Minggu, 13 Januari 2013

The Time For Love part 2


Bukit bintang, 31 Desember 2006. 23:47 WIB

            Malam begitu dingin. Rintik-rintik lembut buliran air langit setia mengiringi guliran detik menyambut tahun yang akan datang, mengucap kata pisah untuk tiga ratus enam puluh empat hari sebelumnya. Di antara miliaran manusia yang memilih berpesta, dua anak manusia yang memilih untuk menikmati dalam diam, dalam hening yang begitu damai, dengan hati yang tak henti merapal syukur.

            “mas..” panggil Ify lembut. Mencoba memberanikan diri untuk menggenggam tangan kokoh Rio, menelusupkan jari-jari lentiknya di sela jemari pemuda itu. Sedikit-sedikit kehangatan mulai menjalar di tubuh indahnya. Debaran tak nyaman namun selalu ia rindukan yang sedari tadi coba ia kendalikan kian menggila. Biarlah. Setidaknya untuk malam ini rasa itu berdiri di podium juaranya.

            Sambil tersenyum, Rio menatap Ify lembut. Merangkum binar-binar indah sepasang mata bening milik gadis itu. Menikmati setiap lekuk agungnya. Membuatnya menyadari keagungan dan kasih Yang Maha Segalanya pada diri gadis itu. Cinta yang tulus dan suci.

            “mas Rio, aku sayang sama mas.” Gumam Ify. Pegangannya pada tangan Rio menguat, menggambarkan semua nyali dan tenaganya sudah tercurah untuk kembali mengatakan kalimat tadi. Rio masih belum bereaksi. Wajahnya masih tenang, tanpa riak emosi yang terbaca. Ia pun masih belum membalas genggaman tangan Ify.

            “aku tahu.” Jawab Rio sambil tersenyum geli.

            “terus perasaan mas buat aku?” cerca Ify yang sudah menatap penuh ke wajah Rio.

            “menurut kamu?”

            Bibir Ify mengerucut. Ia sepenuhnya tidak sedang bercanda. Tapi kenapa di saat seperti ini Rio justru tak bisa serius?

            Pertunjukan pecikan api warna-warni yang menari indah di langit sudah dimulai, merah kekuningan, merah, biru, hijau, ungu, berganti-gantian. Diiringi rampak dentumannya yang berpadu dengan suara tiupan terompet mulai terdengar sayup. Orkes khas yang selalu ditunggu setiap tahun baru.

            “pengakuan penting ya?” Ify mengangguk mantab mendengar pertanyaan Rio. Pria hitam manis itu menghela nafas kemudian tersenyum. Namun setelah itu ia kembali menatap langit. Ia biarkan Ify bersandar pada bahu kokohnya.

            “kamu tega ngebiarin aku nebak-nebak sendiri gimana perasaan kamu? Aku takut, apa yang aku rasain selama ini soal perasaan kamu itu salah.” Lirih Ify.

            “kalau tebakan kamu aku nggak sayang sama kamu, ya berarti emang salah.” Sahut Rio sambil tertawa kecil. Ify mengrenyitkan dahi setelah kembali menegakkan tubuhnya dan menatap pemuda pemilik hatinya itu. Rio juga hanya turut menatapnya heran.

            “mas Rio pernah SMA nggak sih? Nggak romantis banget.”

            Rio tersenyum sumir. “kamu nggak akan bisa bayangin masa SMA aku.” Lirihnya, walaupun masih ada senyum di bibirnya. Khas seorang yang tak pernah lupa bersyukur sepertinya. “jangankan ngedeketin cewek, ngelirik aja nggak ada waktu.” Cengiran kuda terlukis di bibirnya sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

            “bohong!” tanggap Ify cekatan.

            “kamu tahu? sampai sekarang aku bisa kuliah gara-gara beasiswa, gitu juga waktu SMA. Untuk itu aku punya sesuatu yang harus dikorbankan, masa remaja aku.”

            Sekali lagi, Ify terpukau karena pria ini. Rio memang berbeda, dia luar biasa dengan caranya sendiri. Seharusnya ia tak pernah punya keraguan itu. Ditambah ia sudah tahu kisah pelik hidup Rio. Sang ayah yang meninggal karena kecelakaan saat ia masih kelas tiga SMP, memaksanya untuk ikut mencari nafkah membantu ibunya dengan bekerja part time sana-sini. Dan berarti jika baru saja Rio mengatakan –secara tersirat- jika pria itu mencintainya, ia adalah wanita pertama yang berarti bagi Rio, setelah ibunya sendiri.

            “aku punya janji sama almarhum ayah, aku mau memulai hubungan, di sini, membahagiakan orang lain, selain ibu dan adikku, setelah aku bahagiain mereka. Maaf.” Terdengar hembusan nafas Rio yang cukup menerangkan jika ia pun berat mengatakan apa yang baru saja keluar dari bibirnya.

            Ify tahu, yang baru saja ia dapatkan adalah penolakan –lagi-. Setidaknya saat ini ia tahu mengapa Rio tak mau menerimanya. Ada kata lain yang tersembunyi dari pernyataan pemuda tampan itu. Menunggu. Apa artinya menunggu beberapa tahun untuk sebuah kebahagiaan sejati yang akan di dapatnya bersama pria sempurna –dalam ukuran manusia- ini. Dengan segera, Ify menubruk tubuh Rio, memeluknya dari samping dan menyandarkan dagunya pada pundak Rio. Rio tidak memberontak, namun juga tak membalas. “aku mau nunggu mas.” Bisik Ify, lirih, dengan ketulusan yang membara.

            Rio terhenyak. Ify baru saja mengucapkan kalimat yang paling ingin ia dengar. Ia menoleh ke arah gadis manis itu. Celaka. Jarak yang tersisa di antara dua pasang mata penuh bahagia itu hanya berjarak beberapa centi. Rio bahkan bisa mencium aroma jasmine yang menguar dari rambut Ify dengan sangat baik. Bibir mungil yang sedikit terbuka menyita perhatiaannya, membuatnya menelan ludah susah payah. Separuh kesadarannya yang mesih tersisa memerintahkannya untuk menjauh, namun rasa penasarannya terus menahannya agar bergeming.

            “do it.” Ucap Ify sambil tersenyum setelah mendengar Rio menggeram lirih mencoba mengendalikan harsatnya. Setan kecil yang menari di otak Rio menjadi lebih bersemangat, menang. Dengan segera, pemuda itu merengkuh pinggang Ify. Menyapu bibir merah gadis itu. Manis. Ify mengalungkan lengannya di leher Rio, menenggelamkan telapak tangannya pada rambut hitam pria tampan itu. Setiap pagutan yang membawanya terbang, jauh melampaui bunga-bunga api yang meledak-ledak di angkasa gelap sampai akhirnya kembali lagi ke bumi.

            “happy new year, sweetheart.” Ucap Ify di sela genderang letusan kembang api yang semakin riuh bersahutan mengiringi bunyi terompet panjang yang terdengar dari kejauhan menandakan tahun sudah berganti. Rio hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Kembali memusatkan pandangannya pada hamparan lampu-lampu kota yang terus mengerling ikut bahagia. Dengan hati yang terus merapal syukur pada yang punya waktu. Sang Maha Cinta. 
   
            Tahun baru paling indah seumur hidup yang pernah dialami keduanya. Setahun yang luar biasa dengan deru hati yang tak henti bertalu. Dengan cinta yang masih setia menyala terang menunggu keduanya menjemput.

********

Stasiun Tugu, 11 Januari 2007. 18:30 WIB

            Tempat datang dan berangkatnya kereta, di bagian manapun dari dunia, pasti pernah menjadi latar tempat jatuhnya air mata, entah air mata bahagia saat rindu menemui muaranya pada mereka yang lama tak jumpa. Atau air mata sendu membayangkan banyaknya rindu yang akan membelenggu di luar batas temu. Banyak orang lalu-lalang tak juga membuat fokus sepasang anak manusia ini berubah. Tak ada satupun yang mau melepaskan. Kedua tangan mereka tertaut erat. Tak ada yang bisa memisahkan mereka. Sekalipun tak ada kesedihan terpapar dari wajah keduanya, rasa takut itu ada, bahkan panjangnya rentetan gerbong kereta yang bertengger di atas rel sambil mengaum itu tak bisa menyamai.

            Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasangan, Adam dan Hawa, Romeo dan Juliet, Arjuna dan Srikandi, hutan dan hujan, amplop dan perangko. Walaupun kadang manusia hanya meminta salah satu, tanpa pasangannya. Seperti tak pernah mengharap ingkar di belakang janji, dan tentu tidak ada perpisahan sesudah pertemuan.

            Suara nyaring petugas stasiun menjadi suara paling menakutkan yang pernah mereka dengar. Suara bel kereta yang terus memaksa orang-orang pergi ingin sekali dibanting. Tapi perpisahan ini memang harus dilakukan untuk kembali bergandengan di ujung jalan, menapaki jalan berdua. Gadis manis itu mencoba tersenyum, walaupun serasa ada beban puluhan ton yang menghimpit tubuhnya.

            “pergilah mas.” Lirih Ify. Gadis tadi. “aku tahu kamu pasti penuhi janji kamu buat kembali.” Lanjutnya, dengan senyum yang semakin lebar, dengan luka menganga di hatinya yang juga semakin lebar. Apapun itu ia siap diam dalam penantian.

            “kamu yakin mau nunggu? Aku nggak bisa kasih kamu kepastian.” Rio tak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya untuk meninggalkan separuh nafasnya di sini. Tapi ibu dan adiknya sangat membutuhkannya. Ada pekerjaan bagus yang ditawarkan sebuah kotraktor besar di Jakarta. Dengan gaji yang menggiurkan, cukup untuk memasukkan dan membiayai Ozy di SMA favorit serta memperbaiki ekonomi keluarganya yang terkatung-katung.

            “satu-satunya hal yang pasti di dunia ini cuma ketidakpastian kan?” Ify membelai pipi Rio. Mendongak agar bisa menatap wajah pria jangkung pemilik seluruh hatinya. “berapa tahun kamu minta? Satu? Dua? Tiga? Empat? Lima? Lebih? Aku siap.”

            Rio tak menjawab. Ditariknya tubuh Ify kemudian ia peluk erat. Ia mengecup ubun-ubun gadis itu lama. Ia hirup dalam-dalam harum rambut Ify, memenuhi rongga paru-parunya hingga tak ada lagi ruang kosong. Aroma lembut yang pasti akan sangat dirindukannya. Ify membalas, direngkuhnya pinggang Rio, menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Mendengarkan deguban jantung Rio yang tak wajar. Menyimpan aroma tubuh khas pemuda tampan itu rapat-rapat di memorinya. Lenguhan panjang bel kereta memberi tanda terakhir jika kereta Senja Utama tujuan Jakarta akan segera berangkat, dan Rio adalah salah satu penumpangnya. Ify melepaskan pelukannya. Mengangguk singkat sebagai izin terakhir yang mantab ia berikan.

            “aku pamit.” Pamit Rio disusul sebuah kecupan singkat di kening Ify sebelum ia berlari menyongsong kereta yang sudah berjalan lambat dengan pintu yang mulai tertutup. Ify melambaikan tangannya pada Rio yang masih berdiri di belakang pintu berkaca bening, pria itu membalas lambaiannya dengan senyuman yang menunjukkan gigi gingsulnya, senyuman termanis yang pernah Ify lihat. Tak ada laki-laki lain yang memilikinya.

            Tujuh hari lalu ia masih bisa tersenyum bangga saat melihat Rio begitu tampan dan gagah dengan toga yang ia kenakan. Lulus cum laude. Tiga koma enam tujuh. Tak percaya rasanya hari ini ia harus mengalami hal ini. Perpisahan. Sekalipun untuk sementara, sekalipun akan kembali bertemu lagi nanti. Akan selalu menyisakan sesak dan kehilangan.

********

Yogyakarta, 08 Januari 2012. 17:00 WIB

            Angin yang besar di awal tahun. Membuat gemerisik dedaunan pemecah sepi. Gerombolan asap putih yang menyatu menjadi awan berjalan cepat ke arah timur, tak mau kalah berpacu dengan waktu diintip dari balik cendela kamar bernuansa biru ini. Hari berlalu, bulan berlalu, tahun pun berlalu. Surat-surat kiriman pemilik hati sudah bertumpuk di dalam sebuah kardus berwarna cokelat muda. Tak pernah sebanyak resah yang menggunung untuk orang yang sama.

            Jemari suwiran nyiur gadis itu merayap anggun menuju sebuah amplop putih yang terletak paling atas. Surat terakhir yang Rio kirimkan untuknya tiga bulan lalu. Surat yang hampir setiap hari ia baca tanpa jemu. Menunggu dengan pasrah agar semua yang diucapkan pria itu dalam surat itu menjadi nyata.

Yunani, 02 Oktober 2011.
Untuk Ify,
            Aku sudah berlayar untuk mereka, aku sudah membawa mereka ke pulau impian. Eropa! Mereka bahagia. Janjiku tuntas walaupun belum selesai! Aku lelah. Tenaga terakhirku untuk menjemputmu. Menyongsong bahagiaku.
Aku mau berlabuh.
Kamu masih di tempat yang sama?
Salam rinduku,

Rio.

            Ify sudah hafal isi surat itu, kata-perkata. Ia sudah menjawabnya. Dua kali. Tapi Rio tak pernah lagi membalasnya. Satu-satunya yang ia takutkan adalah keadaan pria itu saat ini. Mungkin ia akan rela jika Rio sudah bahagia dengan jalan yang ia pilih. Tapi ia tak sekuat itu. Kakinya seakan  dilolosi tulang dan tak kuat lagi menahan tubuhnya yang kemudian luruh ke lantai. Butiran mutiara bening berjatuhan dari ekor matanya, bahunya bergetar karena isakan yang tak mampu lagi ia tahan. Ia salah menafsirkan, mungkin. Atau memang Rio yang sudah lupa dengan sejuta kata manisnya. Kelebihan bawaan lahir seorang laki-laki adalah merangkai kata menjadi untaian kalimat indah.

            Harapan itu terlanjur terbang tinggi seperti balon yang terlepas. Ia harap pria itu datang, menjemputnya. Ia berharap Rio benar segera berlabuh dalam dekapannya dan tidak akan pergi kemanapun lagi. Berkali-kali gadis berwajah tirus itu membenturkan kening ke kedua lututnya. Seperti melihat sebuah menara tinggi yang sedang dibangun lebih tinggi, dan terus meninggi, ia berada di bawah dengan harapan jika suatu hari puncak menara itu bisa disentuhnya. Rio terlalu tinggi.

            Takut. Apakah rasa, waktu, cinta, dan rindu yang menyatu dalam penantiannya tak akan sia-sia? Ia manusia biasa. Gunung punya puncak, sungai punya muara. Kesabarannya pun sudah hampir sampai ujung pendakiannya. Keraguan yang hampir sampai muaranya. Rio sudah mendorongnya pada labirin waktu tanpa memberi tahu arah jalan untuk pulang, sampai akhirnya ia berjalan terseok, hampir jatuh dalam keputusasaan seperti saat ini. Dengan satu kaki, cintanya yang tak juga mati untuk pria itu.

            Raungan ponsel yang tergeletak di depan komputer menyentak Ify. Sebelum menekan tombol bergambar gagang telephon warna hijau, ia mengatur nafasnya yang masih satu-satu. Ia tempelkan benda itu ke telinganya.

            “kenapa, Ag?”

            Panggilan dari Agni. Sebisa mungkin Ify menahan isakannya, tapi suara sengaunya tak lagi bisa disembunyikan.

            “venue buat pameran kamu udah siap.” Jawab suara melengking di seberang sana. Terdengar sangat puas. “kamu sakit?” intonasinya melemah, sadar ada yang tidak beres dengan suara sahabatnya.

            Ify mengangguk. “ah.. iya. Flu.” Ralatnya setelah sadar Agni tak akan bisa melihat anggukkannya.

            “makan, minum obat, istirahat! Pameran perdana kamu tiga hari lagi!” cerocos Agni kemudian menutup telephon, tak menerima protes.

            Hampir Ify melupakan hal penting itu. Tiga hari lagi hasil jepretannya akan ikut dalam sebuah pameran beberapa fotografer muda berbakat, setelah salah satu karyanya menang dalam sebuah ajang kontes fotografi bergengsi. Sebelas Januari. Tanggal yang menjadi spesial sejak ia bertemu Rio enam tahun lalu. Sedikit lagi harapan timbul, pria itu akan datang.

********

Rumah Budaya Tembie, 11 Januari 2012. 17:00

            Pria bertubuh jangkung, berkulit hitam manis ini terpekur di depan sebuah gambar yang paling menarik perhatiannya dari sekian banyak foto yang terpampang. Pada bagian kanan bawahnya tertulis Pantai Terindah – Ify Umari. Sejak kapan gadis itu bisa menilai jika pantai itu indah? Sejauh memori yang ia simpan, Ify tak pernah suka pantai, atau kumpulan air yang banyak, terlebih ada ribuan linting gelombang di atasnya. Tapi ia tahu kapan foto yang menunjukkan siluet seorang lelaki yang berdiri membingkai terbitnya matahari di tepi pantai Parang Kusuma itu diambil, sekitar pertengahan tahun 2006, ia juga kenal betul pria yang sepertinya menjadi keindahan utama pantai itu, dirinya.
                           
            “Yang, foto ini kenapa bisa menang? Padahal udah sering lihat yang begini.” Tanya seorang gadis berkacamata pada laki-laki di sampingnya, yang dari caranya memanggil, pria itu kekasihnya. Si pria masih asyik mendalami foto yang ditanyakan sang kekasih. Foto yang sama dengan yang dilihat pria pertama.

            “emosi dari pengambil foto ini, cinta, kekaguman, ketakutan.” Jawab si laki-laki dengan pandangan takjub yang tak bisa ia sembunyikan. “sesekali, kamu harus melihat sesuatu dengan perasaan. Nggak semua hal yang ada di dunia itu eksak.”

            Si pria pertama mulai beranjak dari foto yang sejak tadi ia nikmati. Ucapan pria berpenampilan seadanya, khas seorang seniman tadi, memupuk kerinduannya pada gadis pencipta gambar tadi. Cinta akan segera menemui cintanya.

            “mbak, mbak Ify Umarinya ada?” tanya pria tadi pada resepsionis penjaga pintu masuk.

            “ada di dalam. Ada yang bisa saya bantu?” sahut resepsionis cantik itu.

            “saya ingin bertemu. Boleh?”

            “dengan mas siapa ya? Saya konfirmasi dulu dengan mbak Ify.”

            “bilang saja dengan orang yang dia tunggu. Saya menunggu di depan.”

            Rio, pria tadi, mengayunkan tungkainya keluar dari ruang pameran menuju sebuah taman yang tak jauh. Diiringi guguran daun akasia dan angin kencang yang menerbangkan helaian rambutnya yang mulai gondrong. Jantungnya bergedup cepat, seperti mau meledak. Seperti apa Ify saat ini? Masihkah ia menyimpan rasa yang sama dengan lima tahun lalu?

********

            Ify melangkah cepat setelah mendapat kabar dari resepsionis. Orang yang ia tunggu. Satu-satunya orang yang ia tunggu saat ini adalah Rio. Rasa penasaran yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Tak peduli lagi jika sesaat lagi ia harus kecewa, ia biarkan harapannya berdansa dengan matahari. Jatungnya yang bergerak jauh di luar batas normal tiba-tiba saja berhenti saat mendapati seorang pria yang duduk di atas bangku putih membelakanginya. Ia tak akan mungkin lupa dengan setiap bentuk dan lekuk tubuh pria itu. Rio. Itu Rionya.

            “mas Rio..” dan sekarang tenaganya benar-benar habis, sisa terakhir untuk menyebut nama laki-laki yang luar biasa ia rindukan itu.

            Rio menoleh cepat karena baru saja ia mendengar suara yang selalu menyapanya dalam mimpi. Suara yang selalu membuatnya bangkit saat ia benar-benar letih berjuang. Suara yang selalu ia inginkan untuk menyapanya setiap pagi. Segera ia melompat untuk memeluk tubuh dewi khayangan yang lahir di dunia, lahir untuknya itu. Melepaskan senyawa-senyawa rindu yang tak lagi bisa dirayu.

            “aku kangen.” Lirih Rio. Tangisan Ify pecah. Harapan-harapan yang ia hidupkan sudah berubah menjadi kenyataan. Rio tidak bohong. Bakat merangkai kata manis itu juga diiringi tanggung jawab untuk membuktikannya.

            “aku sayang mas.” Balas Ify disela isakannya. Satu kalimat pendek menjelaskan segalanya. Tak perlu kata-kata manis, hati mereka sudah saling berbisik. Gadis itu mempererat rengkuhannya pada pinggang Rio, kembali memenuhi paru-parunya dengan harum tubuh yang selalu menjadi candu yang ia buat sendiri. Candu yang akan ia nikmati sendiri dan tak akan sudi ia bagi pada dunia.

            Rio melepas pelukannya dengan sebuah senyuman manis. Ia hapus jejak air mata Ify dengan ibu jarinya. Gadis ini alasannya lahir di dunia. Untuk siapa kekuatannya sebagai seorang laki-laki diberikan Tuhan. Dengan siapa ia memenuhi dunia.

            “jadi kita bisa bahagia berdua sekarang? Aku punya mas, dan mas punya aku?” tanya Ify polos. Dengan nada manja yang selalu membuat Rio kehilangan, yang hanya bisa menjadi angan beberapa tahun ini.

            Tawa lepas keluar dari bibir Rio. Ia menggeleng mantab. Tak menyetujui pertanyaan Ify. Tanganya mengambil sesuatu dari saku celana jeansnya. Gerakan yang membuat Ify diam mematung. Namun kemudian kedua bola mata almonnya membulat penuh karena sebuah cincin yang disodorkan Rio ke hadapannya.

“bukan berdua, sama anak-anak aku. Kamu mau jadi ibu mereka?” dan ini lah Rio. Dengan kesederhanaannya. Dengan ia yang apa adanya. Namun dengan kasihnya yang luar biasa.

Bulir air mata kembali mengalir dari mata Ify, namun bukan lagi air mata perih sebuah penolakan atau air mata keputus asaan. Hanya kebahagian yang tak bisa ia bendung lagi. Gadis manis itu mengangguk samar. Senyum Rio merekah ia pasangkan cincin emas putih bertahta berlian yang ia sodorkan ke jari manis tangan kiri Ify. Ia peluk erat gadis itu sekali lagi, kali ini untuk selamanya.

********

EPILOG
           
Jemari lentik wanita ini menyapu sebuah foto yang dibingkai stainless steel warna silver, perlahan, takut kuku-kukunya akan menggores tulusnya cinta yang terpapar nyata. Seorang laki-kali yang tampak tampan dan gagah dengan beskapnya, disampingnya seorang wanita yang berdiri anggun dengan kebaya putih. Ingin sekali rasanya ia berdiri di tengah mereka. Mencicip sedikit bahagianya.

Namun tak seperti cintaku pada dirimu
Yang harus tergenapi dalam kisah hidupku...

            Suara lagu dari radio kuno yang bertengger di dekat jendela, radio yang setia menemani piano putih di sudut ruangan. Suaranya sudah mulai sumbang dipukul dentingan waktu. Namun kisahnya tidak. Tidak pernah berkurang manisnya. Kisah tentang cinta yang menggenapi kisah hidup. Kisah cinta yang nyata dari dua orang terhebat dalam hidupnya. Janji itu tergenapi. Di tembok, satu meter dari jendela, terpampang foto besar satu keluarga. Ia mengenal betul satu-persatu dari mereka. Anak laki-laki berusia delapan tahun itu namanya Bastian. Sekarang sudah menjadi pilot hebat. Boleh ditanyakan negara mana yang belum pernah ia lewati. Hampir semua sudah! Dan gadis kecil berusia empat tahun, rambutnya yang keriting dikucir dua. Namanya Raissa. Wanita yang sama dengan yang tengah menatap foto itu. Dan yang paling kecil, yang masih dua tahun, tersenyum lebar dipangkuan sang ibu, namanya Keke. Tak menyangka bocah kecil yang hobi menangis itu kini sudah menjadi seorang pengacara yang lantang menyerukan keadilan.

            Air mata wanita cantik itu mengalir setetes dari ekor mata kanannya. Mengingat kasih sang ibu yang luar biasa. Seorang wanita dengan perut buncit karena tengah mengandung memeluknya yang sedang menangis setelah dijahili sang kakak yang sedang bertengger di atas pohon jambu yang tumbuh di belakang rumah karena merasa bersalah, atau lebih dikarenakan ketakutan mendengar suara mobil sang ayah yang baru pulang dari kantor. Ayahnya laki-laki yang tegas. Bukan ditakuti, tapi selalu disegani oleh seluruh anggota keluarga. Kalimat saktinya “apa salah kamu?”. Beliau tidak ingin orang lain hanya terpaksa minta maaf dan tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri. Setiap kejadian terekam manis di otaknya.

            Dan foto terakhir yang ditangkap indra penglihatnya adalah gambar dua orang tua dengan rambut yang mulai memutih. Yang laki-laki dengan kaos polo warna putih, berdiri dengan sisa-sisa kegagahannya. Di dalam rangkulannya seorang wanita yang menyimpan kecantikan di ruas-ruas keriput wajahnya. Saling tatap penuh kasih. Di belakangnya ada sekelompok musisi, berdiri rapat dengan puing-puing bangunan yang menjadi background panggung mereka. Ibunya pernah bercerita jika sewaktu muda ia dan suaminya –ayah wanita tadi- pernah melihat sepasang kakek-nenek yang tetap mesra di usia mereka yang tak lagi muda di Taman Sari. Dan akhirnya mereka berdiri juga di tempat yang sama, dengan keadaan yang sama. Setelah puluhan tahun merajut kasih.

            Wanita tadi mengalihkan pandangannya karena sebuah pelukan yang melingkar di pinggangnya. Seorang laki-laki tampan berdiri rapat di belakangnya. Seulas senyuman di sela tetes air mata ia sunggingkan.

            “mereka masih akan saling mencintai ribuan tahun lagi di tempat yang lebih indah.” Bisiknya setelah ikut tenggelam dalam foto yang dipegang kekasih hati.

karena kasihku hanya untuk dirimu
selamanya kan tetap milikmu...

            “Ify...” gerakan bibir sang ayah yang mulai membiru kembali berkelebat nyata diingatannya. Laki-laki renta yang tengah terbaring antara hidup dan mati itu mengucap nama orang yang paling ia rindukan dengan senyum. Cara memanggil paling mesra yang pernah ia dengar. Lembut. Lirih. Mendayu. Seakan perempuan cantik yang sudah kembali ke pangkuan Penciptanya itu hadir lagi di hadapannya. Menjemputnya. Tepat lima tahun. Seakan bayaran dari hutangnya pernah membuat wanita itu menunggu lima tahun sudah terbayar penuh. Pria itu menghembuskan nafas terakhirnya. Menyongsong damainya. Berlabuh pada cinta yang paling abadi. Hari itu, 11 Januari.

Ku ingin selamanya menyayangi dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin selamanya ada di sampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku...
           
Jika ada yang bisa menyamai kekuatan waktu, cinta jawabannya. Waktu bisa mengubah cinta, dan cinta bisa mengubah waktu. Dari waktu ke waktu, cinta yang sejati akan terus tumbuh. Dan cinta akan membuat waktu berlalu tanpa keluhan, tanpa air mata, dan menghapuskan semua penantian. Hingga akhirnya menemui apa itu keabadian.

The end....

cemana? lama nggak denger komen-komen pembaca nih. jangan sampe loh diem-diem baca terus nanti dengan inocentnya ngerepost pake ngaku-ngaku punya sendiri. hahaha... canda. tapi serius, yang ada di blog ini biar di sini aja. jangan dipublish di tempat lain. baca di sini gratis ini. oke baby? sip. salam kece. :)

8 komentar:

  1. Perfect one! Ditunggu yaa next awesome story nya! Yakin pasti keren juga!

    BalasHapus
  2. Ini keren abis, apik tenan, sanget!!

    BalasHapus
  3. kaSariiiiiiiiiiiii, ini keren banget!:D
    meski rada-rada bingung di awal-awal, tapi makin ke belakang aku jadi makin ngerti alur dan bahasanya! :D
    keep writing ya kak! RiFy lah pokoknya! :D

    BalasHapus
  4. TOP BGT deh buat kasari, aku sukaa banget. buat lagi dong ka. aku request yaa, cerbung RIFY kalo bisa 100 part dan mereka bersatu sampe punya ank cucu hahaha >_<

    BalasHapus
  5. demen banget sama ceritanya kasari itu karna penggunaan bahasanya yg duhh bener-bener deh kak cetarrr._. andai saat ini penggunaan bhasa kyak diatas dipake dlm bhasa sehari-hari, duhh bahasa indo jdi bahasa internasional kali kak? *halah lebay* dpet inspirasi drimana sih kak ngerangkai kata-kata seunik itu? keren!!! ditunggu yg laen kak;;)

    BalasHapus
  6. KAKAAAAAAAAK! ini keren bangettttt, huh kasari emang bestbest deh kalau buat cerpen cerbung rify :))))

    BalasHapus
  7. INI KEREEEEEENN KAAK :"""))))))

    BalasHapus
  8. kerrennn bgt ide.nya ... salut aqu.. trusin lg ya bikin cerita yg laen.nya ..

    BalasHapus