Selasa, 23 April 2013

[Another] Song of Love

Ini another part of SoL's epilog yang aku cut. soalnya nanti nggak kaya epilog (?)
tapi daripada basi di laptop ya mending aku post di lain part aja. iya gitu. nggak jelas ya? ya udah sih.. baca aja. wkwkwk...


-----


Seorang pria kecil dengan susah payah menaiki tempat tidur king size yang diselimuti bed cover berwarna krem. Ia sudah jatuh berkali-kali karena yang ia panjat terlalu tinggi, namun ia tetap tak mau menyerah begitu saja. Sekarang separuh badannya sudah ada di atas, pekerjaan mudah untuk mengangkat kakinya. Dengan riang gembira bocah dua tahun itu merangkak ke arah gundukan selimut tebal di tengah tempat tidur.

“Pa...” seru bocah itu, tangan mungilnya menarik selimut yang menutup penuh tubuh seseorang hingga ke ujung kepala dengan sekuat tenaga. “Pa...” ulangnya lagi karena tak berhasil mendapat perhatian. Usahanya berhasil menarik kain tebal yang begitu berat untuknya hingga ke dagu laki-laki yang masih memejamkan matanya dengan tenang.

“Papa...” sekali lagi, dengan begitu gemasnya anak itu berteriak. Kali ini dengan usaha menepuk-nepuk pipi sang ayah.

Pria dewasa yang baru saja mendapat serangan fajar perlahan membuka kelopak matanya. Amarahnya yang sempat terkumpul karena tidur nyenyak yang jarang ia dapatkan selama lima hari kerja terganggu langsung musnah begitu saja saat melihat putranya terkekeh bahagia karena tujuannya untuk mendapat perhatian tercapai. Dua tangan mungil nan lembutnya kini beralih pada bibir dan hidung sang ayah. Mata pria kecilnya nampak hampir hilang ditelan pipi gembul putihnya, benar-benar seperti bakpao hidup siap makan.

“Arjuna Haling, kamu kemana, Sayang?” sebuah suara halus melengking tinggi dari luar kamar membuat sang ayah menegakkan tubuhnya dengan bantuan kedua sikunya kemudian duduk berhadapan dengan putranya.

“Heh, tuan muda Haling, kamu kabur lagi dari mamamu?” walau masih dengan suara parau, pria tadi berakting marah. Arjuna, nama si bayi, mengedipkan kelopak matanya yang mulai sayu seolah mengerti apa yang dikatakan ayahnya. “Ya, Tuhan. Kenapa mamamu mewariskan jurus menyebalkan itu?” dengusnya. Jurus puppy eyes Arjuna mirip sekali dengan Ify, membuatnya tak pernah tega untuk marah. “Aku bercanda.” ucapnya kemudian. Kedua tangan kekarnya terulur untuk memindahkan tubuh mungil Arjuna ke pangkuannya. Tak puas, ia menggamit tubuh itu dan menerbangkannya ke udara, sampai perut buncit nan menggemaskan Arjuna berada tepat depan wajahnya yang kemudian ia tenggelamkan di sana, bergerak kiri-kanan dengan cepat membuat balita itu tergelak.

Seorang wanita menyandarkan bahunya di daun pintu, melihat aktivitas padi dua orang pria yang paling ia cintai di dunia. Senyum tipis terukir di wajahnya. Ia adalah wanita paling bahagia di dunia karena Rio dan Arjuna percaya padanya untuk mendampingi setiap langkah mereka.

“Arjuna! Papamu butuh istirahat!” wanita tadi mengomel setelah mengingat apa tujuannya. Ia tak pernah tega membangunkan Rio saat weekend seperti ini, pekerjaannya benar-benar menguras waktu, bangun pagi dan pulang larut malam selama lima hari penuh. Tapi sepertinya putranya tak pernah peduli, bisa dimengerti karena waktunya dengan sang ayah sangat minim, ia pasti merindukannya, sama seperti dirinya. Wanita itu bergerak naik ke tempat tidur, duduk di sebelah laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya sejak tiga tahun lalu. “Kamu benar-benar seperti papamu, tidak tahu aturan. Suka kabur sembarangan.” Ucapnya sambil menciumi pipi tembam anaknya.

Selain fisiknya yang benar-benar miniatur Rio, matanya, bibirnya, lekukan wajahnya. Kata Krishna Haling, ayah mertuanya, Arjuna benar-benar seperti Rio kecil dulu. Tapi kata Sivia, Arjuna beruntung karena mewarisi hidung bangir ibunya. Sahabatnya itu bilang, saat SMA nanti Arjuna pasti akan jauh lebih tampan dari ayahnya. Semakin besar, ternyata anak itu mewarisi sifat sang ayah juga. Ify sadar penuh akan hal itu. Arjuna suka berbuat sesukanya, pergi kemana pun dia mau, perlu tenaga ekstra untuk menjaga balita itu sejak ia bisa merangkak. Dan lagi, Arjuna pantang menyerah, apa yang ia inginkan mutlak harus terjadi. Diktator kecil. Tapi ia sama sekali tak keberatan dengan itu. Semua yang dimiliki Rio mengagumkan untuknya, sekarang seperti ada dua Rio. Sungguh luar biasa bahagianya dia.

“Aku mengandungmu sembilan bulan lebih, dan kamu tidak mirip denganku, bukankah itu curang?” Ify menggerutu sambil mencubit gemas kedua pipi Arjuna. Hanya candaan tentu saja.

“Aku selalu menang.” Rio menyela dengan raut tengil yang selalu membuat Ify sebal. Dulu ia kira ekspresi itu hanya topeng, ternyata memang bawaan lahir dan tidak bisa dihilangkan, bahkan setelah belasan tahun mereka bersama. “Kamu belum mandi, Arjuna? Baiklah, kita mandi berdua.” Rio yang masih dengan Arjuna dalam gendongannya melompat turun dari tempat tidur.

Ify tak acuh. Ia memilih untuk membereskan tempat tidur mereka. Memang sudah seperti itu rutinitas Rio dan Arjuna setiap pagi. Waktu Rio yang seakan tak cukup dua puluh empat jam harus digunakan sebaik-baiknya. Mencuri waktu untuk bersama dengan putranya untuk aktivitas-aktivitas kecil seperti itu, dan aktivitas-aktivitas lain yang tidak lazim menurut orang kebanyakan harus menjadi umum karena Rio yang melakukan. Pria itu selalu benar. Ify tahu benar Rio tak mau kehilangan momen melihat jagoannya tumbuh. Rio sangat membanggakan Arjuna. Sepertinya memang sudah menjadi adat raja-raja bisnis untuk memanjakan putra mahkotanya. Enam puluh jam seminggu, belum lagi kunjungan kerja kemana-mana. Ia pasti pingsan jika melakoni sendiri, stamina kuda suaminya itu sangat berguna sekarang. Ia bahkan jarang melihat pria itu kelelahan.

Samar ia mendengar Rio bersenandung I Don’t Want to Miss a Thing milik Aerosmith disusul dentaman ringan dari pintu kamar mandi yang tertutup menandakan mereka berdua sudah selesai mandi. Ify berbalik mendapati Rio yang hanya dibalut handuk hitam dari pinggang hingga lutut, dengan rambut basah yang tetesan-tetesan airnya mengalir melewati bahu kokoh dan dada bidangnya. Pemandangan yang sebetulnya sudah ribuan kali ia lihat, namun seperti tenggelamnya sang surya, tak sekalipun indahnya berkurang. Dan Arjuna yang digendong dalam posisi duduk menghadapnya membuat Rio benar-benar terlihat gentle. Putranya itu tadi kabur karena tidak mau dimandikan olehnya, dan sekarang ia nampak begitu bahagia dan lulut pada ayahnya. Kompak sekali mereka.

“Kamu sudah mandi? Dua jam lagi kan pernikahan Gabriel dan Sivia?” tanya Rio, tak ambil pusing dengan Ify yang hanya berdiri mematung saat melihatnya. Hatinya tersenyum kecil, dengan cara itu ia bisa memastikan jika masih hanya dia yang ada di hati wanita itu, dan harus selalu begitu.

Dengan raut geragapan yang tak bisa ia sembunyikan, Ify menggeleng. Apa-apaan Rio ini, masih saja berhasil membuatnya seperti gadis SMA. Selalu memuja laki-laki itu seperti seorang dewa dari Yunani.

“Kamu siap-siap! Aku yang mengurus Arjuna.” perintah Rio sambil mengeringkan rambut Arjuna dengan handuk putih kecil. Ify mengangguk pasrah. Tak perlu meragukan ketrampilan Rio untuk merawat bayi.

•

Dada Ify menghangat saat mendapati Rio sedang sibuk memakaikan dasi kecil di leher Arjuna. Mereka berdua nampak begitu tampan dengan stelan jas silver yang berpotongan benar-benar mirip, Rio sendiri yang menyiapkannya. Dari ujung rambut, keduanya memakai model spyke dengan gel yang membuat jabrik-jabrik mereka berkilau, tak kalah berkilaunya dengan phantopel hitam yang mereka kenakan. Rio sepertinya ingin mengumumkan jika ia sudah memiliki hasil scan sampai dandanan mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki sama. Mereka tersenyum bersamaan saat menyadari wanita yang paling mereka cintai sedang memperhatikan. Ya Tuhan, bahkan senyuman mereka berdua sama. Ify bisa membayangkan beberapa tahun lagi akan ada banyak gadis yang gila karena putranya, seperti ia dulu pada Rio.

“Ada apa, Fy?” tanya Rio membaca ada sedikit gurat kecemasan di wajah sang istri.

“Rit-nya susah naik. Macet, mungkin.” jelas Ify sambil menggigit bibir bawahnya. Ia baru ingat tujuannya mencari Rio adalah untuk membantunya menaikan rit di bagian belakang gaun silver-nya. Rio hanya membulatkan bibirnya, kemudian bergerak ke mendekati Ify yang sudah membalik tubuhnya.

Rio menelan ludahnya saat Ify menyingkirkan rambut panjangnya dari bahu kiri, menyampirkan semuanya ke bagian kanan yang otomatis membuat leher jenjang yang dibalut kulit serupa porselen milik wanitanya terekspose. Ditambah gaun yang dikenakan Ify kali ini hanya disangga tali spageti membuat bahu indah Ify terpampang jelas. Harum jasmine yang selalu membuat otaknya kosong juga sudah berekspansi ke paru-parunya. Kalau saja Arjuna tidak terus bergumam tak jelas ia pasti akan lupa daratan.

“Ini nggak macet, kamu yang gendutan.” komentar Rio tanpa dosa setelah berhasil menunaikan tugasnya dengan sedikit usaha lebih. Langsung mendapat hadiah cubitan maut milik Ify di pinggangnya, ia meringis kesakitan.

“Tidak sopan!” umpat Ify sambil mengerucutkan bibirnya dan bersedakap.

Rio tertawa. “Tapi aku suka. Kamu tambah errr... seksi.”

“Gombal!” Kali ini pukulan kecil Ify mendarat di dada Rio, wanita itu menunduk menyembunyikan rona merah pipinya. Ia tahu Rio tak pandai menggombal, dan kenyataan itu tak pernah membuatnya berhenti tersipu dengan setiap kata-kata Rio tentangnya. “Kalau aku jadi gendut kamu masih sayang?” tanyanya ragu. Entah. Ia menjadi sangat ingin menanyakannya saat ini.

“Ada pertanyaan yang lebih bermutu, nyonya Haling?” Rio mendengus. Ia tak suka diragukan, apa lagi dengan hal yang orang bodoh saja tahu jawabannya.

“Jawab saja!”

“Kamu satu-satunya wanita yang membuatku gila. Kamu tahu? Orang gila tak pernah peduli dengan bentuk sesuatu yang diinginkannya. Yang jelas dia harus mendapatkan yang dia mau. Seperti aku mau kamu.” Rio tersenyum hangat. Membuat Ify ikut tersenyum setelah melihat kejujuran penuh di mata suaminya. Dan senyum itu tetap senyum terbaik yang ada di dunia, errr... tapi sepertinya tidak lagi setelah Arjuna lahir.

Rio mengankat dasinya di hadapan wajah Ify. Ify langsung paham jika Rio ingin ia memakaikannya. Sampai sekarang pun, Rio masih sulit mengucap kata tolong. Bossy bawaan lahir.

Selesai melaksanakan tugasnya, tangan kiri Ify menangkup wajah Rio, tangan kananya meraba lekukan siku rahang suaminya, dada, hingga ke perut pria itu. Otot-otot yang begitu kokoh dan tak pernah membuatnya berhenti haus. Wanita itu tersenyum mengingat bisik-bisik karyawati Rio di kantor yang membicarakan kegagahan suaminya, mencoba menebak berapa kotak yang tercetak di abdomennya. Kalau saja ia tak berhasil mengendalikan diri, ia akan berteriak dengan sombongnya pada mereka, ada enam, indah sekali, aku bisa melihatnya bahkan menyentuhnya setiap hari dan kapanpun aku mau.

“Kamu menyukainya?” tanya Rio dengan bangganya.

“Sangat!”

“Kalau aku tua nanti, rambutku sudah putih, perutku buncit, kamu masih tetap menyukainya?”

“Tidak ada pertanyaan yang lebih bermutu, tuan Haling?”

Rio tertawa. Bumerangnya sudah berbalik. “Jawab saja!”

“Kamu satu-satunya laki-laki yang membuatku gila. Kamu tahu? Orang gila tak pernah peduli dengan bentuk sesuatu yang diinginkannya. Yang jelas dia harus mendapatkan yang dia mau. Seperti aku mau kamu.”

Dengusan kasar keluar dari hidung Rio. “Tidak kreatif.”

“Melihat ayahmu yang masih tampan di usia sekarang, rasanya aku tidak perlu khawatir.” Ify membalas disusul sebuah ciuman ringan di pipi suaminya. Kemudian ia beranjak menghampiri Arjuna dan menggendong balita yang masih tampak terheran-heran dengan kelakuan kedua orang tuanya. “Bawakan tasku!” perintahnya sambil beranjak keluar kamar. Mau tak mau Rio menurut untuk meraih tas tangan sewarna jasnya yang tergeletak di tempat tidur ditinggal pemilik sahnya.

•
Jalanan kota begitu lengang seperti weekend-weekend biasanya saat orang-orang libur dan memilih menghabiskan waktu mereka untuk bermalas-malasan di rumah. Keadaan yang membuat Rio mempunyai kesempatan untuk melihat wanitanya yang sedang bercengkerama riang dengan putranya di jok samping kemudi. Dua orang yang paling berharga di dunia untuknya nampak begitu gembira. Saat-saat seperti ini benar-benar membuatnya merasa seperti pria paling beruntung. Pekerjaannya mapan, dirut perusahaan besar di negeri ini, istri cantik yang begitu mencintainya dan seorang anak laki-laki tampan yang begitu menggemaskan yang selalu menjadi suplemennya. Ia ingin selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Dia bahagia, sangat bahagia. Rasanya Sang Maha Hidup memberikan hasil yang berlebihan dari usahanya dulu. Ini jauh lebih baik dari bayangannya.
“Aku dengar kamu kemarin bertemu ayahku.” suara Ify memecah hening antara ia dan Rio. “Ada apa?”

“Masalah perusahaan. Beliau mau aku yang mengelola Umari corp.” Rio diam sejenak untuk menambah transmisi kecepatan mobilnya. “Padahal aku sudah bilang berkali-kali, aku cuma mau mengurus dan bertanggung jawab atas anak dan cucunya, tidak untuk perusahaannya.” lanjutnya.

Ify tertawa kecil. Alibi Rio kali ini terdengar sangat dramatis, tidak terlalu logis seperti biasanya.

“Semua yang aku punya sekarang sudah lebih dari cukup. Dan lagi, apa serunya bisnis tanpa saingan sehebat ayahmu?”

“Terus?”

“Aku berharap beliau sehat sampai Arjuna siap mengelola perusahaan. Semua itu milik Arjuna, bukan milikku.”

Kesederhanaan Rio tidak pernah berubah. Pria itu tidak pernah silau dengan harta dan kekuasaan tanpa lupa berkerja keras untuk mendapat kelayakan. Manusia mana lagi yang mau menolak dengan tegas jika diberi kuasa untuk perusahaan sebesar Umari corp selain Rio?

Ify mencengkeram lembut pundak mungil putranya. Bahu-bahu dengan beban berat yang menantinya di masa depan, perusahaan warisan kedua kakeknya dan milik sang ayah menunggu uluran tangannya. Wanita itu sedikit ngeri membayangkan hal itu, apa lagi jika mengingat bagaimana Rio dulu yang hampir seperti robot bernyawa karena obsesi ayahnya dan tanggung jawab besar yang diemban anak semuda itu. Walaupun ia tahu Arjuna anak yang kuat, sebagai seorang ibu ia tak ingin putranya merasakannya juga. Bukan ia ingin menyangsikan Rio, tapi bagaimanapun ia sangkal, Rio tetap seorang diktator yang akan melakukan apapun untuk apa yang ia inginkan.

Rio dapat membaca kegusaran Ify, tangan kokohnya terulur untuk menggenggam jemari Ify yang masih ada di pundak Arjuna.

“Aku tak akan memaksa Arjuna.” Rio mulai menjelaskan dengan suara lembutnya. “Aku tahu sakitnya, dan aku tak mau anakku merasakannya juga. Arjuna tak akan jadi alatku, kamu harus percaya padaku, dan juga Arjuna.”

Penjelasan Rio membuat dada Ify lega, sesaknya menguap begitu saja. Dibalik sikap seakan acuhnya, Rio bisa mengertinya lebih dari siapapun di dunia. Dan seharusnya ia tak pernah meragukan suaminya itu.

“Aku dan Arjuna akan menjadi partner yang hebat di masa depan. Kamu bisa bayangkan itu? Ini cuma seperti main monopoli, Fy.”

“Monopoli yang selalu membuatku mual saat mencoba memaikannya.” gerutu Ify yang kini sudah kembali rileks memainkan bebek-bebekan untuk Arjuna.

“Kamu tahu apa alasanku tidak memarger Haling Corp dan Umari Corp sekarang?” tanya Rio sambil menoleh kepada Ify karena rambu-rambu lampu merah yang menghentikan perjalanan mereka.

Ify menggeleng. Hal itu yang selalu menjadi pertanyaan di benak Ify. Seharusnya akan lebih mudah untuk Rio mengelola keduanya jika disatukan seperti yang telah suaminya itu lakukan pada perusahaannya sendiri dan Haling corp. Tapi Rio tak pernah mau melakukannya padahal ayahnya dan ayah Rio sudah mengijikannya, bahkan mengusulkan.

“Itu tugas Arjuna. Dia yang berhak penuh.” penjelasan Rio terhenti sejenak karena trafficlight sudah menyala hijau. “Dia yang punya darah Haling dan Umari sekaligus. Dia bukti nyata cuma cinta yang akan menghancurkan kebencian.”

Cairan bening mulai menggenang di pelupuk mata Ify, siap jatuh kapan saja. Bisa-bisanya ia lupa dengan hal penting itu. Dulu semua orang beranggapan jika Haling dan Umari bisa disubstitusikan dengan air dan minyak, tidak bisa menyatu. Tapi ia dan Rio berhasil membuktikan jika dua zat itu bisa menyatu. Cinta seperti senyawa asam yang membuat keduanya bersatu. Dan cinta itu berbuah nyata: pria kecil tampan yang ada di pangkuannya punya dua darah angker itu. Dan itu tidak mustahil.

“Kenapa tidak kak Cakka?” Ify mencerca.

Rio tertawa. Ia tidak lupa kakak tirinya itu juga percampuran Haling dan Umari. Tapi dia juga pemberontak sejati. Cakka lebih memilih menepi ke Yogyakarta untuk menjadi seniman sekarang bersama Shilla dan putri kecil mereka. “Aku belum siap melihat dua bangunan megah itu jadi galeri seni. Kamu tahu Cakka tidak berminat sama sekali dengan kertas-kertas itu.”

“Berarti dia lebih normal darimu, lebih tertarik pada kak Shilla daripada laptop.”

“Kamu cemburu?”

“You wish!”

Keduanya tertawa bersama. Setelah semua yang mereka lewati, tak ada cukup waktu untuk meragu. Biarlah semua menjadi bahagia sisanya.

•

Ball room hotel Hyatt disulap menjadi begitu megah dengan nuansa serba putih. Ditambah dengan alunan musik romantis. Suasana pernikahan impian Gabriel dan Sivia benar-benar menjadi nyata setelah hari-hari melelahkan sebelumnya. Kisah ini juga rumit. Rio dan Ify berpandangan setelah selesai memindai setiap detail dengan mata mereka secara bersamaan. Keduanya tertawa. Sahabat terbaik Rio dan sahabat terbaik Ify akhirnya bersahabat baik juga untuk menapaki lanjutan kisah hidup mereka berdua, di mulai dari pelaminan itu. Dunia terasa begitu sempit.

“Arjunaaa!!!” pekikan suara nyaring yang sudah sangat dikenal oleh Ify dan Rio membuat mereka menoleh ke sumbernya. Gadis cilik dengan rambut ikal dikuncir dua itu sekarang sudah bermetamorfosis menjadi seorang gadis cantik rambutnya diurai, bergerak naik turun seperti peer saat ia berlari, high heels sepuluh centimeternya tidak mengurangi kelincahan geraknya. Tentu saja itu perkara mudah untuk seorang model papan atas sepertinya. Gadis itu Acha. Raissa Haling. Dibelakangnya mengikuti seorang pemuda tampan berambut gondrong sambil menggandeng seorang anak perempuan berusia lima tahun yang begitu cantik dan anggun dengan gaun putih dan rambut hitam panjangnya, mirip sekali dengan ibunya, Adodya Alona, putri Cakka dan Shilla.

Oh ya, pemuda tadi Ray Prasetya, satu-satunya pria yang berhasil mendapat surat izin memacari Acha setelah tes dua lapis dengan Rio dan Cakka. Dua pria tampan itu sepertinya masih tak rela adik tersayang mereka akan diambil laki-laki lain. Untunglah Ray bermental baja dan pantang mundur, sampai akhirnya Rio dan Cakka menyerah dengan setengah hati dan menyerahkan Acha untuk dijaganya. Ify dan Shilla hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakukan konyol suami-suami mereka yang sampai menyuruh seorang wanita cantik dan seksi entah darimana untuk menggoda Ray. Menguji kesetiaan pemuda itu dan akhirnya lolos karena Ray sama sekali tak menanggapi. Dan yang paling gila adalah Cakka yang menyuruh anak buahnya dulu untuk mencegat Ray yang sedang bersama Acha, ia ingin melihat bagaimana Ray melindungi Acha. Dan akhirnya pemuda itu babak belur untuk melindungi gadisnya mati-matian membuat Rio dan Cakka terenyuh. Tapi untuk acara terakhir ini sepertinya Acha tidak tahu jika itu rencana dua kakak gilanya. Ray tahu karena Cakka dan Rio secara gentle meminta maaf. Tampaknya pemuda itu tidak mau merusak hubungan persaudaraan kekasihnya. Untung Ray baik, kalau tidak matilah Rio dan Cakka.

“Kakak salaman dulu sama kak Gabriel sama kak Sivia. Arjuna sama aku!” perintah Acha sambil merampok Arjuna dari gendongan Rio.

Ify dan Rio hanya menghela napas pasrah, berdoa untuk keselamatan putra mereka. Biasanya Arjuna akan menjadi bahan buruan semua wanita yang melihatnya dari yang seumuran sampai nenek-nenek. Sepertinya doa yang disampaikan Rio lewat namanya sangat mujarab. Sekarang ingin mencegahpun Acha sudah berjalan menjauh menuju meja Krishna Haling, Safira, Cakka dan Shilla yang ada di ujung dekat panggung.

Dan benar saja, disepanjang perjalanan Acha yang dipantau Ify dan Rio, sudah beberapa tangan hinggap di pipi putra mereka, dan sesekali mengacak-acak rambut yang sudah ditata sebaik-baiknya oleh Rio dengan raut begitu gemas.

“Ini salahmu!” Ify mendengus prihatin.

“Kenapa aku?”

“Kamu yang kasih nama Arjuna.”

“Itu nama yang bagus. Kamu juga setuju. Dia akan jadi ksatria yang tampan, cerdas, kuat dan pemberani nanti.”

“Aku tidak mau anakku menjadi laki-laki dengan lima istri seperti Arjuna.”

“Dia bukan anak Pandu Dewanata yang punya istri lebih dari satu, dia putra Mario Haling yang hanya akan menjadikan satu wanita sebagai ratunya. Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya.”

Dan selalu. Ify akan kalah berdebat dengan Rio sejak dulu, sejak mereka bertemu untuk pertama kali dalam usahanya menjalankan hukuman dari Gabriel untuk membuat sebuah arca tersenyum sewaktu MOS SMA. Kadang Ify berpikir Rio terlalu cerdas untuknya. Ia kini hanya bisa diam, mengikuti Rio menuju pelaminan, mengambil antrian untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai dan orang tua kedua belah pihak.

Gabriel tampak begitu tampan dengan beskap putih, begitu serasi dengan Sivia yang benar-benar nampak seperti ratu sehari dengan kebaya berwarna senada dengan pasangannya.

“Akhrinyaaa!!! Cinta diam-diam lo waktu SMA sampai pelaminan, Vi!” Ify berseru setelah sampai di depan Sivia, memeluk sahabat kentalnya itu erat-erat diiringi tatapan Gabriel dan Rio yang sedang berangkulan.

Sivia melepas pelukan Ify. Menghadiahi sahabatnya itu dengan tatapan mematikan karena mulut bawel Ify yang tidak berubah telah membongkar hal yang ia anggap aib. Kemudian seringaian kemenangan muncul di wajah Sivia setelah menemukan hal untuk membalik keadaannya menjadi di atas angin. Mata sipit wanita cantik itu beralih ke perut Ify. Ify menyadarinya. Susah payah ia menelan ludah yang seperti membatu.

“Selamat juga, Sayang! Semangat banget sih bikin penerus Haling-Umarinya?” seru Sivia misterius, dengan nada yang tak kalah keras dengan Ify barusan. Sukses membuat Rio dan Gabriel melotot, mencoba menebak maksud kata-kata Sivia. Belum sampai jawabannya ditemukan, Ify sudah menarik Rio dengan membabi buta.

“Kak Gabriel jangan genit-genit lagi! Jagain sohib gue yang ngeselin itu!” pesan Ify sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya menarik Rio.

“Fy, maksud Sivia tadi apa?” tanya Rio setelah keduanya sampai di bawah panggung pelaminan. Raut wajahnya seperti orang linglung.

“Eung.. anu.. eung...” ucap Ify terbata. Masih bingung apa yang harus ia ungkapkan. Sivia benar-benar merusak acaranya.

It’s dancing time!” suara pembawa acara membuat Ify bernapas lega. Setidaknya ia punya alasan untuk mengulur waktu walaupun ia tak lagi menggubris kelanjutannya.

Musik mulai mengalun. Ify dan Rio sangat mengenal lagu ini. Membuat keduanya tersenyum dan melupakan masalah barusan.

Looks like we made it..
Look how far we’ve come, my baby...

“Lagunya nyindir kita banget sih, kak Rio.” ucap Ify dengan tawa geli, terlebih saat memanggil Rio seperti saat mereka SMA dulu.

Rio tertawa. “Go to the floor with me, Alyssa Haling?” tawar Rio sambil menyodorkan tangan kanannya. Dengan anggukan mantab, Ify menyambutnya.

They said, “I bet, they’ll never make it!”
But just look at us holding on..
We’re still together still going strong..

Mata Rio bersinar-sinar penuh kebahagiaan. Dunia harus melihat siapa wanita yang sedang ia genggam tangannya. Dunia yang dulu meragukan mereka bisa bersatu. Cinta mereka tidak pupus justru semakin kuat. Mungkin waktu mereka masih panjang. Mungkin masih ada jutaan masalah yang mengantre untuk menguji mereka. Tapi jika wanita cantik ini tetap ada dalam pelukannya seperti saat ini, ia tidak akan pernah takut.

“Kalian selalu sukses bikin iri!” ucap sebuah suara bariton yang membuat Ify menegakkan wajahnya yang semula bersandar di pundak Rio.

Di sebelah Rio dan Ify sudah berdansa juga Alvin dan Agni. Dan suara tadi berasal dari Alvin. Rio hanya menanggapi dengan tawa.

“Kita bisa kaya gini kan gara-gara lo juga.” komentar Ify.

“Enggak. Gue bukan apa-apa. Kalian yang begitu hebatnya berjuang.” Alvin menimpali.

“Lo sama Agni juga hebat.”

“Nggak usah lo bilang juga gue tahu itu.” ucap Alvin yang membuat tawa keempatnya pecah. “Enjoy, ya!” lanjutnya dan membimbing Agni ke tengah lantai dansa.

You’re still the one that I love..
The only one I dream of..
You’re still the one I kiss good night..

Ify dan Rio masih memilih bergerak selaras di tempatnya, ditepian pasangan-pasangan lain yang juga sedang berdansa. Seperti biasanya, mereka selalu memilih tempat yang membuat dunia hanya ada mereka, seperti saat dulu mereka berjuang menunjukan pada dunia jika mereka pantas bersatu, dan kini saat cinta itu sudah diikat dengan janji setia bersaksi Tuhan.

Semuanya seperti mimpi yang abadi. Apa yang selalu mereka cita-citakan dan kemudian perjuangkan mati-matian terwujud. Mereka membuatnya menjadi nyata atas nama cinta. Tak ada yang lebih manis selain melihat orang yang sama di saat mata akan terpejam di malam hari dan bagun lagi esok hari. Orang yang kita cintai, dan mencintai kita. Seperti matahari, sekalipun setiap hari kita melihatnya, kita akan terus berharap ia datang lagi esok, esoknya, esoknya lagi, dan esoknya lagi. Tak akan pernah cukup.

Untuk Rio, Ify masih satu-satunya. Untuk Ify, Rio masih satu-satunya. Entah untuk berapa lama lagi, tapi sepertinya itu akan terucap setiap hari hingga nanti sampai di ujungnya senja. Sampai nanti di embusan napas mereka yang terakhir.

Ain’t nothing better..
We beat the odds together..
I’m glad we didn’t listen..
Look at what we would be missing...

Memang tak ada yang lebih baik dari melangkahi segala sesuatu berdua dengan dia yang selalu memberi cahaya. Tak ada suara lain yang harus didengarkan kecuali deru hati yang terus bertalu menjeritkan kata cinta.

Rio menempelkan keningnya pada milik Ify. Mengeratkan pelukannya di pinggang wanita itu, ingin menegaskan ia tak akan pernah rela membagi wanita ini dengan dunia. Ify miliknya dan akan selalu begitu.

“Aku mencintaimu.” ucap Rio. Ia tahu tak perlu mengucapkannya karena Ify sangat tahu itu. Tapi kali ini ia betul-betul ingin.

“Aku tahu.” jawaban seperti yang Rio bayangkan. “Aku juga mencintaimu.”

“Aku nggak pernah percaya keabadian, aku nggak tahu di mana batas selamanya, tapi aku nggak akan puas terus seperti ini sama kamu.” Rio menghela napas yang langsung menyapa wajah Ify, membuat tubuh itu bergetar samar. “Aku bersyukur lewati ini sama kamu.”

Dua tangan Ify merambat dari tengkuk Rio untuk membingkai wajah tampan suaminya. Telunjuk lentik tangan kanannya bergerak lembut menusuri setiap lekukan tanpa cela di wajah sang suami. “Terimakasih kamu sudah memilihku, terimakasih kamu sudah memperjuangkanku, terimakasih sudah menjadi suami yang luar biasa, terimakasih sudah menjadi ayah yang hebat.”

“Aku akan lakukan yang terbaik yang mampu aku lakukan untuk kamu, untuk Arjuna. Apapun itu taruhannya, sekalipun nyawaku.”
Ify tahu Rio tak pernah main-main dengan ucapannya. Semua yang keluar dari bibir pria itu mutlak. Wanita itu tertawa kecil. Ada yang kurang dari ucapan Rio barusan.

“Maaf, tugasmu akan segera bertambah.” Ify berkata dengan mata sayu penuh misteri.

Rio terhenyak, kembali teringat kata-kata Sivia tadi. Otaknya mulai merangkai puzzle-puzzle yang berserakan. Beberapa hari ini Ify terlihat sedikit pucat, beberapa hari lalu istrinya sempat muntah-muntah dan ia beralasan dengan sedang masuk angin. Kemarin dengan mengejutkan karena Ify sama sekali tak suka rasa asam minta mangga muda. Dan tubuh Ify memang lebih berisi dari sebelumnya.

“Ma-Maksud kamu?” tanya Rio terbata. Ia bisa menyimpulkan namun kebahagiaan yang ia tampung seakan membuat dadanya ingin meledak dan kehabisan kata-kata.

Ify membimbing tangan kanan Rio ke perutnya. “Hey, Sayang, yang di dalam sana, beri salam pada papamu!” perintah Ify sambil terkikik geli. Ia tahu tak akan ada reaksi gerakan dari janin muda yang ada dalam perutnya, tapi hubungan tak bisa dimengerti antara ayah dan anaknya pasti terjalin.

“Aku akan punya satu malaikat lagi?” tanya Rio hampir memekik saking bahagianya.

Sepertinya ada yang harus diralat. Ify menggeleng. “Dua malaikat lagi. Kembar.” jelasnya dengan senyuman lebar. “Tadinya aku mau bilang pas ulang tahunmu minggu depan, tapi Sivia membongkarnya.”

Rio tak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan kebahagiaannya yang tak terkira. Yang ia bisa lakukan sekarang adalah memeluk Ify erat-erat sambil berterimakasih berkali-kali. Kalau ada level di atas bahagia ia sedang mengalaminya saat ini.

Mungkin kisah cintanya dengan Ify tidak akan melegenda hingga penjuru bumi paling pelosok seperti Romeo dan Juliet. Tapi ia bersyukur dengan kisah ini. Kisah yang lebih dari yang ia harapkan. Ia bersyukur tidak pernah menyerah untuk berjuang. Hey, Romeo dan Juliet tidak pernah merasakan bahagianya melihat anak-anak dengan dua darah keluarga paling disegani tumbuh besar!

Rio mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Ify, mulai menghitung ketukan lagu yang akan segera berakhir. Ia akan mendapatkan puncaknya.

“You’re still the one...”