Rabu, 19 Desember 2012

Between Us part 3


Ify menggigit kecil bibir bawahnya. Berkali-kali sudah ia menengok jam biru muda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Niat dan keberanian yang sudah dipupuknya perlahan layu. Tatapan lelahnya kini tertuju pada lapangan basket yang berjarak beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri sekarang.

Hampir dua jam berlalu sia-sia, ia hanya duduk di bangku taman, sejak tadi matahari masih berada tepat di atas ubun-ubun hingga kini condong ke barat. Penantiannya terasa semakin sia-sia saat melihat Rio sedang bercakap hangat dengan Zahra, yang juga merangkap peran sebagai manager tim basket sekolah. Rio yang sepertinya sama sekali tak menyadari keberadaannya. Ify yang sudah sangat mengenal Rio tak mau mengusiknya, ia tahu betul jika Rio tak mau mencampuradukkan setiap urusannya menjadi satu, apa lagi maksud Ify kali ini benar-benar pribadi. Jika ingin mundur pun justru akan lebih sia-sia. Semuanya harus ditunda lagi dan semakin runyam. Tak baik menunda pekerjaan.

*****

Dari tengah lapangan Gabriel dapat menangkap setiap lekukan manis gadis pujaannya itu. Gadis yang selalu menarik, bahkan saat ini, dimana wajah kuyu dan lelah, rambut ekor kuda yang sudah berantakan dan menyisakan beberapa helai membingkai wajah tirus itu. Namun sesaat kemudian ia tersadar untuk siapa gadis itu ada di sini, bukan untuknya, melainkan untuk dia, laki-laki yang sedang dianugerahi tatapan indah Ify.

Bukan saatnya, pikir cowok jangkung itu. Dihelanya nafas perlahan, membebaskan rasa sesaknya. Mungkin saatnya ia bisa membahagiakan gadis itu sekarang. Perlahan Gabriel melangkah mendekati Rio yang kini sudah duduk sendirian di tepi lapangan, tanpa Zahra yang sudah beranjak mengecek perlengkapan yang baru saja digunakan latihan.

“Yo!” sapa Gabriel sambil mengambil posisi duduk di sebelah Rio. Rio hanya menatap sekilas kemudian kembali lagi mengarahkan pandangannya ke depan. Kebekuan antara ia dan Gabriel seakan memang tak pernah ia biarkan mencair.

“lo nggak sadar ditunggu dari tadi?” Gabriel meraih sesuatu dari saku celana abu-abunya yang memang ia letakkan tak jauh dari tempatnya duduk. Kotak rokok yang kemudian ia keluarkan sebatang isinya. Ia selipkan diantara kedua bibir tipisnya dan ia nyalakan ujungnya. Mengetarakan kontras dua peran yang berdialog yang memang selalu berlawanan.

“gue tau.” Jawab Rio ringan.

Gabriel tersenyum simpul. Benar dugaannya jika sedari tadi mata elang Rio selalu berusaha menyambar buruannya. Hanya yang ia tak pernah duga mengapa dua hati yang memiliki rasa yang sama itu tak pernah menyatu. Dan saat ini mungkin ia bisa menembus semuanya, “keagungan” seorang Rio sekalipun. Tangan kokohnya yang masih menggenggam bungkus rokok terulur ke hadapan Rio, dengan guratan senyum penuh ajakan tersungging dari bibirnya.

Sebelah alis tebal Rio terangkat. Mencoba menyelami apa maksud Gabriel menyodorinya barang yang sebenarnya ingin ia enyahkan dari muka bumi.

“lo seharusnya lebih tahu dari gue kalau perokok pasif akan dapat dampak negatif lebih besar dari perokok aktif.” Ucap Gabriel menyadari arti tatapan Rio. Ucapannya terhenti sejenak untuk menghisap gumpalan asap beracun dari pembakaran gulungan tembakau itu. Mengendapkannya beberapa waktu di rongga dadanya dan kemudian menghembuskannya kembali dengan perlahan. “untuk meminimalisir resiko mending lo ikut.” Lanjutnya ringan. “elo nggak penasaran apa reaksi dia kalau hal ini lo yang lakuin?”

Rio mengangkat kedua bahunya. Di bibirnya terpoles sebuah senyum angkuh tak ingin kalah dari Gabriel. Di raihnya kotak yang sejak beberapa detik lalu terulur kehadapannya penuh keyakinan. Ditimangnya benda itu beberapa saat, dan dengan senyum yang semakin mengembang lebar Rio melemparnya jauh-jauh.

Tak ada reaksi radikal dari Gabriel, ia tetap tenang, bahkan gejolak emosi tipis pun tak terbaca dari matanya atas tindakan Rio. Tindakan yang sebenarnya sudah dapat ia prediksikan.

“gue udah memperpanjang nyawa elo.” Ucap Rio innocent. “kalau lo sayang sama dia seharusnya elo tahu pasti dia nggak suka perokok.”

“gue baru tahu elo sepeduli itu sama dia.” Sindir Gabriel telak.

Rio diam, merekatkan punggungnya pada penyangga belakang bangku. Merasakan hembusan angin menerpa wajahnya dan menggerakan rambut ikalnya yang sudah sedikit gondrong dan ia biarkan berantakan.
               
“gue sayang sama dia.” Aku Rio dan hanya ditanggapi sebuah cibiran dari Gabriel yang sudah bisa menebak semuanya. Ia tahu Rio, bahkan mungkin seperti ia tahu dirinya sendiri. Hal mudah baginya untuk tahu bahwa Rio sebenarnya menyayangi gadis itu.

                “gue juga.”

                Rio menatap Gabriel tajam, entah kenapa ia tak suka dengan apa yang baru saja ia dengar walaupun ia sudah menduga jauh-jauh hari sebelumnya. Sementara Gabriel tetap tenang, air wajahnya tak begolak sama sekali seakan tak keberatan dengan ekspresi Rio.

                “dia punya gue.” Desis Rio tajam. Tak ingin ada yang membantah kata-katanya. Gabriel menoleh ke arah Rio dengan alis mata kananya terangkat dan sebuah senyuman sumir tercetak dibibirnya, ekspresi yang menunjukan keraguan penuh tanpa sebuah sanggahan yang keluar dari mulutnya.

                “lo dapet semua yang elo mau, selalu begitu kan?”

                Hening, diam yang begitu menyeramkan, setidaknya begitu yang dilihat Ify dari kejauhan. Saat dua pasang mata elang itu beradu. Satu saja bisa membuatnya ketakutan setengah mati, dan saat ini mata penuh sambaran kilat emosi itu terpampang di depannya. Hal lain yang membuat lututnya lemas adalah, Gabriel dan Rio justru terlihat semakin mirip di saat seperti ini. Ia dicekam ketakutan untuk melangkah mendekati mereka.

                Gelegar petir menjadi latar lagu yang semakin membuat suasana semakin menyeramkan. Satu-satu tetesan air langit menjamah bumi, kemudian berubah menjadi hujan deras. Dua orang gila itu –Rio dan Gabriel- masih tetap berdiri di tempatnya, tak satupun beranjak dari tempatnya, masih dengan tatapan tajam yang  mencoba menantang satu sama lain.

                “lo berdua ngapain sih?” cerca Ify yang kini berdiri di antara keduanya. Tak lagi ia pedulikan tubuhnya ikut basah karena ia tak menginginkan keduanya bertengkar lebih jauh lagi. Ia cukup tahu jika keduanya adalah orang yang nekat, Rio dengan emosinya yang kadang sulit untuk dibendung dan Gabriel yang selalu menanggapi tantangan yang datang padanya.

                “elo yang ngapain di sini.” Balas Rio dan Gabriel bersamaan yang kini sudah mengalihkan perhatiannya pada Ify. Tak ingin apa yang mereka tutupi selama ini hanya bertahan sampai saat ini.

                Ify melongo. Ia benar-benar tak bisa mencerna tentang apa yang ada dalam diri Rio dan Gabriel yang baru ia temukan akhir-akhir ini. Seolah ia merasakan berada dengan orang yang sama walaupun jika hanya ada salah satu dari keduanya. Sebuah ketakutan yang berbalut rasa nyaman dan aman. Dengan sisa keberaniannya, Ify menantang mata Gabriel dan Rio bergantian. Sedetik kemudian, nafasnya tercekat, keduanya memiliki bola mata cokelat pekat dengan bingkai lingkaran hitam, mata yang sama-sama indahnya. Mata yang sama-sama mengagumkan dengan pusaran rasa yang bisa menenggelamkan siapapun yang melihatnya. Lekuk tegas wajah tampan keduanya, mirip. Postur tubuh tinggi kurus mereka membuat Ify seakan berdiri di tengah dua tugu yang tak tersentuh pucuknya.

                Keterkejutannya kabur, atau bertambah saat mereka berdua bersamaan menggenggam tangannya, Gabriel di bagian kanan, dan Rio kiri. Lagi, dua mata bersinar busur panah itu beradu. Ify menenangkan nafasnya yang sempat memburu.

                “kalian berdua siapa?!” pekik gadis itu merasakan kepalanya hampir pecah menyusun kepingan puzzle di benaknya. “gue nggak tahu ini karena gue terlalu banyak nonton sinetron atau film drama, tapi gue mikir kalian kembar!”

                Dada Ify naik turun karena nafasnya tak beraturan setelah mengeluarkan sisa tenaganya untuk meneriakkan sesuatu yang terus mendesak dari otaknya. Kedua tangannya mengusap kasar wajah yang terselimuti cucuran air hujan dan membuatnya semakin sulit bernafas. Namun kali ini hidungnya justru seakan tertutup untuk menghirup udara saat melihat air muka kedua pria tampan di hadapannya kian membeku.

BUG!

                Kepalan tangan Rio mendarat mulus di pipi Gabriel. Membuat cowok yang begitu mirip dengannya itu terjerembab kebelakang. Ify menuntup mulutnya rapat-rapat menahan pekikannya menguar. Gadis itu semakin takut saat melihat darah mengalir dari sudut bibir Gabriel dan bercampur dengan air hujan.

                Belum berhenti, Rio maju dan menarik bagian neck kaos Gabriel dan membuat jagoan itu berdiri terpaksa. Disekanya asal darah yang masih mengalir dengan punggung tangan kanannya, tatapannya tidak berkurang tajamnya, seakan benar-benar menantang Rio untuk mengeluarkan semua yang dia punya, tanpa bermaksud membalas. Bogem kedua Rio hampir saja mendarat kembali jika Ify tidak sigap bergerak dan mendorong tubuh tegap Rio dengan segenap sisa tenaganya hingga cowok itu terhuyung ke belakang. Ify sempat melongo memikirkan darimana ia dapat kekuatan untuk melawan Rio.

                “gila!” umpat Ify tajam pada Rio setelah sadar tak penting dengan apa yang baru saja ia pikirkan. Segera ia menarik tangan Gabriel ke lorong sekolah dan menghilang ke arah UKS.

                Di tempatnya Rio masih berdiri terpaku menatapi dua orang itu pergi. Ia mengeram keras atas kebodohan yang baru saja ia lakukan. Tak sanggup mengatur emosinya karena ia yakin Gabriel telah membocorkan rahasia yang selama ini mereka pegang pada Ify.

*****

                “lo nggak papa, Gab?” tanya Ify setelah ia dan Gabriel masuk ke ruang UKS. Tak peduli lagi mereka membuat sepanjang lorong, bahkan ruangan kesehatan itu banjir karena pakaian mereka yang basah kuyup.

                Gabriel menggeleng sambil tersenyum. “rugi banget gue jadi jagoan kena pukul begitu aja keok.” Candanya.

                “gue obatin luka lo ya?” tawar Ify sambil mengeluarkan sebuah kotak plastik bening dengan logo palang merah di atasnya.

                “pantes Rio nggak mau lepas dari elo.” Komentar Gabriel yang terkesan mengambang. Ify menaikkan alis kanannya menuntut penjelasan dari apa yang baru saja keluar dari mulut cowok karismatik itu. “elo seksi banget ternyata.” Cowok itu menyeringai, bahkan hingga sedikit luka sobek di ujung bibirnya semakin terlihat.

                Spontan Ify menyilangkan kedua tangan tepat di depan tubuhnya karena mengerti maksud Gabriel. Blouse seragam putihnya yang basah merekat di tubuhnya, memperlihatkan setiap lekuk indahnya. Hawa panas langsung merambat di wajahnya karena malu dan merutuki dirinya sendiri kenapa baru menyadari. Makian yang berkumandang di otaknya dan ditujukan untuk dirinya sendiri semakin keras saat mengingat ia tak membawa pakaian ganti. Gawatnya lagi, ia hanya berdua dengan Gabriel di ruangan yang sangat mendukung ini. Ia tahu pasti Gabriel seratus persen laki-laki normal.

                “elo sama Rio ternyata sama-sama kurang ajarnya!” seru Ify yang akhirnya meledak, mendapat kesempatan untuk membela diri.

                Tawa Gabriel pecah, bahunya bahkan terlihat berguncang hebat. “kurang ajar di bagian mana? Elo sendiri yang kasih gue tontonan.” Ucapnya begitu ringan, namun tangannya kini sibuk merogoh isi tasnya. Ia mengulurkan sebuah jaket dan celana basket yang masih terlipat rapi pada Ify.

                “buat apaan?”

                “ganti baju lo!” perintah Gabriel gemas karena lamanya otak Ify berproses.

                “tapi...”

                “ya terserah. Gue sih seneng-seneng aja kalo lo nggak mau.”

                Tak perpikir lebih lama lagi Ify menyerobot pemberian Gabriel. Namun, Ify masih diam di tempat, bingung dimana ia harus mengganti bajunya. Ia tak mau bertaruh nyawa jika keluar dari ruangan itu dan ternyata Rio masih ada di area sekolah, mengingat jarak antar UKS dan kamar mandi terdekat saja sejauh lapangan tadi.

                “lo bisa tutup hordennya.” Ucap Gabriel seakan mengerti apa yang dipikirkan Ify. Telunjuknya mengarah pada horden biru tua yang membatasi bed dengan tempat petugas PMR yang berjaga, tempat mereka berdiri sekarang. Mata Ify memicing penuh keraguan pada Gabriel. “lo bisa percaya gue.” Lanjut cowok itu sambil tersenyum, sebuah senyuman hangat yang menimbulkan keyakinan di hati Ify jika ia aman bersama pemuda ini.

                Sekali lagi Gabriel tertawa terbahak-bahak melihat Ify menggunakan celana dan jaketnya yang tentunya menjadi sangat kebesaran untuk Ify. Mirip orang-orangan sawah, pikirnya. Orang-orangan sawah yang cantik. Ia sendiri sudah mengganti kaos dan celananya yang basah dengan seragam sekolah.

                Gadis mungil itu memajukan bibirnya beberapa mili sambil menghentakkan kakinya berjalan ke arah belakang meja tamu dan duduk di kursi empuk tempat petugas biasa piket. Kedua tangannya memegang erat celana yang ia gunakan, ngeri melorot karena cukup kebesaran untuknya.

                “Gab, bener elo sama Rio kembar?” tanya Ify takut-takut. Kemarahan Rio tadi seakan menegaskan jika dugaannya benar, namun tak puas rasanya jika tak mendengar langsung.

                “iya. Gue cuma lahir sepuluh menit lebih cepet dari dia. Emang elo nggak sadar, atau seisi sekolah ini nggak ada yang sadar ya?” jawab Gabriel begitu ringan. Tak tampak lagi kemarahan yang terpancar dari rona matanya seperti tadi di lapangan. Ify diam, tidak merespon. Tidak cuma sekali ia mendengar bisik-bisik beberapa murid di sekolah ini yang menyadari bahwa Gabriel dan Rio mirip, ia pun menyedarinya, walaupun terlambat mungkin.

                “karena elo dan dia bertolak belakang banget mungkin, jadi nggak ada yang sadar. Jujur, sampai detik ini gue masih nggak percaya, biasanya kembar punya kemistri yang nggak wajar, gue nggak lihat itu dari kalian.”

                “siapa bilang? Buktinya gue sama dia sayang sama cewek yang sama.” Gabriel menyeringai, mengerlingkan kelopak mata kanannya menggoda Ify.

                “Rio nggak pernah sayang sama gue.” Balas Ify getas.

                “dia sayang sama elo, gue tahu itu.”

                Kembali hening, hanya suara satu-satu dentingan hujan yang mulai reda dengan atap yang terdengar. Ify mengalihkan pandangannya pada kaca cendela di sebelahnya, seakan terhanyut bada butiran air yang satu-satu mengalir di sana membentuk anak-anak sungai. Otaknya mulai menyusun pertanyaan untuk ia ajukan.

                “tapi, gue sering ke rumah Rio dan elo nggak ada?” Ify membuka mulutnya, membunuh sepi yang baru saja tercipta memenuhi ruangan. Didengarnya Gabriel menghela nafas berat.

                “gue nggak tinggal sama bokap gue di rumah Rio sekarang, gue sama nyokap gue, mereka udah cerai sejak gue sama Rio SD.” Mata pemuda tampan itu cekung, terdengar getaran samar dari suaranya. Ify beranjak dari tempat duduknya, mendekati Gabriel yang duduk berseberangan dengannya, digenggamnya tangan kokoh Gabriel lembut. Ia tahu cowok kokoh ini perlu seseorang untuk mendengarkan isi hatinya yang belum pernah terjamah oleh siapapun. Gadis itu tahu, berat bagi Gabriel mengungkap yang selama ini dipendamnya, namun beban itu pasti akan terasa lebih ringan jika dibagi.

                “bokap gue nggak pernah suka sama gue yang bandel, beda sama nyokap gue yang bisa mengerti gue. Tapi bokap sayang banget sama Rio.” Lanjutnya. “lo bayangin deh, anak SD udah sering dipukulin.” Gabriel tersenyum hambar. “mungkin karena itu sampai sekarang gue jadi orang yang keras.” Dibalasnya genggaman tangan Ify semakin erat, seakan mencari kekuatan, dari sana pula Ify bisa merasakan sakitnya Gabriel, sakit yang tak terdeteksi oleh dokter manapun karena hanya disimpan dalam hati.

                “mereka sering berantem gara-gara gue, bokap gue yang terus kukuh kalau gue itu nggak berguna, dan nyokap gue yang nggak pernah nyerah buat percaya kalau gue bisa buat bangga dia. Sampai mereka bercerai.” Gabriel menghela nafas berat sekali lagi, kemudian tangan kirinya yang bebas mengusap wajahnya, seakan mencoba menghilangkan sinar sendu dari wajahnya, tak berpengaruh. “gue sempet nyalahin diri gue sendiri waktu itu, gue pikir keluarga gue hancur gara-gara gue.” Matanya yang sayu terarah lurus ke pergelangan tangan kirinya. Ify terhenyak, ada dua bekas sayatan di sana. Pasti cukup dalam sampai membekas seperti itu. Guratan-guratan yang lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa pernah depresinya Gabriel yang kini berubah dengan topeng penguasanya.

                “Gab..” lirih Ify hampir kehabisan kata-kata, kisah dramatis yang baru saja didengarnya membuatnya tak percaya. Rio dan Gabriel adalah dua orang luar biasa di matanya, dan ternyata tempaan kuat sepanjang hidup mereka yang membuat semua itu tercapai.

                “kenapa?” tanya Gabriel. Bukan seperti menjawab ucapan Ify, lebih terdengar menanyakan jawaban untuk ceritanya sendiri. Cowok tampan itu tertawa kecil dan begitu hambar, seakan menghibur dirinya sendiri. Setitik air mata jatuh dari mata kanannya yang kemudian diusapnya kasar. “gue kehilangan Rio juga saat itu, dia benci gue karena hal itu. Apa lagi setelah nyokap milih bawa gue keluar dari rumah, bukan Rio.”

                “berarti childishnya Rio, bossy, liberalis radikalnya itu bawaan orok, Gab!” celetuk Ify. Kali ini Gabriel benar-benar tertawa, walau tipis. Ify merasakan pegangan Gabriel di tangannya mengendur, nafas cowok itu tak lagi berat, terdengar lebih lega. “tapi Rio pernah ngenalin wanita yang dia panggil mama sama gue?” rasa penasaran Ify belum habis.

                “itu nyokap tiri gue, belakangan gue tahu, bunda minta cerai sama ayah karena ayah punya affair sama sekretarisnya, ya.. yang Rio sebut mama itu. Bunda sengaja nggak ngasih tahu gue sama Rio karena beliau nggak ingin anak-anaknya tumbuh dengan kebencian, apa lagi sama bapaknya sendiri. Nyokap gue hebat kan?” tutur Gabriel kali ini dengan nada bangga yang kentara di ujung kalimatnya.

                “wonder women!” pekik Ify tak kalah kagum. “elo yang bego! Berhenti deh bikin onar biar nyokap lo tambah bangga sama lo.” Nasihat Ify sambil mengacak-acak rambut basah yang jatuh di kening Gabriel. “lo benci sama Rio, sama bokap lo?” tanya Ify halus, takut melukai Gabriel.

                Gabriel menggeleng mantab. Dengan senyum manis dan terlihat begitu tulus di bibirnya. “setengah darah yang ada di tubuh gue punya bokap gue, darah yang mengalir di tubuh Rio dan tubuh gue sama, gue pernah berbagi kehidupan sembilan bulan sama dia. Benci mereka berarti benci diri gue sendiri.”

                Tiba-tiba air mata Ify merembes dari kelopak matanya, terenyuh mendengar ketulusan Gabriel. Semua yang diterimanya tak adil, namun juga tak mampu membuatnya menjadi orang yang penuh kebencian, justru penuh kasih sayang. Ify yakin dengan apa yang dikatakan Gabriel saat mengingat Gabriel sama sekali tak membalas saat tadi Rio menghajarnya, padahal pasti perkara mudah bagi jagoan itu untuk melakukan yang lebih keras dari yang Rio lakukan.

                “gue sayang sama mereka, lebih dari apapun.” Lanjut Gabriel dengan tatapan menerawang.

                Ify menyadari kekeliruannya, ternyata Gabriel jauh lebih lembut daripada Rio. Seakan keduanya seperti sosok yang tertukar.

                “makasih ya, Fy.” ucap Gabriel sambil membelai puncak kepala Ify, mengaburkan pemikiran gadis itu. “makasih udah dengerin gue, makasih udah mau dan kuat jagain si bebel itu.”

                Ify terkekeh, ia mengerti yang dimaksud Gabriel ‘si bebel’ itu Rio. Dan Ify menyadarinya, perlu kekuatan super tersendiri untuk menghadapi sikap-sikap Rio yang sebenarnya, di luar semua wibawanya. Ketulusan yang membuat Ify mau melakukan semuanya untuk si bebel itu, dengan senang hati.

                “pulang yuk? Gue ngeri iman gue nggak kuat kelamaan sama elo.” Ajak Gabriel disambung sebuah seringaian lebar di bibirnya, kembali lagi menjadi Gabriel yang dulu Ify kenal. Membuat gadis itu menghela nafas lega.

*****
               
Ify menahan nafasnya saat sebuah mobil sport mewah berwarna hitam metalik yang sangat dikenalnya tiba-tiba saja menghalangi jalannya, tepat di bawah gapura yang menyangga nama kompleks perumahaannya. Itu mobil Rio. Otaknya merapal mantra agar ada ide yang meletup untuk melarikan diri, karena ia yakin saat ini Rio sedang marah besar, yang bisa juga diartikan sebuah bencana untuknya.

                Benar saja, pemuda gagah itu keluar dari kendaaran itu dengan tampang garang. Melangkahkan kaki panjangnya ke arah Ify dengan mantab. Game over! Begitu pikir Ify. Ia sangat mengenal Rio. Dan saat seperti ini tidak akan ada kata apapun yang akan diterima otak cerdasnya.

                “Ikut gue!” perintah Rio tandas. Tak ingin ditolak.

                “nggak!” tiba-tiba saja keberanian Ify meledak karena mengingat cerita Gabriel. Rio harus belajar tak lagi menjadi seenaknya.

                “gue bilang ikut!” sekali lagi, Rio memerintah dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

                “gue nggak mau ikut!” tolak Ify dengan suara yang tak kalah keras.

                “gue nggak suruh elo nolak!” kali ini Rio benar-benar membentak, keberanian Ify kembali menciut. Gadis itu menunduk dalam setelah sebelumnya sempat terjingkat karena kerasnya suara Rio. Tak membuang kesempatan, Ify yang sedang lengah ia tarik pergelangan tangan kanannya yang kemudian ia seret ke jok samping kemudi.

                “aw! Sakit, Yo!” pekik Ify karena genggaman tangan Rio yang memang keras dan begitu terasa pedih. “gue nggak mau ikut! Gue mau pulang!” seru Ify sambil mencoba berontak, mencoba menahan kakinya untuk tidak beranjak dari tempatnya, mencoba mengabaikan rasa sakit di tangannya saat ia mencoba memberontak. “lepasin gue atau gue teriak?!!” ancam Ify yang hampir kehabisan tenaga.

                Tak ingin ambil resiko, Rio segera membopong Ify, dan sebelum sempat gadis itu berteriak ia sudah berada di dalam mobil. Rio segera menjalankan mobilnya membelah jalanan.

                “elo gila!!” seru Ify sambil memukuli lengan Rio.

                “diem atau kita mati berdua?!” ancam Rio. Menyadarkan Ify jika Rio tengah menyetir. Gadis itu memilih diam dan mengarahkan pandangannya keluar jendela di sebelahnya. Tak mempedulikan Rio sama sekali. Jengkel sendiri dengan perlakuan Rio pada Gabriel tadi, dan ternyata juga selama ini. Kini hanya terdengar deru kendaraan yang menandakan waktu masih berjalan.

                “Iel pasti udah cerita semua kan?” tanya Rio memecah hening.

                “Iel?” bukan, bukan Ify tak mengerti siapa yang dimaksud Rio, namun belum pernah ia mendengar orang lain memanggil Gabriel dengan cara Rio itu. Ify menduga itu nama kecil Gabriel.

                “Gabriel Stevent.” Desis Rio tak minat.

                “abang lo?” tanya Ify sinis. Rio tak menjawab, justru melengos. “gue nggak nyangka orang bebel kaya elo punya kembaran sekeren Gabriel. Dia nggak pernah seenaknya sama gue.”

                Dibawah kesadarannya, tangan Rio mencengkeram stir mobilnya. Telinganya panas mendengar pujian Ify untuk orang yang masih menyimpan dendamnya.

                “gue ngerasa aman sama dia, nggak serem kaya elo.” Lanjut Ify, tak sadar jika amarah Rio sudah mulai naik.

                Ify menahan nafasnya saat tiba-tiba saja Rio menghentikan laju mobilnya. Tanpa ia sadari saat ini mereka sudah ada di tepian jalan yang begitu lengang, jarang sekali perumahan, bahkan sejauh matanya memandang tak ada satupun. Gadis itu menelan ludahnya yang terasa membatu dengan susah payah, sisa setetes keberaniannya ia gunakan untuk menoleh pada Rio. Ia bisa merasakan udara menjadi panas dingin, wajahnya pasti sudah pasi saat ini.

                Didapatinya Rio tengah menatapnya dengan mata tajamnya, tak lagi dingin, ada amarah yang siap meledak di sana. Wajahnya keras karena kedua rahang tegasnya terkatub rapat. Tangan kanannya masih disangga stir mengepal keras. Singa lapar ini baru saja bangun dan mendapati mangsa lezat di hadapannya.

                “Gabriel punya apa?! Bilang sama gue!” desis Rio, tajam. Ify yakin Rio sangat marah saat ini. Tiba-tiba orak gadis itu berhenti bekerja. Yang ia tahu saat ini ia bisa pasrah apapun yang akan dilakukan Rio padanya. “jawab!” pelan, namun getas. Ify juga tahu Rio masih menahan emosinya sebisa mungkin.

                “dia punya apa yang lo nggak punya.” Jawab Ify lirih, dengan suara bergetar mencoba melawan rasa takutnya. Ia menunduk dalam-dalam tak berani menatap pemuda di hadapannya.

                Ketakutan juga dialami Rio, dengan sebab yang berbeda, rasa takut kehilangan untuk kedua kalinya. Ketakutan untuk kembali kalah dengan Gabriel. Ia punya semua hal yang sangat diinginkan Gabriel. Tapi ia tak pernah merasa menang atas saudara kembarnya itu. Wanita yang ia sayangi selalu lebih berpihak pada Gabriel.

                “shit!” umpat Rio sambil menghantam stir, membuat Ify berjingkat dan dengan refleks beringsut mundur. Belum sempat ia menggerakan seluruh tubuhnya, Rio sudah menariknya ke dalam pelukan cowok jangkung itu.

                Ify diam. Pelukan Rio begitu erat, bahkan membuatnya merasakan nafasnya mulai sulit. Ify dapat merasakan seakan Rio memiliki ketakutan yang besar. Seperti seorang anak yang baru saja hilang, merasa sendirian dan akhirnya menemukan lagi seseorang yang dikenalnya dan membuatnya merasa aman. Seperti takut kehilangan lagi. Perlahan cerita Gabriel tadi sore kembali terngiang lagi di telinga gadis itu, Rio pernah jatuh saat kehilangan sang mama. Sosok ini tak pernah menjadi sekuat Rio si ketua OSIS yang disegani seisi sekolah. Sungguh, Ify ingin membalasnya, menenangkan Rio seperti yang biasa ia lakukan, namun kegamangan itu kembali menyelimutinya. Apakah benar Rio sedang merasa takut kehilangannya? Bukan karena kenangan lama yang coba menguasainya dan ia hanya butuh pelampiasan? Apakah ketulusannya terbalas?

                Persetan! Tidak ada ketulusan yang memikirkan balasan. Apapun alasannya, Rio sedang membutuhkannya saat ini. Kebahagiaan Rio selalu menjadi hal yang paling mutlak untuknya. Tak berfikir lebih lama lagi, Ify balas memeluk Rio, tangan kanannya mengusap punggung kokohnya dan tangan kirinya mengusap rambut ikal Rio. Setiap gerakan yang menerangkan ia tak akan meninggalkan pria ini, dalam keadaan apapun.

                Nyaman. Katakutan Rio serentak menghilang. Ify ada didekapannya, aroma lembut gadis itu masih setia menyapa indra pembaunya dan memberikan ketenangan sekaligus gejolak tak menentu di hatinya. Gadis itu seolah selalu bisa meyakinkannya bahwa ia akan tetap tinggal untuknya apapun yang terjadi, bahkan jika ia menjauh sekalipun. Tak ada alasan untuknya takut. Entahlah, setiap gerakan yang mereka lakukan mengutarakan semua isi hati tanpa kata yang bekerja.

                “makasih.” Bisik Rio lembut. Hanya cukup di dengar oleh Ify, di sela dentingan rapat suara hujan yang mulai kembali turun. Ify tersenyum, dibenamkan wajahnya pada dada bidang Rio, menyaruk manja sambil mengetatkan pelukannya. Ia bisa mendengar debaran jantung Rio yang bahkan tidak lebih teratur dari deburan ombak di pantai.

                “nggak usah takut.” Ujar Ify dengan senyum menggemaskan di bibirnya, tangan kanannya terulur untuk mengacak-acak puncak kepala Rio. “gue ada di sini buat elo kan?” godanya lagi.

                “kalo nggak gue paksa juga nggak akan elo ada di sini.” Keluh Rio. Kali ini matanya kembali tenang, dengan sejuta emosi yang justru didiamkan membuatnya terlihat tenang, mata sayu itu, gadis mana yang tahan melihatnya. Ingin rasanya Ify memekik saat ini juga untuk meluapkan kerja molekul yang berlebihan di tubuhnya. Namun tubuhnya kembali membeku karena Rio mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Ini pertama kalinya Rio melakukan itu, dan ini pertama kalinya juga Ify merasakan tindakan spontan Rio begitu manis dan tulus. Hujan di luar menjadi lagu romantis yang mengiringi dua anak manusia dalam scene drama alam mereka sendiri.

                Rio menarik wajahnya beberapa centi, tak terlalu jauh karena ia masih dapat merasakan hembusan halus nafas Ify. Seorang bidadari dikirim Tuhan khusus untuknya. Gadis di depannya berwajah begitu damai, apa lagi saat matanya terpejam seperti saat ini. Hidung bangir dan dagu lancip yang membuat ayunya berbeda dari gadis lain. Perlahan, Rio kembali menghapus secuil jarak yang sempat ia ciptakan, matanya membidik lurus ke sepasang bibir tipis Ify.

                Merasakan hembusan nafas Rio yang semakin hangat menerpa wajahnya, Ify membuka matanya. Susah payah mengumpulkan kesadarannya dan mendorong dada Rio setelah mengerti apa yang pria itu ingin lakukan padanya. Tak pantas mengingat ia dan Rio tak berstatus apapun.

                “maaf, Fy.”ucap Rio panik, sekaligus salah tingkah. Merutuki akal sehat yang bahkan tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Gadis ini memang selalu sukses melumpuhkannya.

                “cowok gila!” umpat Ify sambil menekan power button tape mobil Rio. Mengalihkan jika ia pun salah tingkah dibuatnya. “jalan! Anterin gue pulang!” perintah gadis itu –sok- galak. Mencoba kembali menormalkan keadaan yang terlanjur kaku.

                Tanpa ba-bi-bu lagi, Rio kembali menjalankan mobilnya, putar balik. Sial. Yang terputar dari siaran radio yang dipilih Ify adalah A Beautiful Mess milik Jason Mraz. Berpadu serasi dengan suara hujan. Sukses membuat moment-moment canggung itu kembali tercipta. Ify memilih mengarahkan wajahnya ke cendela di sampingnya, menghidari tatapan Rio lagi, menyembunyikan wajahnya yang sudah menyemu merah. Keduanya memilih diam, membiarkan lagu yang bermain menyampaikan apa yang ingin mereka utarakan.

                Hey, what a beautiful mess this is..
                It’s like picking up trash in dresses....

*****

                Mobil Rio berhenti di depan rumah Ify. Gadis itu melongok sedikit keluar cendela. Rumahnya sepi, sejenak ia baru mengingat jika semua penghuni rumahnya, kecuali dia tentunya, sedang berada di luar kota menghadiri pernikahan salah satu saudaranya.

                “masuk dulu, Yo?” tawar Ify sambil membuka handle pintu mobil.

                Rio menggeleng. “udah malem nih, lain kali deh.” Jawabnya.

                “emm.. Yo.”

                “ya?”

                “lo sayang sama Gabriel?” tanya Ify ragu, takut kembali memancing amarah Rio lagi. Ia menggigit bibir bawahnya menunggu jawaban. “nggak usah dijawab deh.” Ralatnya. Daripada terjadi keributan malam-malam.

                “lo tahu darah itu lebih kental dari tinta kan? Dan darah itu justru beku kalau terpisah dari alirannya?”

                “maksudnya?” di sela rasa jengkelnya, Ify kini yakin Gabriel dan Rio memang kembar, keduanya suka sekali bermain tebak kata.

                “bodoh! Gue pulang.” Pamit Rio, kembali kasar. Ia segera menginjak gasnya, meluncur ke jalanan kompleks sampai menghilang di ujung jalan.

*****
               
Tidak seperti biasanya, pagi-pagi benar Ify sudah siap dengan seragam sekolahnya. Padahal sampai tengah malam ia memikirkan maksud dari jawaban Rio semalam, dan ia yakin Gabriel tahu jawabannya. Dan ia harus berbuat sesuatu untuk menyatukan kembali dua darah itu. Gadis itu memilih untuk membawa mobilnya sendiri, membelah jalanan dan menunggu di muka sebuah jalan menuju sebuah perumahan penduduk.

                Berkali-kali ia mengarahkan pandangannya ke jalan setapak itu, mencari sosok Gabriel. Berulang kali juga ia melirik jam yang melingkar di tangan kanannya untuk membunuh jenuh. Hampir setengah jam, lima belas menit lagi menuju pukul tujuh pagi. Sampai cendela di sebelang kemudi di ketuk. Gabriel pelakunya. Dengan isyarat Ify menyuruh cowok itu masuk.

                “ngapain lo ada di sini?” tanya Gabriel heran. “minta banget digodain preman pengkolan?” selorohnya lagi sambil menutup pintu.

                “jemput elo.” Jawab Ify seadanya sambil menginjak pedal gas mobilnya kembali membelah jalanan. “gue kemarin diculik Rio.” Lanjutnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

                “elo nggak diapa-apain sama si bebel itu kan?” tanya Gabriel dengan nada khawatir yang terdengar jelas. Ify menggeleng.

                “lo pengen baikan sama adek lo yang gila itu nggak?” selidik Ify sebelum benar-benar menjalankan aksinya.

                “harusnya Rio yang elo tanya.”

                “lo tahu dia bebel banget kan?”

                Tawa Gabriel pecah mendengar keluhan Ify. Hanya orang yang benar mengenal Rio yang tahu betapa kerasnya orang itu. Akan lebih baik melakukan sendiri daripada menyuruh Rio memulai sesuatu. Apa lagi hal itu tidak Rio sukai, sama saja bunuh diri.

                “maka dari itu, gue takut dia masih nggak mau maafin gue.” Lirih Gabriel

                “Rio bilang sama gue, darah akan selalu lebih kental dari tinta. Gue nggak ngerti, dia sama kaya elo, sok main kode.” Wajah cantik Ify nampak lesu dan merasa menjadi orang paling bodoh sedunia.

                “sampai kapanpun, gue saudara kembar dia, nggak ada urusannya sama perceraian bokap-nyokap kita.” Gabriel mencoba menjabarkan istilah yang dipakai saudaranya itu. Dengan sangat baik karena ia juga bisa merasakan apa yang Rio rasakan.

                “darah yang terpisah dari alirannya bisa membeku?” kejar Ify masih penasaran.

                “serius dia bilang gitu?” selidik Gabriel, masih tidak percaya Rio bisa mengatakan hal itu setelah semua kebencian yang selalu adiknya itu perlihatkan padanya. Ify mengangguk mantab. Tanpa menjawab, Gabriel merogoh tas selempangnya, mengeluarkan sebuah cutter yang nampak menyala begitu tajam.

                “elo mau ngapain, Gab?!” pekik Ify ketakutan, bayangan bekas guratan di tangan kiri Gabriel kembali membayanginya.

                Gabriel tertawa kecil lagi mendengar nada ketakutan Ify. Tangan kanannya yang memegang pemotong kecil itu bergerak menyayat jari telunjuk kirinya. Bersama desisan kecil menahan sakit, setetes darah keluar dari sana.

                “lo gila!” pekik Ify sekali lagi, tangan kirinya bergerak cepat mengambil tisu di dashboard untuk mengusap darah yang mengalir, namun ditepis oleh Gabriel.

                “lo pengen tahu arti omongan Rio kan?” jari telunjuk Gabriel mengusap darah yang mulai membeku di telunjuknya. “kaya darah ini, Fy. Beku setelah keluar dari pembuluhnya, lepas dari kawanannya. Sama kaya gue yang lepas dari Rio, Rio yang lepas dari gue.”

                Ify mencelos saat menyadari betapa dalam kalimat Rio. Cowok itu dan Gabriel berasal dari gumpalan darah yang sama, kemudian membelah, sampai mereka benar-benar terpisah karena orang tua mereka. Membekulah keduanya. Terseok berjalan namun tetap mencoba kuat dengan setengah nyawa mereka. Dengan cara mereka sendiri-sendiri mencoba tetap berdiri tegak, untuk selalu dilihat kuat oleh dunia, menyembunyikan kehancuran masing-masing.

                “gue rasa masalah ini bisa diselesaikan kalian sendiri. Elo atau Rio harus maju duluan buat mengalah.” Nasehat Ify setelah menyadarkan dirinya sendiri dari keterkesimaan, atau lebih tepat keprihatinannya. Gabriel hanya terseyum simpul.

                “gue rasa, biarpun gue yang lakuin itu, Rio tetep nggak akan bisa terima.” Jawab cowok itu penuh arti.

                “kenapa?”

                “Barbie-nya ada sama gue sekarang.”

                Ify tersenyum sumir. Barbie-nya. Gadis itu tidak menangkapnya sebagai sanjungan, tapi sebagai kenyataan yang memukul telak ulu hatinya. Rio seolah memang menganggapnya sebagai boneka Barbie, yang tak pernah sakit meskipun ada banyak Barbie lain yang dikoleksi cowok itu. Barbie yang tak pernah menolak jika pemuda itu datang mencari hiburan dan tidak mengacuhkannya jika ia sedang asik dengan Barbie lain.

                “ups.. gue baru sadar bakalan masuk gerbang sekolah sama si pangeran trouble maker. Gue nggak harus disekap di gudang gelap sama pemuja elo kaya di film-film kan?” gurau Ify mengalihkan perhatian. Mencoba memungkiri rasa sakit yang kembali mencoba melemahkannya.

                “gue nggak akan ngebiarin siapapun nyakitin elo.” Balas Gabriel serius. Matanya turut berbicara, membuat Ify kembali tersanjung. “gimana kalo Rio liat kita?”

                “nggak mungkin, hari ini Rio ke SMA Cempaka II.”

DEG!

                Tiba-tiba perasaan Gabriel tidak enak, tak didengarkannya lagi ocehan Ify. Genk SMA Cempaka II memiliki track record permusuhan mendarah daging dengan sekolah Gabriel, bahkan beberapa hari lalu ia dan kelompoknya sempat membuat beberapa siswa Cempaka babak belur dan memukul mundur mereka semua. Memang Rio tidak terlibat dengan hal ini tapi biasanya tak akan ada yang peduli selama seragam yang digunakan tertera bedge bertuliskan sekolah musuh. Sudahlah! Kubu mereka pasti bisa membedakan urusan formal dan ilegal, pikir Gabriel mengusir pikiran jeleknya.

to be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar