuffle sebuah lagu yang paling sering berkumandang dari telephone genggam itu. When I Fall in Love yang didendangkan Ify.
Ify terhenyak, perasaannya mengatakan jika Rio bertujuan untuk membangkitkan semua kenangan antara ia dan laki-laki itu yang sedang ia coba kubur dalam-dalam. Sampai ia tak mampu berbuat apapun ketika tiba-tiba saja Rio merampas ponselnya secara paksa dan kemudian mengutak-atiknya.
“shit! Sama sekali nggak ada soal gue.” Umpat Rio setelah puas berselancar ke dalam memori ponsel canggih milik Ify. “segitunya ya lo pengen ngelupain gue? Atau karena memori hati lo udah lebih dari cukup buat nyimpen semua tentang gue?” tanya Rio telak disusul memasukan sebuah permen karet ke dalam mulutnya setelah sebelumnya mengembalikan hasil rampasannya pada sang pemilik sah.
“kenapa lo bisa ngomong seolah-olah lo sama sekali nggak salah?” Ify akhirnya tergerak untuk meladeni ocehan Rio. “gue benci lo!”
Ekor mata kiri Rio memicing karena mendengar nada bicara Ify yang menurutnya sok tahu. Digelembungkannya permen karet yang sebelumnya ia kunyah, kedok untuk menyamarkan betapa rapuhnya ia saat ini agar ia tetap terlihat jumawa. Benda sederhana yang setidaknya bisa sedikit menenangkan setan kecil yang masih bersemangat mengusiknya dan membisikinya untuk segera merengkuh tubuh Ify, mengecup lembut kening gadis itu dan membuatnya bersimpuh sambil meneriakan kata cinta untuknya.
Tulang punggung Rio melengkung, mendekatkan wajahnya pada wajah Ify dengan sebuah senyuman meremehkan terukir di bibirnya. Meskipun sangat sulit, Ify sama sekali tak bergeming dan tetap menyambut Rio dengan tatapan penuh kebencian.
“gue, akan buat lo nyesel pernah bilang hal tadi sama gue!” ucap Rio penuh keyakinan. “karena gue yakin, lo itu ada buat gue, nggak yang lain.”
Gebrakan kecil sebagai penutup kunjungan tak diharapkan itu. Membuat Ify sedikit beringsut ketakutan sambil mencengkeram ujung roknya kuat-kuat, menahan air matanya agar tidak kembali mengalir. Ia tak lagi punya daya untuk menyaksikan sosok tinggi tegap itu keluar dari kelasnya dan menyisakan tatapan-tatapan penuh tanya dari teman-teman sekelas Ify yang lain.
“dia udah pergi, Fy.” Bisik Sivia sambil mengusap punggung Ify, memberi sedikit kekuatan pada sahabatnya yang ia yakini sedang sangat kacau.
Ify berhambur memeluk Sivia, menyembunyikan wajahnya di bahu sahabat terbaiknya itu, menumpahkan sedikit air mata dan isakannya.
“gue harus gimana, Vi, sumpah, gue bingung..” lirih Ify disela isakannya.
“sembuhin dulu hati elo! Gue tau ini berat.” Jawab Sivia berusaha memberi solusi pada hal yang sebenarnya juga akan membuat dirinya gila jika bertukar posisi dengan Ify.
***
Dengan tangan kanannya, Rio meninju pintu kelasnya keras-keras kemudian meremas rambutnya, membuat beberapa teman sekelasnya menoleh dengan tatapan penuh selidik padanya. Sebuah kebodohan telah ia lalukan, mengapa tadi ia tak mencuri nomor ponsel Ify?!
“goblok banget, lo, Yo!” rutuknya pada diri sendiri sambil menendang kaleng bekas softdrink yang tergeletak asal di lantai kelas.
“lo kenapa, Yo? Kesambet?” tanya Sion yang baru saja memasuki kelas dan tak sengaja terkena objek dari tendangan jitu Rio, yang justru dengan pasrahnya ia membuang kaleng tadi ke tempat sampah daripada menggunakannya untuk membalas Rio, karena ia masih betah hidup.
“kalau kesambet bidadari ada, iya, gue kesambet.” Jawab Rio dengan wajah sumringah, seolah menemukan peta menuju jalan keluar dari kebuntuannya di wajah Sion. “Yon, Gita pacar lo itu sekelas sama Ify kan?” lanjutnya sambil merangkul Sion.
Walaupun belum mengerti apa tujuan Rio bertanya, Sion mengangguk linglung.
“lo mintain nomor HP Ify! Cepet! Tapi jangan sampe ada yang tau gue yang minta, dan gue nggak mau laporan lain selain apa yang gue minta!” perintah Rio, khas seorang yang memiliki kuasa yang duduk pada kursi tertinggi sebuah hierarki kepemimpinan. Tak ada pilihan lain bagi Sion kecuali menyanggupinya.
Rio tak sebodoh itu, jika ia meminta langsung pada Ify pasti akan lebih mudah, cukup dengan beberapa manuver gerakan untuk mengunci tubuh mungil gadis itu, menajamkan tatapannya, dan sedikit gertakan, beberapa digit angka yang tersusun acak itu akan ia dapatkan, namun dengan mudah juga Ify dapat membuang SIM cardnya dan menggantinya dengan yang baru sebelum Rio menghubunginya. Semuanya akan menjadi sia-sia.
***
Gabriel merapatkan tubuhnya pada tembok dingin tepat di sebelah pintu laboratorium Fisika sekolah. Ia menunduk dalam-dalam dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajah tampannya, menahan emosinya agar tak tumpah ruah beserta kesekakan dadanya yang sudah tak tertalangi.
Tujuan utamanya datang ke bangunan paling ujung dari rentetan gedung sekolahnya itu untuk menghampiri Shilla dan menghabiskan waktu istirahat bersama. Tak ia sangka sama sekali jika akan mendapati gadisnya itu bersama orang yang abru dikenalnya sebagai saudara tiri dari sahabat karibnya. Mereka tampak tertawa lepas.
Perasaan tak rela jika ada pria lain yang bisa mengukir rekahan tawa di wajah cantik gadisnya itu, karena ia tahu pasti jika hanya dirinya yang mampu menciptakan tawa selepas itu di bibir Shilla selama ini, dan egonya tak mengijikan ada orang lain menempati tempat yang berfungsi sama dengannya. Perasaan yang akhirnya menggores ngilu di ulu hatinya.
Dari ekor matanya Gabriel dapat melihat kesibukan Cakka membersihkan sepasang garpu tala yang baru saja ia keluarkan dari kardusnya dengan selembar tisu untuk menghilangkan berkas-berkas debu tipis yang menyelimutinya. Pria berstyle harajuku itu kemudian menimang benda logam itu untuk memastikan tingkat kesempurnaan kriyanya, diakhiri dengan senyum kepuasan karena telah membuat dua barang sejenis itu terlihat mengkilap.
“Shil..” panggil Cakka sambil menarik lengan Shilla yang sedang serius menulis laporan tertulisnya untuk praktek yang baru saja ia lakukan.
“hmm..” dehem Shilla sedikit kencang sambil sebisanya bertahan dan menulis beberapa kata, baru setelah tarikan Cakka membuat tubuhnya berubah arah ia meletakkan asal ballpointnya.
“pegang!” perintah Cakka sambil menyerahkan satu garpu talanya pada Shilla yang masih tampak kebingungan.
Gabriel melangkahkan kakinya ke kanan, lebih mendekat ke arah pintu laboratorium. Ia mempertajam pendengarannya agar lebih jelas mengetahui isi pembicaraan Cakka dan Shilla.
Dilihatnya kembali saat tangan Cakka tergerak untuk memukul garpu tala yang ia pegang, diam sejenak, sampai garpu tala yang berada di tangan Shilla juga ikut bergetar.
“maksud kamu apa, Kka? Belum pernah praktek resonansi bunyi?” tanya Shilla sedikit aneh. Cakka menggeleng aneh. Kening Shilla berkerut, seolah ingin bertanya ada apa sebenarnya.
“Cuma pengen tanya sama lo, lo percaya enggak kalau cinta itu juga bisa mengalami hal yang sama sama bunyi? Resonansi cinta.” Cakka menyeringai lebar di ujung kalimatnya, belum ingin membuat Shilla berpikir serius tetang apa yang sebenarnya ia maksudkan.
“banyak yang bilang kalau cinta itu kaya lagu, lagu itu bunyi, mungkin bisa juga.” Tanggap Shilla dengan polosnya.
“syarat resonansi kan sumber bunyi dan benda yang ikut bergetar itu sama, nah kalau cinta kita samakan dengan bunyi dan sumbernya adalah hati, harusnya bisa dong dia buat hati yang dia dekati ikut bergetar?” Cakka menjabarkan hipotesis yang baru saja ia temukan dengan penuh kebanggan.
“norak teori kamu!” cibir Shilla sambil memutar kedua bola matanya dan kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa mempedulikan Cakka yang terkekeh puas, entah ada di bagian mana hal jenaka yang ia tertawakan.
Dari tempatnya, Gabriel mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rasa takut kehilangan bintang hatinya kini mencengkeramnya. Dengan amat sangat muda ia menebak jika Cakka juga telah terjerat pada pesona gadisnya itu. Teori semanis itu hanya bisa dikeluarkan oleh pria yang sedang dibelenggu virus cinta, sesuai apa yang telah dialaminya selama ini. Hatinya bertambah miris kala melihat Shilla tertunduk malu dengan senyum kecil di bibirnya yang samar ia lihat.
“ngapain, Gab?” tanya sebuah suara bass yang sudah dikenal Gabriel seraya menepuk bahu kokoh pria itu. Membuatnya kembali mengangkat kepalanya dan membentuk sebuah senyuman yang sedikit dipaksakan di kedua ujung bibirnya.
“nggak.” Jawab Gabriel singkat pada Cakka yang baru saja keluar dari laboratorium seorang diri dan mendapati dirinya berdiri lesu di depan pintu. “gue mau ketemu Shilla.” Lanjutnya. “tapi kayanya dia lagi sibuk, gue balik ke kelas aja deh.”
Tanpa menunggu tanggapan Cakka, Gabriel memutar tubuhnya sembilan puluh derajat, menyembunyikan kedua tangannya di balik saku celananya dan berjalan menjauh diiringi tatapan heran dari Cakka yang tak kunjung pudar hingga sosok tinggi menjulang itu menghilang di ujung lorong menuju deretan kelas dua belas.
“siapa, Kka?” ganti Shilla yang mengagetkan Cakka.
“Gabriel..” jawab Cakka sedikit mengambang.
Shilla terdiam. Merasa ada yang salah. Yakin jika tujuan Gabriel awalnya adalah bertemu dengannya, biasanya laki-laki itu tak peduli dengan apapun yang sedang ia lakukan, jika Gabriel merasa membutuhkannya pasti ia akan datang dan mengganggunya.
“dia bilang apa?” selidik Shilla sedikit cemas, ia menggigit kecil ujung bibirnya, sedikit memutar kembali apa yang tadi ia bicarakan dengan Cakka yang mungkin didengar oleh kekasihnya itu. Tak ada hal penting menurutnya.
“nggak ada.” jawab Cakka ringan sambil melangkah kembali ke dalam lab.
Gadis cantik itu menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran negatifnya dan kembali berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi hampir seperempat jam yang lalu, namun gadis mungil ini masih betah berdiam di mejanya seorang diri, dengan wajah yang ia sembunyikan di balik lipatan tangannya. Sengaja ia menunggu lebih lama agar tidak berpapasan sama sekali dengan Rio seperti hari kemarin, karena hari ini tak ada Alvin yang dapat menjaganya dari ancaman pria nekat itu. ia juga tahu pasti jika sekolah sudah seperti penjara bagi Rio, tak akan betah berlama-lama ia di sekolah, setelah bel berbunyi pasti ia akan pergi secepatnya.
Ify, gadis itu, melirik jam tangannya, sudah genap dua puluh lima menit berlalu sejak sekolah dibubarkan, ia yakin sudah aman karena di luar kelasnya pun suasana sudah penuh dengan kesunyian. Ify memutuskan untuk pulang.
Sepajang koridor ia lewati dengan penuh kewaspadaan, matanya terus ia edarkan ke segala penjuru kalau-kalau ada sosok Rio yang tiba-tiba muncul. Aman. Pikirnya setelah meluhat lobby utama berada tak jauh lagi darinya. Dihelanya nafasnya penuh kelegaan.
Sekali lagi, entah untuk keberapa kalinya, Ify memutar tubuhnya melihat ke arah belakang, tanpa sebab hatinya justru berdebar tak karuan setelah tadi sedikit kelegaan ia peroleh, seolah ia dapat merasakan keberadaan Rio di sekitarnya sekarang, walaupun penglihatannya tak menemukan seorangpun di sepanjang lorong.
“gue di sini, nggak usah dicariin.” Begitu tenang kata-kata itu terucap, namun berefek sangat besar untuk Ify yang mulai merasakan tubuhnya membeku dengan jantung yang bekerja dengan kekuatan ekstra. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia memutar tubuhnya dan mendapati sosok tinggi tegap yang paling dihindarinya di muka bumi itu bersadar pada tebok, tepat di samping majalah dinding.
“mau ngapain lo?” desis Ify dengan kedua tangan yang sudah mengepal kuat. Menahan emosi karena melihat senyum Rio yang terkesan melecehkannya.
“Cuma mau memastikan bidadari gue pulang dengan selamat.” Jawab Rio dengan ringan sambil melipat kedua lengannya di depan dadanya.
“cih! Bidadari elo? Nggak ada yang merasa lo miliki!” meski dengan kepala tertunduk, sebisanya Ify memberikan perlawanan pada pria yang ia anggap sedang menjajahnya itu. Mencoba mengatur harmoni suaranya agar terdengar seperti sebuah tantangan, bukan penyerahan.
Rio mendekati Ify perlahan, dan reflek Ify juga beringsut mundur.
“gue tanya sama elo, lo masih cinta sama gue?” nada bicara Rio menajam, dibubuhi senyum licik di bibirnya. Gadisnya itu memang mengasikkan, selalu tahu bagaimana cara menyenangkan hati pangerannya, perlawanan itu justru membuat Rio semakin bergelora untuk menekan gadis manis itu lebih jauh, dibandingkan dengan hanya kepasrahan yang membuatnya tak tega.
“gue udah punya Alvin!” hardik Ify sambil terus beringsut mundur perlahan karena Rio masih terus mendekatkan tubuhnya pada Ify.
“Gue nggak tanya! Jawab pertanyaan gue!” kali ini suara yang keluar dari bibir Rio lebih terdengar seperti bentakan dan membuat telinga Ify sedikit berdengung. Ify tahu pasti jika emosi pria di hadapannya itu sudah tersulut. Kepalang tanggung untuk mundur baginya.
“Enggak!” seru Ify. Cukup keras. Dan kali ini gadis itu berani menantang mata Rio yang sudah menatap tajam ke arahnya.
BRUG!
Bunyi tumbukan punggung Ify dengan tembok terdengar cukup keras. Ulah Rio yang menghempaskan tubuh mungil itu ke tembok yang masih beberapa langkah dari tempat gadis manis itu berdiri sebelumnya. Membuat Ify sedikit mengerang kesakitan di tengah rasa syukur karena kepalanya tidak terbentur keras pada tembok kokoh yang menangkapnya, hal yang baru ia sadari karena tangan kokoh Rio sudah memagari kepalanya.
Nafas Ify tercekat, dan sedetik kemudian berubah memburu, tubuhnya sulit untuk digerakan karena badan kokoh Rio yang sudah menggencitnya. Ify benar-benar terkunci rapat karena tangan kiri Rio yang semula ia kira bebas karena tidak sedang membentengi kepalanya agar tidak terbentur justru telah menempel ke diding di sebelah kanannya.
“tatap mata gue!” perintah Rio, pelan, namun sangat tajam, menegaskan jika memang ia tak ingin dibantah. “bilang lo benci gue!” lanjutnya.
“gue.. benci lo!” ucap Ify di sela nafasnya yang masih memburu, bahkan lebih cepat dari sebelumnya karena ia dapat merasakan deru nafas Rio yang penuh emosi menyapu rambutnya, semakin menyadarkannya jika jarak di antara keduanya kini amat sangat dekat, atau bahkan benar-benar terhapus.
“Liat mata gue!” gertak Rio keras. Ify mendongakkan kepalanya, menatap manik mata gelap milik pria yang masih sangat ia puja itu, bukan karena menuruti perintah, hanya sebuah gerakan refleks. Pada akhirnya Ify menyerahkan semua yang ia rasakan ke dalam sorot mata yang selalu mampu membawanya tenggelam.
Sepasang bola mata indah itu mencembung, digenangi cairan bening yang mulai diproduksi berlebihan oleh kelenjar di dalamnya. Membongkar semua pertahanannya dan melunturkan kebohongannya. Tanpa instruksi dan tanpa bisa dicegah cermin kejujuran hati itu berorasi menunjukan semua perasaan sang gadis, beribu kata cinta dan penyerahan berhambur dengan sendirinya.
Gambaran berefek begitu dahsyat bagi si penikmatnya yang merasakan ulu hatinya tertampar bilah rotan, perih, sakit sekali. Merutuki kesalahannya hingga menyia-nyiakan gadis sempurna di hadapannya. Entah dengan apa ia harus mencabut duri yang telah tertanam dalam di hati gadis itu. Sampai akhirnya Rio memberanikan diri menggerakkan kepalanya ke arah wajah Ify, mengecup kedua kelopak mata gadis itu bergantian, menghapus kristal-kristal cair perusak keelokan wajah bidadari hatinya.
“maaf..” lirih Rio sambil berjalan mundur. Membebaskan kunciannya pada Ify, membiarkan tubuh mungil itu luruh lunglai perlahan dengan sesenggukan tanpa suara isakan sedikitpun. Hanya bahunya yang berguncang hebat menunjukan jika ia sedang limbung.
“pergi!” usir Ify yang terlah terduduk seraya menunduk dalam-dalam.
Rio tahu hanya kesendirian yang dibutuhkan Ify saat ini untuk menenangkan perasaannya. Ia melangkahkan tungkai panjangnya menjauh, meninggalkan Ify seorang diri.
“pak Amin udah jemput di depan, jangan lama-lama.” Pesan Rio setelah sedikit menjauh. “sekali lagi, maafin gue.” Lanjutnya sebelum benar-benar pergi.
***
Entah sudah berapa lama pemuda bermata sipit itu menghabiskan waktunya untuk duduk berdiam di bibir jembatan. Tak peduli dengan sengatan sinar matahari yang sudah membuat kulit putihnya menjadi semerah kepiting rabus, mengacuhkan deru bising dari kendaraan yang lalu-lalang di jalan yang berada di belakangnya, tak menanggapi kepulan penuh gas beracun dari kendaraan-kendaraan itu.
Matanya terarah lurus pada gerombol memainkan layang-layang di tepian sungai yang mengalir di bawah jembatan. Tawa mereka lepas, seakan tak ada beban yang mereka gendong sama sekali, seakan tak acuh akan masa depan berat menanti mereka. Semuanya ringan, tak teranggap seberat apapun beban yang dipanggulkan orang tua mereka di atas bahu-bahu mungil itu untuk merubah nasib trah mereka yang selalu berkekurangan.
Alvin, pemuda sipit tadi tertawa miris. Tawa cibiran untuk dirinya sendiri yang sampai detik itu belum pernah belajar untuk mensyukuri segalanya yang ia miliki. Seharusnya ia bisa tertawa lebih lepas dari bocah-bocah itu karena memang ia tak memiliki beban hidup sama sekali karena harta orang tuanya sudah menjaminnya tak akan mati karena kelaparan atau kedinginan, bahkan jauh lebih dari itu. Namun nyatanya selama ini ia tak pernah tertawa selepas itu karena ia tak pernah merasa puas. Sifat yang terus dipeliharanya dengan bertedengkan kata manusiawi, yang baru ia sadari, tak semua sifat manusiawi bisa ia kembangkan, melainkan harus dikerdilkan karena tak seorangpun mendapat keuntungan dari hal itu.
Perhatiannya teralih pada tempat di ujung jembatan, tempat pertama ia bertemu dengan gadis manis itu, gadis yang mengajaknya untuk menunduk, melihat sisi lain sebuah kehidupan yang bahkan untuk membayangkan saja ia tak mau, namun kenyataannya banyak orang yang masih tersenyum lebar di sana. Tak lama memang waktunya bersama gadis itu, namun yang sekejap itu berimbas luar biasa pada jiwanya.
Entah apa yang dititipkan Tuhan pada gadis itu, ia tak bersayap, ia tak berkilauan bagai malaikat dalam setiap cerita dongeng yang pernah Alvin ketahui, tetapi gadis itu begitu baik, hidupnya ia hibahkan pada anak-anak yang lebih tidak beruntung darinya. Ia juga telah memberi rasa kehilangan sedalam itu padanya, rasa yang muncul begitu saja, tiba-tiba tanpa tanda. Menyadarkannya jika hatinya telah tercuri begitu ia pergi. Menjatuhkan vonis jika hal paling ia benci di dunia adalah perpisahan, menyangkal sekuatnya jika setiap pertemuan memang selalu dipasangkan dengan perpisahan.
Ia tak tahu sampai kapan ia akan berdiam diri di tempat itu, duduk ditemani sapuan lembut angin semilir di sekujur tubuhnya. Mungkin hingga ia menemukan ketenangan, menghilangnya kekalutan bersama tenggelamnya sang penerang waktu di ujung barat.
***
Kedipan sayu bintang-bintang yang bergelayut manja pada langit hitam seakan menjadi latar panggung drama yang menjadi pusat perhatian Ify saat ini. Ditambah sorot sinar dewi malam sebagai penerangnya. Malam yang sangat indah, sama sekali tak mentolelir kekalutan hati gadis yang duduk di beranda kamarnya itu. Terpikir dengan bagaimana runtuhnya segala pertahanannya untuk menolak Rio yang runtuh begitu saja hancur karena tatapan pria itu, tentang bagaimana ia bisa mencintai Alvin jika pria itu justru semakin menjauh darinya.
Ayunan rotan sebagai penyangga tubuh mungil gadis itu bergoyang perlahan, mengikuti irama kaki penumpangnya. Ia biarkan hawa dingin malam memeluk tubuhnya yang hanya terlapisi piyama. Toh ia tak peduli dengan hal itu. Angin yang berhembus cukup kencang seakan mengajak helaian rambut panjangnya untuk berdansa, membuatnya sedikit berantakan. Cappucinno yang sebelumnya panas mengepul juga ia biarkan begitu saja di meja kecil tepat di samping ayunan hingga dingin, isinya tak berkurang sedikitpun.
Sampai ponselnya bergetar sebagai pertanda masuknya sebuah pesan singkat dan kemudian menyita perhatiannya, karena sepajang hari ini tak satupun manusia menghubunginya, hanya beberapa sms dari provider yang membuat emosinya tambah membumbung. Jujur, di salah satu sudut pikirannya ia mengharapkan jika pesan itu berasal dari Alvin yang memberikan kabar tentangnya dan juga menanyakan keadaan Ify. Harapannya tinggan khayalan, karena bukan nama Alvin yang terpampang di layar ponsel itu. Nomor yang belum ia kenal sebelumnya.
Stay tune [at] 89.5 Ganesha FM, now.
-you’ll know who-

Hanya dua baris kalimat tersebut yang menjadi isi pesan yang diterima Ify. Kalimat yang begitu saja memberi komando kepada setiap jajaran anggota geraknya bekerja, menyalakan sebuah radio tape kecil yang memang selalu tersedia di ayunan itu, untuk memuaskan kegemarannya mendengarkan radio, dan entah siapa orang yang mengiriminya pesan itu sehingga ia tahu atau kebetulan saja yang disebut adalah saluran favorite Ify.
“oke, meet again with me, Diana Raya, setelah tadi dibuka oleh Glenn Fredly dengan Kisah Tak Berujung, at eight nine point five Ganesha FM di acara kesayangan kita semua, Show Your Words. Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini kita juga kedatangan tamu...” si penyiar berkicau dengan tempo yang sangat cepat, namun dengan intonasi dan artikulasi yang tepat, tak heran jika ia menjadi penyiar yang paling diminati.
“ah.. guys, tapi tamu kita malam ini tidak ingin namanya disebut, tapi, I can guess that you’ll scream if you meet him, a perfect guy! Hitam manis, tinggi, and kece for sure! Dompetnya tebel kayanya.” Seloroh si penyiar.
Jantung Ify berhenti berdetak sesaat, ciri-ciri yang disebutkan menggiring pikirannya pada seorang pria yang sepertinya tak akan pernah berhenti untuk membayangi hidupnya. Daya magnet yang menahannya untuk kembali memfokuskan pendengarannya.
“haha.. gue cuma mau ungkapin apa yang gue rasa, sama orang yang pasti tau persis ini gue.” Suara yang dihantar oleh gelobang radio itu tak menyamarkan sama sekali suara khas untuk telinga Ify tersebut. Rio, tak mungkin yang lain, pasti ia orangnya yang tak sejenakpun memberi kelegaan untuk Ify.
Ify mencibir. Apa sebenarnya yang dipikirkan Rio hingga bisa memiliki ide untuk berbuat senorak itu.
“gue tau, pasti dia mikir cara gue ini norak banget, tapi yah, bukan gue yang dibuat norak oleh suatu hal, tapi hal apapun yang gue lakuin pasti jatuhnya keren.”
Seketika mata Ify membulat, sedetik kemudian pikirannya membumbung jika Rio telah benar-benar berubah, dan kemungkinan terbesarnya, itu karena dirinya. Sejak kemunculan tiba-tiba pria itu di kantin hanya untuk mencarinya, hal yang sangat janggal untuk seorang Rio yang biasanya lebih rela merogoh sakunya lebih dalam untuk memerintah salah satu teman sekelasnya membelikan makanan untuknya.
“apa arti dia buat elo?” pertanyaan si penyiar kembali mengaburkan pikiran Ify.
“dia itu lagu hidup gue, seperti kalian tau, dunia ini sunyi tanpa lagu, sama halnya dia buat gue.”
Senyuman kecil terukir di bibir Ify. Merekah tanpa ia sadari, tanpa bisa ia tutupi. Pasti banyak wanita di luar sana, yang juga mendengar suara Rio yang mengatakan jika pemuda itu hanya seorang perangkai kata handal, yang tak pernah mampu membuktikan setiap kalimat mutiaranya. Namun Ify tahu pasti, Rio sama sekali tak berbakat dalam hal itu, kecuali ada Gabriel juga di sana yang bertugas membisikan setiap jawaban dari pertanyaan si pernyiar.
“cinta buat gue... sesuatu yang harus dimiliki, sekali gue jatuh cinta, sampai ke kolong bumi sekalipun gue akan kejar, singkatnya buat gue cinta itu harus memiliki.”
Ify tak mendengar jelas pertanyaan apa yang ditujukan untuk Rio, namun jawaban itu hanya semakin mengukuhnya seegois dan sekeras kepala apa seorang Mario Haling.
“wow, gentle banget gitu ya jawaban elo, and the last question, apa yang lo mau sampaikan buat bidadari elo itu?”
“gue sayang banget sama elo, kemarin, sekarang, dan.. oh, masa depan yang tau cuma Tuhan, tapi demi nama-Nya juga, gue akan berusaha jaga cinta ini buat elo.”
Rio diam. Ify pun tak dapat menerka apa yang sedang pria itu lakukan di seberang sana. Namun lagi-lagi hanya janji yang entah akan ditepati atau tidak yang keluar dari mulut manis pria itu.
“any other?” tanya si penyiar sekali lagi untuk mengisi kekosongan. “oh, oke! Tamu kita hari ini punya persembahan spesial untuk pemilik hatinya.”
Denting lirih petikan dawai gitar mulai terdengar, menyapu semua ketegaran Ify. Gadis itu terduduk lunglai kembali pada ayunannya. Hangatnya dekapan terakhir Rio di tempat itu kembali membayang, membuat air matanya kembali menetes, membentuk aliran kecil di pipinya.
“buat gue, lo ada untuk menyempurnakan gue, buat gue, lo itu tulang rusuk gue, dan buat gue, cuma ada lo sama gue.” Ucap Rio lembut, namun daya yang dibawanya mampu menembus relung hati gadis yang ia tuju, karena memang hanya ia yang menguasinya.
Meskipun aku di surga mungkin aku tak bahagia
Bahagiaku tak sempurna, bila itu tanpamu

Suara indah itu mulai mengalun, disusul dengan petikan dawai gitar yang Rio mainkan, membawa isakan tangis Ify semakin pecah. Menerbangkan angan gadis manis itu untuk memeluk tubuh tegap Rio erat. Mengobarkan hasratnya untuk kembali dibuai mimpi dalam dekapan hangat pria itu.
Lama sudah kau menemani langkah kaki di sepanjang perjalanan hidup penuh cerita
Kau adalah bagian hidupku dan aku pun menjadi bagian dalam hidumu
yang tak terpisah
Kau bagaikan angin di bawah sayapku sendiri aku tak bisa seimbang
Apa jadinya bila kau tak di sisi

Tapi Ify tahu, Rio terlalu kokoh, Rio ingin membuatnya kembali bertelut dihadapannya. Ia tahu pasti betapa angkuhnya pria itu yang memang mengharuskan setiap orang berada di bawahnya, apa lagi wanita yang ia yakini akan mendampingi hidupnya. Bagai sang angin yang berada di bawah sayap sang rajawali, ia penting, namun ia akan terus berada di bawah. Namun bukankah ia dulu jatuh hati pada Rio karena hal itu, karena ia memimpikan seorang yang akan memimpin langkahnya, tempat ia memenuhi kodratnya.
Meskipun aku di surga mungkin aku tak bahagia
Bahagiaku tak sempurna, bila itu tanpamu
Aku ingin kau menjadi bidadariku di sana
Tempat terakhir melabuhkan hidup di keabadian..


bersambung...