Ify mengetukan
ujung pena di atas gelaran kertas HVS putih yang rencananya akan ia gunakan
untuk membuat sketsa wajah, tugas seni rupa yang harus ia kumpulkan esok hari.
Matanya menerawang jauh, meraup butiran bintang dari balik cendela kamarnya
yang masih terbuka. Belum juga menemukan wajah seperti apa yang akan ia pindah
dari angannya ke dalam kertas. Frustasi. Akhirnya ia hanya melamun. Kata-kata
Sivia, sahabat baiknya tadi siang terus menghatuinya.
*****
Jam istirahat, waktu yang selalu
ditunggu setiap penghuni kelas. Tak terkecuali Ify dan Sivia. Setengah berlari
gadis bertubuh mungil itu menuju ke ruang OSIS. Menemui Rio yang absen dua jam
pelajaran Kimia untuk memberikan hasil ulangan hariannya. Angka satu diikuti
dua buah nol terpampang besar-besar dengan tinta merah di pojok kanan atas
kertas yang masih rapi itu.
Ini bukan yang pertama kalinya Rio mendapat nilai sempurna di
test-testnya, namun tak sekalipun Ify kehilangan kebanggaan pada cowok
bersenyum dewa itu. Untuknya Mario Stevano selalu mengagumkan.
Pintu berukuran sedang akses keluar masuk sebuah ruangan berukuran dua
puluh lima meter persegi berdecit pelan. Dengan senyum yang perlahan mengabur
Ify berdiri di ambangnya. Pemandangan paling tak suka ia lihat terpampang
langsung di hadapannya, ia melihat tangan kokoh Rio membelai lembut puncak
kepala Zahra, sekretaris OSIS sekaligus juara pararel kelas IPA semester lalu.
Ify menunduk sebentar, menghela nafasnya pelan, mencoba meleburkan sesak dalam
dadanya dan kembali tersenyum lebar.
“sorry gue ganggu, cuma mau nganterin ini.” Ucap cewek itu sambil maju
sekitar tiga langkah dari tempatnya semula. Sekuat tenaga menatap bola mata
penuh kehangatan dari Rio. Mencoba berakting seperti segalanya biasa saja.
“santai aja! Kita nggak ngapa-ngapain ini. Thanks ya, Fy!” tanggap Rio
tenang. Entah akting Ify yang sudah sekelas pemenang piala Oscar atau hanya Rio
yang tidak bisa menangkap gurat kekecewaan di wajah gadis yang selalu ada
untuknya itu.
Ify mengangguk, tanpa berkata-kata lagi ia melangkah keluar ruangan,
menemui Sivia yang lebih memilih menunggu sambil melihat Alvin, bermain basket
di lapangan.
“wihh.. Alvin makin ganteng aja ya, Vi?” tegur Ify disambung kekehan
kecil, tak tahan dengan ekspresi Sivia yang benar-benar seperti pungguk menatap
rembulan.
“perasaan setiap hari begitu aja.” Jawab Sivia ringan. Ify menggeleng
heran, pasangan yang aneh, mereka sama-sama suka tetapi tak ada satupun yang
mau menurunkan gengsi untuk meminta meresmikan hubungan.
“begitu mempesona?” goda Ify yang sukses membuat Sivia malu-malu, tapi
napsu.
“gimana pangeran elo?” tanya Sivia balik, bermaksud menyamakan
kedudukan.
“siapa pangeran gue? Nggak ada.”
“Rio lah! Siapa lagi?” Sivia menyandarkan punggungnya pada tembok UKS,
tanpa mengalihkan perhatian dari lapangan.
“lagi sama Zahra.”
Mata sipit Sivia mendadak menjadi bulat penuh. Ia mungkin bukan sahabat
yang selalu berkata-kata dan berjanji manis untuk selalu ada saat Ify
membutuhkan, ia juga tak pernah berjanji akan menjadi sahabat Ify selamanya,
tapi Sivia bahkan bisa mengetahui ada nada yang lain dari jawaban Ify. Sebuah
kekecewaan yang tak pernah ingin sahabatnya itu sampaikan.
–harusnya-lagi-sama-gue- mungkin ada kata itu yang terpotong dari jawaban
singkat Ify.
“mau sampai kapan?” tanya Sivia sedikit tidak berminat sebenarnya.
“apanya?” tanya Ify sebiasa mungkin. Ia tidak terlalu lemot untuk
menyadari apa sebenarnya apa maksud Sivia. Namun pikirannya juga membangkang
untuk menjawabnya, menguak semua kebodohannya.
“mau sampai kapan lo bertahan buat cowok bego itu?”
Ify tersenyum hambar. Bukan Rio yang bego, sepenuhnya gue yang terlalu
bodoh, pikirnya. “gue bertahan sampai nanti gue nggak sanggup lagi.” Jawabnya
lirih.
“lo sadar nggak lo cuma dimanfaatin? Dia dateng ke elo kalau dia butuh
doang!” cerca Sivia makin berapi-api, jujur, tragis juga mendapati cerita cinta
sahabatnya itu. Ia yang semula begitu mengagumi Rio dengan segala prestasinya,
karismanya, dan tidak terlepas penampilan fisiknya kini illfeel setengah mati.
“lebih pantes jadi deptcollector dari pada pemilik hati elo.”
“gue nggak tahu ini namanya apa, tapi kebahagiaan buat gue bisa jadi sandarannya.”
Ify menghela nafas panjang, bola matanya mengarah lurus ke arah bola basket
yang sedang menjadi rebutan di tengah lapangan. “dia yang sempurna, percaya
sama gue, ngejadiin gue satu-satunya orang yang boleh ngeliat dia terpuruk,
memahami sisi lainnya.”
Sivia menggelengkan kepalanya.
Betapa berkuasanya hal yang biasa disebut cinta. Ia sangat mengenal Ify, gadis
rasional, logis, dan liberal. Dan yang saat ini ada disebelahnya justru ia
temukan cewek melankolis, pasrah, dan bodoh. Ify yang selalu saja mau memenuhi
apa keinginan Rio, apapun itu. Bahkan sampai-sampai rela bangun pukul tiga dini
hari untuk menemani Rio yang masih sibuk membuat proposal kegiatan OSIS,
padahal cewek itu mengidap anemia, jika kurang tidur, sudah hampir bisa
dipastikan keesokan harinya pasti ia sakit. Ify yang selalu ada untuk
mendengarkan cerita Rio tentang semua masalahnya, bahkan tentang setiap
perempuan yang sedang menjadi incaran cowok jangkung itu.
“suatu saat, dia pasti sadar
kalau gue rumahnya.” Ucapan Ify yang selalu ia ingat. Sivia tahu pasti jika
sahabatnya itu selalu mengutamakan ketulusan, namun baru ia mengerti sebegitu
besarnya rasa itu dimiliki seorang Ify. Rumah, tempat melepas lelah, tempat
meletakkan segala apa yang ia miliki, tempatnya kembali sejauh apapun ia pergi.
Dan memang begitu adanya, siapapun gadis yang dekat dengan Rio, tak satupun
dari mereka mendapat porsi sespesial Ify. Cassanova itu mempunyai track records
buruk soal wanita, mudah sekali bosan, jarang sekali ia membuat komitmen,
pemberi harapan palsu, namun dengan Ify ia tak pernah menjauh, selalu berdiri
di tempatnya, sebagai orang yang selalu membutuhkan gadis itu.
“cinta itu nggak harus memiliki,
Fy! Gue prihatin sering kali liat elo sok-sok tegar.”
Ify tersenyum simpul. Jujur, ia
sendiri tak pernah mencoba menjadi gadis sok tegar seperti kata Sivia, ia punya
kekuatan yang memang selalu membuatnya bertahan di tempatnya. Sosok Rio
benar-benar mengajarkan arti cinta yang sebenarnya, suatu hal yang murni
tentang sebuah ketulusan. Ia yang kini tahu pasti apa arti ungkapan ‘you smile,
I smile.’ Bukan sebuah kemunafikan seperti yang dulu ia kira, selalu ada saat
orang yang ia sayangi dalam kondisi apapun membuatnya mengerti jika jauh lebih
baik melihatnya tersenyum dengan siapapun itu dibandingkan harus melihat orang
itu terpuruk.
“gue tau pasti dimana gue. Cukup
buat gue jadi orang yang dia butuhkan, lebih dari cukup dia menjadi alasan gue
tersenyum.” Jawab Ify. Mata beningnya menerawang jauh, menjadikan gumpalan awan
putih bersih yang bergelayut pada birunya langit sebagai tumpuannya.
“gue rasa Gabriel serius suka
sama elo.” Ucap Sivia pasrah, sepertinya meyakinkan Ify untuk mundur sebelas
dua belas dengan mencari jarum dalam jerami. Ify tersenyum simpul sambil
menggedikan bahunya. Ia sendiri takut untuk kembali mengira-ira ada rasa yang
datang untuknya, terlalu gamang membuka hati dan akhirnya harus berdiri di
tempat yang sama lagi. “gue rasa air tenang pun bisa jadi bencana
menenggelamkan seseorang, dan di tengah pusaran badai ada tempat yang begitu
tenang.”
*****
Ify mendengus keras, membebaskan sesak di dadanya dan mencoba mengurai
segala macam pikiran di otaknya. Ternyata memang di dunia ini memang tak ada
tokoh yang benar-benar putih dan benar-benar hitam. Dan semuanya terlalu abu-abu
untuk ia urai.
Gabriel dan Rio menjelaskan
semuanya. Termasuk menjelaskan jika jatuh cinta memang musuh logika. Gabriel,
sosok keras yang tak pernah memaksanya, menjadi satu yang ada saat ia
membutuhkan, menjadi yang datang saat ia kesepian. Mario, sosok tegas yang tak
pernah ingin dibantah, orang yang selalu ia kuatkan saat rapuh, orang yang tak
pernah ia biarkan kesepian, sekalipun tak pernah ada balasannya.
Gadis manis itu bukan gelisah
memikirkan siapa yang akan ia pilih, keduanya belum ada yang benar-benar
mengajaknya untuk bertahan, berdua, bukan hanya sekedar mempertahankan.
Dihelanya nafas sekali lagi dengan mata terpejam. Terlantun sebaris doa pada
Sang Kuasa agar memberi jawaban atas semua kegalauannya.
Getaran ponsel yang semula teronggok
begitu saja dihadapannya membuat lamunan Ify buyar. Satu pesan masuk.
Gabriel :
Gue di depan rumah lo.
Sebaris kalimat yang cukup membuat Ify tersentak. Dilongokkan kepalanya
ke dekat cendela. Matanya memindai halaman depan rumahnya hingga ke jalan.
Masih mengira Gabriel hanya bercanda. Dan tak mungkin Tuhan mengirim jawaban
atas doanya sekilat ini.
Kegiatannya masih berlanjut
sampai terdengar ketukan pintu dan suara ibunya memanggil.
“Fy, ada teman
kamu di bawah.”
Bergegas Ify mengikat rambutnya asal-asalan dan berlari keluar.
Melewati ibunya tanpa basa-basi. Berlari menuju ruang tamu rumahnya yang berada
di lantai dasar.
Mata almondnya terbelalak lebar saat benar-benar mendapati Gabriel
sedang duduk manis di sofa sambil membolak-balik majalah otomotif milik Ray,
adik semata wayangnya, yang masih dibiarkan berserakan di meja sebelumnya. Dan
yang lebih membuatnya tak percaya adalah penampilan Gabriel malam ini, jauh
berbeda dengan Gabriel si preman sekolah yang selama ini ia kenal.
Gabriel begitu keren dengan setelan kemeja abu-abu polos lengan
panjang, dua kancing teratasnya terbuka memamerkan kaos putih di dalamnya, dan
celana jeans hitam, sneakers putih yang bersih. Rambutnya yang biasa gondrong
malam ini tercukur dan tertata rapi. Entah kemana perginya kesan urakan yang
selama ini melekat pada cowok tampan itu.
Cowok itu menyeringai lebar sambil menggaruk tengkuknya melihat
ekspresi Ify. Dan sepertinya ia baru saja mengalami metamorfosis sempuna, tak
kalah dari kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu.
“sorry gue ganggu.” Ucapnya.
“ngapain lo malem-malem ngegrebek rumah gue? Mana klimis kaya mau
kampanye calon gubernur gini.” Cerca Ify setelah sadar penuh dari
ketersimaannya. Bahkan Rio pun belum pernah ia lihat serapi ini sebelumnya. Ia
duduk di samping Gabriel.
“mau ngajak lo jalan. Boleh?”
Tak ada jawaban dari Ify, cewek mungil itu masih sibuk mengamati
Gabriel dari ujung kaki sampai puncak jambul rambutnya. Ia berani bertaruh jika
cewek-cewek satu sekolah, termasuk fans berat Rio akan menggelepar tak karuan
melihat Gabriel malam ini. Aroma musk dari parfum yang dipakai cowok itu pun
sampai ke hidungnya, begitu menusuk namun sekaligus menenangkan, mengingatkan
Ify pada parfum merk terkenal yang sudah lama didambakan Ray namun belum juga
didapat karena harganya yang cukup mahal.
“boleh, gue ganti baju dulu.” Jawab Ify gagap. Seakan benar-benar
terhipnotis oleh apa yang sedang ia lihat. Sekali lagi jantungnya berdegub tak
wajar, bukan untuk orang yang sama. Tak ada nada paksaan dari ajakan Gabriel,
namun ada daya di sana yang membuatnya tak mampu menolak.
“nggak usah! Kelamaan, keburu malem.” Gabriel beranjak dari tempat
duduknya. “panggilin mama elo, tolong!” Tolong. Kata yang jarang sekali Ify
dengar dari Rio. Cowok itu terlalu otoriter untuk mendapat banding dari apa
yang ia ucapkan.
Ify mengangguk. Beranjak ke dapur menemui ibunya. Dan tak lama kembali
berdua disambut senyuman hangat Gabriel yang merekah. Cowok itu baru mengerti
darimana kecantikan Ify diwarisi, ibunya masih sangat cantik di usianya yang
menjelang setengah baya.
“tante, boleh saya ajak Ify keluar sebentar?” pamitnya sopan,
punggungnya sedikit merunduk, menunjukan jika ia seorang anak yang beretika
sangat baik. Ify sedikit menahan tawanya agar tidak meledak, apa yang ia lihat
malam ini benar-benar kontras dengan apa yang dialaminya selama ini.
“boleh, tapi jangan lama-lama, ya!” jawab ibu Ify sangat manis. Ify
memutar kedua bola matanya. Sepertinya sang bunda sudah jatuh hati pada Gabriel.
Ibunya berperilaku sama sepertinya, tak pernah terlalu menjaga image, tapi
sekarang, cewek itu seperti sedang melihat sebuah pertunjukan seni peran.
“Ify pergi, bunda.” Pamit Ify sambil mencium tangan ibunya. Disusul
Gabriel, masih dengan senyum yang mungkin bisa membuat matahari minder karena
kalah hangat.
Keterkejutan Ify makin menjadi saat melihat sebuah motor besar berwarna
merah yang sudah bermerk terkenal terparkir di halaman rumahnya, terlebih
setelah Gabriel nangkring di atasnya. Ia tahu pasti jika motor itu berharga cukup
fantastis. Pertanyaan besar kini menggelayut di benaknya, siapa Gabriel? Tapi
masih disimpannya. Bergegas ia naik ke boncengan Gabriel.
*****
Gabriel menghentikan motornya di
tepi sebuah danau kecil, tak jauh dari rumah Ify. Suasana begitu hening, hanya
dengan penerangan seadanya dari beberapa lampu taman dan cahaya bulan. Cowok
itu mengajak Ify turun dan duduk di atas dermaga di atas danau.
Mata Ify menelusuri setiap arah
tempatnya berdiri sekarang. Bulu kuduknya sempat meremang saat menyadari
benar-benar hanya ada ia dan Gabriel di sana, di antara pepohonan rindang yang
tubuh di tepi danau. Didorong rasa ngerinya, Ify mengapit tangan Gabriel yang
sebelumnya sudah berada satu langkah di depannya.
Cowok berpostur tinggi tegap itu
tersenyum kecil. Diraihnya tangan Ify dan digenggamnya lembut. Ia dapat
merasakan jemari lembut Ify begitu dingin dan sedikit bergetar. Tersadar jika
hawa malam ini cukup dingin, Gabriel merutuki dirinya sendiri yang ceroboh
tidak membawa jaket.
“sebentar!” ucap Gabriel
tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya.
“lo mau ngajak gue uji nyali,
Gab?”
Pertanyaan Ify tak diacuhkan Gabriel, kedua tangannya sibuk melepas
kaitan kancing demi kancing kemejanya yang kemudian ia selimutkan di tubuh Ify
yang hanya berbalut kaos. Ify terhenyak. Perempuan dari belahan bumi mana yang
tidak tersanjung diperlakukan seperti itu oleh seorang laki-laki setampan
Gabriel. Gadis berdagu lancip itu merasakan udara panas menjalar dari pipinya.
Rasa takutnya pun menguap. Ia tahu dengan pemuda itu ia aman.
“sorry, gue bawa lo ke tempat kaya begini. Gue nggak terlalu suka
keramaian.” Ujar Gabriel sesaat setelah keduanya duduk manis di ujung dermaga.
“iya, lo kan sukanya bikin keramaian.” Sindir Ify sambil tertawa kecil.
Tak ada balasan dari Gabriel yang justru membuat cewek itu menoleh ke samping.
Didapatinya lekukan tegas yang begitu sempurna, mungkin Tuhan berkerja sangat
khusus untuk menciptakan pria luar biasa di sebelahnya ini. Mata teduhnya, mata
yang sama sekali tak bergejolak, mendamaikan hati. Hampir-hampir Ify lupa jika
ia sedang bersanding dengan seorang dedengkot kerusuhan yang disegani banyak
orang. Pria ini begitu manis, perhatian, dan penyayang. Ify menggigit kecil
bibir bawahnya. Sebongkah ketakutan muncul dibenaknya. Inikah Gabriel yang
sedang menanggalkan topengnya? Atau saat ini ia sedang bersandiwara?
“gue seburuk itu ya, Fy?” tiba-tiba Gabriel menoleh dan membuat Ify begitu
tersentak.
“ma.. maksud lo?” tanya Ify gagap. Sungguh ia tak bisa mencerna dengan
baik apa yang terjadi padanya malam ini.
“yah, reaksi lo liat gue hari ini begitu banget. Emang sebelumnya gue
bejat banget ya?”
Ify menggeleng. Seburuk apapun cerita yang ia dengar soal Gabriel
selama ini tak pernah mampu membuatnya membenci Gabriel. Gabriel yang
awut-awutan. Gabriel yang berangkat sekolah udah kaya puasa, Senin-Kamis.
Gabriel yang suka ngompor-ngomporin siswa lain buat tawuran. Gabriel yang akrab
dengan rokok dan minuman keras. Dan masih banyak yang lain. Tapi Ify tak pernah
mendengar seorang wanita pun yang mengeluh pernah disakiti Gabriel. Cowok itu
tahu pasti bagaimana memperlakukan perempuan, bukan sebagai pemberi harapan
palsu, ia bisa memberi garis batas yang jelas antara ia dan cewek-cewek yang
mendekatinya. Dan satu hal lagi, Ify tahu prinsip Gabriel hanya melanggar
peraturan, bukan membantah orang yang lebih tua. Pemuda itu tahu pasti
bagaimana menghargai orang lain. “lo itu keren tau.” Balas Ify.
Gabriel tertawa lepas. “keren mana sama Rio?”
Ify mendengus. Tak hentinya mereka berdua membandingkan diri. Padahal
jelas mereka tak bisa disamakan.
“oke, gue bercanda. Nggak usah dijawab. Kerenan gue, jelas itu!”
Kali ini tawa Ify pecah. Perbedaan jelas lainnya antara Rio dan Gabriel
adalah Gabriel orang yang begitu dinamis, bisa jadi apapun yang dia suka.
“gue suka banget liat elo ketawa. Seksi.”
“elo siapa sih, Gab?” tanya Ify mengalihkan perhatian, sekaligus
menuangkan pertanyaan yang sejak tadi menari lincah di otaknya. Bisa terbang
juga ia dibuat Gabriel jika diteruskan.
“Gabriel Stevent. Elo nggak amnesia kan?”
“maaf, ini kaya bukan elo banget.”
“Gabriel bisa jadi apapun yang dia suka.”
Hening. Suara binatang malam mendominasi. Baik Ify maupun Gabriel
memilih diam. Sampai satu persatu kunang-kunang mulai berdatangan, seakan
menjadikan danau sebagai sebuah panggung untuk pertunjukan tari massal mereka.
Ify terpukau, matanya berbinar, cantik sekali seakan memantulkan cahaya purnama
yang membuai wajahnya.
“ini cantik banget, Gab!” pekik Ify seakan tak percaya dengan apa yang
ia lihat.
“gue cuma mau lo rasain juga apa yang gue rasain selama ini.”
Ify diam. Kini perhatiannya mengarah penuh pada Gabriel. Mencoba
memahami apa yang baru saja cowok itu katakan. Dan tetap tak bisa ia temukan
maknanya. Dan apapun soal Gabriel terlalu tinggi untuk akal sehatnya.
“perasaan elo ngeliat tempat ini mungkin sama persis saat gue liat elo
setiap harinya.” Gabriel tersenyum simpul. Namun sedetik kemudian wajahnya
mengeras membuka topeng yang beberapa waktu ini ia kenakan, wajah yang sama
persis saat ia di sekolah, ekspresi yang selalu disegani teman-temannya. “gue
tahu posisi gue, saat Rio ada di podium orasi buat pemilihan ketua OSIS, gue
orasi di jalanan buat ngerencanain serangan ke sekolah lain.” Dan senyuman itu
kini menghambar. “pas Rio sibuk corat-coret buku dengan rumus-rumusnya, gue
corat-coret tembok dengan brutalnya.” Kali ini wajah itu berubah dingin tanpa
ekspresi apapun. “saat Rio dipuji guru-guru, gue dimaki habis-habisan. Sama
semua orang dia dipuja, dan sama semua orang juga gue dicibir.”
Ify mencelos dengan setiap perkataan Gabriel. Tak pernah dilihatnya
Gabriel yang biasanya kokoh berdiri itu begitu terluka. Dalamnya hati seorang
manusia memang tak ada yang bisa menyelaminya, tak terdeteksi radar apapun.
Kedua tangan Ify terulur, merengkuh tubuh tegap itu ke dalam pelukannya. Namun
Gabriel menghindar.
“jangan bikin gue kecanduan, Fy.” candaan yang keluar dari bibir
Gabriel disertai tawanya yang terdengar begitu dipaksakan. Ify mengerti,
Gabriel masih tak ingin terlihat lemah. “gue tahu, menginginkan cewek yang
jelas naksir sama tuan besar itu sama halnya dengan gue minta elo tuker permata
sama batu kali.”
“Gab..” Ify benar tak tahu harus mengeluarkan kata apa dari bibirnya.
Di matanya, keduanya, Rio dan Gabriel adalah sosok yang luar biasa. Tak ada
yang lebih rendah.
“elo nggak harus ngehibur gue kok, Fy.” Gabriel tersenyum manis sambil
mengacak-acak lembut puncak kepala Ify. Matanya kemudian kembali terarah pada
gerombolan kunang-kunang yang masih setia menemani keduanya.
“elo tahu? Gambaran Rio lebih mirip cakaran ayam, kadang bahkan bagusan
cakaran ayam.” Ify memulai monolognya tanpa menghiraukan ucapan Gabriel. “gue
kagum banget sama gambar punya Gabriel Stevent, gue nggak habis pikir gimana
bikin sesuatu di kertas sebagus jepretan kamera SLR.”
Gabriel kembali mengalihkan padangannya pada Ify. Benar-benar tak salah
ia mengagumi, bahkan mencintai gadis ini. Ia yang kadang dilihat sebagai sampah
yang harus dibuang, bisa merasa begitu berharga saat berada di samping gadis
ini.
“Rio nggak bisa main drumm, piano, gitar, biola, bahkan terompet
sebagus elo.” Kali ini Gabriel benar-benar terpaku, darimana Ify tahu ia bisa
memainkan hampir semua alat musik karena tak pernah sama sekali ia
memperlihatkannya pada orang lain? Ia tahu betul Rio hanya menguasai gitar dan
bass.
“gimana elo tahu?”
Kedua mata Ify mengerling lucu, senyumnya mengembang sempurna, persis
seperti seekor kelinci mungil yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi
gemas. “elo sering bolos ke ruang musik kan? sorry, gue sering ngintip.”
Gabriel menggaruk tengkuknya yang sebenarnya sama sekali tidak merasa gatal.
“jadi malu gue, Fy.” seringai Gabriel.
“lo sama Rio orang yang berbeda, Gab. Rio itu profesor hebat, dan elo
seniman yang luar biasa. Kalian berdua itu mengagumkan.”
“tapi dia selalu menangin apapun yang gue mau, dari kecil.”
Dua kata terakhir yang melantun dari mulut Gabriel membuat Ify makin
tak mengerti. Dari kecil? Berarti Gabriel dan Rio sudah saling mengenal sejak
lama. Tapi mengapa sekarang keduanya seakan seperti orang yang tidak pernah
tahu satu sama lain. Pasti ada hal lain yang mereka sembunyikan.
“kalian punya rahasia?” tanya Ify penasaran.
“kalian?”
“lo sama Rio?”
“belum saatnya elo tahu.”
Sekian lama ia bergaul dengan Rio, membuat Ify bisa memahami Gabriel
saat ini dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Keduanya punya kesamaan,
tak ingin orang menyelami diri mereka terlalu dalam. Jika memang mereka ingin
berbagi, tak segan mereka mengatakan semuanya. Mereka sama-sama selalu memilih
untuk menegakkan sebuah benteng kokoh yang tak tertembus oleh siapapun termasuk
dirinya.
“udah malem, pulang yuk?” tawar Gabriel setelah melirik jam hitam yang
melingkar di tangan kanannya, satu yang baru Ify sadari, Gabriel dan Rio
sama-sama suka memakai jam di tangan kanan, tak seperti kebanyakan orang lain
yang lebih memilih menggunakannya di tangan kiri. “gimana?” tanya Gabriel lagi
untuk membuyarkan lamunan Ify yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Hanya
dijawab anggukan oleh Ify.
*****
Keesokan paginya Ify terkejut mendapati Rio sudah duduk manis di
bangkunya, dengan kaki yang asik bertengger di atas meja. Wajahnya keras,
rambutnya acak-acakan. Ify tahu hanya ada dua kemungkinan hal yang terjadi pada
Rio saat ini, kalau tidak sedang menghadapi masalah, ya berarti sedang marah.
Gadis mungil itu menarik napas dan mengeluarkannya perlahan, bila sudah begitu
Rio biasa menumpahkan semua padanya, dan ia lagi harus berdiri di posisi orang
yang mengerti Rio.
“kemana lo semalem?” tanya Rio tajam begitu Ify sampai di mejanya. Ify
hanya diam, sepenuhnya ia mengerti maksud Rio.
“nggak kemana-mana.” Jawab Ify, sedikit ragu. Ia paling tak bisa
berbohong jika mata Rio sudah menghakiminya. Mata yang seakan membidikan busur
panah ke dalam tubuhnya yang membuat semuanya melemah.
“bohong! Lo pergi sama Gabriel kan?” pertanyaan retoris. Menjawabnya
hanya akan membuat amarah Rio lebih meledak. Ify menunduk memperhatikan ujung
sepatu kedsnya. Tak habis pikir darimana Rio tahu. Biasanya cowok ini seakan
tak pernah ambil peduli dengan apa yang ia lakukan, dengan siapapun itu.
“iya. Kenapa?”
“kenapa? Gue nggak suka liat lo sama yang lain.”
Seketika Ify mengangangkat wajahnya, dengan alis di atas mata kanannya
terangkat. Wajah penuh tanya menantang Rio menjelaskan apa yang baru saja ia
katakan. Melihat Rio pun kebingungan dengan apa yang baru saja keluar dari
mulutnya membuat Ify menarik ujung kanan bibirnya membentuk senyum sarkas.
Sedetik kemudian ia menaruh tasnya dan memilih berbalik badan keluar kelas. Rio
terlihat seperti seorang anak kecil yang tak rela mainannya dibagi untuk orang
lain, apa lagi orang itu adalah orang yang ia benci.
to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar