“ini otak apa batu sih, Fy?!” gerutu cowok hitam manis ini sambil
menoyor pelan kepala gadis yang sedang bersungut-sungut di hadapannya. “udah
bego, keras kepala pula.” Lanjutnya sambil menarik buku tulis berisi kumpulan
deretan angka yang tak kunjung sampai titik akhirnya.
“ya, maaf. Kapasitas otak gue cuma segitu, Mario.” Balas gadis yang
dipanggil ‘Fy’ tadi dengan wajah memelas. Trik yang biasanya jitu untuk membuat
pemuda lawan bicaranya melunak saat ia sudah benar-benar marah.
“gue nggak suka tampang lo kaya gitu!”
ucap Rio, panggilan singkat cowok tadi, getas. Setahun lebih mengenal
gadis manis itu tetap saja ia melunak jika ia mengeluarkan jurus jitu muka
melasnya. Tangan kokohnya mulai bergerak mengguratkan beberapa deret rumus dan
angka di atas buku tulis milik Ify, menyelesaikan sebuah soal yang sejak beberapa
menit yang lalu menjadi perdebatan sengit keduanya. Dan tetap seperti biasa,
gadis itu bersikeras dengan caranya dan akhirnya baru menyadari jika cara itu
salah setelah tidak menemukan jawabannya.
Beberapa detik saja cukup untuk cowok itu menyelesaikan soal tadi,
membuahkan cengiran tak bersalah di bibir gadis berdagu tirus itu, raut yang
kemudian berganti dengan keterkejutan bercampur eneg setelah melihat tanda
tangan cowok tadi di bagian paling pojok kanan lebar yang tadi digunakan untuk
menjawab.
“apaan nih?!” pekik Ify sambil menyodorkan hasil karya Rio ke hadapan
pembuatnya.
Rio hanya
menyeringai lebar. “ya kali suatu saat nanti gue jadi artis kan elo nggak harus
minta tanda tangan gue. Lo bisa pamer, ‘nih, gue dulu temennya Rio, artis
ganteng dan keren itu!’ gitu.” Cerocosnya dengan gaya tengilnya yang membuat
perut Ify semakin mual. Di sela rasa nyeri di hatinya atas sebuah frase
“temennya Rio”, setahun lebih berlalu, tak membuahkan apapun sepertinya di hati
pemuda tampan itu, posisinya tetap hanya sebagai seorang teman, tidak lebih.
“satu-satunya yang mau ngejadiin elo artisnya cuma buku yasin, Yo!”
seloroh Ify kemudian tertawa renyah, tawa lepas yang terpaksa berhenti karena
tatapan membunuh dari mata tajam Rio. Bergegas gadis itu mengulurkan jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya yang membentuk huruf V ke hadapan Rio,
isyarat perdamaian.
“elo nggak kehilangan kalo gue pergi?” tanya Rio dengan nada dan raut
yang benar-benar serius, dalam sekajap rumah besar itu kembali sepi, hanya
dentingan jam yang terdengar mengiringi jutaan kata yang coba dirangkai otak
Ify, pertanyaan sederhana, namun tak sesederhana itu cara menjawabnya bagi
gadis bertubuh mungil itu.
“nggak, cuma gue nggak iklas aja keluar duit buat ngelayat elo.” Sebuah
canda yang tak mampu mengangkat lagi suasana yang sudah terlanjur membeku.
“gue serius!” tegur Rio tandas. “gue atau Gabriel?” cercanya lagi,
seakan sama sekali tak peduli dengan wajah gadis di hadapannya yang semakin
pucat dan tak mampu lagi berkata-kata.
Beberapa detik
menguap dengan kekakuan yang membungkus rapat tak ada lagi kata tercipta di
antara keduanya. Suara kembali tercipta saat Rio mendengus keras, seakan
melepas beban yang menghimpitnya.
“buatin gue minum!” perintahnya otoriter kemudian. Dan Ify sudah hafal
di luar kepala, bahkan mungkin sudah menjadi refleknya jika Rio sudah berbicara
dengan nada itu, tak ada pilihan lain baginya kecuali menuruti perintah.
Ify beranjak dari tempat duduknya, melangkah menuju ke dapur rumah Rio.
Rumah besar yang sudah sering ia singgahi dan sudah ia hafal betul setiap
sudutnya. Rumah yang lebih sering diselimuti kesunyian karena begitu sibuknya
orang tua cowok bersenyum manis itu, alasan kenapa Rio sering mengajak atau
menyuruhnya datang.
Tak berapa lama gadis mungil itu kembali dengan secangkir expresso
panas di tangannya. Minuman kesukaan Rio jika hujan deras mengguyur dan cuaca
dingin seperti saat ini. Setelah meletakkan cangkir di meja, Ify duduk pada
sofa yang sama namun dengan jarak dari ujung ke ujung dengan Rio, gadis itu
asik dengan ponselnya, membalas beberapa pesan masuk yang sejak tadi
diabaikannya, sebuah kesepakatan, atau mungkin hanya aturan yang Rio buat agar
tidak ada yang boleh menyentuh alat komunikasi itu saat mereka sedang bersama.
Dan kejengkelan Ify dengan beberapa pertanyaan Rio tadi membuatnya berani
menantang macan manis itu.
Hasil tak seperti yang gadis itu harapkan, Rio tak bereaksi sama sekali
saat Ify asik dengan ponselnya. Ia hanya asik sendiri memindah-mindah channel
televisi karena jam-jam menjelang sore seperti ini semua programmer layar perak
sepertinya sudah membuat kesepakatan menayangkan acara gosip yang benar-benar
tidak disukai Rio. Sekali lagi, pemuda jangkung itu menghela nafas berat,
melirik sedikit pada minuman yang masih teronggok di meja dengan uap yang masih
mengepul, tanda jika masih terlalu panas untuk ditegak saat ini. Namun rasa
sesak dadanya membuatnya tak ingin menunda lagi, diambilnya cangkir putih itu.
Ia tiup perlahan dan membuat asapnya semakin indah menari, disesapnya perlahan,
memenuhi setiap ruang mulutnya dengan rasa pahit dan sedikit manis minuman itu,
rasa yang selalu mengingatkannya pada Ify, gadis manis yang juga selalu sanggup
menjadi pemanis diantara getir kehidupannya.
Pandangannya beralih pada gadis yang duduk beberapa jengkal darinya,
gadis yang sedang terpaku menatap jendela besar di hadapannya menatapi
rintik-rintik hujan yang turun dengan derasnya, nampaknya sudah bosan juga
mengurusi handphonenya yang kini hanya teronggok di sampingnya. Makhluk indah
yang selalu membuatnya memuji, merasa beruntung karena memiliki gadis itu,
walaupun dengan bentuk yang juga tak mampu ia definisikan, ditambah cuaca dan
suasana yang menggenapkan hasratnya.
“nggak kedinginan, Fy?” tanya Rio memecah hening.
“lo pikir gue beruang kutub cuaca kaya gini nggak kedinginan?” balas
Ify sarkatis. Tanpa menoleh pada lawan bicaranya sama sekali. Rio tersenyum
kecil, nada bicara, mimik wajah, dan gelagat Ify yang seperti ini justru selalu
membuatnya gemas, membuatnya selalu merindukan gadis itu, gadis yang memang
berbeda dengan gadis manapun yang pernah dikenalnya.
“berdiri lo!” perintah Rio sambil menahan tawa gelinya.
“ogah!” tolak Ify mentah-mentah.
“Alyssa Umari, berdiri!” sekali lagi, dengan nada yang lebih tegas dari
sebelumnya komando itu meluncur dari bibir Rio. “kali ini lo bakal rugi kalo
nggak ikutin perintah gue.” Pancingnya kemudian.
“belum ada perintah elo yang menguntungkan buat gue.” Balas Ify tak mau
kalah.
“oke, berarti
sekarang akan menguntungkan buat elo. Berdiri, nona!”
Dengan mau tak mau Ify berdiri, perintah yang aneh sebenarnya, untuk
apa Rio menyuruhnya berdiri tanpa tujuan yang jelas. “terus?” tanya Ify.
Tanpa menjawab, Rio menarik pergelangan tangan Ify, membuat gadis itu
tersungkur tepat di pangkuannya. Tangan kokohnya mengunci rapat tubuh mungil
itu di dalam pelukannya, membuat usaha berontak cewek itu mentah begitu saja.
“sekali ini aja, Fy!” bisik Rio tepat di telinga kanan Ify. Deru nafas
cowok itu benar-benar membuat Ify yang sudah kalang kabut sebelumnya menjadi
semakin tak karuan. Jatungnya semakin tak terkontrol dan seakan ingin melompat
dari tempatnya, hawa dingin yang semula menusuk hingga ke ruas-ruas sendinya
seakan menguap begitu saja. Hanya aroma maskulin tubuh Rio yang dapat ia cium,
aroma tubuh yang selalu menjadi signal untuknya jika pria ini berdiri tak jauh
darinya, aroma parfum yang bercampur dengan bau khas tubuh Rio sendiri yang
selalu mengantarnya terbang. Dan saat
ini tak ada hal lain yang bisa ia lakukan kecuali pasrah dan menikmati
hangatnya dekapan Rio. Dengan barisan doa jika memang ia sedang bermimpi, tak
ada hal apapun yang akan membangunkannya.
*****
Tawa lepas gadis manis itu selalu manjadi lagu favoritnya, lengkungan
manis di bibir gadis itu selalu menjadi pemandangan indah yang selalu
memintanya untuk menikmati. Saat bersamanya adalah momen-momen terbaik dalam
hidupnya. Meski rajutan kata itu belum mampu diungkapnya.
“Gab! Gue tau, tau banget kalo gue cantik, tapi jangan gitu juga kali
liatinnya!” canda Ify disusul sebuah tawa yang kembali meledak saat mendapati
ekspresi cowok yang menjadi lawan bicaranya siang ini benar-benar kocak.
Gabriel, cowok tadi hanya bisa menggaruk tengkuknya yang sama sekali
tak gatal sebenarnya kemudian menyeringai lebar. Bingung harus berkata apa. Gadis
di hadapannya itu, yang membuatnya iklas berdiri di depan gerbang sekolah untuk
menemaninya menunggu jemputan di tempat yang tak ubahnya penjara baginya. Gadis
cantik dengan kepribadian yang jauh lebih cantik dari parasnya, ramah,
sederhana, dan apa adanya.
“lo nggak balik?” tanya Ify setelah tawanya berhenti.
“gue kasihan sama elo panas-panas gini nunggu jemputan sendirian.”
Jawab Gabriel jujur. “duduk yuk! Nggak pegel berdiri terus?” lanjutnya kemudian
melangkahkan kaki panjangnya ke arah halte yang berada tak jauh dari gerbang
sekolah. Beberapa langkah di belakangnya Ify mencermati cowok itu, badannya
kurus, tinggi tegap, terlihat begitu cool daat berjalan dengan kedua tangan
yang tersimpan di saku celananya. Lekukan tegas wajahnya memperjelas
kepribadian keras laki-laki itu. Rambutnya sedikit gondrong untuk ukuran
sekolah yang tidak memperbolehkan siswanya memelihara rambut hingga menutupi
daun telinga, namun tak sepanjang preman-preman kacangan di jalan yang tak
terurus. Cowok pemilik julukan pangeran trouble maker karena pembuat masalah
itu berwajah tampan, pencipta huru-hara yang selalu dipuja kaum hawa seantero
sekolah. Tak salah karena Ify pun merasakan jika pria ini memiliki karisma yang
luar biasa sebagai seorang pemimpin, tatapan mata, intonasi bicara, dan gerak
tubuhnya benar-benar membuat orang-orang di sekitarnya segan.
“lo tunggu di sini sebentar!” uncap Gabriel setelah mengantar Ify
sampai ke halte. Ia berlari menuju sebuah warung kecil tak jauh dari halte, tak
berapa lama ia kembali dengan kantung plastik kecil di tangannya, berisi sebuah
es krim yang ia angsurkan pada Ify dan sebuah kotak kecil yang langsung ia
simpan di saku celananya yang dapat Ify terka kotak itu adalah sebungkus rokok.
“makasih.” Ucap Ify sambil tersenyum kecil. “repot amat lo beliin gue?
Nggak papa?”
“gue nggak semiskin itu kali, sampe beliin es krim aja nggak mampu.”
Seloroh Gabriel sambil mendudukkan dirinya di samping Ify.
“aduh.. bukan gitu maksud gue.” Ucap Ify sekali lagi, tak enak hati
jika Gabriel salah menafsirkan pertanyaannya.
“gue tau, gue nggak sekaya Rio, gue nggak punya apa-apa...”
“gue nggak suka apa yang lo omongin!” potong Ify. Ia benar-benar tak
suka jika harta sudah menjadi sekat bicaranya dengan siapapun, baginya semua
orang berkedudukan sama. Gabriel tersenyum tipis, setiap detiknya bersama cewek
ini benar-benar hanya membuatnya semakin terpana, kagum akan setiap hal yang
dimilikinya.
“nggak ada yang marah kan gue berduaan sama elo gini?” tanya Gabriel
mengalihkan topik pembicaraan.
“siapa juga gue duduk sama elo aja ada yang marah?”
“tuan ketua OSIS yang terhormat?”
Ify tertawa kecil, sedikit miris. Dua pribadi berbeda yang membuatnya
kagum dengan cara yang berbeda pula. Dua orang siswa yang sama-sama memiliki
posisi besar di sekolah, tokoh-tokoh yang seakan menunjukkan hitam dan putih
secara jelas. Rio si ketua OSIS dan Gabriel, ketua genk besar yang dianggap
sebagai biang rusuh dan kumpulan yang diharamkan para guru. “dia nggak punya
hak apapun atas gue.” Jawabnya.
Garis tebal di atas mata kiri Gabriel terangkat, mencoba menarik
kesimpulan dari ucapan Ify barusan. “lo sama dia nggak pacaran?” pekiknya,
dibarengi dengan rekahan kelegaan yang terpapar jelas di wajahnya.
Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, Ify menggeleng. “gue bukan
siapa-siapa dia.” Lanjutnya berat.
“ada dong kesempatan buat gue?” cerca Gabriel dengan nada canda yang
kental. Ia sadar dan menangkap pasti jika gadis di hadapannya ini mengharap
posisi spesial di sisi cowok idaman setiap siswi seluruh penjuru sekolah itu,
sedikit sesak mengisi rongga dadanya juga. Namun tak ada hal lain yang bisa ia
lakukan saat ini kecuali menghibur gadis ini.
“kesempatan ngapain? Jadi supir gue? Sorry, udah ada!” Ify menjulurkan
ujung lidahnya meledek Gabriel, perubahan raut yang begitu cepat, wajah muram
itu kembali ceria. Gadis luar biasa tegar, pikiran yang begitu saja hinggap di
pikiran Gabriel.
“dimakan kali, es krimnya, Fy! Hargain gue belinya lari-lari puluhan
kilo di tengah terik matahari.” Ucap Gabriel berlebihan, berhadiah langsung
cibiran dari Ify. Jarak warung dan halte hanya sekitar dua puluh lima meter,
dengan pepohonan rindang yang tumbuh di sepajang trotoar.
“yang lo beli tadi nggak lo pake? Nggak usah jaim sama gue, deh! Image
lo dimana-mana emang udah nggak bener.” Balas Ify sambil membuka bungkusan es
krim yang sejak tadi hanya di pegangnya, tawa kecil kembali terlontar dari
bibir mungilnya.
“bukannya jaim, gue cuma nggak mau nyakitin elo, yang pasif justru
lebih parah nanti efeknya.” Gabriel mengerti betul apa maksud Ify.
Ify hanya tersenyum, ia tahu pasti jika orang seperti Gabriel pasti tak
pandai merangkai kata-kata gombal. Apa yang ia katakan adalah apa yang ia
pikirkan dan ia rasakan, ciri khas seorang oposisi sepertinya.
“itu elo tahu. Kenapa nggak berhenti?” desak Ify.
“kadang beban gue terlalu berat buat gue angkat sendiri, ini cara gue
buat sejenak beristirahat.” Jawab Gabriel dengan berjuta makna tersirat di
dalam untaian kata sederhana itu. Sepasang mata elangnya menatap lurus ke
sebuah titik yang tercipta oleh khayalnya. “lagian, kalo gue jadi anak manis,
kasian Rio punya saingan.”
Ify kembali mencibir. Jujur, cowok ini membuatnya penasaran.
Gabriel justru sibuk mengobrak-abrik isi tasnya, seperti mencari
sesuatu. Beberapa saat kemudian tangannya keluar menggenggam setangkai
edelweiss yang masih terluhat baru meskipun diletakkan di sela beberapa buku
tebal, bunga yang kemudian diangsurkan pada Ify.
“apaan ini Gab?” tanya Ify tak mengerti.
“oh, itu, sikat gigi kan?” balas Gabriel ringan.
“edelweiss kan?”
“udah tahu pake nanya.”
“yaaa.. maksud gue, buat apa?”
Gabriel menghela nafasnya. Polos sekali gadis di sampingnya ini. “ya
terserah elo mau buat apaan. Yang jelas itu buat elo.”
“elo dapet darimana? Beli?”
Kepala Gabriel menggeleng pasti. “gue petik waktu ke Mahameru minggu
lalu.”
Kedua mata Ify berbinar indah, sangat tersanjung dengan pemberian
Gabriel. Ia memang sempat mendengar cowok ini dan beberapa temannya naik
gunung. Dan pasti perjuangannya luar biasa menaklukan puncak tertinggi Jawa itu,
mengingatkannya pada novel 5cm.-nya Donny Dirgantoro. Tak pernah menyangka
Gabriel akan tetap mengingatnya di sela perjuangan dan kesenangannya itu.
Sebuah ketulusan yang abadi benar-benar membayang edelweiss di genggaman Ify.
“bukannya pecinta alam nggak boleh merusak alam, metik edelweiss
misalnya?” interogasi Ify, matanya memicing menuntut jawaban.
“iya, tapi gue rasa alam nggak akan keberatan membagi keindahannya sama
gadis sebaik elo.”
Jika gadis lain yang ada di posisi Ify saat ini, pasti mereka sudah
menggelepar dengan angan yang terbang sampai awang-awang. Dan Ify tak memiliki
alasan untuk tidak tersanjung pada perkataan Gabriel. Laki-laki ini orang yang
baik, keyakinannya berbisik.
“kok lo belum dijemput, Fy?” tanya Gabriel lagi setelah melihat jam hitam
yang melingkar di tangan kanannya. Hampir empat puluh lima menit berlalu sejak
jam pulang sekolah.
“nggak tau, nih! Kalo lo bosen lo boleh pulang duluan kok.”
“bukan gitu, gue kasian aja sama elo, pasti udah capek, mau gue
anterin, cuma naik bus, gue tambah kasian lagi sama elo.”
“lo pikir gue cewek lemah?” sedikit tak terima dengan Gabriel yang
memperlakukannya seperti anak mami, seakan ia gadis manja yang ini itu tak mau.
“bus depan, kita naik!” tantangnya yang otomatis membuat Gabriel membulatkan
matanya tak percaya.
“serius?”
“Emang kaliatannya gue becanda?”
*****
Gabriel menghela nafas sedikit lega setelah mendapati bus umum yang biasa
dinaikinya begitu lengang siang ini, tak seperti biasanya yang menumpuk
berbagai macam manusia bahkan unggas dengan bau-bau tak karuan. Setidaknya bisa
memberi kenyamanan untuk Ify, meskipun ia melihat berkali-kali gadis itu
menyeka keringat di keningnya dengan punggung tangannya karena hawa di dalam
bus memang panas, walaupun tak sepanas biasanya. Sebuah sapu tangan disodorkan
Gabriel pada Ify. Tak tega melihat wajah cantik gadis itu sudah sangat merah.
Jantung Ify berhenti berdegub untuk sedetik, dan detik berikutnya organ
vitalnya itu bekerja lebih keras dari biasanya untuk memompa darah yang
mendesir hebat ke seluruh bagian tubuhnya. Wangi yang tercium dari sapu tangan
milik Gabriel mengingatkannya pada aroma tubuh yang selalu membuat indra pembaunya
bekerja sangat baik untuk mengetahui pemiliknya, aroma tubuh Rio. Dengan
sedikit gemetar, Ify menoleh pada Gabriel, menatapi ukiran tampan Yang Kuasa
yang semakin membuat jantungnya semakin tak karuan. Sebuah kesimpulan besar ia
dapati, Rio dan Gabriel mirip.
“kenapa lo liatin gue begitu? Jangan bikin gue ge’er!” ucap Gabriel
tiba-tiba, membuat Ify seketika mengaburkan semua pemikirannya.
“emang bener atau cuma perasaan gue kalo elo sama Rio mirip?” spontan
saja pertanyaan itu meluncur dari bibir Ify.
Gabriel tersenyum kecut. “lo aja kali yang kebanyakan mikirin tuan
besar itu.” balasnya ringan.
*****
Bus berwarna orange itu berhenti di gerbang sebuah perumahan elite,
menurunkan dua penumpangnya. Dengan si gadis yang terus bertanya-tanya kenapa
pria muda itu memilih untuk turun juga padahal rumahnya sendiri masih jauh.
“kernetnya suka genit kalo ada cewek cantik naik atau turun sendirian.”
Jawab Gabriel, pria tadi sambil menyeringai lebar.
“gue cantik ya? Makasih!” pekik Ify dengan wajah berseri-seri karena
pujian tak langsung yang diungkap Gabriel. “terus elo pulang gimana? Ke rumah
gue dulu biar dianter supir gue?” tawarnya kemudian.
Gabriel menggeleng, dengan senyum manis di wajahnya, sebuah penolakan
halus. Ia memilih kembali naik bus berikutnya. Kaki panjangnya kembali
melangkah pasti setelah mengawasi gadis manis yang baru saja diantarnya hingga
menghilang di balik deretan rumah-rumah mewah. Kepalanya menggeleng, mencoba
menghilangkan pening yang tiba-tiba saja menyerang. Menahan perih di ulu
hatinya saat kenangan itu berkelebat lagi di pelupuk matanya. Tak tahan,
Gabriel segera berlari menjauh.
to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar