Minggu, 13 Januari 2013

The Time For Love part 1

semacam project cari kerjaan. oke. itu masalah gue hahaha.... :|
dibalik judul yang alay mampus ini. ceritanya agak dewasa sih, tapi bukan "dewasa". if you know what i mean... baca aja deh biar ngerti (?)
cerpen ini inspirasinya beberapa lagu. jadi ya maap aja kalo kesannya dipaksain. alurnya sengaja dibikin berantakan, makanya baca waktu dan tempatnya. okay, baby? just enjoy it. :)


Yogyakarta, 06 Januari 2012. 17:25 WIB

Kota kecil ini masih sama, masih eksotis. Menjanjikan sejuta pesona ditengah bau magis yang menguar kental. Aroma yang seakan menjadi pelet untuk setiap orang yang datang padanya untuk selalu kembali. Hiruk pikuk di dalamnya juga tak berubah setelah lima tahun ia tinggalkan. Setiap sudutnya masih menawarkan keramahan.

                Angkringan Kopi Jos, kaki lima khas Jogja di ujung jalan Mangkubumi itu juga masih sama. Tukang becak yang juga masih setia berjajar menawarkan jasanya. Langkahnya masih belum mau berhenti, belum juga lelah. Angannya masih sibuk berdansa dengan gumpalan rindu yang menggebu, merapalkan bait-bait cinta yang masih belum lekang. Menelusuri jejaknya kembali mencari sesuatu bagian yang kepingannya masih setia ia bawa hingga sekarang. Gadis manis itu. Gadis yang selalu menjadi angannya.

                Tak terasa langkahnya baru berhenti di ujung jalan Malioboro. Ada sebuah warung makan kaki lima yang membuatnya tak akan pernah bisa lupa untuk sebuah cerita yang tercipta di sana.

                “mas Rio, aku sayang sama mas.” Suara lembut itu kembali terngiang di teliganya di sela lagu Yogyakarta milik Kla Project yang dimainkan beberapa orang musisi jalanan. Sama seperti waktu itu. Salah satu keistimewaan kota ini, banyak seniman yang memilih jalanan sebagai panggung kreasi mereka, tak membiarkan budaya yang tertanam pada tanah mereka tergerus begitu saja. Suasanya yang semakin menggiring pikirannya untuk menebak, masihkah semuanya sama?

                Lelah –bukan fisik-, pria itu merogoh saku celana jeans hitamnya, mengeluarkan ponsel dan menggerakkan jempolnya di atas layar, berselancar mencari sebuah kontak. Setelah menghembuskan nafas perlahan, ditempelkan benda canggih itu ke telinganya. Terdengar nada sambung berkali-kali yang justru seolah semakin mengkomandoi keserahannya untuk bekerja lebih semangat lagi.

                “hallo!” sapa suara berat di ujung sana.

                “gue udah di Malioboro.” Jawab pria tadi tanpa mengindahkan pembukaan lawan bicaranya karena ia sudah yakin benar sedang ada di line dengan orang yang ia tuju.

                “tunggu, gue sampai lima belas menit lagi.”
               
                Terdengar nada putus sambungan yang panjang. Cuih! Sahabatnya itu bisa sampai dalam setengah jam saja rasanya sudah bersyukur mengingat kebiasaanya yang selalu lambat jika bergerak, turunan Jogja dari ibunya itu benar-benar membuatnya memengang teguh peribahasa “alon-alon waton kelakon” atau bahasa gaulnya slow but sure. Belum dihitung jika si Rambo, mobil VW Combie kesayangan sahabatnya itu rewel.

                “mas, ronde-nya satu.” Pesan pria tadi pada pedagang yang sedang lewat di sebelahnya. Tak perlu menunggu lama pesanannya datang. Mangkuk kecil beralaskan lepek yang berwarna senada terulur di hadapannya. Bau jahe yang kuat dari sana membuat dinginnya malam sedikit terkabur. Satu, dua, tiga, empat lagu sudah dimainkan kelompok musisi jalanan tadi, wedang rondenya juga sudah tandas saat seorang laki-laki jangkung menepuk bahunya dengan sebuah senyum innocent, ia tidak sendiri, ada seorang wanita cantik di sampingnya, sedang menggedong seorang bayi perempuan berpipi bulat putih seperti bakpao, lucu sekali.

                “dua puluh lima menit, lumayan lah.” Seloroh pria yang menunggu tadi setelah melirik jam di tangan kirinya. Namun setelahnya ia berhambur memeluk sahabat yang juga ia rindukan itu. Lima tahun. Pemuda tampan nan selengekan itu sudah bermetamorfosis menjadi seorang pria yang juga masih selengekan. “apa kabar, Riko Anggara? Gue kangen parah sama elo!” lanjutnya setelah melepaskan pelukannya.

                “baik, luar biasa baik, Pak Rio Haling!” jawab Riko, si lawan bicara sambil mengamati Rio –pria tadi- dari ujung jambul hingga pangkal sneakersnya. Tak ada yang berubah. Dasar pemuda! “kenalin ini Ashilla, ini peri kecil gue, Ara.”
               
                Rio mengulurkan tangan kanannya di hadapan Ashilla sambil tersenyum. “Rio.” Ucapnya kemudian mencubit pelan pipi Ara. “lucu banget anak elo, Ko!” serunya sambil mengambil alih menggendong bayi mungil itu.

                “tahu deh yang udah kepengen.”
               
                “nyindir..” dengus Rio. Riko, dan Shilla yang sudah diceritakan tentang Rio tertawa lepas.

******
               
Mobil antik itu melaju membelah jalanan kota Jogja yang selalu menjadi lebih luar biasa di malam hari. Jajaran lampu temaram di pinggiran jalan yang terus melambai pada setiap yang datang untuk tidak lagi pergi. Pasrah saat akhirnya tertinggal di belakang orang-orang yang tetap tak acuh. Seperti kenangan yang kini semakin cepat berputar di otak pemuda tampan ini.

                Tentangnya. Gadis itu. Alamat untuk gunungan rindu yang kian membuncah, yang meluap tak mampu lagi ia tampung. Ia yang selalu menari indah di setiap matanya terpejam. Ia, alasannya kembali menyongsong kenangan itu.

******

Yogyakarta, 11 Januari 2006.

                Sebuah pertemuan selalu menjadi prolog sebuah cerita kehidupan, walaupun tak juga ada yang bisa digambarkan dari sana. Tak juga membawa pencerahan untuk apa yang akan terjadi nanti. Namun pertemuan selalu menjadi pondasinya.

                Ify duduk di ruang tamu rumahnya dengan bibir yang mengerucut, wajah yang ditekuk-tekuk seperti cucian baru kering. Keputusan sepihak ibunya untuk mencarikannya guru les privat mengingat nilai rapornya semester lalu yang kebakaran yang kini menjadi permasalahan. Sedang Ify tahu, selera guru les ibunya itu jauh dari kriterianya. Guru lesnya sewaktu SD dulu, bu Mariam, orangnya galak setengah mati. Entah bagaimana caranya, Ify harus mengerti dengan apa yanng beliau jelaskan. Suram. Guru lesnya SMP, bukannya menjelaskan, malah dia sendiri yang bingung ketika Ify bertanya tentang sebuah materi yang rumit. Tidak kompeten.

                Sudah lebih lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Teh hangat yang sudah ia sediakan pun mulai dingin. Membuat pikiran negatifnya semakin membumbung. Pasti guru les kali ini tak jauh beda dengan yang dulu-dulu. Ify membayangkan perawakan guru lesnya kali ini tambun, perut buncit, sudah mulai ubanan, ditambah sifatnya yang saklek, galak, menyebalkan, sekaligus membosankan.

                “permisi..” suara serak-serak basah yang menghancurkan lamunan Ify. Sosok yang sangat berseberangan dengan apa yang Ify bayangkan barusan. Pemilik suara itu adalah seorang pria muda dengan tinggi nyaris seratus delapan puluh centimeter. Badannya tegap atletis dibalut kemeja warna abu-abu yang dipadu dengan jeans hitam panjang. Rambutnya yang dicukur model spyke terlihat berantakan, namun justru menguatkan kesan maskulin pemuda itu. Wajahnya...... yakin dapat membuat Cinderella perpaling hati karena pangerannya pun kalah tampan. Sepasang matanya, menatap tegas bagai ujung belati. Luar biasa.

                “permisi..” sapa pemuda itu sekali lagi. Dengan suara yang lebih keras.

                “ah.. iya.” Jawab Ify gelagapan. Ia segera berdiri menyambangi pemuda tadi sambil menyelipkan sejumput rambutnya yang jatuh dari ikatan ke belakang telinga kanan, penyamar kesalahtingkahannya. “mas, sales ya?!” tuduhnya dengan sangat yakin. Tas ransel yang disandang pemuda yang berdiri di mukanya dan paper bag bergambar logo sebuah pusat perbelanjaan menjadi alibinya.

                Pemuda tadi melongo. Dengan gerakan samar ia menggeleng. Nyaris kehabisan kata-kata karena tuduhan pertama yang datang padanya. “benar ini rumah ibu Juwita?” tanyanya tak mengindahkan tuduhan Ify.

                “iya.” Sekali lagi, Ify memindai pamuda di hadapannya dari ujung jambul sampai ujung sneakersnya. “tapi ibu saya sedang pergi, kalau mau promosi kapan-kapan saja.” Lanjutnya masih kukuh dengan dugaannya jika pria ini adalah seorang sales. Sekalipun sales seganteng ini, Ify tak mau ambil resiko jika kejadian yang menimpa tetangga kompleksnya yang mengalami perampokan oleh seorang yang mengaku sebagai sales terjadi pada keluarganya. Terlebih ia hanya sendirian di rumah.

                Bahu kokoh pemuda tadi luruh bersamaan dengan dengusan nafasnya. Sedikitpun ia tak membayangkan jika karier pertamanya sebagai guru les privat akan disambut dengan tuduhan sebagai Sales Promotion Boy dan tatapan penuh kecurigaan dari gadis di depannya ini. “saya bukan sales, mbak. Saya guru privat anak ibu Juwita.” Jelasnya mencoba bersabar.

                Mata Ify membulat penuh mendengar suara pemuda itu. Kalau ada suara yang bisa menyaingi merdunya suara bel istirahat sekaligus penanda pelajaran Matematika pak Tugiyo telah usai, suara laki-laki ini jawabannya. Apa tadi? Guru privat anaknya ibu Juwita? Dari tiga orang anak ibu-ibu bawel itu, yang pertama namanya Septian, sudah hampir lulus sarjana kedokterannya, yang bungsu, namanya Deva, leak itu terlalu jenius untuk membuat sang ibu mau merogoh koceknya untuk membayar guru les. Satu-satunya yang tersisa adalah anak tengan bu Juwita, putri semata wayang, Ify Umari. Dan saat ini juga, Ify ingin berlari keluar ke masjid yang ada di ujung kompleks untuk sekedar meminjam toa dan mengumumkan jika ia sangat bahagia hari ini.

                “benar ini rumah ibu Juwita?” tanya pemuda tadi. Tak habis ia heran dengan ekspresi lawan bicaranya kali ini. Melamun, menuduhnya sebagai sales sekaligus dengan tatapan seolah dirinya adalah maling, dan sekarang senyum-senyum sendiri.

                Gadis itu mengangguk mantab sambil mempersilahkan pemuda yang ternyata adalah guru lesnya itu masuk.

                “maaf, saya tadi sempat nyasar.” Ucap si pemuda sambil mengangguk sopan, berusaha menyembunyikan keheranannya. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaan saat ini. Sekali lagi Ify hanya mengangguk sambil mendudukkan diri di samping guru lesnya.

                “nama mas siapa?” tanya Ify. Dengan ekspresi paling normal pertama yang berhasil ia suguhkan pada lawan bicaranya.

                “Rio.” Jawab pemuda tadi singkat, sambil meletakkan ransel yang digendongnya.

                “aku Ify. Mas tinggal dimana? Kuliah atau kerja?” interogasi gadis itu.

                “aku kost di deket Monjali. Masih kuliah.”

                “dimana? Jurusan apa? Semester berapa?”

                Rio mengrenyitkan dahi. Kembali heran. Jika seharusnya ada yang banyak bertanya di sini, dia lah orangnya. “UGM. Arsitektur. Semester 9.” Tak urung pertanyaan itu tetap dijawabnya.

                Rio setahun lebih tua dari Septian. Simpul Ify. Sambil mengangguk-angguk seperti detektif yang baru saja menemukan petunjuk untuk kasus besar yang tengah ditanganinya. Apa tadi? Arsitektur? Ia tak salah dengar. Berarti yang dihadapannya ini seorang calon arsitek –yang sangat tampan-. Tiba-tiba Ify memekik hingga telinga Rio berdengung. Pemuda itu beringsut mundur, kalau-kalau akan ada agresi kedua.

                Sambil menepuk-nepuk bahu Rio, seperti seorang ibu yang dibawakan sebuah piala besar hasil lomba yang dimenangkan anaknya, Ify melayangkan banyak pujian untuk guru pilihan mamanya kali ini.

                “bisa kita mulai belajar?” tanya Rio dengan rasa heran yang semakin membumbung. Gadis yang “unik”. Pikirnya.

                Pertemuan pertama. Selalu menjadi gerbang untuk sebuah kisah. Gerbang yang tak pernah berpindah letak dalam ingatan. Dengan setiap detail yang selalu memukau untuk ditengok.

*******

Malioboro, 16 Desember 2006. 15:35 WIB

                Gadis manis, berdagu tirus dan berhidung bangir. Rambut panjangnya sengaja diwarnai cokelat tua diikat ekor kuda asal-asalan, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajah ayunya. Tanpa make up. Tak takut kotor bergelut dengan jutaan debu di udara. Kemeja hitam polos yang tak dikancingkan satu pun terbang karena hembusan angin yang dibawa kendaraan yang hiruk-pikuk di jalanan. Memamerkan you can see putih di dalamnya yang dipadu dengan jeans belel abu-abu pendek dan sepatu keds dengan warna senada. Sederhana, apa adanya namun tetap menarik. Terkhusus untuk pemuda yang berdiri di sampingnya, yang nampak kontras berdiri tegak dengan kemeja kotak-kotak merah-hitam dan jeans hitam panjang, lengkap dengan sepasang sneakers putih.

                Asyik dengan kameranya, membidik setiap sudut yang ia anggap menarik. Tak peduli pada pemuda yang setia menemaninya. Tak acuh dengan beberapa siulan usil beberapa pemuda yang kebetulan lewat di dekatnya. Yang penting hobinya tersalurkan.

                “aku dibayar ibu kamu bukan buat nemenin kamu foto-foto loh, Fy.” tegur si pemuda yang nampak sudah bosan diabaikan. Nama gadis itu Ify, nama yang tak kalah manis dari parasnya.

Gadis tadi memamerkan deretan gigi depannya, nyengir kuda. “nanti aku traktir blackforest sama hot chocolate deh, Mas.” Rayunya. Pemuda tadi mendengus pasrah, gadis ini keras kepala. Mau sampai seperti apa ia mengingatkan pasti tetap metah.

“lima belas menit lagi.” Ucap si pemuda sambil mengetukan jari telunjuk pada arloji yang melingkari tangan kirinya.

“mas Rio emang the best!” pekik Ify kegirangan sambil berjingkat mencubit gemas pipi pria yang jauh lebih tinggi darinya itu. Kembali gadis itu asik mengambil gambar, seorang ibu penjual jamu yang masih berkebaya, menunggu dagangannya sambil bercengkerama dengan anak kecil berusia sekitar lima tahun, kemungkinan besar putrinya berlatarkan gedung klasik Bank Indonesia. Cukup lama Ify mengambil dari sudut itu. Gadis itu sangat tertarik.

“Time’s up!” ucap Rio sambil menjentikkan telunjuk dan jempolnya tepat di depan lensa kamera Ify. Tak ada toleransi lagi kali ini. Digenggamnya tangan gadis itu dan ia pandu menuju mobil sedan yang terparkir tak jauh dari tampat mereka berdiri tadi. Dan kali ini Ify pun sudah pasrah. Rio pria yang pengertian, dan sekaligus tegas khas seorang laki-laki dewasa yang selalu ia dambakan.

*******

Arthemy Cafe. 17:30 WIB

                Barisan shaft lambang integral di buku tulisnya benar-benar membuat kepala Ify pening, belum lagi deretan panjang aljabar di belakangnya. Sesuatu yang selalu ia cari korelasinya dengan kehidupan, dan belum sama sekali ia temukan. Satu-satunya yang membuatnya bertahan untuk tidak memuntahkan isi perutnya adalah kemampuan Rio mengerjakannya, coret sana, coret sini. Magic. Kelihatannya sangat mudah. Namun sudah berkali-kali Ify mencobanya, tetap saja ia mencoret bilangan yang salah, satu-satunya yang ia paham adalah semua bilangan itu harus dicoret [baca: dihapuskan dari muka bumi].

                Rio mengerti. Hanya akan membuang tenaga saja untuk terus mengajari muridnya ini karena ia nampak begitu lelah. Ditutupnya buku tulis Ify. Toh sepertinya sudah cukup materi untuk hari ini. Tangan kokohnya meraih kamera Ify yang tergeletak di atas meja, sementara gadis itu asyik menikmati rainbow ice cream pesanannya. Layar itu memampangkan seorang anak laki-laki dengan gitar usang sedang menyeka peluh di keningnya, anak sekecil itu seharusnya baru berpeluh karena bermain, bukan melawan matahari untuk terus melanjutkan hidupnya, seharusnya masih nilai bagus di sekolah yang ia buru, bukan kepingan rupiah. Rio tersenyum miris, di sela ketersimaannya pada pandangan sosial gadis di hadapannya. Satu persatu foto terpampang: sampah-sampah yang teronggok tak jauh dari sebuah plang bertuliskan “DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI AREA INI” dengan huruf kapital semua, dengan ukuran yang besar. Sepertinya angka buta huruf meningkat. Ada foto seorang bapak-bapak berpakaian safari rapi, menyeberang beberapa meter saja dari zebracross, bukan tepat di atas garis hitam putih itu. Orang penting yang tidak cerdas, sepertinya. Alangkah lucunya negeri ini.

                Satu gambar yang menarik perhatian Rio adalah gambar terakhir yang diambil Ify. Seorang ibu penjual jamu dan anaknya. Ia tak dapat menafsirkan maksud Ify mengambil gambar ini. “ini maksudnya apa?” tanyanya memecah suara gending Jawa yang selalu dimainkan di cafe itu. ia mengangsurkan kamera yang dibawanya pada Ify.

                Gadis itu tersenyum kecil, kemudian menggedikan bahunya. Ia hanya tertarik pada ibu itu dan rutinitasnya pada awalnya. “perempuan Indonesia selalu mempesona.” Simpulnya setelah beberapa waktu mencermati gambar itu, mencari tahu mengapa ia tertarik.

                “lagi muji diri sendiri?” seloroh Rio kemudian tertawa kecil. Jari-jarinya sibuk mengaduk mug berisi cokelat panas yang sudah mulai mengendap.

                “sedikit.” Sambil tertawa kecil Ify menjawab. Jemari lentik gadis itu kembali menyendok es krim. Menyesap kembali rasa stoberinya. “aku cuma beruntung dilahirkan di tanah yang sama. Ibu tadi contohnya, yang ikut menyangga rumah tangga tanpa lupa kodrat untuk anaknya.”

                Rio tersenyum simpul. Gadis ini lima tahun lebih muda darinya. Masih kelas tiga SMA. Murid lesnya. Tapi pemikirannya luar biasa. Oke. Kecuali soal Matematika. Ia mampu mengimbanginya yang sedang menempuh semester akhir untuk meraih gelar sarjananya.

                “Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu. Mereka bahkan bisa melakukan apa yang bahkan nggak banyak laki-laki di jamannya bisa buat.” Ify memulai mengabsen tokoh-tokoh yang ia kagumi betul. “Sri Mulyani yang jadi direktur pelaksana World Bank, Siti Fadilah Supari yang berhasil menemukan vaksin flu burung di jaman sekarang.” Kedua mata gadis itu berbinar.

                “and the point is your hair.” Sentak Rio yang mengaburkan lamunan Ify. “warna rambut hitam wanita Indonesia itu poin keanggunannya.”

                “mas Rio..” dengus Ify tak minat. Sudah berkali-kali Rio melayangkan protes untuk keputusannya mengecat rambut. Protes halus yang mematikan di sela topik bagus seperti ini. Rio tak pernah dengan arogan dan otoriter memerintahnya. “nasionalisme aku nggak akan luntur cuma gara-gara berubah warna rambut.” Lanjutnya. Nada khas saat gadis itu bicara, merayu manja.

                Rio paling tak suka dipanggil dengan embel-embel mas. Baru Ify yang ia ijinkan, bahkan Ozy, adik semata wayangnya pun tidak. Ada nada yang berbeda saat gadis itu melafalkan sebutan itu. Seksi. Eksotis yang menggoda.
                               
“mas..”
               
“hmm..”
               
“jangan bilang ibu kalau seharian kita hunting foto ya?” pinta Ify memelas.
               
“nggak gratis.”
               
“apa syaratnya?”
               
“nilai ulangan Matematika kamu minimal 85.” Balas Rio ringan sambil masih tenggelam dengan gambar-gambar menawan hasil jepretan Ify hari ini. Kedua mata gadis itu membulat, bisa memenuhi nilai ketuntasan minimal saja sudah sangat bersyukur, sekarang bagaimana caranya ia bisa mencapai nilai delapan puluh lima? Sekali lagi delapan puluh lima. Dan kenapa harus Matematika?
               
“jangan 85...” Ify masih menawar. Rio mengalihkan pandangannya pada Ify. Dengan wajah begitu tenang, bibirnya tidak bergerak. Namun sepasang mata elang itu mengatakan semuanya. Cukup jawaban iya, tak ada pilihan lain. Dan itu lah istimewanya Rio, tak banyak bicara dengan mulut, tapi matanya seakan bisa berbahasa mengungkapkan apa yang ia rasa dan ia mau. Ify mendengus dan mengangguk pasrah.
               
Sampai saat ini Ify masih tak mampu berpikir bagaimana semesta berkonspirasi dengan ibundanya untuk mempertemukannya dengan Rio setahun lalu sebagai guru les matematikanya. Rio berasal dari satu daerah di Sulawesi Utara, menuntut ilmu di kota pelajar ini. Teknik Arsitektur, Universitas Gadjah Mada. Saat itu sebagai seorang anak kost Rio membutuhkan biaya tambahan untuk KKN dan salah satu temannya menawarkan jasanya pada ibunda Ify. Yang jelas, ia berterima kasih banyak atas semua itu.

                “tahun baru ini mas pulang?” tanya Ify kemudian sambil menyerobot cokelat Rio yang kini sudah dingin dan hanya tersisa sedikit hingga tandas kemudian ia letakkan kembali. Rio terkekeh, kebiasaan yang paling aneh dari gadis ini adalah menghabiskan cokelat minumannya jika sudah hampir habis, memang lebih enak karena butiran-butiran kakao yang mengendap. Kemudian ia menggeleng sebagai jawaban.

                “kanker.” Ucapnya singkat. Ify hanya mengangguk paham. Berusaha bersikap wajar, menyembunyikan sorakan hatinya. Membayangkan jika tahun baru ini akan menjadi tahun baru paling ia tunggu.

*******

Rumah Ify, 20 Desember 2006. 16:30 WIB
               
Berkali-kali Rio melihat jam yang bertengger di dinding ruang tamu rumah Ify. Sekedar untuk membunuh waktu. Sudah lebih satu setengah jam dari waktu biasa ia datang untuk mengajar gadis itu. Dan tak biasanya Ify pulang telat tanpa memberinya kabar. Secangkir teh yang tadi panas mengepulkan asap yang meliuk-liuk indah, kini teronggok biasa saja hingga dingin, belum sedikitpun ia sentuh. Resah itu menjalari hatinya, tak bisa ia tepikan.
               
“Ify pulang!!” seru Ify setelah membuka pintu, masih lengkap dengan seragam putih abu-abunya. Dengan seorang cowok dalam gandengan tangan kanannya yang juga masih berseragam.

                “darimana?” sahut Rio tenang. Ia tahu Ify belum menyadari keberadaannya. Gadis itu menepuk keningnya, melupakan jika seharusnya hari ini ia belajar dengan Rio, seperti biasanya. Tak ada nada marah dari pertanyaan Rio, tapi tetap seperti biasa, Ify bisa merasa segan dan merasa bersalah mendengarnya.

                “emm.. maaf, mas.” Ucap Ify sambil menunduk, ia mengigit bibir bawahnya. Matanya hanya tertuju pada ujung sepatu keds yang ia mainkan. Gandengannya pada cowok yang ikut bersamanya ia lepas.

                “kenapa minta maaf?” nada yang masih sama. Untuk Ify akan lebih baik jika ia dimarahi habis-habisan daripada harus mendengarkan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan dari Rio seperti ini. Setidaknya ia merasa lega karena sudah mendapat hukuman atas kesalahannya, bukan hanya kesalahan yang ia harus tanggung dalam hati. “buku rumusnya. Aku harus bimbingan skripsi.” Ucap Rio sambil mengulurkan sebuah buku seukuran kamus saku yang kemarin ia janjikan pada Ify, setelah membereskan beberapa lembar kertas yang kemudian ia masukan ke dalam ranselnya.

                “duluan ya!” pamit Rio sambil menepuk bahu teman laki-laki Ify tadi. Bibirnya tersenyum tulus. Matanya sempat melirik bedge yang mencetak nama cowok itu. Gabriel Stevent. Ia bukan laki-laki kemarin sore yang tidak bisa membaca senyum dan sorot mata Gabriel yang menyimpan sesuatu untuk Ify. Dan yang lebih telak menyentil hatinya adalah, Ify selalu bercerita dengan siapapun ia dekat, cowok mana saja yang sedang mendekatinya. Walaupun cukup banyak, mengingat Ify memang cantik, baik, menarik, dan mudah bergaul, Rio dapat mengingat semuanya satu-persatu. Tak ada nama Gabriel di sana.

*******

Universitas Gadjah Mada, 21 Desember 2006. 09:00 WIB
               
Cowok bertubuh tegap ala angkatan ini memandangi sahabatnya prihatin. Rio yang memang pendiam, kini lebih merajalela. Mungkin berapa patah kata yang ia keluarkan sejak pagi masih dapat di hitung dengan jari. Padahal seharusnya ia sedang bergembira karena skripsinya sudah tembus dan tinggal menunggu untuk sidang.
               
“cewek itu lagi?” dengus Riko tak tahan juga untuk diam. Rio mengangguk jujur. “apa lagi sih yang lo cari?” sekali lagi, tak ada jawaban dari mulut pemuda hitam manis itu, hanya gedikan kedua bahu kokohnya.
               
Riko menghela nafas berat. Ini lah Rio, soal wanita keputusannya tak pernah datang cepat. “lo pikir kenapa Ify masih jomblo kalau nggak nunggu elo? Padahal dia punya segalanya buat ganti-ganti pacar setiap hari.” Ucapnya sambil merangkul Rio, mencoba meyakinkan jika argumennya adalah teori paling benar di dunia. Rio memicingkan kedua matanya, seakan ingin berkata, -sok-tahu-parah-lo-. Dan kali ini cowok berkulit putih itu hanya menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya. “tapi lo serius sayang sama dia?”

Sekali lagi Rio hanya mendengus. Ia yakin sahabatnya ini akan tetap mengerti sekalipun pertanyaan itu tidak ia jawab.

*******

 SMA Pancasila.
               
Gadis manis ini masih asyik tenggelam dalam layar ponselnya, menatapi sebuah pesan singkat yang di dapatinya tadi pagi. Sebaris kalimat manis. Hanya saja bukan dari orang yang paling ia harapkan.

Gabriel:
Selamat pagi, princess. J

                Hal ini yang tak pernah ia dapati dari Rio. Rio tak pernah membawanya main game sampai lupa waktu, dan lupa segala-galanya seperti yang Gabriel lakukan tempo hari, saat Rio menunggunya untuk melakukan kewajiban mengajarnya. Ia tak pernah mendapati nama Rio di pagi hari saat ia membuka mata dan sebelum ia terlelap di malam hari pada layar ponselnya, seperti apa yang dilakukan Gabriel. Angan yang justru membuat hatinya ngilu. Rio yang dewasa kadang ia harapkan bisa mengimbanginya untuk menjadi seorang yang sedang menikmati masa remaja. Sekali pemuda itu mengiriminya pesan paling santer, menanyakan ada kesulitan mengerjakan soal atau tidak jika ia tahu Ify ada ulangan.

                “Fy, nilaimu!” seru Agni, gadis hitam manis teman sekelas Ify sambil meletakkan selembar kertas di meja Ify. Angka sembilan puluh tercetak dengan tinta merah di sudut kanan atas kertas yang nampak bekas dibagi dua ditengahnya itu. Nilai ulangan Matematika Ify.

Senyum cerah terpeta di wajah Ify. Ia berhasil memenuhi janjinya pada Rio. Angka yang juga berhasil mengangkat rasa bersalahnya pada pemuda itu. Ia harus menemui Rio segera dan memperlihatkan hasil jerih payahnya.

*******

14:00 WIB

                Matahari sedang bersemangat menyinari bumi siang ini. Membuat liukan-liukan fatamorgana di atas panasnya aspal jalanan. Ify berdiri di depan gerbang sekolah, berkali-kali melongokkan kepala ke ujung gang, mencari angkutan umum yang tak juga muncul bempernya. Sampai sebuah motor sport berwarna merah menyala berhenti di hadapannya. Gabriel pengendaranya.

                “mau bareng, Fy?” tawar cowok jangkung itu.

                Ify menggeleng sambil tersenyum sebagai penolakan halus. Gabriel mengernyitkan dahi meminta penjelasan. “aku mau pergi dulu, nggak langsung pulang.” Jelas Ify.

                “aku anterin nggak papa deh, kalo naik angkot lama.”

                Gadis manis itu diam, menimbang penawaran Gabriel. Mengingat ia sendiri sudah hampir setengah jam menunggu, akhirnya Ify mengangguk setuju dan kemudian naik ke boncengan cowok itu.

*******

                Rio berdiri dari kursi rotan yang sebelumnya ia gunakan duduk dan meletakkan gitarnya asal-asalan saat mendapati gadis yang sejak beberapa waktu kebelakang menjadi objek pikirannya. Bersama seorang laki-laki yang sama dengan tempo hari. Serbuan rasa nyeri yang menjadi sesak di dadanya, di sela kesadaran jika rasa itu sungguh tak berhak hadir. Seulas senyum coba ia cipta di bibirnya untuk menyambut keduanya.

                “siang mas.” Pekik Ify sambil melompat dari boncengan Gabriel yang masih terpaku, kakinya seolah tenggelam di bumi membuatnya tak bisa bergerak dengan genggaman yang tanpa sengaja semakin erat pada stang motornya. Untuk apa ia ikhlas mengantarkan pujaan hatinya ini untuk bertemu laki-laki lain? Salahnya sendiri tadi menawarkan diri.

                “mampir dulu?” tawar Rio pada Gabirel, dengan tangan kanannya yang sudah digamit manja oleh Ify. Rio sadar jika wajah Gabriel makin memerah. Api yang tidak bisa dipadamkan dengan air manapun, cemburu. Tak enak juga rasanya ada di antara kisah dua remaja ini.

                “makasih.” Jawab Gabriel singkat, walaupun masih terdengar ada gas di suaranya barusan. Rio memperlebar senyumnya kemudian mengangguk menghormati keputusan Gabriel untuk menolak ajakannya. Cowok yang masih lengkap berseragam putih abu-abu itu menarik gasnya dan segera beranjak meninggalkan kos Rio, tempat yang sebenarnya menjadi tujuan utama Ify.

                “cemburu tuh, Fy.” ucap Rio sambil mengusap tengkuknya, tak enak hati.

                “dia yang nawarin sendiri kok.” Sahut Ify tak mau kalah. Ia membanting tubuh mungilnya ke kursi yang tadi Rio gunakan duduk.

                “dasar anak kecil.” gerutu Rio sambil mengambil kembali gitarnya dan duduk pada pagar setinggi panggulnya. Mulai memetik asal gitarnya mengiringi suara desiran angin dan gerombolan dedaunan pohon beringin yang tumbuh di pekarangan depan kos Rio yang terdengar menjadi suara utama di antara mereka berdua.

                “aku udah gede tau!” protes Ify. Bibirnya mengerucut, membuang muka.

When I see you smile..
Ooohh....
You know I can do anything...  

                Lengkingan suara tenor milik Rio melantunkan When I See You Smile milik Bad English. Ini pertama kalinya Ify mendengar Rio bernyanyi secara langsung, walaupun ia pernah mendengar jika Rio pernah bekerja part time sebagai penyanyi cafe, tetap saja ia tak mengira suara cowok jangkung di hadapannya setara malaikat surga. Tanpa diketahuinya, tubuhnya bereaksi di luar kehendak. Partikel-partikel kecil dalam tubuhnya melonjak sana-sini, tak mau lagi terikat satu sama lain. Jika ia adalah bongkahan es, sudah pasti akan mencair dengan segera.

Sometimes I wanna give up
I wanna give in
I wanna quit the fight
And then I see you, Baby
And everything’s alright....

                Nafas Ify terhenti saat sepasang samudra rasa tak berombak yang begitu bening milik Rio terarah lurus ke miliknya. Seperti anak panah yang melesat cepat dari busurnya, menancap tepat di tengah hatinya. Seperti kata cinta yang tersampaikan tanpa melalui barisan kata-kata. Ini lah tatapan pertama yang membawanya terbang menyentuh awang-awang, bergelut dengan lintingan awan. Dan berharap tak ada yang mengingatkannya untuk turun kembali ke bumi.

                Senyum di bibir sewarna buah delima menggembang di wajah tirus Ify bersamaan dengan berhentinya alunan suara Rio dan petikan gitarnya. Sebuah senyum yang begitu saja muncul dari bawah alam sadarnya, memberi penghargaan untuk apa yang baru saja Rio tunjukan padanya.

                “tadi perasaan ada yang manyun, kenapa ya?” sindir Rio, tanpa menatap Ify, asik dengan jajaran senar-senar gitarnya. Dan ini lah Rio, menjatuhkan skak mat untuk Ify yang masih bertingkah seperti sebagaimana anak seusianya tanpa bentakan atau rentetan kata-kata sok puitis. Kali ini semburat merah muda menjalar di pipi Ify.

                “mas bilang aku anak kecil.” jawab Ify dengan tatapan masih terpaku pada ujung sepatu kedsnya yang ia gerakan kiri-kanan.

                “seharusnya bangga dong, awet muda.” Rio tertawa lepas.

                Ify tak memberi tanggapan. Pikirannya melayang. Kalau Rio menganggapnya anak kecil, masihkah ia punya kesempatan untuk menempati hati pemuda yang selalu menjadi poros harinya itu?
               
                “tumben ke sini?” tanya Rio melamurkan pikiran Ify.

                Tanpa menjawab lebih dahulu, Ify merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas dari sana, kemudian ia ulurkan pada Rio. Tangan Rio segera membukanya. Sembilan puluh. Nilai ulangan Matematika Ify. Senyum kecil terukir di wajah hitam manis Rio. Ia yakin Ify bisa. Sifat buruk Ify, suka meragukan kemampuannya sendiri.

                “lebih kan? ada hadiahnya dong!” pinta Ify sumringah. Rio berdiri dari tempat duduknya, berkacak pinggang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengusap dagunya. Nampak serius memikirkan permintaan Ify.

                “kamu mau apa?”

                “jalan!” jawaban persis seperti anak TK yang disuguhi mainan yang paling ia idamkan. Rio mengangguk setuju.

                “tapi masa kamu jalan masih pakai seragam gitu? Bisa dituduh melarikan anak orang nih.” Gerutu Rio sembari menggaruk belakang telinganya yang tentu tidak gatal sebenarnya.

                “pinjem kaos mas. Aku bawa celana.” Tanpa ba-bi-bu, Rio mengajak Ify ke kamarnya, memberikan gadis itu selembar kaos sebelum ia keluar untuk menunggu gadis itu bersiap.

                Ify keluar dengan celana jeans pendek dan kaos kebesaran yang panjangnya hampir menyamai celana ketika Rio tengah menali tali sneakersnya. Rambutnya dikucir ala jin perempuan yang dulu sering mangkal di televisi, memamerkan leher jenjangnya. Sukses membuat ludah di pangkal tenggorokan Rio membeku dan sulit ia telan. Sudah dapat dipastikan, akan banyak lelaki yang menatap penuh dengki padanya sepanjang jalan nanti karena mereka tak seberuntung dirinya.

                “ayo!” ajak Ify. Suara melengking yang membangunkan Rio dari kungkungan pikirannya yang mulai tak terkendali. Pemuda tampan itu mengangguk kemudian berjalan mendahului Ify.

*******

Taman Sari. 17:15 WIB

                Matahari telah lelah mengalirkan cahaya untuk menutupi kemegahannya, terpampang bola kuning telur berhiaskan gradasi warna beralas langit di ufuk barat. Guratan-guratan awan putih menambah kokohnya hasil seni Sang Maha Segala. Menjadi latar barisan lampu-lampu kendaraan yang sedang padat-padatnya setelah jam pulang kerja, dibingkai lampu-lampu rumah penduduk yang juga mulai menyala. Dari tembok tinggi yang masih berdiri kokoh di antara bangunan lain yang sudah menjadi puing-puing.

Cinta adalah misteri dalam hidupku
Yang tak pernah ku tahu akhirnya....

                Suara bariton dari penyanyi dari jalanan yang memang sering menjajakan karya mereka di tempat itu mulai membunuh hening, menyulap suasana damai menjadi romantis. Berpadu indah dengan suara petikan gitar dan seirama dengan pukulan jimbe. Musik yang megah di panggung sederhana, kontras dengan penyanyi-penyanyi yang sekarang mengusai panggung besar dengan suara yang belum cukup layak untuk berdiri di sana.

Ku ingin selamanya menyayangi dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin selamanya ada di sampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku...

                Bibir mungil Ify bergerak mengikuti lagu. Matanya tertuju pada sepasang kakek-nenek yang sedang berpegangan tangan saling menatap penuh kasih. Nampaknya mereka juga yang meminta kelompok musisi jalanan itu menyanyikan lagu indah ini. Rambut mereka sudah memutih keseluruhan. Si kakek sudah sedikit bungkuk, tangan kanannya memegang tongkat untuk membantunya tetap berdiri sedangkan sang nenek wajahnya sudah di penuhi keriput. Namun, mata mereka seakan tak pernah berhenti saling memuji satu sama lain, seakan si kakek adalah laki-laki paling tampan di dunia, dan si nenek adalah wanita paling cantik sejagad. Mencoba mengumumkan pada dunia jika mereka adalah pasangan paling bahagia. Jangan pernah mengucap janji setia jika tak pernah melihat seindah ini lah jika janji itu berbuah.

                “Fy..” panggil Rio yang hampir tersamar dengan hembusan angin. Namun Ify bisa mendengar pemuda itu baru saja melafalkan namanya. Nafasnya tercekat saat Rio menganyam jari-jari kokoh tangan kanannya dengan jemari lentik tangan kirinya. Genggamannya begitu erat dan hangat. Tuhan sedang mengirimkan jawaban mengapa ada ruang kosong di antara jemari, untuk dilengkapi oleh orang yang sudah Ia takdirkan pula. Aliran darah mereka seakan menyatu, dengan sebuah pesan yang Rio kirimkan. Kita akan berdiri di sini lagi, nanti, berdua, dengan keadaan seperti mereka, bunyinya.

                Ify menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang merona merah. Namun dibalasnya genggaman tangan Rio sebagai tanda ia setuju. Senyum lebar terlukis di wajah tampan Rio. Gadis ini alasannya lahir ke dunia.

********

Jalan Malioboro. 19:00 WIB

                Berbagai macam kendaraan seperti antre untuk melewati jantungnya kota Jogja ini. Bunyi klakson beberapa kali bersahutan dari mereka yang tidak sabar menunggu. Suara yang sempat menenggelamkan suara penyanyi jalanan yang melantunkan lagu Yogyakarta milik Kla Project diiringi petikan gitarnya sendiri. Gadis manis ini masih sibuk meniup gelas besar susu jahenya yang tak juga kunjung dingin. Pemuda di hadapannya asyik mengamati bangunan klasik sebuah cafe, gabungan konsep bangunan tradisional Jawa dan gaya khas Eropa. Sebatang rokok menyala terjepit telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Naluri arsiteknya pasti sedang tertarik dengan bangunan yang paling mencolok dari beberapa bangunan lainnya itu. Dihisapnya dalam-dalam asap dari bakaran tembakau itu, ia endapkan di rongga dadanya sebelum ia hembuskan kembali lewat hidung dan mulutnya yang membulat.

                Ify menghela nafas samar, setelah sebelumnya ia tahan karena mencoba menghindari kepulan asap beracun yang dihembuskan Rio dengan enaknya memenuhi paru-parunya. Dibalik semua kelebihannya, di belakang semua kedewasaannya. Rio punya hal yang paling dibenci Ify, ia perokok berat. Sudah hampir jenuh rasanya ia mengingatkan pemuda itu untuk berhenti, namun nampaknya sia-sia. Tapi Ify belum menyerah.

                “mas, kapan mau berhenti ngerokok?” tanya Ify. Pertanyaan yang lebih terdengar memerintah. “nggak ada dampak positifnya tahu. Setiap batangnya bisa mengurangi waktu hidup mas.” Cercanya. Rio tersenyum simpul. Gadis ini nampaknya belum menyadari jika ia sudah mulai mengurangi kebiasaan buruknya itu, walaupun belum bisa ia tinggalkan. Bergaul dengan berbagai kalangan membuatnya terjerat. Masih beruntung hanya rokok yang membuatnya kecanduan.

                “belum ada alasan buat aku bertahan lebih lama.” Seloroh Rio sambil menekan ujung rokoknya yang tinggal sedikit ke asbak. “umur yang tahu cuma Tuhan.” Lanjutnya ringan.

                “Ozy sama ibu kamu belum cukup?”

                “sebanyak-banyaknya rokok yang aku pakai, kalau diakumulasi masih cukup buat aku bertahan sampai Ozy dewasa dan bisa jaga mama.”

                “aku?” tanya Ify takut. Beruntung pendar cahaya petromax yang menjadi penerang utama mereka mampu menyembunyikan wajahnya yang memerah.

                “maksud kamu?”

                Mendengar pertanyaan Rio barusan, hal terbesar yang ingin dilakukan Ify saat ini adalah melepas sepatunya dan melemparkan pada pria bodoh di hadapannya. Ia sudah berbicara terang-terangan, bukan hanya kode yang sulit ditebak maksud di baliknya.

                “mas Rio, aku sayang sama mas.” Suara lembut Ify sukses membuat Rio tertegun. Belum saatnya rasa itu muncul di permukaan. Tapi ia juga tahu sama sekali Ify tidak bersalha, tokh hatinya pun melonjak girang dengan dengan pengakuan itu. Pemuda tampan itu menghela nafas. Diraihnya lagi kotak rokok yang setia teronggok di hadapannya, ia selipkan sebatang di antara bibirnya, kemudian ia bakar ujungnya.

                “apa yang kamu harapkan?” tanya Rio. Tak ada gejolak emosi sama sekali dari manapun, tidak dari nadanya berbicara, tidak dari raut wajahnya, bahkan tidak dari matanya.

                “kamu punya rasa yang sama.”

                “harapanku, aku bisa bahagiain kamu sepenuhnya, terserah rasa yang aku simpan ini kamu punya juga atau enggak.”

                Tubuh Ify rasanya sulit untuk digerakkan. Membatu. Otaknya tak mau bekerja, bahkan untuk mengendalikan nafasnya sekalipun. Apa lagi untuk menjabarkan kata-kata Rio barusan. Dunia berhenti sejenak. Suara deru kendaraan dan musisi-musisi jalanan tak mampu ia dengar, hanya helaan nafas teratur dari pria yang selalu menjadi objek pemikirannya.

                “aku belum bisa lakuin itu sekarang.”

                Satu-satunya yang Ify pahami saat ini adalah, Rio tak menginginkan hubungan apapun dengannya saat ini dari apa yang baru saja pria itu ucapkan.

                “kenapa?” dengan air mata yang mulai menggenangi kelopak, suara yang keluar dari bibir Ify terdengar bergetar menahan tangis. Rio tersenyum kecil. Bukan ia tega melihat Ify menangis, namun kumpulan air mata yang terbendung itu menggambarkan cinta gadis itu yang begitu meluap dan semampunya ia tahan. Ify tak suka menangis. Luar biasa jika akhirnya bulir-bulir bening itu hadir untuknya. Gadis itu terlalu kokoh untuk ia sejajarkan dengan gadis lain seusianya.

                “aku nggak pinter akting buat pura-pura nggak kenal sama kamu, jadi jangan bikin malu.” Desis Rio setelah melengkungkan tulang punggungnya agar lebih dekat dengan Ify dan pembicaraannya tidak didengar orang lain. Beruntung suasana sekitar meraka sedikit sepi malam ini.

                Kedua tangan Ify terkepal rapat, bahkan ia bisa merasakan kuku-kukunya mencoba menembus kulit telapak tangannya. Ia mencoba tertawa. Tawa yang bercampur dengan isakan. Ia sadar masih Rio terlalu tinggi untuk ia gapai.

                “kita pulang.” Lanjut Rio setelah menormalkan posisinya, meninggalkan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah di bawah gelas jahe panas yang telah tandas ia tegak.

                Ify mengekor di belakang Rio dengan tangan kiri digenggaman lembut tangan kanan Rio. Tangan kokoh dengan guratan-guratan nyata pembuluh darah balik di sekitarnya, mempertegas kesan maskulin pria ini. Air mata yang sedari ditahannya leleh. Rio ada untuknya, ia bisa merasakan sentuhan pria itu, tapi semua masih seperti mimpi. Apa yang dia lihat, apa yang ia sentuh, apa yang ia pegang, bukan miliknya. Beruntung ia berjalan di sela keramaian yang tidak seorangpun memperhatikannya. Rio merasakan setetes air jatuh di punggung tangannya. Hangat. Sakit sekali rasanya. Bukan dibagian yang basah oleh air tadi. Tetapi ulu hatinya. Satu-satunya yang ia inginkan adalah kebahagiaan Ify, bukan air mata seperti ini. Tapi ia lelaki. Jika janji ini tak bisa ia tepati, bagaimana ia bisa berpegang pada setianya. Tangannya semakin erat menggenggam tangan mungil gadis yang juga tinggal di hatinya. Menyalurkan sedikit kekuatan yang ia punya. Tanpa berpaling. Ia biarkan gadis manis itu menangis.

********
                
                    to be continue.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar