Rabu, 19 Desember 2012

Between Us part 2


Ify mengetukan ujung pena di atas gelaran kertas HVS putih yang rencananya akan ia gunakan untuk membuat sketsa wajah, tugas seni rupa yang harus ia kumpulkan esok hari. Matanya menerawang jauh, meraup butiran bintang dari balik cendela kamarnya yang masih terbuka. Belum juga menemukan wajah seperti apa yang akan ia pindah dari angannya ke dalam kertas. Frustasi. Akhirnya ia hanya melamun. Kata-kata Sivia, sahabat baiknya tadi siang terus menghatuinya.

*****
                Jam istirahat, waktu yang selalu ditunggu setiap penghuni kelas. Tak terkecuali Ify dan Sivia. Setengah berlari gadis bertubuh mungil itu menuju ke ruang OSIS. Menemui Rio yang absen dua jam pelajaran Kimia untuk memberikan hasil ulangan hariannya. Angka satu diikuti dua buah nol terpampang besar-besar dengan tinta merah di pojok kanan atas kertas yang masih rapi itu.
               
Ini bukan yang pertama kalinya Rio mendapat nilai sempurna di test-testnya, namun tak sekalipun Ify kehilangan kebanggaan pada cowok bersenyum dewa itu. Untuknya Mario Stevano selalu mengagumkan.
               
Pintu berukuran sedang akses keluar masuk sebuah ruangan berukuran dua puluh lima meter persegi berdecit pelan. Dengan senyum yang perlahan mengabur Ify berdiri di ambangnya. Pemandangan paling tak suka ia lihat terpampang langsung di hadapannya, ia melihat tangan kokoh Rio membelai lembut puncak kepala Zahra, sekretaris OSIS sekaligus juara pararel kelas IPA semester lalu. Ify menunduk sebentar, menghela nafasnya pelan, mencoba meleburkan sesak dalam dadanya dan kembali tersenyum lebar.
               
“sorry gue ganggu, cuma mau nganterin ini.” Ucap cewek itu sambil maju sekitar tiga langkah dari tempatnya semula. Sekuat tenaga menatap bola mata penuh kehangatan dari Rio. Mencoba berakting seperti segalanya biasa saja.
               
“santai aja! Kita nggak ngapa-ngapain ini. Thanks ya, Fy!” tanggap Rio tenang. Entah akting Ify yang sudah sekelas pemenang piala Oscar atau hanya Rio yang tidak bisa menangkap gurat kekecewaan di wajah gadis yang selalu ada untuknya itu.
               
Ify mengangguk, tanpa berkata-kata lagi ia melangkah keluar ruangan, menemui Sivia yang lebih memilih menunggu sambil melihat Alvin, bermain basket di lapangan.
               
“wihh.. Alvin makin ganteng aja ya, Vi?” tegur Ify disambung kekehan kecil, tak tahan dengan ekspresi Sivia yang benar-benar seperti pungguk menatap rembulan.
               
“perasaan setiap hari begitu aja.” Jawab Sivia ringan. Ify menggeleng heran, pasangan yang aneh, mereka sama-sama suka tetapi tak ada satupun yang mau menurunkan gengsi untuk meminta meresmikan hubungan.
               
“begitu mempesona?” goda Ify yang sukses membuat Sivia malu-malu, tapi napsu.
               
“gimana pangeran elo?” tanya Sivia balik, bermaksud menyamakan kedudukan.
               
“siapa pangeran gue? Nggak ada.”
               
“Rio lah! Siapa lagi?” Sivia menyandarkan punggungnya pada tembok UKS, tanpa mengalihkan perhatian dari lapangan.
               
“lagi sama Zahra.”
               
Mata sipit Sivia mendadak menjadi bulat penuh. Ia mungkin bukan sahabat yang selalu berkata-kata dan berjanji manis untuk selalu ada saat Ify membutuhkan, ia juga tak pernah berjanji akan menjadi sahabat Ify selamanya, tapi Sivia bahkan bisa mengetahui ada nada yang lain dari jawaban Ify. Sebuah kekecewaan yang tak pernah ingin sahabatnya itu sampaikan. –harusnya-lagi-sama-gue- mungkin ada kata itu yang terpotong dari jawaban singkat Ify.
               
“mau sampai kapan?” tanya Sivia sedikit tidak berminat sebenarnya.
               
“apanya?” tanya Ify sebiasa mungkin. Ia tidak terlalu lemot untuk menyadari apa sebenarnya apa maksud Sivia. Namun pikirannya juga membangkang untuk menjawabnya, menguak semua kebodohannya.
               
“mau sampai kapan lo bertahan buat cowok bego itu?”
               
Ify tersenyum hambar. Bukan Rio yang bego, sepenuhnya gue yang terlalu bodoh, pikirnya. “gue bertahan sampai nanti gue nggak sanggup lagi.” Jawabnya lirih.
               
“lo sadar nggak lo cuma dimanfaatin? Dia dateng ke elo kalau dia butuh doang!” cerca Sivia makin berapi-api, jujur, tragis juga mendapati cerita cinta sahabatnya itu. Ia yang semula begitu mengagumi Rio dengan segala prestasinya, karismanya, dan tidak terlepas penampilan fisiknya kini illfeel setengah mati. “lebih pantes jadi deptcollector dari pada pemilik hati elo.”
               
“gue nggak tahu ini namanya apa, tapi kebahagiaan buat gue bisa jadi sandarannya.” Ify menghela nafas panjang, bola matanya mengarah lurus ke arah bola basket yang sedang menjadi rebutan di tengah lapangan. “dia yang sempurna, percaya sama gue, ngejadiin gue satu-satunya orang yang boleh ngeliat dia terpuruk, memahami sisi lainnya.”

                Sivia menggelengkan kepalanya. Betapa berkuasanya hal yang biasa disebut cinta. Ia sangat mengenal Ify, gadis rasional, logis, dan liberal. Dan yang saat ini ada disebelahnya justru ia temukan cewek melankolis, pasrah, dan bodoh. Ify yang selalu saja mau memenuhi apa keinginan Rio, apapun itu. Bahkan sampai-sampai rela bangun pukul tiga dini hari untuk menemani Rio yang masih sibuk membuat proposal kegiatan OSIS, padahal cewek itu mengidap anemia, jika kurang tidur, sudah hampir bisa dipastikan keesokan harinya pasti ia sakit. Ify yang selalu ada untuk mendengarkan cerita Rio tentang semua masalahnya, bahkan tentang setiap perempuan yang sedang menjadi incaran cowok jangkung itu.

                “suatu saat, dia pasti sadar kalau gue rumahnya.” Ucapan Ify yang selalu ia ingat. Sivia tahu pasti jika sahabatnya itu selalu mengutamakan ketulusan, namun baru ia mengerti sebegitu besarnya rasa itu dimiliki seorang Ify. Rumah, tempat melepas lelah, tempat meletakkan segala apa yang ia miliki, tempatnya kembali sejauh apapun ia pergi. Dan memang begitu adanya, siapapun gadis yang dekat dengan Rio, tak satupun dari mereka mendapat porsi sespesial Ify. Cassanova itu mempunyai track records buruk soal wanita, mudah sekali bosan, jarang sekali ia membuat komitmen, pemberi harapan palsu, namun dengan Ify ia tak pernah menjauh, selalu berdiri di tempatnya, sebagai orang yang selalu membutuhkan gadis itu.

                “cinta itu nggak harus memiliki, Fy! Gue prihatin sering kali liat elo sok-sok tegar.”

                Ify tersenyum simpul. Jujur, ia sendiri tak pernah mencoba menjadi gadis sok tegar seperti kata Sivia, ia punya kekuatan yang memang selalu membuatnya bertahan di tempatnya. Sosok Rio benar-benar mengajarkan arti cinta yang sebenarnya, suatu hal yang murni tentang sebuah ketulusan. Ia yang kini tahu pasti apa arti ungkapan ‘you smile, I smile.’ Bukan sebuah kemunafikan seperti yang dulu ia kira, selalu ada saat orang yang ia sayangi dalam kondisi apapun membuatnya mengerti jika jauh lebih baik melihatnya tersenyum dengan siapapun itu dibandingkan harus melihat orang itu terpuruk.

                “gue tau pasti dimana gue. Cukup buat gue jadi orang yang dia butuhkan, lebih dari cukup dia menjadi alasan gue tersenyum.” Jawab Ify. Mata beningnya menerawang jauh, menjadikan gumpalan awan putih bersih yang bergelayut pada birunya langit sebagai tumpuannya.

                “gue rasa Gabriel serius suka sama elo.” Ucap Sivia pasrah, sepertinya meyakinkan Ify untuk mundur sebelas dua belas dengan mencari jarum dalam jerami. Ify tersenyum simpul sambil menggedikan bahunya. Ia sendiri takut untuk kembali mengira-ira ada rasa yang datang untuknya, terlalu gamang membuka hati dan akhirnya harus berdiri di tempat yang sama lagi. “gue rasa air tenang pun bisa jadi bencana menenggelamkan seseorang, dan di tengah pusaran badai ada tempat yang begitu tenang.”

*****
               
Ify mendengus keras, membebaskan sesak di dadanya dan mencoba mengurai segala macam pikiran di otaknya. Ternyata memang di dunia ini memang tak ada tokoh yang benar-benar putih dan benar-benar hitam. Dan semuanya terlalu abu-abu untuk ia urai.

                Gabriel dan Rio menjelaskan semuanya. Termasuk menjelaskan jika jatuh cinta memang musuh logika. Gabriel, sosok keras yang tak pernah memaksanya, menjadi satu yang ada saat ia membutuhkan, menjadi yang datang saat ia kesepian. Mario, sosok tegas yang tak pernah ingin dibantah, orang yang selalu ia kuatkan saat rapuh, orang yang tak pernah ia biarkan kesepian, sekalipun tak pernah ada balasannya.

                Gadis manis itu bukan gelisah memikirkan siapa yang akan ia pilih, keduanya belum ada yang benar-benar mengajaknya untuk bertahan, berdua, bukan hanya sekedar mempertahankan. Dihelanya nafas sekali lagi dengan mata terpejam. Terlantun sebaris doa pada Sang Kuasa agar memberi jawaban atas semua kegalauannya.

                Getaran ponsel yang semula teronggok begitu saja dihadapannya membuat lamunan Ify buyar. Satu pesan masuk.

Gabriel :
Gue di depan rumah lo.
               
Sebaris kalimat yang cukup membuat Ify tersentak. Dilongokkan kepalanya ke dekat cendela. Matanya memindai halaman depan rumahnya hingga ke jalan. Masih mengira Gabriel hanya bercanda. Dan tak mungkin Tuhan mengirim jawaban atas doanya sekilat ini.

                Kegiatannya masih berlanjut sampai terdengar ketukan pintu dan suara ibunya memanggil.
“Fy, ada teman kamu di bawah.”

Bergegas Ify mengikat rambutnya asal-asalan dan berlari keluar. Melewati ibunya tanpa basa-basi. Berlari menuju ruang tamu rumahnya yang berada di lantai dasar.

Mata almondnya terbelalak lebar saat benar-benar mendapati Gabriel sedang duduk manis di sofa sambil membolak-balik majalah otomotif milik Ray, adik semata wayangnya, yang masih dibiarkan berserakan di meja sebelumnya. Dan yang lebih membuatnya tak percaya adalah penampilan Gabriel malam ini, jauh berbeda dengan Gabriel si preman sekolah yang selama ini ia kenal.

Gabriel begitu keren dengan setelan kemeja abu-abu polos lengan panjang, dua kancing teratasnya terbuka memamerkan kaos putih di dalamnya, dan celana jeans hitam, sneakers putih yang bersih. Rambutnya yang biasa gondrong malam ini tercukur dan tertata rapi. Entah kemana perginya kesan urakan yang selama ini melekat pada cowok tampan itu.

Cowok itu menyeringai lebar sambil menggaruk tengkuknya melihat ekspresi Ify. Dan sepertinya ia baru saja mengalami metamorfosis sempuna, tak kalah dari kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu.

“sorry gue ganggu.” Ucapnya.

“ngapain lo malem-malem ngegrebek rumah gue? Mana klimis kaya mau kampanye calon gubernur gini.” Cerca Ify setelah sadar penuh dari ketersimaannya. Bahkan Rio pun belum pernah ia lihat serapi ini sebelumnya. Ia duduk di samping Gabriel.

“mau ngajak lo jalan. Boleh?”

Tak ada jawaban dari Ify, cewek mungil itu masih sibuk mengamati Gabriel dari ujung kaki sampai puncak jambul rambutnya. Ia berani bertaruh jika cewek-cewek satu sekolah, termasuk fans berat Rio akan menggelepar tak karuan melihat Gabriel malam ini. Aroma musk dari parfum yang dipakai cowok itu pun sampai ke hidungnya, begitu menusuk namun sekaligus menenangkan, mengingatkan Ify pada parfum merk terkenal yang sudah lama didambakan Ray namun belum juga didapat karena harganya yang cukup mahal.

“boleh, gue ganti baju dulu.” Jawab Ify gagap. Seakan benar-benar terhipnotis oleh apa yang sedang ia lihat. Sekali lagi jantungnya berdegub tak wajar, bukan untuk orang yang sama. Tak ada nada paksaan dari ajakan Gabriel, namun ada daya di sana yang membuatnya tak mampu menolak.

“nggak usah! Kelamaan, keburu malem.” Gabriel beranjak dari tempat duduknya. “panggilin mama elo, tolong!” Tolong. Kata yang jarang sekali Ify dengar dari Rio. Cowok itu terlalu otoriter untuk mendapat banding dari apa yang ia ucapkan.

Ify mengangguk. Beranjak ke dapur menemui ibunya. Dan tak lama kembali berdua disambut senyuman hangat Gabriel yang merekah. Cowok itu baru mengerti darimana kecantikan Ify diwarisi, ibunya masih sangat cantik di usianya yang menjelang setengah baya.

“tante, boleh saya ajak Ify keluar sebentar?” pamitnya sopan, punggungnya sedikit merunduk, menunjukan jika ia seorang anak yang beretika sangat baik. Ify sedikit menahan tawanya agar tidak meledak, apa yang ia lihat malam ini benar-benar kontras dengan apa yang dialaminya selama ini.

“boleh, tapi jangan lama-lama, ya!” jawab ibu Ify sangat manis. Ify memutar kedua bola matanya. Sepertinya sang bunda sudah jatuh hati pada Gabriel. Ibunya berperilaku sama sepertinya, tak pernah terlalu menjaga image, tapi sekarang, cewek itu seperti sedang melihat sebuah pertunjukan seni peran.

“Ify pergi, bunda.” Pamit Ify sambil mencium tangan ibunya. Disusul Gabriel, masih dengan senyum yang mungkin bisa membuat matahari minder karena kalah hangat.

Keterkejutan Ify makin menjadi saat melihat sebuah motor besar berwarna merah yang sudah bermerk terkenal terparkir di halaman rumahnya, terlebih setelah Gabriel nangkring di atasnya. Ia tahu pasti jika motor itu berharga cukup fantastis. Pertanyaan besar kini menggelayut di benaknya, siapa Gabriel? Tapi masih disimpannya. Bergegas ia naik ke boncengan Gabriel.

*****

                Gabriel menghentikan motornya di tepi sebuah danau kecil, tak jauh dari rumah Ify. Suasana begitu hening, hanya dengan penerangan seadanya dari beberapa lampu taman dan cahaya bulan. Cowok itu mengajak Ify turun dan duduk di atas dermaga di atas danau.

                Mata Ify menelusuri setiap arah tempatnya berdiri sekarang. Bulu kuduknya sempat meremang saat menyadari benar-benar hanya ada ia dan Gabriel di sana, di antara pepohonan rindang yang tubuh di tepi danau. Didorong rasa ngerinya, Ify mengapit tangan Gabriel yang sebelumnya sudah berada satu langkah di depannya.

                Cowok berpostur tinggi tegap itu tersenyum kecil. Diraihnya tangan Ify dan digenggamnya lembut. Ia dapat merasakan jemari lembut Ify begitu dingin dan sedikit bergetar. Tersadar jika hawa malam ini cukup dingin, Gabriel merutuki dirinya sendiri yang ceroboh tidak membawa jaket.

                “sebentar!” ucap Gabriel tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya.

                “lo mau ngajak gue uji nyali, Gab?”

Pertanyaan Ify tak diacuhkan Gabriel, kedua tangannya sibuk melepas kaitan kancing demi kancing kemejanya yang kemudian ia selimutkan di tubuh Ify yang hanya berbalut kaos. Ify terhenyak. Perempuan dari belahan bumi mana yang tidak tersanjung diperlakukan seperti itu oleh seorang laki-laki setampan Gabriel. Gadis berdagu lancip itu merasakan udara panas menjalar dari pipinya. Rasa takutnya pun menguap. Ia tahu dengan pemuda itu ia aman.

“sorry, gue bawa lo ke tempat kaya begini. Gue nggak terlalu suka keramaian.” Ujar Gabriel sesaat setelah keduanya duduk manis di ujung dermaga.

“iya, lo kan sukanya bikin keramaian.” Sindir Ify sambil tertawa kecil. Tak ada balasan dari Gabriel yang justru membuat cewek itu menoleh ke samping. Didapatinya lekukan tegas yang begitu sempurna, mungkin Tuhan berkerja sangat khusus untuk menciptakan pria luar biasa di sebelahnya ini. Mata teduhnya, mata yang sama sekali tak bergejolak, mendamaikan hati. Hampir-hampir Ify lupa jika ia sedang bersanding dengan seorang dedengkot kerusuhan yang disegani banyak orang. Pria ini begitu manis, perhatian, dan penyayang. Ify menggigit kecil bibir bawahnya. Sebongkah ketakutan muncul dibenaknya. Inikah Gabriel yang sedang menanggalkan topengnya? Atau saat ini ia sedang bersandiwara?
               
“gue seburuk itu ya, Fy?” tiba-tiba Gabriel menoleh dan membuat Ify begitu tersentak.

“ma.. maksud lo?” tanya Ify gagap. Sungguh ia tak bisa mencerna dengan baik apa yang terjadi padanya malam ini.

“yah, reaksi lo liat gue hari ini begitu banget. Emang sebelumnya gue bejat banget ya?”

Ify menggeleng. Seburuk apapun cerita yang ia dengar soal Gabriel selama ini tak pernah mampu membuatnya membenci Gabriel. Gabriel yang awut-awutan. Gabriel yang berangkat sekolah udah kaya puasa, Senin-Kamis. Gabriel yang suka ngompor-ngomporin siswa lain buat tawuran. Gabriel yang akrab dengan rokok dan minuman keras. Dan masih banyak yang lain. Tapi Ify tak pernah mendengar seorang wanita pun yang mengeluh pernah disakiti Gabriel. Cowok itu tahu pasti bagaimana memperlakukan perempuan, bukan sebagai pemberi harapan palsu, ia bisa memberi garis batas yang jelas antara ia dan cewek-cewek yang mendekatinya. Dan satu hal lagi, Ify tahu prinsip Gabriel hanya melanggar peraturan, bukan membantah orang yang lebih tua. Pemuda itu tahu pasti bagaimana menghargai orang lain. “lo itu keren tau.” Balas Ify.

Gabriel tertawa lepas. “keren mana sama Rio?”

Ify mendengus. Tak hentinya mereka berdua membandingkan diri. Padahal jelas mereka tak bisa disamakan.

“oke, gue bercanda. Nggak usah dijawab. Kerenan gue, jelas itu!”

Kali ini tawa Ify pecah. Perbedaan jelas lainnya antara Rio dan Gabriel adalah Gabriel orang yang begitu dinamis, bisa jadi apapun yang dia suka.

“gue suka banget liat elo ketawa. Seksi.”

“elo siapa sih, Gab?” tanya Ify mengalihkan perhatian, sekaligus menuangkan pertanyaan yang sejak tadi menari lincah di otaknya. Bisa terbang juga ia dibuat Gabriel jika diteruskan.

“Gabriel Stevent. Elo nggak amnesia kan?”

“maaf, ini kaya bukan elo banget.”

“Gabriel bisa jadi apapun yang dia suka.”

Hening. Suara binatang malam mendominasi. Baik Ify maupun Gabriel memilih diam. Sampai satu persatu kunang-kunang mulai berdatangan, seakan menjadikan danau sebagai sebuah panggung untuk pertunjukan tari massal mereka. Ify terpukau, matanya berbinar, cantik sekali seakan memantulkan cahaya purnama yang membuai wajahnya.

“ini cantik banget, Gab!” pekik Ify seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“gue cuma mau lo rasain juga apa yang gue rasain selama ini.”

Ify diam. Kini perhatiannya mengarah penuh pada Gabriel. Mencoba memahami apa yang baru saja cowok itu katakan. Dan tetap tak bisa ia temukan maknanya. Dan apapun soal Gabriel terlalu tinggi untuk akal sehatnya.

“perasaan elo ngeliat tempat ini mungkin sama persis saat gue liat elo setiap harinya.” Gabriel tersenyum simpul. Namun sedetik kemudian wajahnya mengeras membuka topeng yang beberapa waktu ini ia kenakan, wajah yang sama persis saat ia di sekolah, ekspresi yang selalu disegani teman-temannya. “gue tahu posisi gue, saat Rio ada di podium orasi buat pemilihan ketua OSIS, gue orasi di jalanan buat ngerencanain serangan ke sekolah lain.” Dan senyuman itu kini menghambar. “pas Rio sibuk corat-coret buku dengan rumus-rumusnya, gue corat-coret tembok dengan brutalnya.” Kali ini wajah itu berubah dingin tanpa ekspresi apapun. “saat Rio dipuji guru-guru, gue dimaki habis-habisan. Sama semua orang dia dipuja, dan sama semua orang juga gue dicibir.”

Ify mencelos dengan setiap perkataan Gabriel. Tak pernah dilihatnya Gabriel yang biasanya kokoh berdiri itu begitu terluka. Dalamnya hati seorang manusia memang tak ada yang bisa menyelaminya, tak terdeteksi radar apapun. Kedua tangan Ify terulur, merengkuh tubuh tegap itu ke dalam pelukannya. Namun Gabriel menghindar.

“jangan bikin gue kecanduan, Fy.” candaan yang keluar dari bibir Gabriel disertai tawanya yang terdengar begitu dipaksakan. Ify mengerti, Gabriel masih tak ingin terlihat lemah. “gue tahu, menginginkan cewek yang jelas naksir sama tuan besar itu sama halnya dengan gue minta elo tuker permata sama batu kali.”

“Gab..” Ify benar tak tahu harus mengeluarkan kata apa dari bibirnya. Di matanya, keduanya, Rio dan Gabriel adalah sosok yang luar biasa. Tak ada yang lebih rendah.

“elo nggak harus ngehibur gue kok, Fy.” Gabriel tersenyum manis sambil mengacak-acak lembut puncak kepala Ify. Matanya kemudian kembali terarah pada gerombolan kunang-kunang yang masih setia menemani keduanya.

“elo tahu? Gambaran Rio lebih mirip cakaran ayam, kadang bahkan bagusan cakaran ayam.” Ify memulai monolognya tanpa menghiraukan ucapan Gabriel. “gue kagum banget sama gambar punya Gabriel Stevent, gue nggak habis pikir gimana bikin sesuatu di kertas sebagus jepretan kamera SLR.”

Gabriel kembali mengalihkan padangannya pada Ify. Benar-benar tak salah ia mengagumi, bahkan mencintai gadis ini. Ia yang kadang dilihat sebagai sampah yang harus dibuang, bisa merasa begitu berharga saat berada di samping gadis ini.

“Rio nggak bisa main drumm, piano, gitar, biola, bahkan terompet sebagus elo.” Kali ini Gabriel benar-benar terpaku, darimana Ify tahu ia bisa memainkan hampir semua alat musik karena tak pernah sama sekali ia memperlihatkannya pada orang lain? Ia tahu betul Rio hanya menguasai gitar dan bass.

“gimana elo tahu?”

Kedua mata Ify mengerling lucu, senyumnya mengembang sempurna, persis seperti seekor kelinci mungil yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi gemas. “elo sering bolos ke ruang musik kan? sorry, gue sering ngintip.” Gabriel menggaruk tengkuknya yang sebenarnya sama sekali tidak merasa gatal.

“jadi malu gue, Fy.” seringai Gabriel.

“lo sama Rio orang yang berbeda, Gab. Rio itu profesor hebat, dan elo seniman yang luar biasa. Kalian berdua itu mengagumkan.”

“tapi dia selalu menangin apapun yang gue mau, dari kecil.”

Dua kata terakhir yang melantun dari mulut Gabriel membuat Ify makin tak mengerti. Dari kecil? Berarti Gabriel dan Rio sudah saling mengenal sejak lama. Tapi mengapa sekarang keduanya seakan seperti orang yang tidak pernah tahu satu sama lain. Pasti ada hal lain yang mereka sembunyikan.

“kalian punya rahasia?” tanya Ify penasaran.

“kalian?”

“lo sama Rio?”

“belum saatnya elo tahu.”

Sekian lama ia bergaul dengan Rio, membuat Ify bisa memahami Gabriel saat ini dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Keduanya punya kesamaan, tak ingin orang menyelami diri mereka terlalu dalam. Jika memang mereka ingin berbagi, tak segan mereka mengatakan semuanya. Mereka sama-sama selalu memilih untuk menegakkan sebuah benteng kokoh yang tak tertembus oleh siapapun termasuk dirinya.

“udah malem, pulang yuk?” tawar Gabriel setelah melirik jam hitam yang melingkar di tangan kanannya, satu yang baru Ify sadari, Gabriel dan Rio sama-sama suka memakai jam di tangan kanan, tak seperti kebanyakan orang lain yang lebih memilih menggunakannya di tangan kiri. “gimana?” tanya Gabriel lagi untuk membuyarkan lamunan Ify yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Hanya dijawab anggukan oleh Ify.

*****

Keesokan paginya Ify terkejut mendapati Rio sudah duduk manis di bangkunya, dengan kaki yang asik bertengger di atas meja. Wajahnya keras, rambutnya acak-acakan. Ify tahu hanya ada dua kemungkinan hal yang terjadi pada Rio saat ini, kalau tidak sedang menghadapi masalah, ya berarti sedang marah. Gadis mungil itu menarik napas dan mengeluarkannya perlahan, bila sudah begitu Rio biasa menumpahkan semua padanya, dan ia lagi harus berdiri di posisi orang yang mengerti Rio.

“kemana lo semalem?” tanya Rio tajam begitu Ify sampai di mejanya. Ify hanya diam, sepenuhnya ia mengerti maksud Rio.

“nggak kemana-mana.” Jawab Ify, sedikit ragu. Ia paling tak bisa berbohong jika mata Rio sudah menghakiminya. Mata yang seakan membidikan busur panah ke dalam tubuhnya yang membuat semuanya melemah.

“bohong! Lo pergi sama Gabriel kan?” pertanyaan retoris. Menjawabnya hanya akan membuat amarah Rio lebih meledak. Ify menunduk memperhatikan ujung sepatu kedsnya. Tak habis pikir darimana Rio tahu. Biasanya cowok ini seakan tak pernah ambil peduli dengan apa yang ia lakukan, dengan siapapun itu.

“iya. Kenapa?”

“kenapa? Gue nggak suka liat lo sama yang lain.”

Seketika Ify mengangangkat wajahnya, dengan alis di atas mata kanannya terangkat. Wajah penuh tanya menantang Rio menjelaskan apa yang baru saja ia katakan. Melihat Rio pun kebingungan dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya membuat Ify menarik ujung kanan bibirnya membentuk senyum sarkas. Sedetik kemudian ia menaruh tasnya dan memilih berbalik badan keluar kelas. Rio terlihat seperti seorang anak kecil yang tak rela mainannya dibagi untuk orang lain, apa lagi orang itu adalah orang yang ia benci.

to be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar