Rabu, 19 Desember 2012

Between Us part 4


Rio melangkah pasti meninggalkan ruang OSIS SMA Cempaka II dengan langkah tenang. Usahanya menciptakan perdamaian antar dua sekolah yang sudah berseteru bertahun-tahun membuahkan tanggapan positif. Sekolah itu sudah sepi saat itu. Ia segera mengendarai motornya keluar gerbang, masih dengan perasaan leganya, tak menyadari bahaya mengancamnya.

                Tiba-tiba laju motornya terganggu oleh tujuh buah sepeda motor yang berhenti di depannya, ditunggangi berbonceng-boncengan. Melihat dandanan dan wajah garang mereka, Rio tahu pasti tak ada niat baik dari mereka.

                “mau apa lo pada?” desis Rio, mencoba tak mengeluarkan nada keras, walaupun tingkat kewaspadaannya sudah naik seratus persen. Matanya menjelajahi orang yang mengepungnya satu-persatu.

                Melihat mata tajam Rio, seseorang dari mereka yang berbadan paling besar mengepalkan tangannya kuat-kuat, mengarahkan semua emosinya ke genggamannya itu. Mata tajam yang sangat mirip dengan orang yang berhasil mempermalukannya tempo hari. Tak terkontrol, tangan pemuda urakan itu melayang mulus ke ulu hati Rio, membuatnya meringis kesakitan. Rio segera membalas pukulan itu, mendarat tepat di pipi kanan siswa yang tadi memukulnya. Kalah jumlah, kedua tangan Rio segera dicekal beberapa orang lainnya.

*****
               
“Rio!” pekik Gabriel tak peduli lagi saat ini ia ada di dalam kelas mendengarkan gurunya sedang mengajar. Rasa takutnya yang terus ia coba pungkiri sejak tadi memuncak, keringat dingin menetes di seluruh permukaan tubuhnya. Tubuhnya merasakan ngilu seperti dipukuli. Ia yakin saudara kembarnya tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini. “kunci motor lo, Ko!” sergap Gabriel pada Riko yang duduk di belakangnya. Masih dalam keadaan bertanya-tanya, Riko menyerahkan yang diminta Gabriel.

                Cowok gagah itu segera meloncat dari tempat duduknya yang tapat ke tembok dan berlari keluar kelas, tak peduli lagi dengan suara pak Hendra yang terus menyerukan namanya dan memerintahkan untuk kembali.

                Sampai di parkiran, tak buang waktu lagi, Gabriel menarik gas motor Riko dengan kecepatan di atas rata-rata. Tak juga ia pedulikan makian orang-orang di jalan untuknya. Yang ia tahu, Rio sangat membutuhkannya saat ini.

*****
               
“Lepasin dia!” seru Gabriel kalap setelah melihat Rio terkapar di jalanan dengan kondisi babak belur dan masih dikerubuti beberapa orang yang lebih pantas disebut berandalan dibanding seorang murid. Motor yang ia gunakan sebelumnya ia banting asal. Matanya nyalang menantang setiap orang yang ada di sana. “gue lawan lo semua, bukan dia!”

                Pemuda yang tadi memukul Rio pertama kali membulatkan matanya, sadar yang masih berdiri tegak di hadapannya ini adalah lawannya yang sebenarnya. Segera ia maju dan menyerang Gabriel.

                Berkelahi adalah salah satu keahlian Gabriel. Gerakannya mantab menghadiahi pukulan untuk satu-persatu dari mereka, menghidar dari pukulan. Ia yang sendiri mampu mengimbangi belasan orang tersebut. Namun kalah jumlah lama-kelamaan membuat Gabriel kepayahan juga. Rio menyadarinya, beberapa pukulan yang mendarat di tubuh Gabriel membuat tenaganya naik berbanding lurus dengan amarahnya. Berlari menerjang kerumunan itu dan membantu Gabriel menghajar mereka bergiliran.

                Gabriel tersenyum kecil. Rio masih ada di pihaknya. Saudara kembarnya itu masih tak tega melihat sesuatu yang buruk terjadi padanya. Dan sesuai dugaannya kemampuan Rio berkelahi masih sangat baik, sebelas dua belas dengannya, dengan partner perang sewaktu kecilnya. Sampai matanya menangkap salah satu dari siswa berandalan SMA Cempaka II datang membawa paralon besi yang siap mengayun ke tubuh Rio. Tanpa pikir panjang, Gabriel melompat ke belakang saudara kembarnya itu dan menjadikan dirinya sendiri sebagai tameng.

                Tongkat panjang tadi mendarat mulus di kepala belakang Gabriel. Membuat cowok jangkung itu jatuh bertelut. Darah mengucur deras, membuat kemeja putih yang dipakainya memerah. Sekelebat bayangan dua orang anak laki-laki berusia sepuluh tahun bermain perang-perangan dengan pedang di tangan mereka, tertawa renyah bersama tak peduli siapa yang akan kalah. Hari ini terulang lagi, dua orang remaja berkelahi untuk saling membela satu sama lain. Rasanya Gabriel rela kehilangan hidupnya saat ini juga. Sampai semuanya menjadi gelap.

                “Iel!!!!” seru Rio dengan suara nyaring dan begitu miris. Ia segera menangkap tubuh Gabriel sebelum kakak kembarnya itu benar-benar tersungkur ke tanah. “bangsat lo semua!!” umpatnya pada gerombolan yang sudah lari terbirit-birit setelah menyadari tindakan mereka bisa membawa mereka ke penjara. Tak ada waktu lagi, dengan tangan bergetar menahan isakkan, Rio merogoh sakunya dan menelepon rumah sakit.

                “bang, bangun!” bisik Rio dengan suara parau. Tubuhnya seakan mati rasa dan otaknya tak mampu lagi bekerja kecuali menggumamkan nama Gabriel berulang-ulang.

*****
               
Seperti orang linglung Rio duduk di tepi koridor rumah sakit, tak lagi ia hiraukan orang-orang yang lalu lalang di hadapannya, bau anyir darah Gabriel yang bersimbah di tubuhnya pun tak ia acuhkan. Satu-satunya hal yang ingin dia tahu adalah keadaan Gabriel saat ini.

                “Rio?” sapa seorang wanita paruh baya, namun masih begitu cantik. Wanita yang paling dirindukan Rio. Suara lembut yang selalu ia damba menyapanya setiap pagi.

                “bunda..” lirih Rio. Nyaris seperti bisikan angin, hanya gerakan bibirnya yang menunjukan apa yang baru saja ia ucapkan. Air mata yang sedari tadi ditahannya leleh juga saat tangan lembut yang dulu menggendongnya kini tertangkup di wajahnya.

                “kamu nggak papa, sayang?” tanya wanita tadi yang tak lain adalah ibunda Rio dan Gabriel penuh kasih.

                “Iel, bunda... Iel..” racau Rio sambil menggelengkan kepalanya. Ify yang berdiri juga di situ setelah tadi menjemput bunda Rio merasakan tubuhnya kaku. Ia belum pernah melihat Rio kekalut ini. Ia belum pernah mendengar rengekan Rio semiris ini. Ia belum pernah melihat Rio setakut ini.

                Ibu dan anak yang mungkin sudah lama terpisah dengan jarak maya ini berpelukan erat saling menguatkan. Ify memilih diam tak mau mengganggu. Sampai seorang pria dengan jas putih keluar dari ruangan di depan mereka dengan wajah tegang.

                “bagaimana Gabriel, Dokter?” hadang Ify yang pertama kali menyadarinya.

                “Pasien mengalami gegar otak dan kehilangan banyak darah, kami harus segera melakukan tindakan operasi dan transfusi darah.” Jelas dokter tadi.

                “lakukan yang terbaik Dokter.” Sahut bunda Rio.

                “hanya saja, di rumah sakit ini persediaan darah yang sesuai dengan golongan darah pasien sedang tidak ada.”

                “golongan darah kami sama, Dok! Kami kembar.” Sela Rio sambil bangkit dari duduknya. Tak membuang waktu lagi, dokter tadi segera mengajak Rio ke ruang pemeriksaan.

*****

                Operasi berjalan lancar. Namun Gabriel masih terbaring tak sadarkan diri di ruangan yang hanya diselimuti keheningan. Hanya suara elektrokardiograf yang sedang bekerja mendeteksi kinerja jantung Gabriel yang terdengar. Dan Rio masih setia duduk di samping ranjang saudara kembarnya ini sejak kemarin. Tak mau kemana pun, sama sekali belum istirahat dan makan.

                “Yo..” sapa Ify halus. Gadis itu berlutut di dapan Rio. Digenggamnya erat tangan kokoh cowok itu. “lo makan dulu ya..” bujuk Ify, entah sudah untuk yang keberapa kalinya.

                “lo pikir gue masih bisa enak-enak makan?” desis Rio tajam. Ingin berteriakpun rasanya tenaganya sudah hampir habis.

                “dari kemarin elo belum makan, lo habis donor, luka-luka elo belum diobatin, lo bisa sakit, bebel!” desak Ify lagi dengan suara bergetar menahan haru. Sepenuhnya ia bisa mengerti perasaan Rio saat ini namun ia juga tak ingin keadaan semakin memburuk dan kacau jika Rio sakit.

                “ini nggak ada artinya sama pengorbanan Iel buat gue!” hardik Rio lagi. Suara yang terdengar sangat lemah dari bibir yang sudah memutih.

                “apa artinya pengorbanan Gabriel kalau pas dia bangun justru dia lihat elo lagi sakit? Makan ya..” Ify masih tak menyerah. “jangan sakitin diri lo sendiri, gue nggak bisa liat elo kaya gini, nyokap lo, apa lagi Gabriel, pasti mereka nggak mau elo kenapa-napa juga.”

                Akhirnya Rio luluh dan mengangguk setuju. Bangun dari tempat duduknya, namun karena tenaganya yang sudah terkuras, kakinya seakan tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Beruntung dengan sigap Ify menangkap tubuh yang sebenarnya lebih besar darinya itu. Dipapahnya Rio keluar ruangan rawat Gabriel menuju ruang tunggu pribadi yang ada tepat di sebelahnya. Hati Rio bergetar melihat ketulusan nyata di wajah gadis manis ini untuknya. Menyadari betapa bodohnya ia sekian lama menyia-nyiakan Ify.

                Setelah membantu Rio duduk di sofa yang sengaja ditaruh di ruangan itu, Ify menyentuh mug besar berisi susu dengan punggung tangannya, sudah dingin, terang karena sudah ia buat sejak dua jam lalu dan baru saat ini Rio luluh mau makan.

                “lo masih bisa makan sendiri kan?” tanya Ify sambil menyodorkan kotak makan yang sengaja ia bawa dari rumah untuk Rio. “gue bikinin susu sama ambil obat luka di apotek.” Tak menunggu jawaban Rio, Ify melenggang keluar ruangan, menuntup pintu perlahan karena tak ingin mengganggu ibunda Rio dan Gabriel yang tertidur karena kelelahan, Ify juga yang memaksa beliau untuk beristirahat.

                Saat Ify kembali, Rio masih belum sama sekali menyentuh makanannya. Membuat Ify mengerenyit sebal sambil berkacak pinggang, bila tak ingat mereka sedang ada di rumah sakit, Ify dapat memastikan Rio akan habis ia semprot.

                “suapin..” rengek Rio dengan senyum innocentnya. Senyum yang ia tahu pasti tak akan bisa ditolak Ify. Senyum yang masih sangat menawan walaupun tercetak pada sepasang bibir yang memucat. Dan benar saja, gadis itu menyerah, dengan sabar ia menyuapi Rio.

                Ify tersenyum kecil melihat mimik dan kelakuan Rio yang benar-benar tak kalah dengan anak taman kanak-kanak saat meminum susu hangat buatannya. Luka-luka lebam di pipi dan bibirnya yang sedikit pecah membuat pekerjaan itu sedikit lebih sulit. Dengan sabar dan telaten pula gadis ini mengobati luka-luka di wajah Rio. Aneh, cowok itu lebih memilih diam tak melayangkan protes saat Ify mengobatinya, padahal rasanya pasti sakit. Matanya yang sayu menerawang lurus ke arah Gabriel.

                Batin Rio berperang sendiri. Ia yakin sangat mencintai gadis di sampingnya ini, namun di sisi lain ia mengingat Gabriel punya rasa yang sama terhadap Ify. Haruskah ia mundur? Namun ia sangat membutuhkan gadis ini. Tapi Gabriel sudah berkorban banyak untuknya, bahkan nyawanya sendiri sudah dia berikan.

                “lo mau tidur dulu? Biar gue yang jaga Gabriel.” Tawar Ify sambil membereskan alat-alat yang tergeletak di meja. Memang ini saatnya ia berkorban untuk Gabriel. Rio mengangguk memberi persetujuan.

*****
               
Hampir empat hari Gabriel tak sadarkan diri. Namun dari pantauan dokter keadaannya terus membaik. Hari ini hari Minggu pagi yang cerah, dengan semangat Ify memasuki ruang rawat Gabriel yang ternyata kosong, mungkin tante Ratya, ibunda Rio dan Gabriel sedang ke kantin mencari sarapan dengan Rio.

                “pagi Gab! Bangun dong, enak banget ya elo tidurnya?” ucap Ify seolah yakin Gabriel akan menjawabnya. Ia meletakkan dua buah kotak makan di samping bed Gabriel.

                “emhh...” terdengar geraman kecil dari Gabriel dengan jari-jari tangannya yang juga mulai bergerak-gerak. Sigap Ify memencet alarm pemanggil suster dan dokter.

                Ify menyandarkan punggungnya di tembok dingin rumah sakit, menggigit bibirnya harap-harap cemas dengan keadaan Gabriel. Sampai Ratya dan Rio datang menghampirinya.

                “kenapa Gabriel sayang?” tanya Ratya dengan kepanikan yang jelas tergambar di wajahnya.

                “dia udah sadar tante.” Jawab Ify seadanya. Bertepatan dengan keluarnya dokter yang memeriksa Gabriel.

“putra ibu sudah sadar, kondisi juga sudah stabil.” Ucap dokter itu.

                “boleh saya lihat Gabriel?” sela Rio sebelum dokter dan ibunya berlalu, dokter tadi hanya menggangguk sebagai izin. Tak buang waktu, Rio segera melompat masuk ke ruangan Gabriel. Kelegaan jelas terbaca oleh Ify dari wajah Rio saat mendapati saudara kembarnya sudah membuka mata.

                “lo nggak papa, bro?” sapa Gabriel dengan suara lemahnya setelah Rio duduk di sampingnya.

                “goblok! Harusnya gue yang tanya begitu.” Balas Rio sengit. Gabriel tertawa kecil.

                “gue terharu elo masih mau bawa gue ke rumah sakit, nggak ngebiarin gue mati mengenaskan di pinggir jalan.” Lirih Gabriel perlahan dengan nafas yang masih sedikit tersengal.

                “lo pikir gue sebusuk itu? Sok hero banget, nafas aja masih susah.”

                “gue udah di surga ya, Yo?” tanya Gabriel lagi tak mengindahkan ucapan Rio.

                “ngaco!”

                “gue lagi liat bidadari nih..” lanjut Gabriel sambil menatap Ify dan tersenyum manis. Membuat tawa gadis yang lebih memilih diam menyaksikan dua kembar ajaib ini pecah.

                Rio tersenyum simpul, sepertinya merelakan Ify untuk Gabriel adalah pilihan yang tepat. Gabriel pria yang sangat baik, Ify bisa bahagia dengannya. Dan lagi pula, berkali-kali ia mendengar Ify memuji Gabriel. Pasti hati gadis manis ini sudah mulai terpikat pada kakak kembarnya itu.

                “gue keluar dulu, nemenin bunda.” Pamit Rio tiba-tiba sambil bangkit dari tempat duduknya. Dan keluar ruangan. Sengaja membiarkan Gabriel dan Ify berdua.

*****
               
Di lorong rumah sakit, tak jauh dari ruangan Gabriel dirawat. Rio termenung sendiri. Mencoba mengusir perih hatinya. Ternyata melepas Ify tak semudah yang ia bayangkan. Tapi ia harus membiarkan dirinya sendiri menjadi tumbal.

                “kok di sini, Yo?” tanya sang bunda yang baru saja selesai bertemu dokter membicarakan keadaan Gabriel.

                “nggak papa, nungguin bunda.” Jawab Rio. Bohong, dan seorang ibu akan sangat mudah membacanya. Dibelainya kepala Rio penuh kasih sambil memposisikan diri di samping putranya yang kini bahkan sudah jauh lebih tinggi darinya.

                “Ify ya?” tebak Ratya sambil tersenyum simpul menahan geli. Putra-putranya sudah beranjak dewasa rupanya. “dia baik, sabar, penyayang, tulus, cantik. Pantas anak-anak bunda naksir.” Godanya membuat pipi Rio bersemu.

                “Rio harus gimana?”

                “biar Ify yang memilih.” Jawab Ratya bijak. Rio tersenyum dan mengangguk paham. Ify yang harus memilih antara ia dan Gabriel. Ify tak bisa lagi ia perlakukan seperti mainan untuk menuruti semua egonya.

*****
               
“Sore Gab!” sapa Ify ceria pada Gabriel yang menyambutnya dengan senyum sumringah. Keadaannya sudah semakin baik dan tinggal menunggu waktu untuk diperbolehkan pulang.

                “lo nggak sama Rio?” tanya Gabriel sambil meletakkan sebuah buku yang sedari tadi asik dibacanya untuk mengusir jenuh hanya dapat berguling-guling di atas ranjang. Ify menggeleng sebagai jawaban. “lo sayang sama Rio?” pertanyaan yang membuat Ify terpaku.

                “tapi.. elo?” tanya Ify takut-takut, mencoba tidak menyinggung perasaan Gabriel.

                Pemuda tampan itu tersenyum tipis. Ia tahu ia tidak sedang berkorban saat ini, sejak awal ia sadar ia sudah kalah telak dari Rio yang jelas sudah menghuni hati Ify. Hanya ia tak pernah bisa memungkiri ia juga jatuh hati pada gadis manis ini. Namun cuma kekaguman yang bisa ia curi dari Ify, cinta gadis ini masih sepenuhnya untuk saudara kembarnya itu. Diraihnya jemari Ify, ia genggam erat. Membuat gadis itu seutuhnya menujukan perhatian padanya.

                “lo liat mata gue, lo rasain debaran jantung elo sendiri.” Pandu Gabriel yang mengerti kebimbangan Ify akan perasaannya sendiri. “gue rasa sekarang elo tahu jawabannya.” Lanjutnya setelah melihat keresahan yang membalut keyakinan di wajah cantik Ify.

                “Gab..” lirih Ify. Sosok di depannya ini memang selalu mengagumkan. Sosok penyayang dan berjiwa besar.

*****
               
Di ambang pintu Rio yang baru saja datang melihat adegan manis Ify dan Gabriel dari sudut pandang lain. Tak bisa ia tolak rasa ngilu yang menjalari hatinya, rasa takut kehilangan yang menyelimuti perasaannya.

                Gabriel menyadari kedatangan saudara kembarnya itu, namun Ify tidak. Dan ia memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu. “boleh gue peluk elo?” tanya Gabriel yang langsung dijawab dengan anggukkan oleh Ify. “setidaknya ini yang pertama dan terakhir sebelum si bebel itu berani ngiket elo.” Bisik Gabriel geli, hanya Ify yang dapat mendengarnya karena ia berbicara tepat di telinga kanan gadis itu, membuat adegan yang semakin manis. Ia dapat melihat wajah Rio yang semakin merah padam dengan posisinya saat ini.

                Tak tahan dan takut emosinya meledak, Rio memilih untuk pergi. Ternyata melepaskan orang yang sangat ia sayang tidak semudah yang ia bayangkan. Mungkin ini bukan pertama kalinya ia merasakan patah hati, namun kali ini jauh lebih sakit dibanding saat dengan Shilla setahun lalu, cinta pertamanya ternyata main belakang dengan salah satu temannya. Setidaknya saat itu ia hanya merasa kecewa, tak seperti saat ini, ia kehilangan. Kehilangan gadis yang berhasil membuatnya kembali berdiri, gadis yang dengan sabar menyusun kembali kepercayaannya pada seorang wanita.

                Menyadari reaksi Rio jauh lebih baik dari yang ia harapkan, Gabriel melepas pelukannya. Diacak-acaknya rambut di puncak kepala Ify. “lo jadi adek gue aja deh.” Lanjutnya sambil mencubit hidung bangir Ify.

                “nggak mau rugi dasar.” Cibir Ify sambil menata kembali rambutnya.

                “barusan Rio liat kita pelukan. Lo kejar sana.” Perintah Gabriel lagi dengan senyum jahil di bibirnya. Sontak mata Ify membulat, tak membuang waktu lagi ia segera keluar mengejar Rio.

*****
               
“heh, bebel!” panggil Ify yang sudah tergopoh-gopoh mengejar langkah panjang Rio. Pemuda itu tak merespon, masih sok kalem melangkah dengan kedua tangan di saku celananya. Seakan tak terjadi apa-apa. “cowok budeg! Tungguin gue!” pekik Ify lagi.

                Tanpa disadari Ify, Rio mengurangi kecepatannya berjalan. Sampai gadis itu bisa menyamai langkahnya. Tak enak juga melihat orang-orang di sekitar koridor mulai mengawasi gerak-gerik mereka yang nyaris seperti adegan film Bollywood.

                “kenapa lo nggak jadi masuk?” tanya Ify innocent. Membuat Rio mendengus sebal. Tidak peka sekali gadis ini, pikirnya. Ia tak menjawab dan terus melangkah, seakan tak ada Ify di sampingnya dan terus memberondongnya dengan pertanyaan yang sama.

                “jawab!” geram Ify sambil menjewer telinga Rio, persis seperti seorang ibu yang marah karena kenakalan anaknya. Rio merintih kesakitan, memohon untuk dilepaskan.

                “apa yang harus gue jawab?!” dengan sebal akhrinya Rio merespon. Tangannya masih sibuk mengusap telinga kanannya yang masih memerah hasil perbuatan Ify.

                “pertanyaan gue tadi, bebel!” seru Ify tak mau kalah.

                “harusnya lo tahu jawabannya!”

                “tapi gue nggak tahu!” keduanya tak ada yang mau kalah dan merasa dirinya benar.

                “ini rumah sakit.” Tegur seorang suster yang kebetulan lewat di samping mereka. Rio mengacak-acak mukanya sendiri, merasa bodoh berteriak-teriak di rumah sakit, manyadari orang-orang di sekitarnya pasti berpendapat mereka berdua keturunan suku Bar-bar. Segera ia menarik tangan Ify, mencari tempat mereka bisa berbicara berdua.

*****
                Rio berhenti di taman rumah sakit yang nampak lengang. Membanting dirinya di atas bangku putih yang ada di bawah pohon akasia yang daunnya sedang berguguran karena tiupan angin yang cukup kencang siang ini. Ify yang sejak tadi pasrah ditarik ikut memposisikan diri di samping cowok jangkung itu.

                Hening. Otak Rio berusaha menyusun kata-kata untuk menyalurkan perasaannya, dan ternyata hal ini lebih sulit jika dibandingkan dengan berpidato di depan ratusan orang sekalipun. Kedua tangannya berimpit di depan wajahnya, dengan mata terpejam. Pose yang sempurna menurut Ify.

                Ify juga diam, ia tahu Rio yang ingin bicara padanya. Ia hanya bisa diam, memindai setiap lekukan yang membetuk wajah tampan Rio. Rahang dan tulang pipinya yang tegas mengingatkannya pada gambar-gambar dewa-dewa dalam mitologi Yunani kuno yang sering ia lihat di dalam buku Sejarahnya, didukung rambut sedikit ikalnya yang mulai panjang. Luka lebam yang masih berbekas di pipinya tak mengurangi keindahan itu sedikitpun. Aroma tegas maskulin B*man keluaran Thierry Mugler, parfum favorit Rio yang dikirimkan angin ke indra penciumannya semakin membawanya terbang. Kupu-kupu menari riang di rongga dadanya diiringin desiran darahnya yang tak terbendung, sensasi yang tak pernah ia dapatkan dari laki-laki manapun, hanya Rio.

                “Fy..” panggil Rio lirih. Suara serak-serak basah dan begitu lembut itu, the sexiest part of his own, setelah senyumnya, setelah matanya, setelah... ah, rasanya semua yang ada pada diri pria ini seksi. This guy is so fucking hot, every body! Pikiran Ify meracau sendiri setelah merasakan titik klimaks perasaannya yang membucah setelah mendengar suara Rio.

                “hmmm..” sahut Ify yang baru saja bangun dari ketersimaannya.

                “makasih.” Ucap Rio tulus, dengan senyuman yang sangat manis di bibirnya. Senyum yang membuat tubuh Ify memanas dengan sendirinya.

                “buat?”

                “semuanya. Buat elo yang selalu ada buat gue, buat semuanya. Gue harap elo bahagia sama Gabriel.” Lanjut cowok itu. Ini pertama kalinya Ify mendengar Rio berterimakasih padanya. Apa maksudnya? Kenapa Gabriel?

                “kenapa Gabriel?” sungguh, Ify tak mengerti dengan arah pembicaraan Rio. Karena yang ia tahu, kebahagiaannya dipegang pria yang kini duduk berdampingan dengannya. Haruskah ia mengalah lagi saat Rio seakan ingin melepasnya begitu saja.

                Garis tebal di atas mata kanan Rio terangkat, ia yang kini tak mengerti dengan pertanyaan yang baru saja Ify ajukan. Apakah gadis ini sedang mempermainkannya dengan saudara kembarnya sendiri? Tapi ia tahu pasti Ify bukan gadis sebusuk itu.

                “maksud pertanyaan elo? Terus.. elo tadi ngapain sama Iel?” ucap Rio seperti orang linglung. Seperti mencari pintu keluar sebuah labirin.

                “selain otak lo yang bebel, hati elo juga ya?!” geram Ify. Ia membuang wajahnya ke arah lain. Rasanya apa yang ia tunjukan dan berikan pada Rio setahun ini sudah lebih dari cukup untuk menjabarkan bahwa ia mencintai pemuda ini. Memang belum sadar, tak sadar, pura-pura tak sadar, atau tak mau menyadari kah pria bodoh ini?

                “Fy, please.. gue beneran nggak ngerti.” Mohon Rio memelas. Setidaknya ini pertama kalinya Ify melihat Rio menurunkan gengsinya untuk meminta secara baik-baik.

                “elo yang bikin gue bahagia! Bukan Gabriel, bukan siapapun! Cuma Mario Stevano! Gue nggak tahu bisa sebodoh ini, gue nggak tahu kenapa gue bisa segila ini. Setiap hari gue mikir, andaikan elo tahu apa yang gue rasain, tapi elo bahkan nggak bisa rasain resah gue setiap deket elo, andai elo tahu gue cinta sama elo. Cinta, Yo! Andai elo tahu gue bahkan hampir putus asa nunggu elo jatuh hati sama gue.” Cerca Ify. Terlalu panjang kalimat yang ia ucapkan membuat nafasnya tersengal, namun ia lega, apa yang selama ini ditahan akhirnya mampu ia luapkan.

                “gue yang bodoh, Fy!” balas Rio. Ia menghembuskan nafasnya, mencoba meluapkan kebahagiaannya yang melimpah karena mengetahui perasaannya bersambut. Kebahagiaannya yang bercampur dengan kecewannya. “gue udah jatuh hati sama elo, lama. Tapi ego gue bikin benteng tinggi, gue takut sakit lagi. Gue nggak mau elo pergi dari gue, itu kenapa gue nggak pernah berani ngiket elo.” Rio mengalihkan pandangannya pada Ify, tatapan dalam yang seolah ingin membongkar semua rasa yang ada di dalamnya.

“sama elo gue sadar tentang kodrat gue sebagai seorang perempuan, setinggi apapun mimpi gue, suatu saat gue harus menjadi angin yang ada dibawah sayap rajawalinya.” Terang Ify. Ia sadar tak sepenuhnya Rio bersalah, karena harusnya juga ia sadar Rio bukan tipe cowok peka.

“gue selalu merasa diri gue seperti rajawali, tapi gue lupa gue selalu butuh angin untuk terbang. Gue nggak sadar elo selalu menyangga gue kalau gue lelah, saat gue jatuh. Gue selalu berpikir kalau gue nggak butuh orang lain, sebelum gue ketemu elo.”

                “elo serius?” selidik Ify. Tak bisa percaya sepenuhnya jika saat ini ia tidak sedang berada di alam mimpi. Rio mendengus. Gadis ini memang tak bisa dibilangin dengan cara baik-baik. Seenaknya ia menarik pergelangan tangan Ify dan mendekap tubuh gadis itu, ia sandarkan kepala Ify di dada kirinya.

                “lo denger suara jantung gue? Awalnya gue nggak tahu kenapa dia bekerja sekeras ini setiap gue deket sama elo, nggak terjadi sama siapapun.” Ify memejamkan matanya, tempat paling indah yang pernah ia rasakan adalah di pelukan Rio. Aliran darahnya meletup-letup, namun aroma tubuh tegap ini juga yang menenangkannya, sensasi yang tak ada taranya. “kalau elo masih nggak percaya, gue bisa peluk suster rumah sakit dan elo dengerin lagi detakan jatung gue.”

                Dengan sigap Ify mencubit kecil perut Rio. Masih bisa-bisanya ia mencari kesempatan. Rio kelabakan mengusap perutnya sambil menjerit-jerit tertahan.

                “cari kesempatan mulu! Dasar buaya!”

                Rio nyengir kuda. “mau jadi pacar gue?” tembak Rio. Rasanya lebih seperti penodongan, tak ada opsi jawaban lain selain mengiyakan.

                “jangan mau, Fy!” potong sebuah suara yang sangat dikenal Rio dan Ify. Membuat Rio mendengus sebal sambil memutar tubuhnya mencari sumber bunyi. Benar saja, ada Gabriel yang duduk di atas kursi roda yang didorong sang bunda, lengkap dengan senyuman setannya.

                “ganggu lo!” ucap Rio sebal.

                “lo pikir gue bakal biarin usaha lo mulus gitu aja?” Gabriel tak mau kalah. “keenakan di elo!”

                “mau lo apa? Nggak berdaya aja gegayaan.”

                “gue restuin elo berdua, sebagai abang yang baik dan benar.” Ucap Gabriel bijak. “gue yakin nggak akan ada cewek lain yang tahan sama elo selain Ify, kalau gue sih yang ngantri banyak.”

                Ratya dan Ify tertawa bersama mendengar kelakar Gabriel dan menyaksikan raut sebal Rio yang kalah telak. Kembar yang ajaib. Perlahan, Gabriel mencoba berdiri, ditepuknya pundak Rio memberi semangat. Rio memeluk Gabriel. Pelukan hangat sebuah persaudaraan yang lama terpisah. Mata Ify mencembung melihat adegan keduanya, melihat dua darah yang kembali menyatu itu. Melihat keduanya benar-benar hidup, bukan berusaha untuk hidup lagi. Menjadi orang paling beruntung karena dapat mengenal keduanya, dicintai oleh mereka dan mendapatkan salah satunya.

                “Ify jadi pengen punya anak kembar tante.” Seloroh Ify sambil mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Ratya tertawa kecil mendengar ucapan Ify.

                “yeah! Temenin gue sampai tua, sampai rambut gue putih, gue bisa kasih jaminan elo akan jadi ibu dari anak kembar yang ganteng-ganteng kaya gue. Jadi ibu dari anak-anak gue,” Ceplos Rio yang mendengar Ify. Gabriel memutar bola matanya terlalu jauh pemikirn saudara kembarnya ini.

                Dalam hati Rio mengucap syukur pada yang kuasa, sentuhan ajaib-Nya membawa ia pada tempat yang selalu diimpikannya, dimana ada semua orang yang paling ia sayangi.


 the end....