Ify menggigit kecil bibir bawahnya. Berkali-kali sudah ia menengok jam biru
muda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Niat dan keberanian yang
sudah dipupuknya perlahan layu. Tatapan lelahnya kini tertuju pada lapangan
basket yang berjarak beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri sekarang.
Hampir dua jam
berlalu sia-sia, ia hanya duduk di bangku taman, sejak tadi matahari masih
berada tepat di atas ubun-ubun hingga kini condong ke barat. Penantiannya
terasa semakin sia-sia saat melihat Rio sedang bercakap hangat dengan Zahra, yang
juga merangkap peran sebagai manager tim basket sekolah. Rio yang sepertinya
sama sekali tak menyadari keberadaannya. Ify yang sudah sangat mengenal Rio tak
mau mengusiknya, ia tahu betul jika Rio tak mau mencampuradukkan setiap
urusannya menjadi satu, apa lagi maksud Ify kali ini benar-benar pribadi. Jika
ingin mundur pun justru akan lebih sia-sia. Semuanya harus ditunda lagi dan
semakin runyam. Tak baik menunda pekerjaan.
*****
Dari tengah lapangan
Gabriel dapat menangkap setiap lekukan manis gadis pujaannya itu. Gadis yang
selalu menarik, bahkan saat ini, dimana wajah kuyu dan lelah, rambut ekor kuda
yang sudah berantakan dan menyisakan beberapa helai membingkai wajah tirus itu.
Namun sesaat kemudian ia tersadar untuk siapa gadis itu ada di sini, bukan
untuknya, melainkan untuk dia, laki-laki yang sedang dianugerahi tatapan indah
Ify.
Bukan saatnya, pikir
cowok jangkung itu. Dihelanya nafas perlahan, membebaskan rasa sesaknya.
Mungkin saatnya ia bisa membahagiakan gadis itu sekarang. Perlahan Gabriel
melangkah mendekati Rio yang kini sudah duduk sendirian di tepi lapangan, tanpa
Zahra yang sudah beranjak mengecek perlengkapan yang baru saja digunakan
latihan.
“Yo!” sapa Gabriel
sambil mengambil posisi duduk di sebelah Rio. Rio hanya menatap sekilas
kemudian kembali lagi mengarahkan pandangannya ke depan. Kebekuan antara ia dan
Gabriel seakan memang tak pernah ia biarkan mencair.
“lo nggak sadar
ditunggu dari tadi?” Gabriel meraih sesuatu dari saku celana abu-abunya yang
memang ia letakkan tak jauh dari tempatnya duduk. Kotak rokok yang kemudian ia
keluarkan sebatang isinya. Ia selipkan diantara kedua bibir tipisnya dan ia
nyalakan ujungnya. Mengetarakan kontras dua peran yang berdialog yang memang
selalu berlawanan.
“gue tau.” Jawab Rio
ringan.
Gabriel tersenyum
simpul. Benar dugaannya jika sedari tadi mata elang Rio selalu berusaha
menyambar buruannya. Hanya yang ia tak pernah duga mengapa dua hati yang
memiliki rasa yang sama itu tak pernah menyatu. Dan saat ini mungkin ia bisa
menembus semuanya, “keagungan” seorang Rio sekalipun. Tangan kokohnya yang
masih menggenggam bungkus rokok terulur ke hadapan Rio, dengan guratan senyum
penuh ajakan tersungging dari bibirnya.
Sebelah alis tebal
Rio terangkat. Mencoba menyelami apa maksud Gabriel menyodorinya barang yang
sebenarnya ingin ia enyahkan dari muka bumi.
“lo seharusnya lebih
tahu dari gue kalau perokok pasif akan dapat dampak negatif lebih besar dari
perokok aktif.” Ucap Gabriel menyadari arti tatapan Rio. Ucapannya terhenti
sejenak untuk menghisap gumpalan asap beracun dari pembakaran gulungan tembakau
itu. Mengendapkannya beberapa waktu di rongga dadanya dan kemudian
menghembuskannya kembali dengan perlahan. “untuk meminimalisir resiko mending
lo ikut.” Lanjutnya ringan. “elo nggak penasaran apa reaksi dia kalau hal ini
lo yang lakuin?”
Rio mengangkat kedua
bahunya. Di bibirnya terpoles sebuah senyum angkuh tak ingin kalah dari
Gabriel. Di raihnya kotak yang sejak beberapa detik lalu terulur kehadapannya
penuh keyakinan. Ditimangnya benda itu beberapa saat, dan dengan senyum yang
semakin mengembang lebar Rio melemparnya jauh-jauh.
Tak ada reaksi
radikal dari Gabriel, ia tetap tenang, bahkan gejolak emosi tipis pun tak
terbaca dari matanya atas tindakan Rio. Tindakan yang sebenarnya sudah dapat ia
prediksikan.
“gue udah
memperpanjang nyawa elo.” Ucap Rio innocent. “kalau lo sayang sama dia
seharusnya elo tahu pasti dia nggak suka perokok.”
“gue baru tahu elo
sepeduli itu sama dia.” Sindir Gabriel telak.
Rio diam, merekatkan
punggungnya pada penyangga belakang bangku. Merasakan hembusan angin menerpa
wajahnya dan menggerakan rambut ikalnya yang sudah sedikit gondrong dan ia
biarkan berantakan.
“gue sayang sama
dia.” Aku Rio dan hanya ditanggapi sebuah cibiran dari Gabriel yang sudah bisa
menebak semuanya. Ia tahu Rio, bahkan mungkin seperti ia tahu dirinya sendiri.
Hal mudah baginya untuk tahu bahwa Rio sebenarnya menyayangi gadis itu.
“gue juga.”
Rio menatap Gabriel tajam, entah
kenapa ia tak suka dengan apa yang baru saja ia dengar walaupun ia sudah
menduga jauh-jauh hari sebelumnya. Sementara Gabriel tetap tenang, air wajahnya
tak begolak sama sekali seakan tak keberatan dengan ekspresi Rio.
“dia punya gue.” Desis Rio tajam. Tak
ingin ada yang membantah kata-katanya. Gabriel menoleh ke arah Rio dengan alis
mata kananya terangkat dan sebuah senyuman sumir tercetak dibibirnya, ekspresi
yang menunjukan keraguan penuh tanpa sebuah sanggahan yang keluar dari
mulutnya.
“lo dapet semua yang elo mau, selalu
begitu kan?”
Hening, diam yang begitu menyeramkan,
setidaknya begitu yang dilihat Ify dari kejauhan. Saat dua pasang mata elang
itu beradu. Satu saja bisa membuatnya ketakutan setengah mati, dan saat ini
mata penuh sambaran kilat emosi itu terpampang di depannya. Hal lain yang
membuat lututnya lemas adalah, Gabriel dan Rio justru terlihat semakin mirip di
saat seperti ini. Ia dicekam ketakutan untuk melangkah mendekati mereka.
Gelegar petir menjadi latar lagu yang
semakin membuat suasana semakin menyeramkan. Satu-satu tetesan air langit
menjamah bumi, kemudian berubah menjadi hujan deras. Dua orang gila itu –Rio
dan Gabriel- masih tetap berdiri di tempatnya, tak satupun beranjak dari
tempatnya, masih dengan tatapan tajam yang mencoba menantang satu sama lain.
“lo berdua ngapain sih?” cerca Ify
yang kini berdiri di antara keduanya. Tak lagi ia pedulikan tubuhnya ikut basah
karena ia tak menginginkan keduanya bertengkar lebih jauh lagi. Ia cukup tahu
jika keduanya adalah orang yang nekat, Rio dengan emosinya yang kadang sulit
untuk dibendung dan Gabriel yang selalu menanggapi tantangan yang datang
padanya.
“elo yang ngapain di sini.” Balas Rio
dan Gabriel bersamaan yang kini sudah mengalihkan perhatiannya pada Ify. Tak ingin
apa yang mereka tutupi selama ini hanya bertahan sampai saat ini.
Ify melongo. Ia benar-benar tak bisa
mencerna tentang apa yang ada dalam diri Rio dan Gabriel yang baru ia temukan
akhir-akhir ini. Seolah ia merasakan berada dengan orang yang sama walaupun
jika hanya ada salah satu dari keduanya. Sebuah ketakutan yang berbalut rasa
nyaman dan aman. Dengan sisa keberaniannya, Ify menantang mata Gabriel dan Rio
bergantian. Sedetik kemudian, nafasnya tercekat, keduanya memiliki bola mata
cokelat pekat dengan bingkai lingkaran hitam, mata yang sama-sama indahnya.
Mata yang sama-sama mengagumkan dengan pusaran rasa yang bisa menenggelamkan
siapapun yang melihatnya. Lekuk tegas wajah tampan keduanya, mirip. Postur
tubuh tinggi kurus mereka membuat Ify seakan berdiri di tengah dua tugu yang
tak tersentuh pucuknya.
Keterkejutannya kabur, atau bertambah
saat mereka berdua bersamaan menggenggam tangannya, Gabriel di bagian kanan,
dan Rio kiri. Lagi, dua mata bersinar busur panah itu beradu. Ify menenangkan
nafasnya yang sempat memburu.
“kalian berdua siapa?!” pekik gadis
itu merasakan kepalanya hampir pecah menyusun kepingan puzzle di benaknya. “gue
nggak tahu ini karena gue terlalu banyak nonton sinetron atau film drama, tapi
gue mikir kalian kembar!”
Dada Ify naik turun karena nafasnya
tak beraturan setelah mengeluarkan sisa tenaganya untuk meneriakkan sesuatu
yang terus mendesak dari otaknya. Kedua tangannya mengusap kasar wajah yang
terselimuti cucuran air hujan dan membuatnya semakin sulit bernafas. Namun kali
ini hidungnya justru seakan tertutup untuk menghirup udara saat melihat air
muka kedua pria tampan di hadapannya kian membeku.
BUG!
Kepalan tangan Rio mendarat mulus di
pipi Gabriel. Membuat cowok yang begitu mirip dengannya itu terjerembab
kebelakang. Ify menuntup mulutnya rapat-rapat menahan pekikannya menguar. Gadis
itu semakin takut saat melihat darah mengalir dari sudut bibir Gabriel dan
bercampur dengan air hujan.
Belum berhenti, Rio maju dan menarik
bagian neck kaos Gabriel dan membuat jagoan itu berdiri terpaksa. Disekanya
asal darah yang masih mengalir dengan punggung tangan kanannya, tatapannya
tidak berkurang tajamnya, seakan benar-benar menantang Rio untuk mengeluarkan
semua yang dia punya, tanpa bermaksud membalas. Bogem kedua Rio hampir saja
mendarat kembali jika Ify tidak sigap bergerak dan mendorong tubuh tegap Rio
dengan segenap sisa tenaganya hingga cowok itu terhuyung ke belakang. Ify
sempat melongo memikirkan darimana ia dapat kekuatan untuk melawan Rio.
“gila!” umpat Ify tajam pada Rio
setelah sadar tak penting dengan apa yang baru saja ia pikirkan. Segera ia
menarik tangan Gabriel ke lorong sekolah dan menghilang ke arah UKS.
Di tempatnya Rio masih berdiri terpaku
menatapi dua orang itu pergi. Ia mengeram keras atas kebodohan yang baru saja
ia lakukan. Tak sanggup mengatur emosinya karena ia yakin Gabriel telah
membocorkan rahasia yang selama ini mereka pegang pada Ify.
*****
“lo nggak papa, Gab?” tanya Ify
setelah ia dan Gabriel masuk ke ruang UKS. Tak peduli lagi mereka membuat
sepanjang lorong, bahkan ruangan kesehatan itu banjir karena pakaian mereka
yang basah kuyup.
Gabriel menggeleng sambil tersenyum.
“rugi banget gue jadi jagoan kena pukul begitu aja keok.” Candanya.
“gue obatin luka lo ya?” tawar Ify
sambil mengeluarkan sebuah kotak plastik bening dengan logo palang merah di
atasnya.
“pantes Rio nggak mau lepas dari elo.”
Komentar Gabriel yang terkesan mengambang. Ify menaikkan alis kanannya menuntut
penjelasan dari apa yang baru saja keluar dari mulut cowok karismatik itu. “elo
seksi banget ternyata.” Cowok itu menyeringai, bahkan hingga sedikit luka sobek
di ujung bibirnya semakin terlihat.
Spontan Ify menyilangkan kedua tangan
tepat di depan tubuhnya karena mengerti maksud Gabriel. Blouse seragam putihnya
yang basah merekat di tubuhnya, memperlihatkan setiap lekuk indahnya. Hawa
panas langsung merambat di wajahnya karena malu dan merutuki dirinya sendiri
kenapa baru menyadari. Makian yang berkumandang di otaknya dan ditujukan untuk
dirinya sendiri semakin keras saat mengingat ia tak membawa pakaian ganti. Gawatnya
lagi, ia hanya berdua dengan Gabriel di ruangan yang sangat mendukung ini. Ia
tahu pasti Gabriel seratus persen laki-laki normal.
“elo sama Rio ternyata sama-sama
kurang ajarnya!” seru Ify yang akhirnya meledak, mendapat kesempatan untuk
membela diri.
Tawa Gabriel pecah, bahunya bahkan
terlihat berguncang hebat. “kurang ajar di bagian mana? Elo sendiri yang kasih
gue tontonan.” Ucapnya begitu ringan, namun tangannya kini sibuk merogoh isi
tasnya. Ia mengulurkan sebuah jaket dan celana basket yang masih terlipat rapi
pada Ify.
“buat apaan?”
“ganti baju lo!” perintah Gabriel
gemas karena lamanya otak Ify berproses.
“tapi...”
“ya terserah. Gue sih seneng-seneng
aja kalo lo nggak mau.”
Tak perpikir lebih lama lagi Ify
menyerobot pemberian Gabriel. Namun, Ify masih diam di tempat, bingung dimana
ia harus mengganti bajunya. Ia tak mau bertaruh nyawa jika keluar dari ruangan
itu dan ternyata Rio masih ada di area sekolah, mengingat jarak antar UKS dan
kamar mandi terdekat saja sejauh lapangan tadi.
“lo bisa tutup hordennya.” Ucap
Gabriel seakan mengerti apa yang dipikirkan Ify. Telunjuknya mengarah pada
horden biru tua yang membatasi bed dengan tempat petugas PMR yang berjaga,
tempat mereka berdiri sekarang. Mata Ify memicing penuh keraguan pada Gabriel.
“lo bisa percaya gue.” Lanjut cowok itu sambil tersenyum, sebuah senyuman
hangat yang menimbulkan keyakinan di hati Ify jika ia aman bersama pemuda ini.
Sekali lagi Gabriel tertawa
terbahak-bahak melihat Ify menggunakan celana dan jaketnya yang tentunya
menjadi sangat kebesaran untuk Ify. Mirip orang-orangan sawah, pikirnya.
Orang-orangan sawah yang cantik. Ia sendiri sudah mengganti kaos dan celananya
yang basah dengan seragam sekolah.
Gadis mungil itu memajukan bibirnya
beberapa mili sambil menghentakkan kakinya berjalan ke arah belakang meja tamu
dan duduk di kursi empuk tempat petugas biasa piket. Kedua tangannya memegang
erat celana yang ia gunakan, ngeri melorot karena cukup kebesaran untuknya.
“Gab, bener elo sama Rio kembar?”
tanya Ify takut-takut. Kemarahan Rio tadi seakan menegaskan jika dugaannya
benar, namun tak puas rasanya jika tak mendengar langsung.
“iya. Gue cuma lahir sepuluh menit
lebih cepet dari dia. Emang elo nggak sadar, atau seisi sekolah ini nggak ada
yang sadar ya?” jawab Gabriel begitu ringan. Tak tampak lagi kemarahan yang
terpancar dari rona matanya seperti tadi di lapangan. Ify diam, tidak merespon.
Tidak cuma sekali ia mendengar bisik-bisik beberapa murid di sekolah ini yang
menyadari bahwa Gabriel dan Rio mirip, ia pun menyedarinya, walaupun terlambat
mungkin.
“karena elo dan dia bertolak belakang
banget mungkin, jadi nggak ada yang sadar. Jujur, sampai detik ini gue masih
nggak percaya, biasanya kembar punya kemistri yang nggak wajar, gue nggak lihat
itu dari kalian.”
“siapa bilang? Buktinya gue sama dia
sayang sama cewek yang sama.” Gabriel menyeringai, mengerlingkan kelopak mata
kanannya menggoda Ify.
“Rio nggak pernah sayang sama gue.”
Balas Ify getas.
“dia sayang sama elo, gue tahu itu.”
Kembali hening, hanya suara satu-satu
dentingan hujan yang mulai reda dengan atap yang terdengar. Ify mengalihkan
pandangannya pada kaca cendela di sebelahnya, seakan terhanyut bada butiran air
yang satu-satu mengalir di sana membentuk anak-anak sungai. Otaknya mulai
menyusun pertanyaan untuk ia ajukan.
“tapi, gue sering ke rumah Rio dan elo
nggak ada?” Ify membuka mulutnya, membunuh sepi yang baru saja tercipta
memenuhi ruangan. Didengarnya Gabriel menghela nafas berat.
“gue nggak tinggal sama bokap gue di
rumah Rio sekarang, gue sama nyokap gue, mereka udah cerai sejak gue sama Rio
SD.” Mata pemuda tampan itu cekung, terdengar getaran samar dari suaranya. Ify
beranjak dari tempat duduknya, mendekati Gabriel yang duduk berseberangan
dengannya, digenggamnya tangan kokoh Gabriel lembut. Ia tahu cowok kokoh ini
perlu seseorang untuk mendengarkan isi hatinya yang belum pernah terjamah oleh
siapapun. Gadis itu tahu, berat bagi Gabriel mengungkap yang selama ini
dipendamnya, namun beban itu pasti akan terasa lebih ringan jika dibagi.
“bokap gue nggak pernah suka sama gue
yang bandel, beda sama nyokap gue yang bisa mengerti gue. Tapi bokap sayang
banget sama Rio.” Lanjutnya. “lo bayangin deh, anak SD udah sering dipukulin.”
Gabriel tersenyum hambar. “mungkin karena itu sampai sekarang gue jadi orang
yang keras.” Dibalasnya genggaman tangan Ify semakin erat, seakan mencari
kekuatan, dari sana pula Ify bisa merasakan sakitnya Gabriel, sakit yang tak
terdeteksi oleh dokter manapun karena hanya disimpan dalam hati.
“mereka sering berantem gara-gara gue,
bokap gue yang terus kukuh kalau gue itu nggak berguna, dan nyokap gue yang
nggak pernah nyerah buat percaya kalau gue bisa buat bangga dia. Sampai mereka
bercerai.” Gabriel menghela nafas berat sekali lagi, kemudian tangan kirinya
yang bebas mengusap wajahnya, seakan mencoba menghilangkan sinar sendu dari
wajahnya, tak berpengaruh. “gue sempet nyalahin diri gue sendiri waktu itu, gue
pikir keluarga gue hancur gara-gara gue.” Matanya yang sayu terarah lurus ke
pergelangan tangan kirinya. Ify terhenyak, ada dua bekas sayatan di sana. Pasti
cukup dalam sampai membekas seperti itu. Guratan-guratan yang lebih dari cukup
untuk menjelaskan betapa pernah depresinya Gabriel yang kini berubah dengan
topeng penguasanya.
“Gab..” lirih Ify hampir kehabisan
kata-kata, kisah dramatis yang baru saja didengarnya membuatnya tak percaya.
Rio dan Gabriel adalah dua orang luar biasa di matanya, dan ternyata tempaan
kuat sepanjang hidup mereka yang membuat semua itu tercapai.
“kenapa?” tanya Gabriel. Bukan seperti
menjawab ucapan Ify, lebih terdengar menanyakan jawaban untuk ceritanya
sendiri. Cowok tampan itu tertawa kecil dan begitu hambar, seakan menghibur
dirinya sendiri. Setitik air mata jatuh dari mata kanannya yang kemudian
diusapnya kasar. “gue kehilangan Rio juga saat itu, dia benci gue karena hal
itu. Apa lagi setelah nyokap milih bawa gue keluar dari rumah, bukan Rio.”
“berarti childishnya Rio, bossy,
liberalis radikalnya itu bawaan orok, Gab!” celetuk Ify. Kali ini Gabriel
benar-benar tertawa, walau tipis. Ify merasakan pegangan Gabriel di tangannya
mengendur, nafas cowok itu tak lagi berat, terdengar lebih lega. “tapi Rio
pernah ngenalin wanita yang dia panggil mama sama gue?” rasa penasaran Ify
belum habis.
“itu nyokap tiri gue, belakangan gue
tahu, bunda minta cerai sama ayah karena ayah punya affair sama sekretarisnya,
ya.. yang Rio sebut mama itu. Bunda sengaja nggak ngasih tahu gue sama Rio
karena beliau nggak ingin anak-anaknya tumbuh dengan kebencian, apa lagi sama
bapaknya sendiri. Nyokap gue hebat kan?” tutur Gabriel kali ini dengan nada
bangga yang kentara di ujung kalimatnya.
“wonder women!” pekik Ify tak kalah
kagum. “elo yang bego! Berhenti deh bikin onar biar nyokap lo tambah bangga
sama lo.” Nasihat Ify sambil mengacak-acak rambut basah yang jatuh di kening
Gabriel. “lo benci sama Rio, sama bokap lo?” tanya Ify halus, takut melukai
Gabriel.
Gabriel menggeleng mantab. Dengan
senyum manis dan terlihat begitu tulus di bibirnya. “setengah darah yang ada di
tubuh gue punya bokap gue, darah yang mengalir di tubuh Rio dan tubuh gue sama,
gue pernah berbagi kehidupan sembilan bulan sama dia. Benci mereka berarti
benci diri gue sendiri.”
Tiba-tiba air mata Ify merembes dari
kelopak matanya, terenyuh mendengar ketulusan Gabriel. Semua yang diterimanya
tak adil, namun juga tak mampu membuatnya menjadi orang yang penuh kebencian,
justru penuh kasih sayang. Ify yakin dengan apa yang dikatakan Gabriel saat
mengingat Gabriel sama sekali tak membalas saat tadi Rio menghajarnya, padahal
pasti perkara mudah bagi jagoan itu untuk melakukan yang lebih keras dari yang
Rio lakukan.
“gue sayang sama mereka, lebih dari
apapun.” Lanjut Gabriel dengan tatapan menerawang.
Ify menyadari kekeliruannya, ternyata
Gabriel jauh lebih lembut daripada Rio. Seakan keduanya seperti sosok yang
tertukar.
“makasih ya, Fy.” ucap Gabriel sambil
membelai puncak kepala Ify, mengaburkan pemikiran gadis itu. “makasih udah
dengerin gue, makasih udah mau dan kuat jagain si bebel itu.”
Ify terkekeh, ia mengerti yang dimaksud
Gabriel ‘si bebel’ itu Rio. Dan Ify menyadarinya, perlu kekuatan super
tersendiri untuk menghadapi sikap-sikap Rio yang sebenarnya, di luar semua
wibawanya. Ketulusan yang membuat Ify mau melakukan semuanya untuk si bebel
itu, dengan senang hati.
“pulang yuk? Gue ngeri iman gue nggak
kuat kelamaan sama elo.” Ajak Gabriel disambung sebuah seringaian lebar di
bibirnya, kembali lagi menjadi Gabriel yang dulu Ify kenal. Membuat gadis itu
menghela nafas lega.
*****
Ify menahan nafasnya
saat sebuah mobil sport mewah berwarna hitam metalik yang sangat dikenalnya
tiba-tiba saja menghalangi jalannya, tepat di bawah gapura yang menyangga nama
kompleks perumahaannya. Itu mobil Rio. Otaknya merapal mantra agar ada ide yang
meletup untuk melarikan diri, karena ia yakin saat ini Rio sedang marah besar,
yang bisa juga diartikan sebuah bencana untuknya.
Benar saja, pemuda gagah itu keluar
dari kendaaran itu dengan tampang garang. Melangkahkan kaki panjangnya ke arah
Ify dengan mantab. Game over! Begitu pikir Ify. Ia sangat mengenal Rio. Dan
saat seperti ini tidak akan ada kata apapun yang akan diterima otak cerdasnya.
“Ikut gue!” perintah Rio tandas. Tak
ingin ditolak.
“nggak!” tiba-tiba saja keberanian Ify
meledak karena mengingat cerita Gabriel. Rio harus belajar tak lagi menjadi
seenaknya.
“gue bilang ikut!” sekali lagi, Rio
memerintah dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
“gue nggak mau ikut!” tolak Ify dengan
suara yang tak kalah keras.
“gue nggak suruh elo nolak!” kali ini
Rio benar-benar membentak, keberanian Ify kembali menciut. Gadis itu menunduk
dalam setelah sebelumnya sempat terjingkat karena kerasnya suara Rio. Tak
membuang kesempatan, Ify yang sedang lengah ia tarik pergelangan tangan
kanannya yang kemudian ia seret ke jok samping kemudi.
“aw! Sakit, Yo!” pekik Ify karena
genggaman tangan Rio yang memang keras dan begitu terasa pedih. “gue nggak mau
ikut! Gue mau pulang!” seru Ify sambil mencoba berontak, mencoba menahan
kakinya untuk tidak beranjak dari tempatnya, mencoba mengabaikan rasa sakit di
tangannya saat ia mencoba memberontak. “lepasin gue atau gue teriak?!!” ancam
Ify yang hampir kehabisan tenaga.
Tak ingin ambil resiko, Rio segera
membopong Ify, dan sebelum sempat gadis itu berteriak ia sudah berada di dalam
mobil. Rio segera menjalankan mobilnya membelah jalanan.
“elo gila!!” seru Ify sambil memukuli
lengan Rio.
“diem atau kita mati berdua?!” ancam
Rio. Menyadarkan Ify jika Rio tengah menyetir. Gadis itu memilih diam dan
mengarahkan pandangannya keluar jendela di sebelahnya. Tak mempedulikan Rio
sama sekali. Jengkel sendiri dengan perlakuan Rio pada Gabriel tadi, dan
ternyata juga selama ini. Kini hanya terdengar deru kendaraan yang menandakan
waktu masih berjalan.
“Iel pasti udah cerita semua kan?”
tanya Rio memecah hening.
“Iel?” bukan, bukan Ify tak mengerti
siapa yang dimaksud Rio, namun belum pernah ia mendengar orang lain memanggil
Gabriel dengan cara Rio itu. Ify menduga itu nama kecil Gabriel.
“Gabriel Stevent.” Desis Rio tak
minat.
“abang lo?” tanya Ify sinis. Rio tak
menjawab, justru melengos. “gue nggak nyangka orang bebel kaya elo punya
kembaran sekeren Gabriel. Dia nggak pernah seenaknya sama gue.”
Dibawah kesadarannya, tangan Rio
mencengkeram stir mobilnya. Telinganya panas mendengar pujian Ify untuk orang
yang masih menyimpan dendamnya.
“gue ngerasa aman sama dia, nggak
serem kaya elo.” Lanjut Ify, tak sadar jika amarah Rio sudah mulai naik.
Ify menahan nafasnya saat tiba-tiba
saja Rio menghentikan laju mobilnya. Tanpa ia sadari saat ini mereka sudah ada
di tepian jalan yang begitu lengang, jarang sekali perumahan, bahkan sejauh
matanya memandang tak ada satupun. Gadis itu menelan ludahnya yang terasa
membatu dengan susah payah, sisa setetes keberaniannya ia gunakan untuk menoleh
pada Rio. Ia bisa merasakan udara menjadi panas dingin, wajahnya pasti sudah
pasi saat ini.
Didapatinya Rio tengah menatapnya
dengan mata tajamnya, tak lagi dingin, ada amarah yang siap meledak di sana.
Wajahnya keras karena kedua rahang tegasnya terkatub rapat. Tangan kanannya masih
disangga stir mengepal keras. Singa lapar ini baru saja bangun dan mendapati
mangsa lezat di hadapannya.
“Gabriel punya apa?! Bilang sama gue!”
desis Rio, tajam. Ify yakin Rio sangat marah saat ini. Tiba-tiba orak gadis itu
berhenti bekerja. Yang ia tahu saat ini ia bisa pasrah apapun yang akan
dilakukan Rio padanya. “jawab!” pelan, namun getas. Ify juga tahu Rio masih
menahan emosinya sebisa mungkin.
“dia punya apa yang lo nggak punya.”
Jawab Ify lirih, dengan suara bergetar mencoba melawan rasa takutnya. Ia
menunduk dalam-dalam tak berani menatap pemuda di hadapannya.
Ketakutan juga dialami Rio, dengan
sebab yang berbeda, rasa takut kehilangan untuk kedua kalinya. Ketakutan untuk
kembali kalah dengan Gabriel. Ia punya semua hal yang sangat diinginkan
Gabriel. Tapi ia tak pernah merasa menang atas saudara kembarnya itu. Wanita
yang ia sayangi selalu lebih berpihak pada Gabriel.
“shit!” umpat Rio sambil menghantam
stir, membuat Ify berjingkat dan dengan refleks beringsut mundur. Belum sempat
ia menggerakan seluruh tubuhnya, Rio sudah menariknya ke dalam pelukan cowok
jangkung itu.
Ify diam. Pelukan Rio begitu erat,
bahkan membuatnya merasakan nafasnya mulai sulit. Ify dapat merasakan seakan
Rio memiliki ketakutan yang besar. Seperti seorang anak yang baru saja hilang,
merasa sendirian dan akhirnya menemukan lagi seseorang yang dikenalnya dan
membuatnya merasa aman. Seperti takut kehilangan lagi. Perlahan cerita Gabriel
tadi sore kembali terngiang lagi di telinga gadis itu, Rio pernah jatuh saat
kehilangan sang mama. Sosok ini tak pernah menjadi sekuat Rio si ketua OSIS
yang disegani seisi sekolah. Sungguh, Ify ingin membalasnya, menenangkan Rio
seperti yang biasa ia lakukan, namun kegamangan itu kembali menyelimutinya.
Apakah benar Rio sedang merasa takut kehilangannya? Bukan karena kenangan lama
yang coba menguasainya dan ia hanya butuh pelampiasan? Apakah ketulusannya
terbalas?
Persetan! Tidak ada ketulusan yang
memikirkan balasan. Apapun alasannya, Rio sedang membutuhkannya saat ini.
Kebahagiaan Rio selalu menjadi hal yang paling mutlak untuknya. Tak berfikir
lebih lama lagi, Ify balas memeluk Rio, tangan kanannya mengusap punggung
kokohnya dan tangan kirinya mengusap rambut ikal Rio. Setiap gerakan yang
menerangkan ia tak akan meninggalkan pria ini, dalam keadaan apapun.
Nyaman. Katakutan Rio serentak
menghilang. Ify ada didekapannya, aroma lembut gadis itu masih setia menyapa
indra pembaunya dan memberikan ketenangan sekaligus gejolak tak menentu di
hatinya. Gadis itu seolah selalu bisa meyakinkannya bahwa ia akan tetap tinggal
untuknya apapun yang terjadi, bahkan jika ia menjauh sekalipun. Tak ada alasan
untuknya takut. Entahlah, setiap gerakan yang mereka lakukan mengutarakan semua
isi hati tanpa kata yang bekerja.
“makasih.” Bisik Rio lembut. Hanya
cukup di dengar oleh Ify, di sela dentingan rapat suara hujan yang mulai
kembali turun. Ify tersenyum, dibenamkan wajahnya pada dada bidang Rio,
menyaruk manja sambil mengetatkan pelukannya. Ia bisa mendengar debaran jantung
Rio yang bahkan tidak lebih teratur dari deburan ombak di pantai.
“nggak usah takut.” Ujar Ify dengan
senyum menggemaskan di bibirnya, tangan kanannya terulur untuk mengacak-acak
puncak kepala Rio. “gue ada di sini buat elo kan?” godanya lagi.
“kalo nggak gue paksa juga nggak akan
elo ada di sini.” Keluh Rio. Kali ini matanya kembali tenang, dengan sejuta
emosi yang justru didiamkan membuatnya terlihat tenang, mata sayu itu, gadis
mana yang tahan melihatnya. Ingin rasanya Ify memekik saat ini juga untuk
meluapkan kerja molekul yang berlebihan di tubuhnya. Namun tubuhnya kembali
membeku karena Rio mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Ini pertama kalinya
Rio melakukan itu, dan ini pertama kalinya juga Ify merasakan tindakan spontan
Rio begitu manis dan tulus. Hujan di luar menjadi lagu romantis yang mengiringi
dua anak manusia dalam scene drama alam mereka sendiri.
Rio menarik wajahnya beberapa centi,
tak terlalu jauh karena ia masih dapat merasakan hembusan halus nafas Ify.
Seorang bidadari dikirim Tuhan khusus untuknya. Gadis di depannya berwajah
begitu damai, apa lagi saat matanya terpejam seperti saat ini. Hidung bangir
dan dagu lancip yang membuat ayunya berbeda dari gadis lain. Perlahan, Rio
kembali menghapus secuil jarak yang sempat ia ciptakan, matanya membidik lurus
ke sepasang bibir tipis Ify.
Merasakan hembusan nafas Rio yang
semakin hangat menerpa wajahnya, Ify membuka matanya. Susah payah mengumpulkan
kesadarannya dan mendorong dada Rio setelah mengerti apa yang pria itu ingin
lakukan padanya. Tak pantas mengingat ia dan Rio tak berstatus apapun.
“maaf, Fy.”ucap Rio panik, sekaligus
salah tingkah. Merutuki akal sehat yang bahkan tak mampu mengendalikan dirinya
sendiri. Gadis ini memang selalu sukses melumpuhkannya.
“cowok gila!” umpat Ify sambil menekan
power button tape mobil Rio. Mengalihkan jika ia pun salah tingkah dibuatnya.
“jalan! Anterin gue pulang!” perintah gadis itu –sok- galak. Mencoba kembali
menormalkan keadaan yang terlanjur kaku.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Rio kembali
menjalankan mobilnya, putar balik. Sial. Yang terputar dari siaran radio yang
dipilih Ify adalah A Beautiful Mess milik Jason Mraz. Berpadu serasi dengan
suara hujan. Sukses membuat moment-moment canggung itu kembali tercipta. Ify
memilih mengarahkan wajahnya ke cendela di sampingnya, menghidari tatapan Rio
lagi, menyembunyikan wajahnya yang sudah menyemu merah. Keduanya memilih diam,
membiarkan lagu yang bermain menyampaikan apa yang ingin mereka utarakan.
Hey, what a beautiful mess this is..
It’s like picking up trash in
dresses....
*****
Mobil Rio berhenti di depan rumah Ify.
Gadis itu melongok sedikit keluar cendela. Rumahnya sepi, sejenak ia baru
mengingat jika semua penghuni rumahnya, kecuali dia tentunya, sedang berada di
luar kota menghadiri pernikahan salah satu saudaranya.
“masuk dulu, Yo?” tawar Ify sambil
membuka handle pintu mobil.
Rio menggeleng. “udah malem nih, lain
kali deh.” Jawabnya.
“emm.. Yo.”
“ya?”
“lo sayang sama Gabriel?” tanya Ify
ragu, takut kembali memancing amarah Rio lagi. Ia menggigit bibir bawahnya
menunggu jawaban. “nggak usah dijawab deh.” Ralatnya. Daripada terjadi
keributan malam-malam.
“lo tahu darah itu lebih kental dari
tinta kan? Dan darah itu justru beku kalau terpisah dari alirannya?”
“maksudnya?” di sela rasa jengkelnya,
Ify kini yakin Gabriel dan Rio memang kembar, keduanya suka sekali bermain tebak
kata.
“bodoh! Gue pulang.” Pamit Rio,
kembali kasar. Ia segera menginjak gasnya, meluncur ke jalanan kompleks sampai
menghilang di ujung jalan.
*****
Tidak seperti
biasanya, pagi-pagi benar Ify sudah siap dengan seragam sekolahnya. Padahal
sampai tengah malam ia memikirkan maksud dari jawaban Rio semalam, dan ia yakin
Gabriel tahu jawabannya. Dan ia harus berbuat sesuatu untuk menyatukan kembali
dua darah itu. Gadis itu memilih untuk membawa mobilnya sendiri, membelah
jalanan dan menunggu di muka sebuah jalan menuju sebuah perumahan penduduk.
Berkali-kali ia mengarahkan
pandangannya ke jalan setapak itu, mencari sosok Gabriel. Berulang kali juga ia
melirik jam yang melingkar di tangan kanannya untuk membunuh jenuh. Hampir
setengah jam, lima belas menit lagi menuju pukul tujuh pagi. Sampai cendela di
sebelang kemudi di ketuk. Gabriel pelakunya. Dengan isyarat Ify menyuruh cowok
itu masuk.
“ngapain lo ada di sini?” tanya
Gabriel heran. “minta banget digodain preman pengkolan?” selorohnya lagi sambil
menutup pintu.
“jemput elo.” Jawab Ify seadanya
sambil menginjak pedal gas mobilnya kembali membelah jalanan. “gue kemarin
diculik Rio.” Lanjutnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
“elo nggak diapa-apain sama si bebel
itu kan?” tanya Gabriel dengan nada khawatir yang terdengar jelas. Ify
menggeleng.
“lo pengen baikan sama adek lo yang
gila itu nggak?” selidik Ify sebelum benar-benar menjalankan aksinya.
“harusnya Rio yang elo tanya.”
“lo tahu dia bebel banget kan?”
Tawa Gabriel pecah mendengar keluhan
Ify. Hanya orang yang benar mengenal Rio yang tahu betapa kerasnya orang itu.
Akan lebih baik melakukan sendiri daripada menyuruh Rio memulai sesuatu. Apa
lagi hal itu tidak Rio sukai, sama saja bunuh diri.
“maka dari itu, gue takut dia masih
nggak mau maafin gue.” Lirih Gabriel
“Rio bilang sama gue, darah akan
selalu lebih kental dari tinta. Gue nggak ngerti, dia sama kaya elo, sok main
kode.” Wajah cantik Ify nampak lesu dan merasa menjadi orang paling bodoh
sedunia.
“sampai kapanpun, gue saudara kembar
dia, nggak ada urusannya sama perceraian bokap-nyokap kita.” Gabriel mencoba
menjabarkan istilah yang dipakai saudaranya itu. Dengan sangat baik karena ia
juga bisa merasakan apa yang Rio rasakan.
“darah yang terpisah dari alirannya
bisa membeku?” kejar Ify masih penasaran.
“serius dia bilang gitu?” selidik
Gabriel, masih tidak percaya Rio bisa mengatakan hal itu setelah semua
kebencian yang selalu adiknya itu perlihatkan padanya. Ify mengangguk mantab.
Tanpa menjawab, Gabriel merogoh tas selempangnya, mengeluarkan sebuah cutter
yang nampak menyala begitu tajam.
“elo mau ngapain, Gab?!” pekik Ify
ketakutan, bayangan bekas guratan di tangan kiri Gabriel kembali membayanginya.
Gabriel tertawa kecil lagi mendengar
nada ketakutan Ify. Tangan kanannya yang memegang pemotong kecil itu bergerak
menyayat jari telunjuk kirinya. Bersama desisan kecil menahan sakit, setetes
darah keluar dari sana.
“lo gila!” pekik Ify sekali lagi,
tangan kirinya bergerak cepat mengambil tisu di dashboard untuk mengusap darah
yang mengalir, namun ditepis oleh Gabriel.
“lo pengen tahu arti omongan Rio kan?”
jari telunjuk Gabriel mengusap darah yang mulai membeku di telunjuknya. “kaya
darah ini, Fy. Beku setelah keluar dari pembuluhnya, lepas dari kawanannya.
Sama kaya gue yang lepas dari Rio, Rio yang lepas dari gue.”
Ify mencelos saat menyadari betapa
dalam kalimat Rio. Cowok itu dan Gabriel berasal dari gumpalan darah yang sama,
kemudian membelah, sampai mereka benar-benar terpisah karena orang tua mereka.
Membekulah keduanya. Terseok berjalan namun tetap mencoba kuat dengan setengah
nyawa mereka. Dengan cara mereka sendiri-sendiri mencoba tetap berdiri tegak,
untuk selalu dilihat kuat oleh dunia, menyembunyikan kehancuran masing-masing.
“gue rasa masalah ini bisa
diselesaikan kalian sendiri. Elo atau Rio harus maju duluan buat mengalah.”
Nasehat Ify setelah menyadarkan dirinya sendiri dari keterkesimaan, atau lebih
tepat keprihatinannya. Gabriel hanya terseyum simpul.
“gue rasa, biarpun gue yang lakuin
itu, Rio tetep nggak akan bisa terima.” Jawab cowok itu penuh arti.
“kenapa?”
“Barbie-nya ada sama gue sekarang.”
Ify tersenyum sumir. Barbie-nya. Gadis
itu tidak menangkapnya sebagai sanjungan, tapi sebagai kenyataan yang memukul
telak ulu hatinya. Rio seolah memang menganggapnya sebagai boneka Barbie, yang
tak pernah sakit meskipun ada banyak Barbie lain yang dikoleksi cowok itu.
Barbie yang tak pernah menolak jika pemuda itu datang mencari hiburan dan tidak
mengacuhkannya jika ia sedang asik dengan Barbie lain.
“ups.. gue baru sadar bakalan masuk
gerbang sekolah sama si pangeran trouble maker. Gue nggak harus disekap di
gudang gelap sama pemuja elo kaya di film-film kan?” gurau Ify mengalihkan
perhatian. Mencoba memungkiri rasa sakit yang kembali mencoba melemahkannya.
“gue nggak akan ngebiarin siapapun
nyakitin elo.” Balas Gabriel serius. Matanya turut berbicara, membuat Ify
kembali tersanjung. “gimana kalo Rio liat kita?”
“nggak mungkin, hari ini Rio ke SMA
Cempaka II.”
DEG!
Tiba-tiba perasaan Gabriel tidak enak,
tak didengarkannya lagi ocehan Ify. Genk SMA Cempaka II memiliki track record
permusuhan mendarah daging dengan sekolah Gabriel, bahkan beberapa hari lalu ia
dan kelompoknya sempat membuat beberapa siswa Cempaka babak belur dan memukul
mundur mereka semua. Memang Rio tidak terlibat dengan hal ini tapi biasanya tak
akan ada yang peduli selama seragam yang digunakan tertera bedge bertuliskan
sekolah musuh. Sudahlah! Kubu mereka pasti bisa membedakan urusan formal dan
ilegal, pikir Gabriel mengusir pikiran jeleknya.
to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar