Sabtu, 04 Juni 2011

Song of Love part 12a

Mobil sport itu melaju membelah jalanan yang mulai senggang karena penggunanya mukin sudah mulai didekap sang mimpi. Sesekali mata sayunya menatap ke langit gelap yang memayungi bumi malam ini. Cerah, bahkan sangat terang, tetapi tak sebutir intan pun yang biasanya menghadirkan percikan binarnya untuk sekedar memberi cerca keceriaan di langit yang muram malam ini bercokol.
Kembali, setelah entah sudah berapa kali hal ini ia lakukan, pemuda tampan itu menghela nafas, sedikit semangat yang ia harapkan tak ia dapatkan. Matanya yang masih sedikit sayu dan pucat itu beralih pada gedung-gedung dengan pencahayaan berlebihan yang membingkai jalanan. Light polution, polusi cahaya, cahaya buatan –cahaya lampu- yang mengalahkan cahaya kecil dari kilauan butiran bintang sehingga walaupun tak tertutup mendung, bintang tak mampu menunjukan cahayanya untuk setiap insan yang menantinya.
Rio –pemuda tadi- melirik arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Lebih dua puluh menit dari pukul sepuluh malam. Masih terlalu sore untuk menjalankan misinya. Rumah besar milik keluarga Umari pasti masih dipenuhi para penjaga yang masih waspada. Terlebih dari tempatnya berada sekarang, hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk sampai di kediaman orang terpandang itu.
Sebuah ide kini menetas di kepalanya, sesuatu yang mungkin akan menjadi pemanis malam ini, sedikit memberi warna cerah pada ruangan gelap yang akan segera dimasukinya, dan entah terletak dimana dan bagaimana ujung ruangan itu. Segera Rio memutar laju kendaraannya ke sebuah tempat yang sering ia kunjungi dahulu.
***
Malam semakin larut, dan Ify masih terjaga. Mata indahnya rasanya sangat sulit terpejam. Banyak hal yang kini berkecamuk dalam pikirannya. Hal-hal yang saling berhubungan satu dengan yang lain, namun belum tentu bila yang satu terselesaikan maka yang lain akan turut usai.
Dan satu hal yang paling mengusik pikirannya adalah keadaan Rio saat ini. Kekawatirannya pada sang pangeran hati. Masih Ify ingat betul raut pucat milik kekasihnya itu saat terakhir kali mereka bertemu, darah yang tiba-tiba saja menyembur dari mulut Rio, hal-hal yang menegaskan jika pria itu tidak dalam keadaan baik-baik saja, bagaimana Alvin bisa mengatakan jika Rio tidak kenapa-napa?
Gadis manis itu memejamkan matanya yang begitu terasa kering. Seakan air matanya telah habis tak tersisa walaupun hanya untuk sedikit membasahi mata bening miliknya. Ia menghirup nafas dalam-dalam memenuhi rongga dadanya dengan udara malam, yang dinginnya bahkan sudah melebur dengan tulang-tulangnya, kemudian ia hembuskan lagi kuat-kuat, berharap sedikit sesaknya bisa ikut menguap bersama karbondioksida yang baru saja ia keluarkan dari tubuhnya. Nihil. Tak sedikitpun hal yang terasa menghimpit dadanya itu berkurang.
Sebuah harapan kecil ia miliki saat ini, sebuah harapan yang coba ia titipkan pada bulan untuk segera disampaikan pada tujuannya, Rio. Karena dimanapun kekasihnya itu berada saat ini, pasti hanya satu bulan itu yang dapat mereka lihat bersama.
Terlintas dibenak Ify, potongan cerita yang tak pernah mati, Romeo dan Juliet, adegan balkon, dimana sang Romeo mempertaruhkan semua yang ia miliki untuk menyelinap ke tempat yang sama sekali berbeda dengan semua tempat yang pernah ia singgahi, tempat dimana nama besar keluarganya yang membuat banyak orang menundukkan kepala memberi penghormatan justru akan membawanya lebih dekat dengan maut. Sampai sang Romeo menemukan permaisuri hatinya, Juliet, berdiri di balkon kamarnya, dengan keadaan selamat.
Tak salah tentu jika saat ini Ify berharap Rio akan melakukan hal itu pula untuknya, biarpun hanya sedikit kemungkinan hal itu akan terjadi. Namun rasa rindunya pada pangerannya itu yang sudah mencapai puncaknya seakan memberi semangat pada harapan itu untuk tetap berkobar, meskipun mungkin lagi-lagi akan berujung sia-sia.
Jika Rio tak datang, hanya tinggal beberapa jam lagi ia akan diikat oleh Alvin menjadi miliknya. Sosok yang mungkin, ralat, pasti memaksanya untuk membunuh segala sesuatu yang berkaitan dengan Rio.
Hawa dingin yang semakin menyergapnya membuat Ify semakin melayangkan semua rasa rindunya pada sosok hitam manis itu. Seorang pria yang bukan hanya sekali-duakali dikatakan orang sangat serasi mendampinginya. Belaian lembutnya, dekapan hangatnya, tatapan teduhnya, senyuman mautnya, segalanya, semua yang ada pada Rio selalu sempurna di matanya.
Gelap. Tiba-tiba saja kedua mata Ify tertutup oleh dua buah telapak tangan. Aroma maskulin yang sangat tidak asing bagi indra penciuman gadis itu membuatnya bisa menebak siapa orang itu, siapa pemilik tangan kokoh itu.
Jatung Ify terasa ingin melompat dari tempatnya begitu nama itu terlintas di benaknya. Namun, rasa takut jika apa yang ia alami saat ini hanyalah mimpi, membuat gadis itu justru mematung, sama sekali tak bereaksi. Dengan satu alasan, jika memang hal ini adalah khayalan belaka, biarlah sekejap ia menikmati harum tubuh yang ia rindukan, menikmati setiap sensasi berbeda yang tak pernah mampu disuguhkan oleh orang lain selain Rio setiap saat ia sedang bersama dengan pria itu.
“kalau ini mimpi jangan bangunkan hamba, Tuhan..” mohon Ify lirih, bahkan nyaris tersamar oleh desiran angin yang berhembus cukup kencang. Hampir saja doa itu tak terdengar jika laki-laki berpostur jangkung yang kini berdiri di belakang gadis mungil itu tidak sedang mendekatkan kepalanya pada kepala Ify.
Perlahan kedua tangan itu bergerak, membebaskan kedua mata Ify yang ternyata tetap memilih untuk terpejam. Karena gemas gadisnya masih mengira jika bukan benar-benar ia yang berdiri di dekatnya saat ini, Rio mencubit pipi kiri Ify.
“aw. . .” rintih Ify sambil memegangi pipinya yang sudah memerah karena cubitan Rio. Rio yang saat ini berada di hadapannya, bukan sekedar mimpi atau khayalannya.
Rio terkekeh menyaksikan ekspresi Ify. Polos sekali wajah gadisnya itu.
“It’s real, dear. . I’m by your side, for you, rite now.” Ucap Rio di sela sisa-sisa gelak tawanya sambil mengacak-acak puncak kepala Ify.
“gimana bisa?” tanya Ify sambil memperhatikan sekelilingnya. Ia tak menemukan tangga atau apapun sebagai jalan masuk bagi Rio untuk mencapai balkon kamarnya yang berada di lantai dua.
“apa yang Mario nggak bisa lakuin?” jawab Rio bangga.
Kali ini bergantian Ify yang mengacak-acak rambut Rio gemas. Tatanan rambut Rio yang sebelumnya memang sudah berantakan kini menjadi semakin tak beraturan. Beberapa detik kemudian Ify habiskan untuk membingkai wajah tampan pangerannya itu di ingatannya, memastikan bahwa tak ada yang berubah padanya setelah berhari-hari tidak bersua. Wajah itu masih sedikit pucat, menandakan jika memang belum lama ia pulih dari sakitnya.
Detik berikutnya, Ify berhambur menubruk tubuh Rio, memeluknya erat-erat untuk membebaskan semua rasa kangennya. Ify dapat merasakan jika tubuh tegap itu lebih kurus dari terakhir kali ia memeluknya. Hal yang membuat hatinya bergetar perih, namun tak ada waktu bagi kesedihan itu untuk muncul di antara ia dan Rio saat ini.
Hal yang saat ini Rio lakukan adalah hal lebih sering dan lebih senang Rio lakukan saat Ify tak segan merengkuhnya. Diam dan hanya diam. Sama sekali tak membalasnya. Ia lebih berminat merasakan setiap kasih yang Ify salurkan tanpa membaginya kembali. Membiarkan keegoisannya menang untuk sekejap.
Dari tempatnya sekarang bahkan aroma harum rambut Ify pun mampu tertangkap oleh saraf-saraf indra pembaunya dengan amat sangat baik. Sampai matanya menatap tak rela saat rambut panjang ikal yang begitu indah itu berterbangan ditiup deru angin walaupun pada akhirnya jatuh kembali dan menerpa wajah tampannya.
Sebentuk senyuman kecil terukir di bibir tipis milik Rio saat debaran jantung Ify mampu ia dengarkan dengan nyatanya, detakan jantung yang tak berkurang kekuatannya sejak pertama kali ia merasakan dekapan penuh kasih gadisnya itu. Hal yang meyakinkan dirinya bahwa debaran itu masih miliknya dan akan terus menjadi miliknya.
Kalau boleh mereka meminta, pasti hanya ada satu harapan yang akan terucap, satu tujuannya, sang waktu, ia yang akan mereka minta untuk berhenti merangkak semakin jauh agar tak sepasang hati mereka tak lagi terpisah dan terus tertaut. Sadar hal itu tak mungkin, Rio melepaskan pelukan Ify.
“kok dilepas?” tanya Ify memajukan bibirnya hingga berbentuk seperti kerucut. “aku masih kangen.”
“aku nggak punya banyak waktu, kasih aku alamat tante Safira!” terang Rio mengutarakan maksud utamanya nekat menyelinap ke kediaman Umari selain melepas rindunya pada sang pemilik hati.
Ify menyebutkan sebuah alamat yang sudah dihafalnya di luar kepala. Dengan memori otaknya cukup baik, Rio menyimpan semua informasi yang di sampaikan oleh Ify.
“makasih, aku pamit.” Ijin Rio kemudian berjalan menuju ujung balkon kamar Ify, tempatnya naik tadi.
“kak Rio!” panggil Ify sambil menahan lengan Rio, tak rela jika kebersamaan mereka berakhir secepat ini. “bawa aku!” lanjutnya sedikit memohon.
Sambil tersenyum Rio menggeleng, menolak permintaan Ify. Bukan karena ia takut direpotkan dengan keadaan Ify, namun ada lebih banyak hal yang harus ia buktikan untuk mendapatkan Ify seutuhnya dibanding hanya untuk sekedar bersama dengan bayang-banyang kecemasan akan tetantangan dari keluarga gadisnya itu.
Ify semakin memohon, ditambah dengan tatapan memelasnya. Berharap Rio akan luluh dan tidak meninggalkannya sendiri untuk menghadapi semuanya sendiri. Dan reaksi Rio tetap sama. Ia tak mengijinkan Ify turut pergi dengannya.
“kamu belum jadi punya aku seutuhnya, nggak gentle banget aku bawa kamu pergi diem-diem begini, apa kata orang?” tutur Rio sambil mengusap lembut rambut panjang Ify. ”Ini bukan kisah Romeo dan Juliet, sayang.” Lanjutnya dibarengi menyelipkan sejumput rambut indah Ify ke belakang daun telinga kirinya.
“peduli apa sama kata orang? Aku ikut kamu! Aku.. bersedia kalau kisah itu terjadi sama kita.” Balas Ify lantang, seakan menantang Rio untuk berdebat.
Rio meletakkan telunjuknya di bibir Ify, ditambah tatapannya yang begitu tajam, membuat gadis itu spontan menghentikan semua argumennya.
“bodoh!” cela Rio tajam. “kamu bisa jamin kalau kita mati berdua di atas sana kita juga tetap berdua dan bahagia?”
Skak mat! Otak Ify tak mampu lagi menyusun kata-kata untuk mematahkan pertanyaan Rio dan membuatnya unggul. Bibirnya tak mampu lagi bergerak, dan ia mengakui jika apa yang baru saja dikatakan kekasihnya itu memang benar.
“Aku janji, besok, sebelum acara pertunangan kamu, aku udah ada di sini, dan pertunangan kamu sama Alvin nggak akan pernah terjadi!” Terdengar sebuah keyakinan yang cukup besar dalam ucapan itu.
“cukup hati kamu yang aku bawa.” Ucap Rio sekali lagi, lebih lembut dari nada-nada yang ia keluarkan sebelumnya yang sedikit ditaburi emosi. Punggung jemari tangan kanannya mengusap pipi chubby Ify perlahan.
Ify masih diam, jujur ia kawatir dengan apa yang akan terjadi esok jika kekasihnya itu terlambat datang untuk menyelamatkannya. Ekspresi yang paling membuat Rio tak akan mampu menolak permintaannya sebelumnya, yang ia harapkan akan berhasil juga untuk saat ini.
“please, Fy..” tolak Rio lirih sambil menghapus titik air mata yang mulai membasahi pipi Ify dengan ibu jarinya. Ia menghela nafas berat sambil melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu untuk ia berikan pada Ify sebelum ia menjalankan rencananya.
Kaki Rio melangkah maju untuk mengurangi jarak yang membentang antara ia dan Ify. Perlahan telunjuknya menyusuri setiap lekukan sempurna yang terukir di wajah gadisnya itu. Membingkainya dengan teliti diingatannya. Rio dapat memastikan tak semilimeterpun pahatan menawan itu ia lewatkan.
“Cuma wajah ini yang selalu aku lihat.. kapanpun, dimanapun.” Lirih Rio.
Ify tersentak. Entah apa yang Rio lakukan padanya saat ini. Ia masih menunduk dalam-dalam dengan sebuah pikiran bahwa kata-kata yang keluar dari bibir kekasihnya saat ini hanya sekedar rayuan gombal agar ia mau membiarkannya pergi. Cacat. Di sisi lain ia juga tak pernah lupa jika Rio sama sekali tak pandai merayu, apa lagi menggombal. Kalimat tadi juga terdengar sangat jujur.
“what do you want to do with me? Do it, rite now.”
Rio mengambil sesuatu yang sempat ia selipkan di saku belakang celananya, sedikit harapan jika kejutan manis itu tak rusak karena pergerakannya yang sudah mirip dengan pencuri. Tepat di hadapan wajah Ify ia memamerkan benda itu.
Mata Ify terbelalak lebar saat melihat apa yang Rio sodorkan untuknya. Setangkai mawar. Mungkin sudah sangat biasa seorang pria memberi bunga pada kekasihnya, atau dalam kata lain basi. Namun yang membuat Ify benar-benar terkejut adalah warna mahkota bunga itu, biru, warnanya biru, warna mawar yang belum diketahui sebagian besar orang jika memang benar-benar ada, tidak sebiru langit memang, hanya biru lembayung namun pasti bunga itu tetap berharga sangat mahal dan membutuhkan perjuangan untuk mendapatkannya.
Sungguh saat ini seluruh tubuh Ify bergetar hebat. Begitu luar biasanya lelaki di hadapannya ini, apapun akan ia lakukan hanya untuk sekedar seulas senyuman di bibirnya, terlebih saat terlintas diingatan Ify tentang makna dari the holy grail –julukan mawar biru- sebuah peasaan yang begitu mendalam dan tak lagi mampu diungkapkan. Ya, sedalam itu Rio mencintainya.
Ify menggeleng, benar-benar tak percaya. Tak sepatah katapun yang kini mampu ia keluarkan untuk menjawab pertanyaan Rio sebelumnya.
“hey.. nggak perlu shock gitu juga kali, waktu jalan terus ni.” Rio mencoba mengaburkan pikiran Ify sambil mengetukkan telunjuknya di pada jam tangannya.
Untuk menyetarakan tingginya yang hanya sedagu Rio, Ify berjinjit sambil melingkarkan kedua lengannya di leher Rio, kemudian mencium pipi kanan Rio dan menahannya beberapa waktu sebelum menenggelamkan wajahnya di dada Rio. Deburan gejolak cinta dan rindu yang membaur dan terlalu kuat untuk Rio tepikan mendorong kedua lengannya bergerak merengkuh pinggul Ify dan membuat sekat berisi udara yang ada dia antara mereka terhapuskan. Membiarkan waktu berdenting seirama dengan detak jantung mereka.
“let me sleep.. on your hug.” Sebuah permohonan sederhana itu akhirnya mampu terucap dari bibir mungil Ify. Memang itu yang selama ini ia inginkan, dekapan hangat Rio yang mengantarnya menjemput mimpi indahnya.
Rio mengangguk, menyetujui permintaan Ify dan pasti akan mengabulkannya. Tanpa aba-aba, Rio membopong tubuh Ify seperti seorang pangeran dan putrinya menuju sebuah ayunan yang terbuat dari jalinan rotan yang bertengger manis di salah satu sudut balkon besar itu. Tak sekejap pun ia melepaskan tatapan teduhnya dari mata Ify. Rio memangku Ify dan mendekap tubuhnya penuh kehangatan.
Erat. Semakin lama Ify merasakan pelukan Rio padanya semakin membeku dan membuat mereka semakin menyatu. Semakin kuat pelukan itu, semakin ketakutan itu melanda keduanya, seakan pelukan itu adalah sebuah pelukan yang tak akan mungkin lagi terulang nanti.
Dari dalam rengkuhan Rio, Ify menengadahkan wajahnya, menatap wajah pangeran hatinya dengan genangan cairan bening yang sudah mengumpul di kelopak matanya, riak-riak air yang siap meluncur kapanpun.
Ia terkesiap saat mendapati aliran sungai kecil yang kini membasahi pipi Rio, aliran yang berhulu dari satu mata kekasihnya itu yang kini terpejam dan kini bermuara di pipinya, jatuh bersama ke ujung dagu lancipnya bersamaan dengan air matanya sendiri. Tidak, ia pun tahu jika Rio tidak sedang menunjukan jika ia lemah, ia bukan laki-laki cengeng. Air mata itu hanya wujud sebuah rasa yang tak mampu lagi ia utarakan, sebuah emosi jiwa yang tak mampu lagi ia definisikan. Rio juga hanya manusia biasa dengan segala bentuk perasaan yang dikaruniakan Tuhan, ia bukan robot.
“aku cinta kamu.” Bisik Ify lirih, namun cukup untuk didengar Rio. “selamanya.” Lanjutnya sambil mencoba memejamkan matanya, tak ingin lagi menambah beban yang harus di pikul kekasihnya itu.
Detik demi detik menguap, tak pernah lelah dan akan ada yang mampu menghentikannya kecuali Sang Maha Empunya. Rio membuka kelopak matanya, dilihatnya Ify yang tengah terlelap, wajahnya terlihat polos dan begitu damai. Rengkuhan kedua tangan yang dibalut kulit putih bersih milik Ify di lehernya pun sudah sedikit mengendur, tanda jika gadisnya itu sudah benar-benar terlelap. Rio mencium kening Ify lembut, cukup lama dan setelah itu ia membopong tubuh Ify ke dalam kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur.
“aku juga cinta kamu, sangat, selalu, selamanya..” bisik Rio tepat di sebelah telinga Ify sambil menyingkap beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya itu.
Kemudian ia bergegas pergi sebelum keinginannya untuk terus bersama dengan kekasihnya itu semakin menjadi dan mengubur semua rencana yang telah dipikirkannya.
Rio turun melewati tralis besi yang terpasang di seluruh permukaan tembok belakang istana keluarga Umari yang berfungsi untuk tempat merambat tanaman hias. Satu-satunya jalan menuju balkon kamar Ify, dengan berbagai ancaman yang mengintainya.
***
Rio menepikan mobilnya di depan sebuah gerbang yang melindungi sebuah rumah yang berukuran tidak terlalu besar untuk ukuran jika penghuninya adalah inti dari sebuah keluarga yang sangat sukses dan disegani. Rumah yang sangat sepi, selain karena waktu sudah menunjukan hampir pukul dua dini hari tak satu pun penjaga yang terlihat di sekitar tempat itu, seratus delapan puluh derajat sungguh berbeda dengan kediaman utama keluarga Umari.
Tak yakin dengan apa yang ia temukan, Rio kembali memutar otaknya, mengingat baik-baik dan lebih merinci kata demi kata yang tadi Ify ucapkan padanya. Rasanya memang tak ada yang salah. Dua jam lebih ia habiskan untuk berkendara menuju tempat ini yang memang berada cukup jauh dari pusat kota.
Terlalu terkesan tidak tahu adat jika ia nekat bertamu saat ini juga. Pagi-pagi buta saat pasti si penghuni rumah sedang asik-asiknya merajut mimpi.
Rio menghempaskan tubuhnya pada jok mobilnya setelah sebelumnya meraih ponselnya yang ia letakkan pada dasbor di depannya. Ibu jarinya bergerak lincah menekan deretan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala.
***
Di ujung lain, dengan keadaan yang sama sekali berbeda, Gabriel mengerjapkan matanya saat merasakan ponsel yang selalu ia taruh di bawah bantalnya saat ia terlelap tiba-tiba saja bergetar. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, ia meraba-raba mencari keberadaan alat canggih itu.
“hallo. . maaf, salah sambung!” jawab Gabriel tanpa menunggu jawaban dari sapaan pertamanya, bahkan ia tak mengetahui sama sekali dengan siapa ia berbicara saat ini.
“ck! Nomer ini masih punya Gabriel Stevent Damanik kan?” dengus orang dari seberang sambungan, tak mengerti sama sekali dengan cara berfikir sahabatnya itu. “ini gue Rio!”
“hmm. . ada apa, Yo? Lo nggak punya jam? Jam rumah sakit mati?” cerocos Gabriel setelah mengubah posisi tubuhnya menjadi tertelungkup.
“gue udah ada di luar kota!”
Seketika itu Gabriel membuka matanya lebar-lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut sahabatnya
“serius lo? Bukannya lo masih sakit?” cerca Gabriel yang kini sudah dalam posisi bangun dan sadar seratus persen.
“ngapain gue becanda? Gue nggak bisa relain Ify gitu aja!”
“terus ngapain lo malah keluar kota? Ify pindah tempat tunangan?”
Gabriel menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal karena bingung apa yang sebenarnya dilakukan oleh Rio.
“enggak! Kapan-kapan gue jelasin, yang jelas sekarang lo harus mau gue repotin lagi!”
“apa?”
“gue nitip Ify, sekaligus lo jadi mata-mata gue!”
“kapan sih gue bisa nolak permintaan elo? Apapun, sayang.” Jawab Gabriel genit. “titip Ify kan lo bilang? Gue jaga baik-baik deh, kalo nangis gue hapusin air matanya, kalo takut gue peluk..”
“kalo dibogem Alvin elo yang bentengin!” potong Rio tak ingin mendengar perkataan Gabriel yang jika tidak segera ia hentikan pasti akan semakin ngelantur.
Gabriel menatap layar ponselnya yang kini hanya menyisakan nada yang menandakan jika sambungan telah terputus. Dengan malas-malasan ia kembali menjatuhkan tubuhnya di tempat tidurnya dan kembali terlelap. Dan walaupun tadi Gabriel melayangkan kesanggupannya dengan nada canda dan setelahnya terkesan tak acuh, ia memang benar-benar menyanggupi permintaan tolong sahabatnya itu.
***
Dengan cepat Rio menekan tombol bergambar gagang telephon berwarna merah di sudut ponselnya saat menyadari ada sebuah motor yang baru saja memasuki halaman rumah yang menurut ingatannya sesuai petunjuk yang diberikan Ify adalah rumah Safira Umari.
Motor sport yang sama dengan kepunyaannya, hanya milik laki-laki yang dilihatnya kini berwarna hijau. Pria dengan tubuh yang dibalut dengan jaket kulit merah, terlepas dari penampilannya yang sudah tak karuan, segala sesuatu yang melekat di tubuhnya memperlihatkan jika ia memperhatikan mode. Rambutnya gondrong –untuk ukuran seorang laki-laki- dengan potongan gaya harajuku. Sepertinya ia sebaya dengan Rio.
Pria yang dilihatnya baru saja dilihatnya kini berjalan sempoyongan sambil menenteng helm fullfacenya. Rio tahu pasti jika kesadaran orang itu saat ini berada dibawah pengaruh alkohol, atau dalam bahasa ringkasnya mabuk. Rio bergegas keluar dari mobilnya dan menuju ke arah pria tadi saat mendapati lelaki itu terkapar tak sanggup lagi mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Hangover.
“gue bantu!” tawar Rio sambil memapah laki-laki tadi yang tak menjawab apapun dan justru meracau tak karuan. Bau alkohol yang begitu pekat langsung saja menyergap indra pembaunya. Sekali lagi Rio bisa memastikan jika orang ini tak hanya menghabiskan segelas atau dua gelas minuman keras, mungkin sampai satu-dua botol atau lebih.
Seorang wanita berdiri di ambang pintu setelah beberapa kali Rio menekan bel yang terpasang di samping pintu. Cantik sekali ia, sangat mirip dengan pria yang saat ia sedang di papah Rio.
“ya ampun, Cakka!” pekik ibu itu saat mendapati seseorang yang menurut pendapat Rio adalah putranya dalam keadaan yang cukup tidak pantas dilihat orang lain. “tolong bawa dia masuk, nak!” pintanya saat menyadari ada sosok selain putranya yang kini berdiri di hadapannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Rio mengikuti langkah ibu tadi menuju ke sebuah kamar yang cukup besar, walaupun tetap tak sebesar kamarnya. Rio membaringkan pria tadi yang akhirnya ia ketahui bernama Cakka di tempat tidurnya.
Rio terpaku di tempatnya berdiri saat menyaksikan sebuah adegan yang amat sangat ia rindukan, adegan bertema kasih sayang seorang ibu pada buah rahimnya, saat dengan telaten wanita tadi merapikan tatanan pakaian dan rambut putranya, setiap belaian penuh kasih yang masih ingin dikecapnya namun tak lagi bisa.
Ia masih ingat betul, beberapa tahun lalu, ia pernah mengalami hal yang sedang disaksikannya saat ini, segala fasilitas luar biasa mewah yang diterimanya justru membuat seorang Rio terlibat dalam sebuah pergaulan yang sama sekali tak bisa disebut baik, dunia malam dan arena balap liar bukan lagi hal yang asing untuknya. Dan ibundanya yang tak pernah mundur dengan segala polah putranya yang kadang di luar batas itu juga akan melakukan hal yang sama dengan sosok ibu yang ada di hadapannya kini jika ia pulang dalam keadaan babak belur atau hangover seperti Cakka. Sampai kepergian sosok itu membuatnya sadar, atau bahkan lebih dari itu, ia seperti kehilangan kehidupannya.
Ia menghela nafas kuat-kuat membuang segala sesaknya, namun ternyata justru mengalihkan perhatian wanita tadi dan menyadarkannya jika ada orang lain yang ada di ruangan itu.
“eh. . maaf ya! Kamu jadi tante abaikan.” Ucap ibu tadi sedikit menyesal seraya meraih lengan Rio dan kemudian ia bimbing menuju ruang tamunya.
Rio memasang senyum di wajahnya, walaupun terlihat jika senyum itu begitu dipaksakan. Sungguh ia tak bermaksud mengusik kegiatan ibu tadi atau pun hanya untuk sekedar mencari perhatian.
“kamu temannya Cakka?” tanya wanita itu sambil menuangkan cokelat panas dari termos kecil yang sebelumnya memang sudah ada di atas meja ke dua buah cangkir putih bergantian. Sepertinya minuman itu ia persiapkan untuk mengusir kantuk dan dinginnya saat menunggu putranya yang tak juga pulang hingga dini hari seperti ini. Terlebih diperkuat dengan bukti jika mata wanita itu sedikit menghitam dan sayu, dan jelas alasannya karena kurang tidur.
“bukan, tante, saya cuma liat dia pingsan di depan pas kebetulan lewat.” Jawab Rio sengan sedikit kebohongan yang ia sisipkan. Tak mungkin ia harus mengaku terang-terangan jika ia sedang mengintai rumah ini.
“terima kasih banyak kalau seperti itu, siapa nama kamu, nak?” ibu tadi menyodorkan salah satu cangkirnya ke hadapan Rio.
“sama-sama, saya Rio, Mario Stevano, tante sendiri?” Rio berinisiatif tak menyebutkan nama belakangnya terlebih dahulu, tak ingin rencananya akan gagal begitu saja. Tangan kokohnya meraih minuman panas yang disodorkan untuknya, lumayan untuk sedikit mengurangi hawa dingin yang begitu terasa di tempat itu.
“saya Safira Umari, kamu bisa panggil saya tante Ira.” Wanita cantik tadi, yang ternyata adalah orang yang sedang dicari Rio memperkenalkan dirinya dengan sangat ramah, dengan nada suara dan bahasa tubuh khas kalangan sosialite yang ternyata tak juga luntur dari dirinya, ia mencermati wajah Rio baik-baik.
“kamu tak punya nama belakang? Wajah kamu mengingatkan saya pada seseorang.” Tanya Safira yang di telinga Rio lebih terdengar seperti sebuah interogasi. Setelah menyelesaikan kalimatnya ia menyesap cokelat panasnya perlahan.
Dengan susah payah Rio menelan ludah setelah mendengar pertanyaan itu. Belum juga habis keterkejutannya karena sosok Safira Umari, ia sudah dihadang pertanyaan yang sangat membunuh. Rio menyadari betul jika wajahnya sangat mirip dengan sang ayah, hal yang lebih sulit ia sembunyikan jika dibandingkan dengan menyembunyikan nama belakangnya.
“tante ada-ada saja, saya cuma mirip dengan ayah saya kok.” Elak Rio sambil menggaruk tengkuknya, dan kali ini ia tak berbohong.
“ya sudah lah, tidak terlalu penting, yang penting sekarang tante yakin kamu anak baik-baik. Dan malam ini sepertinya lebih baik kalau kamu menginap di sini, bagaimana?” tawar Safira dengan senang hati.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Rio segera mengangguk untuk menyetujui penawaran yang diberikan padanya.
Safira tersenyum kemudian beranjak berdiri, berjalan menuju sebuah ruangan yang berada paling ujung bagian rumah itu setelah sebelumnya memberi isyarat pada Rio untuk mengikutinya. Di hadapan Rio kini ada sebuah kamar yang hanya dibatasi oleh kaca-kaca searah. Ia dipersilahkan untuk menggunakan kamar itu oleh si empunya untuk sekedar beristirahat dan memejamkan matanya.
***
Suara pantulan bola basket yang cukup keras terdengar sampai ke telinganya dan membuat Rio terjaga dari tidurnya. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya agar indra penglihatnya itu beradaptasi dengan cahaya matahari yang sudah sepenuhnya menunjukan keagungannya.
Setelah nyawanya benar-benar terkumpul, Rio menjejakkan kakinya keluar, menuju halaman belakang kediaman Safira Umari. Didapatinya Cakka yang sedang asik mengolah bola basket dengan berbagai gerakan indah. Ada emosi yang sangat terbaca oleh Rio dari permainan pria berkulit putih itu. Permainan yang hampir sama dengan yang ia lakukan selama ini. Basket sebagai ajang pelampiasan emosi.
Sampai tanpa sengaja bola basket yang dimainkan Cakka tak sengaja menghampiri kaki Rio. Membuyarkan semua kepingan puzzle pemikiran yang coba ditatanya sedikit demi sedikit tentang apa yang menyebabkan perseteruan ayahnya dengan Pratama Umari. Hal yang juga menyeretnya untuk bertemu dengan sosok Cakka yang menurutnya memiliki kepribadian yang tak berbeda jauh dengannya.
Tanpa segan kedua tangan Rio meraih bola tadi, memainkannya sebentar sambil memfokuskan matanya pada salah satu ring yang berada cukup jauh dari tempatnya berdiri.
Dari tengah lapangan Cakka menatap Rio yang sedang berancang-ancang menembakkan bola dengan sangat meremehkan. Akan amat sangat sulit melemparkan bola dari jarak sejauh itu agar dapat menemui sasarannya dengan tepat.
“Masuk!!” pekik Rio sesaat setelah bola yang ia lemparkan menemui sasarannya dengan begitu indahnya.
Cakka yang –sebenarnya- terkagum-kagum dengan atraksi yang baru saja ia lihat memilih untuk tidak menunjukannya. Kembali ia memungut bolanya dan mendriblenya berkali-kali.
Mata Rio memicing, tak sadarkah Cakka jika ada orang asing berada di wilayah huniannya sampai-sampai ia tak bertanya sedikitpun tentangnya. Aneh.
“Cak!” penggil Rio, sok akrab.
Cakka tetap diam, tak menjawab sama sekali dan tetap asik dengan bolanya. Seakan suara Rio yang menyapanya hanyalah sekedar angin yang lewat.
“Cakka!” panggil Rio sekali lagi, namun dengan volume yang lebih keras dari sebelumnya.
Akhirnya Cakka bereaksi, ia menoleh ke arah Rio, walaupun tetap dengan ekspresi yang begitu datar dan lebih cenderung sama sekali tidak bersahabat.
“gue Rio, Mario Stevano.” Rio mengulurkan tangannya untuk dijabat oleh Cakka sebagai salam perkenalan setelah ia mendekati pria berkulit putih itu.
Namun lagi, sama sekali Cakka tak menanggapinya dan justru memilih bersiap melempar bolanya menuju ring.
Rio menelan ludah sambil menarik kembali tangannya, untuk pertama kalinya, ia seperti merasa berbicara pada dirinya sediri. Gondok. Ia yang biasanya mengacuhkan atau menanggapi sapaan orang lain dengan jawaban sengak, dingin, dan ketus kini berbalik. Namun setidaknya ada sebuah hikmah yang dapat Rio petik saat ini, yaitu ia bisa menyadari kalau selama ini dirinya begitu menyebalkan dan ingin rasanya saat ini juga menggelar open house untuk sekedar meminta maaf pada semua orang yang telah menerima perlakuan tidak menyenangkan darinya itu.
Mungkin waktunya belum tepat untuk berbicara lebih jauh dengan pangeran es seri ke dua setelah dirinya itu, begitu yang dipikirkan Rio. Ia memilih menjauh dari lapangan dan bersandar pada tiang ring yang terbuat dari besi kokoh yang dibaluri cat hitam pekat. Kakinya yang sama sekali tak beralas dengan leluasa menikmati dinginnya embun yang masih bertengger di atas gerombolan rumput manila yang menyelimuti hampir seluruh taman kecuai jalan setapak yang ditutupi batu putih, lapangan basket, dan sekitar area kolam kecil yang bercokol di bagian paling pojok belakang.
Sebuah tempat yang sungguh nyaman dan sangat tertata. Kalau tidak menyewa ahli untuk menatanya berarti sang pemilik rumah yang mengerti dan sangat menyukai bidang pertamanan.
“apa mau lo?” tanya Cakka tiba-tiba saja, membuat Rio yang sebelumnya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman kembali padanya.
Kedua alis Rio tertaut, entah mengapa ia dapat menemukan maksud lain yang tersempil di dalam pertanyaan yang baru saja diajukan padanya, meskipun ia tak dapat menebak apa itu.
“ck! Apa maksud lo dateng ke kehidupan gue dan nyokap gue, Rio Haling?” Cakka memperjelas pertanyaannya, dengan aksen patah-patah dari satu kata ke kata lainnya, penuh penekanan, terlebih pada nama belakang Rio.
Rio terperangah, Cakka mengenalinya. Darimana ia tahu sementara sama sekali ia tak mengenal Cakka?
“kenapa?” ujung bibir Cakka tertarik, kini terlukis sebuah senyuman sarkastik di wajah tampannya. Angkuh, sangat angkuh, mungkin kesan itu yang kini dapat Rio tangkap dari lawan bicaranya.

“ohh.. gue lupa, mungkin terlalu hina buat lo tau kenapa.”
Diam, hal yang paling Rio pilih saat ini untuk meninabobokan macan tidur yang terkurung dalam tubuhnya agar tak serta merta bangun menyerang orang yang sepertinya ingin menantangnya habis-habisan dan akhirnya menghancurkan rencananya.
“darimana lo tau gue? Kenapa gue lihat lo benci banget sama gue?” tanya Rio sambil menahan emosinya. Sama sekali ia tak suka dengan nada bicara dan cara menatap yang Cakka lakukan padanya.
“mungkin lo bakal muntah kalo lo tau sama siapa lo ngomong sekarang.”
“maksud lo apa? Bilang sama gue!” desak Rio tak ingin berbelit-belit.
Sekali lagi Cakka mencibir, “gimana kalau saat ini gue bilang, setengah darah yang mengalir ditubuh elo dan gue itu adalah darah dari orang yang sama?”
DEG!
Jatung Rio seakan berhenti untuk sekejap sebelum kembali berdetak dengan kekuatan yang melebihi normal, memompa laju darahnya untuk menyebar ke seluruh tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Otaknya terus berpacu untuk menyimpulkan sebuah kepastian dari ucapan Cakka.
Ia dan Cakka adalah putra dari Krishna Haling!
“bohong!” ucap Rio sedikit terbata. Kalimat yang sekaligus menjadi sugesti untuk dirinya sendiri agar tidak mempercayai perkataan Cakka.
“itu kenapa om Tama nggak merestui lo sama Ify! Lo.. pasti nggak beda jauh dari bokap lo yang bajingan itu!” hardik Cakka menumpahkan semua emosinya. Meneriakkan bukti telak sekaligus pembongkaran pangkal masalah yang sedang dihadapi Rio.
Saat ini jiwa Rio seperti tersedot pusaran lubang hitam dan entah kemana ia akan dibawa pergi. Pencarian jalan keluar dari masalah yang ia hadapi justru membawanya menjadi sandra masalah baru yang ternyata lebih rumit.
“delapan belas tahun gue hidup di dunia tanpa pengakuan, bahkan orang yang seharusnya bertanggungjawab atas gue nggak tau dan nggak pernah mau tau keberadaan gue.. tragis!” dengan roman wajah yang mulai meremang, Cakka memulai monolognya, dan tak ada hal lain yang bisa Rio lakukan saat ini kecuali memposisikan diri sebagai pendengar.
“gue tau semua hal tentang keluarga lo, bokap lo, nyokap lo, adik perempuan elo, terlebih soal lo, putra mahkota HC! Tapi tau apa lo soal gue?”
“maaf..” hanya sepenggal kata itu yang mampu Rio keluarkan, entah mengapa ia seakan dapat merasakan juga apa yang selama ini Cakka rasakan. Apakah mungkin hubungan darah yang baru saja terkuak itu sudah mampu menghubungkan keduanya?
“cih! Maaf? Biar kami mau menjelaskan pada om Tama untuk nerima elo?”
Rio sama sekali tidak bereaksi. Lidahnya tiba-tiba saja seperti ditumbuhi tulang mati yang membuatnya tak lagi leluasa bergerak.
“cukup gue sama nyokap gue, nggak untuk Ify, karena elo dan Krishna Haling sama bejatnya!”
PLAK!
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat mulus di muka Cakka. Bukan, bukan dari tangan Rio, melainkan ibundanya, Safira. Rio pun terperangah dengan kejadian yang baru saja ia saksikan.
“jaga omongan kamu! Kamu yang nggak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi!” bentak Safira pada putranya dengan linangan air mata yang sudah membentuk anak-anak sungai di pipi putihnya. “dia ayah kamu yang harus kamu hormati!”
Cakka terduduk. Seakan semua tenaganya terkuras habis untuk membongkar semua fakta yang ada pada Rio. Ia menumpukan keningnya pada lipatan kedua tangannya yang ia letakkan di atas lutut.
Keheningan serentak tercipta di antara ketiganya. Hanya suara deru angin yang berduet dengan isakan lirih Safira yang terdengar. Cakka dan Rio tenggelam dalam kebisuan, tak tahu apa yang harus saling mereka ungkapkan selanjutnya.
***
Hari sudah menjelang siang saat Ify membuka kedua kelopak matanya. Tidurnya begitu lelap malam tadi setelah berhari-hari tak satupun mimpi indah menghampirinya. Dirabanya keningnya, kecupan lembut Rio yang masih sangat mampu dirasakannya. Namun tetap saja ia masih tak yakin bila pertemuannya dengan Rio semalam terjadi di dunia nyata, bukan di alam mimpi.
Matanya ia edarkan ke beberapa sudut kamar, berharap menemukan sesuatu yang membuktikan jika apa yang ia alami semalam bukan sebuah hanya sebuah mimpi indah. Kedua tangannya menyilang meraba lengannya, pelukan hangat khas sang kekasih masih sangat dirasakannya, membuat harapnnya semakin liar.
Sampai saat pandangannya tertumpu pada setangkai mawar biru yang tergeletak manis di meja kecil yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Bukti kuat jika ia tidak sedang bermimpi saat bersama Rio semalam.
Ify menghirup aroma mawar itu dalam-dalam. Memenuhi semua gelembung alveolusnya dengan wangi alami yang memberi sensasi yang begitu menenangkan. Mungkin itu maksud lain Rio memberi bunga berharga cukup tinggi itu, aromaterapi yang dimilikinya dapat menenangkan sang gadis dari semua masalah yang menghimpitnya.
Tangan mungilnya meraih vas kosong yang tergeletak di laci bagian bawah meja kecil tempat bunga mawar itu sebelumnya diletakkan. Bergegas Ify mengisinya dengan air dan meletakkan pemberian Rio itu ke dalamnya.
“aku harap kamu datang lebih cepat dibanding dengan layunya bunga ini, kak..” lirih Ify dengan senyum kecil berarti luas yang terukir di bibirnya.
Benar kata Rio, hari ini harus mereka hadapi bukan ditinggali. Perjuangan berat untuk mendapatkan pengakuan. Mendapatkan apa yang tak pernah didapatkan oleh Romeo dan Juliet, karena mereka tak pernah memenangkan apa yang mereka perjuangkan, kemenangan cinta, hingga saat nanti dunia melihat, dan mereka percaya bahwa cinta lah sang adikuasa.


bersambung...