dibalik judul yang alay mampus ini. ceritanya agak dewasa sih, tapi bukan "dewasa". if you know what i mean... baca aja deh biar ngerti (?)
cerpen ini inspirasinya beberapa lagu. jadi ya maap aja kalo kesannya dipaksain. alurnya sengaja dibikin berantakan, makanya baca waktu dan tempatnya. okay, baby? just enjoy it. :)
Yogyakarta, 06 Januari 2012. 17:25 WIB
Kota kecil ini masih sama, masih eksotis. Menjanjikan sejuta pesona
ditengah bau magis yang menguar kental. Aroma yang seakan menjadi pelet untuk
setiap orang yang datang padanya untuk selalu kembali. Hiruk pikuk di dalamnya
juga tak berubah setelah lima tahun ia tinggalkan. Setiap sudutnya masih
menawarkan keramahan.
Angkringan Kopi Jos, kaki lima
khas Jogja di ujung jalan Mangkubumi itu juga masih sama. Tukang becak yang
juga masih setia berjajar menawarkan jasanya. Langkahnya masih belum mau
berhenti, belum juga lelah. Angannya masih sibuk berdansa dengan gumpalan rindu
yang menggebu, merapalkan bait-bait cinta yang masih belum lekang. Menelusuri
jejaknya kembali mencari sesuatu bagian yang kepingannya masih setia ia bawa
hingga sekarang. Gadis manis itu. Gadis yang selalu menjadi angannya.
Tak terasa langkahnya baru
berhenti di ujung jalan Malioboro. Ada sebuah warung makan kaki lima yang
membuatnya tak akan pernah bisa lupa untuk sebuah cerita yang tercipta di sana.
“mas Rio, aku sayang sama mas.”
Suara lembut itu kembali terngiang di teliganya di sela lagu Yogyakarta milik
Kla Project yang dimainkan beberapa orang musisi jalanan. Sama seperti waktu
itu. Salah satu keistimewaan kota ini, banyak seniman yang memilih jalanan
sebagai panggung kreasi mereka, tak membiarkan budaya yang tertanam pada tanah
mereka tergerus begitu saja. Suasanya yang semakin menggiring pikirannya untuk
menebak, masihkah semuanya sama?
Lelah –bukan fisik-, pria itu
merogoh saku celana jeans hitamnya, mengeluarkan ponsel dan menggerakkan
jempolnya di atas layar, berselancar mencari sebuah kontak. Setelah
menghembuskan nafas perlahan, ditempelkan benda canggih itu ke telinganya.
Terdengar nada sambung berkali-kali yang justru seolah semakin mengkomandoi
keserahannya untuk bekerja lebih semangat lagi.
“hallo!” sapa suara berat di
ujung sana.
“gue udah di Malioboro.” Jawab
pria tadi tanpa mengindahkan pembukaan lawan bicaranya karena ia sudah yakin
benar sedang ada di line dengan orang yang ia tuju.
“tunggu, gue sampai lima belas
menit lagi.”
Terdengar nada putus sambungan
yang panjang. Cuih! Sahabatnya itu bisa sampai dalam setengah jam saja rasanya
sudah bersyukur mengingat kebiasaanya yang selalu lambat jika bergerak, turunan
Jogja dari ibunya itu benar-benar membuatnya memengang teguh peribahasa “alon-alon waton kelakon” atau bahasa
gaulnya slow but sure. Belum dihitung jika si Rambo, mobil VW Combie kesayangan
sahabatnya itu rewel.
“mas, ronde-nya satu.” Pesan
pria tadi pada pedagang yang sedang lewat di sebelahnya. Tak perlu menunggu
lama pesanannya datang. Mangkuk kecil beralaskan lepek yang berwarna senada
terulur di hadapannya. Bau jahe yang kuat dari sana membuat dinginnya malam
sedikit terkabur. Satu, dua, tiga, empat lagu sudah dimainkan kelompok musisi
jalanan tadi, wedang rondenya juga sudah tandas saat seorang laki-laki jangkung
menepuk bahunya dengan sebuah senyum innocent, ia tidak sendiri, ada seorang
wanita cantik di sampingnya, sedang menggedong seorang bayi perempuan berpipi
bulat putih seperti bakpao, lucu sekali.
“dua puluh lima menit, lumayan
lah.” Seloroh pria yang menunggu tadi setelah melirik jam di tangan kirinya.
Namun setelahnya ia berhambur memeluk sahabat yang juga ia rindukan itu. Lima
tahun. Pemuda tampan nan selengekan itu sudah bermetamorfosis menjadi seorang
pria yang juga masih selengekan. “apa kabar, Riko Anggara? Gue kangen parah
sama elo!” lanjutnya setelah melepaskan pelukannya.
“baik, luar biasa baik, Pak Rio
Haling!” jawab Riko, si lawan bicara sambil mengamati Rio –pria tadi- dari
ujung jambul hingga pangkal sneakersnya. Tak ada yang berubah. Dasar pemuda!
“kenalin ini Ashilla, ini peri kecil gue, Ara.”
Rio mengulurkan tangan kanannya
di hadapan Ashilla sambil tersenyum. “Rio.” Ucapnya kemudian mencubit pelan
pipi Ara. “lucu banget anak elo, Ko!” serunya sambil mengambil alih menggendong
bayi mungil itu.
“tahu deh yang udah kepengen.”
“nyindir..” dengus Rio. Riko,
dan Shilla yang sudah diceritakan tentang Rio tertawa lepas.
******
Mobil antik itu melaju membelah jalanan kota Jogja yang selalu menjadi
lebih luar biasa di malam hari. Jajaran lampu temaram di pinggiran jalan yang
terus melambai pada setiap yang datang untuk tidak lagi pergi. Pasrah saat
akhirnya tertinggal di belakang orang-orang yang tetap tak acuh. Seperti
kenangan yang kini semakin cepat berputar di otak pemuda tampan ini.
Tentangnya. Gadis itu. Alamat
untuk gunungan rindu yang kian membuncah, yang meluap tak mampu lagi ia
tampung. Ia yang selalu menari indah di setiap matanya terpejam. Ia, alasannya
kembali menyongsong kenangan itu.
******
Yogyakarta, 11 Januari 2006.
Sebuah pertemuan selalu menjadi
prolog sebuah cerita kehidupan, walaupun tak juga ada yang bisa digambarkan
dari sana. Tak juga membawa pencerahan untuk apa yang akan terjadi nanti. Namun
pertemuan selalu menjadi pondasinya.
Ify duduk di ruang tamu rumahnya
dengan bibir yang mengerucut, wajah yang ditekuk-tekuk seperti cucian baru
kering. Keputusan sepihak ibunya untuk mencarikannya guru les privat mengingat
nilai rapornya semester lalu yang kebakaran yang kini menjadi permasalahan.
Sedang Ify tahu, selera guru les ibunya itu jauh dari kriterianya. Guru lesnya
sewaktu SD dulu, bu Mariam, orangnya galak setengah mati. Entah bagaimana caranya,
Ify harus mengerti dengan apa yanng beliau jelaskan. Suram. Guru lesnya SMP,
bukannya menjelaskan, malah dia sendiri yang bingung ketika Ify bertanya
tentang sebuah materi yang rumit. Tidak kompeten.
Sudah lebih lima belas menit
dari waktu yang dijanjikan. Teh hangat yang sudah ia sediakan pun mulai dingin.
Membuat pikiran negatifnya semakin membumbung. Pasti guru les kali ini tak jauh
beda dengan yang dulu-dulu. Ify membayangkan perawakan guru lesnya kali ini
tambun, perut buncit, sudah mulai ubanan, ditambah sifatnya yang saklek, galak,
menyebalkan, sekaligus membosankan.
“permisi..” suara serak-serak
basah yang menghancurkan lamunan Ify. Sosok yang sangat berseberangan dengan
apa yang Ify bayangkan barusan. Pemilik suara itu adalah seorang pria muda
dengan tinggi nyaris seratus delapan puluh centimeter. Badannya tegap atletis
dibalut kemeja warna abu-abu yang dipadu dengan jeans hitam panjang. Rambutnya
yang dicukur model spyke terlihat berantakan, namun justru menguatkan kesan
maskulin pemuda itu. Wajahnya...... yakin dapat membuat Cinderella perpaling
hati karena pangerannya pun kalah tampan. Sepasang matanya, menatap tegas bagai
ujung belati. Luar biasa.
“permisi..” sapa pemuda itu
sekali lagi. Dengan suara yang lebih keras.
“ah.. iya.” Jawab Ify gelagapan.
Ia segera berdiri menyambangi pemuda tadi sambil menyelipkan sejumput rambutnya
yang jatuh dari ikatan ke belakang telinga kanan, penyamar kesalahtingkahannya.
“mas, sales ya?!” tuduhnya dengan sangat yakin. Tas ransel yang disandang
pemuda yang berdiri di mukanya dan paper bag bergambar logo sebuah pusat
perbelanjaan menjadi alibinya.
Pemuda tadi melongo. Dengan
gerakan samar ia menggeleng. Nyaris kehabisan kata-kata karena tuduhan pertama
yang datang padanya. “benar ini rumah ibu Juwita?” tanyanya tak mengindahkan
tuduhan Ify.
“iya.” Sekali lagi, Ify memindai
pamuda di hadapannya dari ujung jambul sampai ujung sneakersnya. “tapi ibu saya
sedang pergi, kalau mau promosi kapan-kapan saja.” Lanjutnya masih kukuh dengan
dugaannya jika pria ini adalah seorang sales. Sekalipun sales seganteng ini,
Ify tak mau ambil resiko jika kejadian yang menimpa tetangga kompleksnya yang
mengalami perampokan oleh seorang yang mengaku sebagai sales terjadi pada
keluarganya. Terlebih ia hanya sendirian di rumah.
Bahu kokoh pemuda tadi luruh
bersamaan dengan dengusan nafasnya. Sedikitpun ia tak membayangkan jika karier
pertamanya sebagai guru les privat akan disambut dengan tuduhan sebagai Sales
Promotion Boy dan tatapan penuh kecurigaan dari gadis di depannya ini. “saya
bukan sales, mbak. Saya guru privat anak ibu Juwita.” Jelasnya mencoba
bersabar.
Mata Ify membulat penuh
mendengar suara pemuda itu. Kalau ada suara yang bisa menyaingi merdunya suara
bel istirahat sekaligus penanda pelajaran Matematika pak Tugiyo telah usai,
suara laki-laki ini jawabannya. Apa tadi? Guru privat anaknya ibu Juwita? Dari
tiga orang anak ibu-ibu bawel itu, yang pertama namanya Septian, sudah hampir
lulus sarjana kedokterannya, yang bungsu, namanya Deva, leak itu terlalu jenius
untuk membuat sang ibu mau merogoh koceknya untuk membayar guru les.
Satu-satunya yang tersisa adalah anak tengan bu Juwita, putri semata wayang,
Ify Umari. Dan saat ini juga, Ify ingin berlari keluar ke masjid yang ada di
ujung kompleks untuk sekedar meminjam toa dan mengumumkan jika ia sangat
bahagia hari ini.
“benar ini rumah ibu Juwita?”
tanya pemuda tadi. Tak habis ia heran dengan ekspresi lawan bicaranya kali ini.
Melamun, menuduhnya sebagai sales sekaligus dengan tatapan seolah dirinya adalah
maling, dan sekarang senyum-senyum sendiri.
Gadis itu mengangguk mantab
sambil mempersilahkan pemuda yang ternyata adalah guru lesnya itu masuk.
“maaf, saya tadi sempat nyasar.”
Ucap si pemuda sambil mengangguk sopan, berusaha menyembunyikan keheranannya.
Ia tidak ingin kehilangan pekerjaan saat ini. Sekali lagi Ify hanya mengangguk
sambil mendudukkan diri di samping guru lesnya.
“nama mas siapa?” tanya Ify.
Dengan ekspresi paling normal pertama yang berhasil ia suguhkan pada lawan
bicaranya.
“Rio.” Jawab pemuda tadi
singkat, sambil meletakkan ransel yang digendongnya.
“aku Ify. Mas tinggal dimana?
Kuliah atau kerja?” interogasi gadis itu.
“aku kost di deket Monjali.
Masih kuliah.”
“dimana? Jurusan apa? Semester
berapa?”
Rio mengrenyitkan dahi. Kembali
heran. Jika seharusnya ada yang banyak bertanya di sini, dia lah orangnya.
“UGM. Arsitektur. Semester 9.” Tak urung pertanyaan itu tetap dijawabnya.
Rio setahun lebih tua dari
Septian. Simpul Ify. Sambil mengangguk-angguk seperti detektif yang baru saja
menemukan petunjuk untuk kasus besar yang tengah ditanganinya. Apa tadi?
Arsitektur? Ia tak salah dengar. Berarti yang dihadapannya ini seorang calon
arsitek –yang sangat tampan-. Tiba-tiba Ify memekik hingga telinga Rio
berdengung. Pemuda itu beringsut mundur, kalau-kalau akan ada agresi kedua.
Sambil menepuk-nepuk bahu Rio,
seperti seorang ibu yang dibawakan sebuah piala besar hasil lomba yang
dimenangkan anaknya, Ify melayangkan banyak pujian untuk guru pilihan mamanya
kali ini.
“bisa kita mulai belajar?” tanya
Rio dengan rasa heran yang semakin membumbung. Gadis yang “unik”. Pikirnya.
Pertemuan pertama. Selalu
menjadi gerbang untuk sebuah kisah. Gerbang yang tak pernah berpindah letak
dalam ingatan. Dengan setiap detail yang selalu memukau untuk ditengok.
*******
Malioboro, 16 Desember 2006. 15:35 WIB
Gadis manis, berdagu tirus dan
berhidung bangir. Rambut panjangnya sengaja diwarnai cokelat tua diikat ekor
kuda asal-asalan, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajah ayunya. Tanpa
make up. Tak takut kotor bergelut dengan jutaan debu di udara. Kemeja hitam
polos yang tak dikancingkan satu pun terbang karena hembusan angin yang dibawa
kendaraan yang hiruk-pikuk di jalanan. Memamerkan you can see putih di dalamnya
yang dipadu dengan jeans belel abu-abu pendek dan sepatu keds dengan warna
senada. Sederhana, apa adanya namun tetap menarik. Terkhusus untuk pemuda yang
berdiri di sampingnya, yang nampak kontras berdiri tegak dengan kemeja
kotak-kotak merah-hitam dan jeans hitam panjang, lengkap dengan sepasang
sneakers putih.
Asyik dengan kameranya, membidik
setiap sudut yang ia anggap menarik. Tak peduli pada pemuda yang setia
menemaninya. Tak acuh dengan beberapa siulan usil beberapa pemuda yang
kebetulan lewat di dekatnya. Yang penting hobinya tersalurkan.
“aku dibayar ibu kamu bukan buat
nemenin kamu foto-foto loh, Fy.” tegur si pemuda yang nampak sudah bosan
diabaikan. Nama gadis itu Ify, nama yang tak kalah manis dari parasnya.
Gadis tadi memamerkan deretan gigi depannya, nyengir kuda. “nanti aku
traktir blackforest sama hot chocolate deh, Mas.” Rayunya. Pemuda tadi
mendengus pasrah, gadis ini keras kepala. Mau sampai seperti apa ia
mengingatkan pasti tetap metah.
“lima belas menit lagi.” Ucap si pemuda sambil mengetukan jari telunjuk
pada arloji yang melingkari tangan kirinya.
“mas Rio emang the best!” pekik Ify kegirangan sambil berjingkat
mencubit gemas pipi pria yang jauh lebih tinggi darinya itu. Kembali gadis itu
asik mengambil gambar, seorang ibu penjual jamu yang masih berkebaya, menunggu
dagangannya sambil bercengkerama dengan anak kecil berusia sekitar lima tahun,
kemungkinan besar putrinya berlatarkan gedung klasik Bank Indonesia. Cukup lama
Ify mengambil dari sudut itu. Gadis itu sangat tertarik.
“Time’s up!” ucap Rio sambil menjentikkan telunjuk dan jempolnya tepat
di depan lensa kamera Ify. Tak ada toleransi lagi kali ini. Digenggamnya tangan
gadis itu dan ia pandu menuju mobil sedan yang terparkir tak jauh dari tampat
mereka berdiri tadi. Dan kali ini Ify pun sudah pasrah. Rio pria yang
pengertian, dan sekaligus tegas khas seorang laki-laki dewasa yang selalu ia
dambakan.
*******
Arthemy Cafe. 17:30 WIB
Barisan shaft lambang integral
di buku tulisnya benar-benar membuat kepala Ify pening, belum lagi deretan panjang
aljabar di belakangnya. Sesuatu yang selalu ia cari korelasinya dengan
kehidupan, dan belum sama sekali ia temukan. Satu-satunya yang membuatnya
bertahan untuk tidak memuntahkan isi perutnya adalah kemampuan Rio
mengerjakannya, coret sana, coret sini. Magic. Kelihatannya sangat mudah. Namun
sudah berkali-kali Ify mencobanya, tetap saja ia mencoret bilangan yang salah,
satu-satunya yang ia paham adalah semua bilangan itu harus dicoret [baca:
dihapuskan dari muka bumi].
Rio mengerti. Hanya akan membuang
tenaga saja untuk terus mengajari muridnya ini karena ia nampak begitu lelah.
Ditutupnya buku tulis Ify. Toh sepertinya sudah cukup materi untuk hari ini.
Tangan kokohnya meraih kamera Ify yang tergeletak di atas meja, sementara gadis
itu asyik menikmati rainbow ice cream pesanannya. Layar itu memampangkan
seorang anak laki-laki dengan gitar usang sedang menyeka peluh di keningnya,
anak sekecil itu seharusnya baru berpeluh karena bermain, bukan melawan
matahari untuk terus melanjutkan hidupnya, seharusnya masih nilai bagus di
sekolah yang ia buru, bukan kepingan rupiah. Rio tersenyum miris, di sela
ketersimaannya pada pandangan sosial gadis di hadapannya. Satu persatu foto
terpampang: sampah-sampah yang teronggok tak jauh dari sebuah plang bertuliskan
“DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI AREA INI” dengan huruf kapital semua, dengan
ukuran yang besar. Sepertinya angka buta huruf meningkat. Ada foto seorang
bapak-bapak berpakaian safari rapi, menyeberang beberapa meter saja dari
zebracross, bukan tepat di atas garis hitam putih itu. Orang penting yang tidak
cerdas, sepertinya. Alangkah lucunya negeri ini.
Satu gambar yang menarik
perhatian Rio adalah gambar terakhir yang diambil Ify. Seorang ibu penjual jamu
dan anaknya. Ia tak dapat menafsirkan maksud Ify mengambil gambar ini. “ini
maksudnya apa?” tanyanya memecah suara gending Jawa yang selalu dimainkan di
cafe itu. ia mengangsurkan kamera yang dibawanya pada Ify.
Gadis itu tersenyum kecil,
kemudian menggedikan bahunya. Ia hanya tertarik pada ibu itu dan rutinitasnya
pada awalnya. “perempuan Indonesia selalu mempesona.” Simpulnya setelah
beberapa waktu mencermati gambar itu, mencari tahu mengapa ia tertarik.
“lagi muji diri sendiri?”
seloroh Rio kemudian tertawa kecil. Jari-jarinya sibuk mengaduk mug berisi cokelat
panas yang sudah mulai mengendap.
“sedikit.” Sambil tertawa kecil
Ify menjawab. Jemari lentik gadis itu kembali menyendok es krim. Menyesap
kembali rasa stoberinya. “aku cuma beruntung dilahirkan di tanah yang sama. Ibu
tadi contohnya, yang ikut menyangga rumah tangga tanpa lupa kodrat untuk
anaknya.”
Rio tersenyum simpul. Gadis ini
lima tahun lebih muda darinya. Masih kelas tiga SMA. Murid lesnya. Tapi
pemikirannya luar biasa. Oke. Kecuali soal Matematika. Ia mampu mengimbanginya
yang sedang menempuh semester akhir untuk meraih gelar sarjananya.
“Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak
Dien, Martha Christina Tiahahu. Mereka bahkan bisa melakukan apa yang bahkan
nggak banyak laki-laki di jamannya bisa buat.” Ify memulai mengabsen
tokoh-tokoh yang ia kagumi betul. “Sri Mulyani yang jadi direktur pelaksana
World Bank, Siti Fadilah Supari yang berhasil menemukan vaksin flu burung di
jaman sekarang.” Kedua mata gadis itu berbinar.
“and the point is your hair.”
Sentak Rio yang mengaburkan lamunan Ify. “warna rambut hitam wanita Indonesia
itu poin keanggunannya.”
“mas Rio..” dengus Ify tak
minat. Sudah berkali-kali Rio melayangkan protes untuk keputusannya mengecat
rambut. Protes halus yang mematikan di sela topik bagus seperti ini. Rio tak
pernah dengan arogan dan otoriter memerintahnya. “nasionalisme aku nggak akan
luntur cuma gara-gara berubah warna rambut.” Lanjutnya. Nada khas saat gadis
itu bicara, merayu manja.
Rio paling tak suka dipanggil
dengan embel-embel mas. Baru Ify yang ia ijinkan, bahkan Ozy, adik semata
wayangnya pun tidak. Ada nada yang berbeda saat gadis itu melafalkan sebutan
itu. Seksi. Eksotis yang menggoda.
“mas..”
“hmm..”
“jangan bilang ibu kalau seharian kita hunting foto ya?” pinta Ify
memelas.
“nggak gratis.”
“apa syaratnya?”
“nilai ulangan Matematika kamu minimal 85.” Balas Rio ringan sambil
masih tenggelam dengan gambar-gambar menawan hasil jepretan Ify hari ini. Kedua
mata gadis itu membulat, bisa memenuhi nilai ketuntasan minimal saja sudah
sangat bersyukur, sekarang bagaimana caranya ia bisa mencapai nilai delapan
puluh lima? Sekali lagi delapan puluh lima. Dan kenapa harus Matematika?
“jangan 85...” Ify masih menawar. Rio mengalihkan pandangannya pada
Ify. Dengan wajah begitu tenang, bibirnya tidak bergerak. Namun sepasang mata
elang itu mengatakan semuanya. Cukup jawaban iya, tak ada pilihan lain. Dan itu
lah istimewanya Rio, tak banyak bicara dengan mulut, tapi matanya seakan bisa
berbahasa mengungkapkan apa yang ia rasa dan ia mau. Ify mendengus dan mengangguk
pasrah.
Sampai saat ini Ify masih tak mampu berpikir bagaimana semesta
berkonspirasi dengan ibundanya untuk mempertemukannya dengan Rio setahun lalu
sebagai guru les matematikanya. Rio berasal dari satu daerah di Sulawesi Utara,
menuntut ilmu di kota pelajar ini. Teknik Arsitektur, Universitas Gadjah Mada.
Saat itu sebagai seorang anak kost Rio membutuhkan biaya tambahan untuk KKN dan
salah satu temannya menawarkan jasanya pada ibunda Ify. Yang jelas, ia
berterima kasih banyak atas semua itu.
“tahun baru ini mas pulang?”
tanya Ify kemudian sambil menyerobot cokelat Rio yang kini sudah dingin dan
hanya tersisa sedikit hingga tandas kemudian ia letakkan kembali. Rio terkekeh,
kebiasaan yang paling aneh dari gadis ini adalah menghabiskan cokelat minumannya
jika sudah hampir habis, memang lebih enak karena butiran-butiran kakao yang
mengendap. Kemudian ia menggeleng sebagai jawaban.
“kanker.” Ucapnya singkat. Ify
hanya mengangguk paham. Berusaha bersikap wajar, menyembunyikan sorakan
hatinya. Membayangkan jika tahun baru ini akan menjadi tahun baru paling ia
tunggu.
*******
Rumah Ify, 20 Desember 2006. 16:30 WIB
Berkali-kali Rio melihat jam yang bertengger di dinding ruang tamu
rumah Ify. Sekedar untuk membunuh waktu. Sudah lebih satu setengah jam dari
waktu biasa ia datang untuk mengajar gadis itu. Dan tak biasanya Ify pulang
telat tanpa memberinya kabar. Secangkir teh yang tadi panas mengepulkan asap
yang meliuk-liuk indah, kini teronggok biasa saja hingga dingin, belum
sedikitpun ia sentuh. Resah itu menjalari hatinya, tak bisa ia tepikan.
“Ify pulang!!” seru Ify setelah membuka pintu, masih lengkap dengan
seragam putih abu-abunya. Dengan seorang cowok dalam gandengan tangan kanannya
yang juga masih berseragam.
“darimana?” sahut Rio tenang. Ia
tahu Ify belum menyadari keberadaannya. Gadis itu menepuk keningnya, melupakan
jika seharusnya hari ini ia belajar dengan Rio, seperti biasanya. Tak ada nada
marah dari pertanyaan Rio, tapi tetap seperti biasa, Ify bisa merasa segan dan
merasa bersalah mendengarnya.
“emm.. maaf, mas.” Ucap Ify
sambil menunduk, ia mengigit bibir bawahnya. Matanya hanya tertuju pada ujung
sepatu keds yang ia mainkan. Gandengannya pada cowok yang ikut bersamanya ia
lepas.
“kenapa minta maaf?” nada yang
masih sama. Untuk Ify akan lebih baik jika ia dimarahi habis-habisan daripada
harus mendengarkan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan dari Rio seperti ini.
Setidaknya ia merasa lega karena sudah mendapat hukuman atas kesalahannya,
bukan hanya kesalahan yang ia harus tanggung dalam hati. “buku rumusnya. Aku
harus bimbingan skripsi.” Ucap Rio sambil mengulurkan sebuah buku seukuran
kamus saku yang kemarin ia janjikan pada Ify, setelah membereskan beberapa
lembar kertas yang kemudian ia masukan ke dalam ranselnya.
“duluan ya!” pamit Rio sambil
menepuk bahu teman laki-laki Ify tadi. Bibirnya tersenyum tulus. Matanya sempat
melirik bedge yang mencetak nama cowok itu. Gabriel Stevent. Ia bukan laki-laki
kemarin sore yang tidak bisa membaca senyum dan sorot mata Gabriel yang
menyimpan sesuatu untuk Ify. Dan yang lebih telak menyentil hatinya adalah, Ify
selalu bercerita dengan siapapun ia dekat, cowok mana saja yang sedang
mendekatinya. Walaupun cukup banyak, mengingat Ify memang cantik, baik,
menarik, dan mudah bergaul, Rio dapat mengingat semuanya satu-persatu. Tak ada
nama Gabriel di sana.
*******
Universitas Gadjah Mada, 21 Desember 2006. 09:00 WIB
Cowok bertubuh tegap ala angkatan ini memandangi sahabatnya prihatin.
Rio yang memang pendiam, kini lebih merajalela. Mungkin berapa patah kata yang
ia keluarkan sejak pagi masih dapat di hitung dengan jari. Padahal seharusnya
ia sedang bergembira karena skripsinya sudah tembus dan tinggal menunggu untuk
sidang.
“cewek itu lagi?” dengus Riko tak tahan juga untuk diam. Rio mengangguk
jujur. “apa lagi sih yang lo cari?” sekali lagi, tak ada jawaban dari mulut
pemuda hitam manis itu, hanya gedikan kedua bahu kokohnya.
Riko menghela nafas berat. Ini lah Rio, soal wanita keputusannya tak
pernah datang cepat. “lo pikir kenapa Ify masih jomblo kalau nggak nunggu elo?
Padahal dia punya segalanya buat ganti-ganti pacar setiap hari.” Ucapnya sambil
merangkul Rio, mencoba meyakinkan jika argumennya adalah teori paling benar di
dunia. Rio memicingkan kedua matanya, seakan ingin berkata,
-sok-tahu-parah-lo-. Dan kali ini cowok berkulit putih itu hanya menyeringai
memamerkan deretan gigi putihnya. “tapi lo serius sayang sama dia?”
Sekali lagi Rio hanya mendengus. Ia yakin sahabatnya ini akan tetap
mengerti sekalipun pertanyaan itu tidak ia jawab.
*******
SMA
Pancasila.
Gadis manis ini masih asyik tenggelam dalam layar ponselnya, menatapi
sebuah pesan singkat yang di dapatinya tadi pagi. Sebaris kalimat manis. Hanya
saja bukan dari orang yang paling ia harapkan.
Gabriel:
Selamat pagi, princess. J
Hal ini yang tak pernah ia
dapati dari Rio. Rio tak pernah membawanya main game sampai lupa waktu, dan
lupa segala-galanya seperti yang Gabriel lakukan tempo hari, saat Rio menunggunya
untuk melakukan kewajiban mengajarnya. Ia tak pernah mendapati nama Rio di pagi
hari saat ia membuka mata dan sebelum ia terlelap di malam hari pada layar
ponselnya, seperti apa yang dilakukan Gabriel. Angan yang justru membuat hatinya
ngilu. Rio yang dewasa kadang ia harapkan bisa mengimbanginya untuk menjadi
seorang yang sedang menikmati masa remaja. Sekali pemuda itu mengiriminya pesan
paling santer, menanyakan ada kesulitan mengerjakan soal atau tidak jika ia
tahu Ify ada ulangan.
“Fy, nilaimu!” seru Agni, gadis
hitam manis teman sekelas Ify sambil meletakkan selembar kertas di meja Ify.
Angka sembilan puluh tercetak dengan tinta merah di sudut kanan atas kertas
yang nampak bekas dibagi dua ditengahnya itu. Nilai ulangan Matematika Ify.
Senyum cerah terpeta di wajah Ify. Ia berhasil memenuhi janjinya pada
Rio. Angka yang juga berhasil mengangkat rasa bersalahnya pada pemuda itu. Ia
harus menemui Rio segera dan memperlihatkan hasil jerih payahnya.
*******
14:00 WIB
Matahari sedang bersemangat
menyinari bumi siang ini. Membuat liukan-liukan fatamorgana di atas panasnya
aspal jalanan. Ify berdiri di depan gerbang sekolah, berkali-kali melongokkan
kepala ke ujung gang, mencari angkutan umum yang tak juga muncul bempernya. Sampai
sebuah motor sport berwarna merah menyala berhenti di hadapannya. Gabriel
pengendaranya.
“mau bareng, Fy?” tawar cowok
jangkung itu.
Ify menggeleng sambil tersenyum
sebagai penolakan halus. Gabriel mengernyitkan dahi meminta penjelasan. “aku
mau pergi dulu, nggak langsung pulang.” Jelas Ify.
“aku anterin nggak papa deh,
kalo naik angkot lama.”
Gadis manis itu diam, menimbang
penawaran Gabriel. Mengingat ia sendiri sudah hampir setengah jam menunggu,
akhirnya Ify mengangguk setuju dan kemudian naik ke boncengan cowok itu.
*******
Rio berdiri dari kursi rotan
yang sebelumnya ia gunakan duduk dan meletakkan gitarnya asal-asalan saat
mendapati gadis yang sejak beberapa waktu kebelakang menjadi objek pikirannya.
Bersama seorang laki-laki yang sama dengan tempo hari. Serbuan rasa nyeri yang
menjadi sesak di dadanya, di sela kesadaran jika rasa itu sungguh tak berhak
hadir. Seulas senyum coba ia cipta di bibirnya untuk menyambut keduanya.
“siang mas.” Pekik Ify sambil
melompat dari boncengan Gabriel yang masih terpaku, kakinya seolah tenggelam di
bumi membuatnya tak bisa bergerak dengan genggaman yang tanpa sengaja semakin
erat pada stang motornya. Untuk apa ia ikhlas mengantarkan pujaan hatinya ini
untuk bertemu laki-laki lain? Salahnya sendiri tadi menawarkan diri.
“mampir dulu?” tawar Rio pada
Gabirel, dengan tangan kanannya yang sudah digamit manja oleh Ify. Rio sadar
jika wajah Gabriel makin memerah. Api yang tidak bisa dipadamkan dengan air
manapun, cemburu. Tak enak juga rasanya ada di antara kisah dua remaja ini.
“makasih.” Jawab Gabriel
singkat, walaupun masih terdengar ada gas di suaranya barusan. Rio memperlebar
senyumnya kemudian mengangguk menghormati keputusan Gabriel untuk menolak
ajakannya. Cowok yang masih lengkap berseragam putih abu-abu itu menarik gasnya
dan segera beranjak meninggalkan kos Rio, tempat yang sebenarnya menjadi tujuan
utama Ify.
“cemburu tuh, Fy.” ucap Rio
sambil mengusap tengkuknya, tak enak hati.
“dia yang nawarin sendiri kok.”
Sahut Ify tak mau kalah. Ia membanting tubuh mungilnya ke kursi yang tadi Rio
gunakan duduk.
“dasar anak kecil.” gerutu Rio
sambil mengambil kembali gitarnya dan duduk pada pagar setinggi panggulnya.
Mulai memetik asal gitarnya mengiringi suara desiran angin dan gerombolan
dedaunan pohon beringin yang tumbuh di pekarangan depan kos Rio yang terdengar
menjadi suara utama di antara mereka berdua.
“aku udah gede tau!” protes Ify.
Bibirnya mengerucut, membuang muka.
When I see you smile..
Ooohh....
You know I can do anything...
Lengkingan suara tenor milik Rio
melantunkan When I See You Smile milik Bad English. Ini pertama kalinya Ify
mendengar Rio bernyanyi secara langsung, walaupun ia pernah mendengar jika Rio
pernah bekerja part time sebagai penyanyi cafe, tetap saja ia tak mengira suara
cowok jangkung di hadapannya setara malaikat surga. Tanpa diketahuinya,
tubuhnya bereaksi di luar kehendak. Partikel-partikel kecil dalam tubuhnya
melonjak sana-sini, tak mau lagi terikat satu sama lain. Jika ia adalah
bongkahan es, sudah pasti akan mencair dengan segera.
Sometimes I wanna give up
I wanna give in
I wanna quit the fight
And then I see you, Baby
And everything’s alright....
Nafas Ify terhenti saat sepasang
samudra rasa tak berombak yang begitu bening milik Rio terarah lurus ke miliknya.
Seperti anak panah yang melesat cepat dari busurnya, menancap tepat di tengah
hatinya. Seperti kata cinta yang tersampaikan tanpa melalui barisan kata-kata. Ini
lah tatapan pertama yang membawanya terbang menyentuh awang-awang, bergelut
dengan lintingan awan. Dan berharap tak ada yang mengingatkannya untuk turun
kembali ke bumi.
Senyum di bibir sewarna buah
delima menggembang di wajah tirus Ify bersamaan dengan berhentinya alunan suara
Rio dan petikan gitarnya. Sebuah senyum yang begitu saja muncul dari bawah alam
sadarnya, memberi penghargaan untuk apa yang baru saja Rio tunjukan padanya.
“tadi perasaan ada yang manyun,
kenapa ya?” sindir Rio, tanpa menatap Ify, asik dengan jajaran senar-senar
gitarnya. Dan ini lah Rio, menjatuhkan skak mat untuk Ify yang masih bertingkah
seperti sebagaimana anak seusianya tanpa bentakan atau rentetan kata-kata sok
puitis. Kali ini semburat merah muda menjalar di pipi Ify.
“mas bilang aku anak kecil.”
jawab Ify dengan tatapan masih terpaku pada ujung sepatu kedsnya yang ia
gerakan kiri-kanan.
“seharusnya bangga dong, awet
muda.” Rio tertawa lepas.
Ify tak memberi tanggapan.
Pikirannya melayang. Kalau Rio menganggapnya anak kecil, masihkah ia punya
kesempatan untuk menempati hati pemuda yang selalu menjadi poros harinya itu?
“tumben ke sini?” tanya Rio
melamurkan pikiran Ify.
Tanpa menjawab lebih dahulu, Ify
merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas dari sana, kemudian ia ulurkan
pada Rio. Tangan Rio segera membukanya. Sembilan puluh. Nilai ulangan
Matematika Ify. Senyum kecil terukir di wajah hitam manis Rio. Ia yakin Ify
bisa. Sifat buruk Ify, suka meragukan kemampuannya sendiri.
“lebih kan? ada hadiahnya dong!”
pinta Ify sumringah. Rio berdiri dari tempat duduknya, berkacak pinggang dengan
tangan kiri, sementara tangan kanannya mengusap dagunya. Nampak serius
memikirkan permintaan Ify.
“kamu mau apa?”
“jalan!” jawaban persis seperti
anak TK yang disuguhi mainan yang paling ia idamkan. Rio mengangguk setuju.
“tapi masa kamu jalan masih
pakai seragam gitu? Bisa dituduh melarikan anak orang nih.” Gerutu Rio sembari
menggaruk belakang telinganya yang tentu tidak gatal sebenarnya.
“pinjem kaos mas. Aku bawa
celana.” Tanpa ba-bi-bu, Rio mengajak Ify ke kamarnya, memberikan gadis itu
selembar kaos sebelum ia keluar untuk menunggu gadis itu bersiap.
Ify keluar dengan celana jeans
pendek dan kaos kebesaran yang panjangnya hampir menyamai celana ketika Rio
tengah menali tali sneakersnya. Rambutnya dikucir ala jin perempuan yang dulu
sering mangkal di televisi, memamerkan leher jenjangnya. Sukses membuat ludah
di pangkal tenggorokan Rio membeku dan sulit ia telan. Sudah dapat dipastikan,
akan banyak lelaki yang menatap penuh dengki padanya sepanjang jalan nanti
karena mereka tak seberuntung dirinya.
“ayo!” ajak Ify. Suara
melengking yang membangunkan Rio dari kungkungan pikirannya yang mulai tak
terkendali. Pemuda tampan itu mengangguk kemudian berjalan mendahului Ify.
*******
Taman Sari. 17:15 WIB
Matahari telah lelah mengalirkan
cahaya untuk menutupi kemegahannya, terpampang bola kuning telur berhiaskan
gradasi warna beralas langit di ufuk barat. Guratan-guratan awan putih menambah
kokohnya hasil seni Sang Maha Segala. Menjadi latar barisan lampu-lampu
kendaraan yang sedang padat-padatnya setelah jam pulang kerja, dibingkai
lampu-lampu rumah penduduk yang juga mulai menyala. Dari tembok tinggi yang
masih berdiri kokoh di antara bangunan lain yang sudah menjadi puing-puing.
Cinta adalah misteri dalam hidupku
Yang tak pernah ku tahu akhirnya....
Suara bariton dari penyanyi dari
jalanan yang memang sering menjajakan karya mereka di tempat itu mulai membunuh
hening, menyulap suasana damai menjadi romantis. Berpadu indah dengan suara
petikan gitar dan seirama dengan pukulan jimbe. Musik yang megah di panggung
sederhana, kontras dengan penyanyi-penyanyi yang sekarang mengusai panggung
besar dengan suara yang belum cukup layak untuk berdiri di sana.
Ku ingin selamanya menyayangi dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin selamanya ada di sampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku...
Bibir mungil Ify bergerak
mengikuti lagu. Matanya tertuju pada sepasang kakek-nenek yang sedang
berpegangan tangan saling menatap penuh kasih. Nampaknya mereka juga yang
meminta kelompok musisi jalanan itu menyanyikan lagu indah ini. Rambut mereka
sudah memutih keseluruhan. Si kakek sudah sedikit bungkuk, tangan kanannya
memegang tongkat untuk membantunya tetap berdiri sedangkan sang nenek wajahnya
sudah di penuhi keriput. Namun, mata mereka seakan tak pernah berhenti saling
memuji satu sama lain, seakan si kakek adalah laki-laki paling tampan di dunia,
dan si nenek adalah wanita paling cantik sejagad. Mencoba mengumumkan pada
dunia jika mereka adalah pasangan paling bahagia. Jangan pernah mengucap janji
setia jika tak pernah melihat seindah ini lah jika janji itu berbuah.
“Fy..” panggil Rio yang hampir
tersamar dengan hembusan angin. Namun Ify bisa mendengar pemuda itu baru saja
melafalkan namanya. Nafasnya tercekat saat Rio menganyam jari-jari kokoh tangan
kanannya dengan jemari lentik tangan kirinya. Genggamannya begitu erat dan
hangat. Tuhan sedang mengirimkan jawaban mengapa ada ruang kosong di antara
jemari, untuk dilengkapi oleh orang yang sudah Ia takdirkan pula. Aliran darah
mereka seakan menyatu, dengan sebuah pesan yang Rio kirimkan. Kita akan berdiri
di sini lagi, nanti, berdua, dengan keadaan seperti mereka, bunyinya.
Ify menunduk. Menyembunyikan
wajahnya yang merona merah. Namun dibalasnya genggaman tangan Rio sebagai tanda
ia setuju. Senyum lebar terlukis di wajah tampan Rio. Gadis ini alasannya lahir
ke dunia.
********
Jalan Malioboro. 19:00 WIB
Berbagai macam kendaraan seperti
antre untuk melewati jantungnya kota Jogja ini. Bunyi klakson beberapa kali
bersahutan dari mereka yang tidak sabar menunggu. Suara yang sempat
menenggelamkan suara penyanyi jalanan yang melantunkan lagu Yogyakarta milik
Kla Project diiringi petikan gitarnya sendiri. Gadis manis ini masih sibuk
meniup gelas besar susu jahenya yang tak juga kunjung dingin. Pemuda di
hadapannya asyik mengamati bangunan klasik sebuah cafe, gabungan konsep
bangunan tradisional Jawa dan gaya khas Eropa. Sebatang rokok menyala terjepit
telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Naluri arsiteknya pasti sedang
tertarik dengan bangunan yang paling mencolok dari beberapa bangunan lainnya
itu. Dihisapnya dalam-dalam asap dari bakaran tembakau itu, ia endapkan di
rongga dadanya sebelum ia hembuskan kembali lewat hidung dan mulutnya yang
membulat.
Ify menghela nafas samar,
setelah sebelumnya ia tahan karena mencoba menghindari kepulan asap beracun
yang dihembuskan Rio dengan enaknya memenuhi paru-parunya. Dibalik semua
kelebihannya, di belakang semua kedewasaannya. Rio punya hal yang paling
dibenci Ify, ia perokok berat. Sudah hampir jenuh rasanya ia mengingatkan
pemuda itu untuk berhenti, namun nampaknya sia-sia. Tapi Ify belum menyerah.
“mas, kapan mau berhenti
ngerokok?” tanya Ify. Pertanyaan yang lebih terdengar memerintah. “nggak ada
dampak positifnya tahu. Setiap batangnya bisa mengurangi waktu hidup mas.”
Cercanya. Rio tersenyum simpul. Gadis ini nampaknya belum menyadari jika ia
sudah mulai mengurangi kebiasaan buruknya itu, walaupun belum bisa ia
tinggalkan. Bergaul dengan berbagai kalangan membuatnya terjerat. Masih
beruntung hanya rokok yang membuatnya kecanduan.
“belum ada alasan buat aku
bertahan lebih lama.” Seloroh Rio sambil menekan ujung rokoknya yang tinggal
sedikit ke asbak. “umur yang tahu cuma Tuhan.” Lanjutnya ringan.
“Ozy sama ibu kamu belum cukup?”
“sebanyak-banyaknya rokok yang
aku pakai, kalau diakumulasi masih cukup buat aku bertahan sampai Ozy dewasa
dan bisa jaga mama.”
“aku?” tanya Ify takut.
Beruntung pendar cahaya petromax yang menjadi penerang utama mereka mampu
menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“maksud kamu?”
Mendengar pertanyaan Rio
barusan, hal terbesar yang ingin dilakukan Ify saat ini adalah melepas
sepatunya dan melemparkan pada pria bodoh di hadapannya. Ia sudah berbicara
terang-terangan, bukan hanya kode yang sulit ditebak maksud di baliknya.
“mas Rio, aku sayang sama mas.”
Suara lembut Ify sukses membuat Rio tertegun. Belum saatnya rasa itu muncul di
permukaan. Tapi ia juga tahu sama sekali Ify tidak bersalha, tokh hatinya pun
melonjak girang dengan dengan pengakuan itu. Pemuda tampan itu menghela nafas.
Diraihnya lagi kotak rokok yang setia teronggok di hadapannya, ia selipkan
sebatang di antara bibirnya, kemudian ia bakar ujungnya.
“apa yang kamu harapkan?” tanya
Rio. Tak ada gejolak emosi sama sekali dari manapun, tidak dari nadanya
berbicara, tidak dari raut wajahnya, bahkan tidak dari matanya.
“kamu punya rasa yang sama.”
“harapanku, aku bisa bahagiain
kamu sepenuhnya, terserah rasa yang aku simpan ini kamu punya juga atau
enggak.”
Tubuh Ify rasanya sulit untuk
digerakkan. Membatu. Otaknya tak mau bekerja, bahkan untuk mengendalikan
nafasnya sekalipun. Apa lagi untuk menjabarkan kata-kata Rio barusan. Dunia
berhenti sejenak. Suara deru kendaraan dan musisi-musisi jalanan tak mampu ia
dengar, hanya helaan nafas teratur dari pria yang selalu menjadi objek pemikirannya.
“aku belum bisa lakuin itu
sekarang.”
Satu-satunya yang Ify pahami
saat ini adalah, Rio tak menginginkan hubungan apapun dengannya saat ini dari
apa yang baru saja pria itu ucapkan.
“kenapa?” dengan air mata yang
mulai menggenangi kelopak, suara yang keluar dari bibir Ify terdengar bergetar
menahan tangis. Rio tersenyum kecil. Bukan ia tega melihat Ify menangis, namun
kumpulan air mata yang terbendung itu menggambarkan cinta gadis itu yang begitu
meluap dan semampunya ia tahan. Ify tak suka menangis. Luar biasa jika akhirnya
bulir-bulir bening itu hadir untuknya. Gadis itu terlalu kokoh untuk ia
sejajarkan dengan gadis lain seusianya.
“aku nggak pinter akting buat
pura-pura nggak kenal sama kamu, jadi jangan bikin malu.” Desis Rio setelah
melengkungkan tulang punggungnya agar lebih dekat dengan Ify dan pembicaraannya
tidak didengar orang lain. Beruntung suasana sekitar meraka sedikit sepi malam
ini.
Kedua tangan Ify terkepal rapat,
bahkan ia bisa merasakan kuku-kukunya mencoba menembus kulit telapak tangannya.
Ia mencoba tertawa. Tawa yang bercampur dengan isakan. Ia sadar masih Rio
terlalu tinggi untuk ia gapai.
“kita pulang.” Lanjut Rio
setelah menormalkan posisinya, meninggalkan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah
di bawah gelas jahe panas yang telah tandas ia tegak.
Ify mengekor di belakang Rio
dengan tangan kiri digenggaman lembut tangan kanan Rio. Tangan kokoh dengan
guratan-guratan nyata pembuluh darah balik di sekitarnya, mempertegas kesan
maskulin pria ini. Air mata yang sedari ditahannya leleh. Rio ada untuknya, ia
bisa merasakan sentuhan pria itu, tapi semua masih seperti mimpi. Apa yang dia
lihat, apa yang ia sentuh, apa yang ia pegang, bukan miliknya. Beruntung ia berjalan
di sela keramaian yang tidak seorangpun memperhatikannya. Rio merasakan setetes
air jatuh di punggung tangannya. Hangat. Sakit sekali rasanya. Bukan dibagian
yang basah oleh air tadi. Tetapi ulu hatinya. Satu-satunya yang ia inginkan
adalah kebahagiaan Ify, bukan air mata seperti ini. Tapi ia lelaki. Jika janji
ini tak bisa ia tepati, bagaimana ia bisa berpegang pada setianya. Tangannya
semakin erat menggenggam tangan mungil gadis yang juga tinggal di hatinya.
Menyalurkan sedikit kekuatan yang ia punya. Tanpa berpaling. Ia biarkan gadis
manis itu menangis.
********
to be continue.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar