Minggu, 24 April 2011

Song of Love part 1

Kabut tipis masih betah saja menyelimuti pagi kota Yogyakarta hari ini. Dedaunan dari berbagai macam pohon yang tumbuh subur di tepi koridor SMA Putra Buana masih ditenggeri rintikan air, mungkin embun dari pagi yang begitu dingin yang bercampur dengan sisa hujan semalam.

Burung-burung ikut bernyanyi riang mengikuti irama langkah gadis manis ini. Rambut ekor kudanya terus bergoyang ke kiri dan kanan mengikuti gerakan si pemilik. Senyum tipis yang terukir indah di bibirnya menandakan ia siap mengawali harinya. Menyambut segala hal baru yang akan datang.

“Ify!!!!” koar sebuah suara yang tak asing lagi untuk gadis itu. Suara yang selalu melafalkan namanya dengan nada khusus.

Gadis yang disapa Ify tadi mendengus pasrah. Tanpa niat ia berbalik menanggapi panggilannya.

“ada apa, bu?” tanya Ify yang nampak jelas ogah-ogahan.

“masih bisa tanya ‘ada apa’ kamu?”

Bu Mariam, guru Bimbingan Konseling kelas X yang selalu “perhatian” pada muridnya yang satu ini. Guru yang dalam beberapa bulan saja mampu membuat nama gadis ini terkenal seantero sekolah. Siapa yang tak kenal dengan Alyssa Saufika Umari? Gadis cantik, putri keluarga Umari, salah satu keluarga terpandang di kota ini.

“malu bertanya sesat di jalan, bu!” jawab Ify enteng.

“telinga kamu itu sudah tidak berfungsi lagi ya??”

“kalau sudah tidak berfungsi, saya tidak akan berdiri di sini melayani panggilan ibu!”

Sadar berdebat dengan murid yang secara tidak langsung sudah mengangkatnya menjadi manager pribadi ini, bu Mariam lebih memilih untuk mengutarakan maksudnya.

“di sekolah ini, SEMUA siswi harus memakai rok minimal di bawah lutut! Apa-apaan kamu ini pakai rok cuma sejengkal? Kurang bahan?”

“kalo panjang-panjang kenapa nggak pakai sarung sekalian, bu?”

“lama-lama alasan kamu semakin membuat saya emosi! Saya tidak mau tau besok kamu harus sudah berpakaian selayaknya!”

“iya bu.. iya!”

Sudah bosan mendengar khotbah bu Mariam, Ify kembali berjalan menuju kelasnya. Tetap tanpa beban.
Gadis yang spesial. Mungkin saat pertama kali kita mengenalnya ia terkesan angkuh, manja, dan sombong. Tak heran karena latar belakang keluarganya yang membuatnya mendapatkan segala hal yang ia inginkan menciptakan kepribadiannya menjadi seperti sekarang. Tetapi bukankah ada pepatah yang mengatakan ‘dalamnya laut bisa diukur, namun dalamnya hati siapa tau?’

***

Beberapa buah seri komik Jepang  masih berceceran di atas meja yang ada di hadapan seorang laki-laki tampan yang kini sedang terhanyut oleh alunan musik dari i-Pod silver yang tersambung dengan headset putih ke telinganya. Mata sayunya tertutup rapat dari balik kaca mata tanpa frame yang membingkainya. Sebuah bola basket menjadi pijakan kaki kanannya.

Komik, musik, dan basket. Warna pokok yang selalu menghiasi hari-hari pemuda jangkung hitam manis ini.

“Mario!” pekik seorang laki-laki berpostur tinggi kurus itu sambil menggebrak meja sahabatnya yang sudah terlelap karena bosan.

“hmm..” jawab laki-laki tadi tanpa membuka matanya. Namanya Mario, tapi ia biasa disapa Rio.

“dengerin gue!”

“ini gue denger, Gabriel!”

“orang lo merem gitu?” geram Gabriel.

gue denger pake telinga, bukan mata!”

“telinga juga lo sumpel?”

“yang penting gue denger.”

“ada kabar penting! Ify sekarang jadi kapten cheers kita!” dengan semangat Gabriel mengutarakan hal yang menurutnya harus diketahui sahabatnya itu.

Dengan wajah kesal Rio membuka matanya lebar-lebar. Merutuki hal yang menurutnya sama sekali tidak lebih penting daripada waktu tidurnya yang akhirnya membangunkannya.

“pentingnya apa buat gue? Gue bolos, ngantuk!” kata Rio yang kemudian melangkah menjauhi Gabriel dengan blezer almamater biru tua yang sudah ia sampirkan di bahu kirinya.

“balik jam ke berapa?” karena ia sudah cukup mengerti sifat sahabatnya itu, Gabriel sama sekali tidak mempermasalahkan tanggapan acuh tak acuh Rio.

“tinggal jam ke berapa mood gue balik.”

Gabriel duduk menggantikan posisi Rio sebelumnya sambil terus menatap punggung sahabatnya yang terus menjauh dan menghilang di ujung pintu. Ternyata separuh hidup berstatuskan sahabat seorang Mario sama sekali tidak merubah apapun dari laki-laki itu. Kehangatan persahabatan belum juga mampu mencairkan es yang sudah menggunung di hati pangeran itu.

Gabriel tau, itu bukan Rio sahabatnya yang dulu. Bukan Rio yang ceria, hangat, dan tak banyak yang tau kalau hati seorang Mario Stevano seindah emas. Sampai emas itu seperti habis terkikis masalah yang bahkan Gabriel sendiri tak tau harus berbuat apa. Ia hanya mampu terus berdiri di samping sahabat yang sangat ia banggakan itu, berharap secerca kekuatannya berpindah menjadi energi positive untuk Rio.

ahabat, seseorang yang akan berbahagia untuk senyuman sahabatnya, namun ia tak akan menangis besertamu saat air matamu berhamburan karena ia tau, jika ia memilih ikut serta jatuh di jurang kesedihanmu, tak akan ada yang membantumu keluar dari jurang itu. Dan bukankah senyum sahabat adalah sebuah kekuatan besar untukmu?

***

Sudah hampir dua jam Rio terlelap di tribun penonton yang ada di Gedung OlahRaga sekolah. Melepaskan segala rasa lelahnya dan juga masalahnya tentu saja. Setelah mengerjapkan matanya untuk beradaptasi dengan cahaya matahari yang begitu menyilaukan, ia bangkit berdiri dan berjalan perlahan ke tengah lapangan basket sambil melirik arah jarum jam yang melingkar di tangan kirinya.

Saat ini di kelasnya sedang berlangsung mata pelajaran Sejarah. Mata pelajaran yang paling ia benci. Perlu bujukan paling maut yang bisa membuatnya mengikuti mata pelajaran itu. Mengutip sebuah peribahasa yang langsung Rio artikan sendiri ‘yang lalu biarlah berlalu’ dan bukankah semua hal yang ada dalam Sejarah adalah sesuatu yang terjadi di masa yang lalu? Dan kenapa masih saja diungkit-ungkit?

Tak sampai belasan menit, kini ia sudah asik bersama bola basket hitam yang seakan begitu lulut ditangannya. Bergerak lincah menciptakan irama teratur dari pantulan bola basket.

Kemeja putih yang sudah keluar dari celana seragamnya kini berkibar bebas mengikuti gerakan si pemilik. Butiran keringat pun mulai mengalir dari pelipisnya. Bila sudah begini tak satupun hal yang bisa mengganggu gugat kesenangannya. Caranya agar ia bisa menemukan dunianya, cara agar ia tetap menjadi seorang Mario, bukan robot yang harus melalukan perintah orang lain.

***

Dengan paksa Ify terus menyeret tangan Sivia, sahabatnya, menyusuri lorong samping GOR sekolah yang cukup besar namun begitu lengang ini. Matanya terus berjaga-jaga kalau saja ada seseorang atau guru yang membahayakan aksinya.

Sivia yang sedari tadi terus berontak karena tak ingin terlibat masalah karena ulah dan ide gila sahabatnya itu pun kini sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Paling parah juga hanya dihukum hormat bendera selama satu jam pelajaran karena membolos pelajaran pak Terbit, guru itu paling tak tega memeri hukuman yang berat pada muridnya.

Kini Ify melongok ke arah lapangan basket dari pintu tribun pemain yang berada di sayap kiri bangunan modern ini. Sivia hanya berdiri di belakangnya sambil menggigit bibir karena rasa cemasnya masih tersisa. Bagaimanapun Sivia bukan Ify yang selalu nekat dan melakukan apa yang ia inginkan tanpa peduli resikonya.

“ngapain kita ke sini sih, Fy?” tanya Sivia sedikit jengkel.

“ssttt.. jangan ribut! Nanti dia denger.” Ucap Ify pelan sambil menempelan telunjuk kanannya tepat di bibirnya.

Terdorong rasa penasaran dengan ‘dia’ yang dimaksud Ify, Sivia mengikuti kegiatan Ify sebelumnya.

“elah, Fy.. tau-taunya lo kalo dia di sini sekarang?” dengus Sivia setelah mengetahui siapa objek incaran Ify.

“XII IPA 3 lagi Sejarah sekarang, gue tau pasti dia nggak suka!” jawab Ify mantab dibarengi dengan cengiran tanpa dosanya.

“terus kok lo tau dia di sini?” mau tak mau Sivia terpancing juga oleh rasa penasaran akan penyakit obsesif kompulsif yang diderita sahabatnya pada lelaki yang kini menjadi objek pembicaraan mereka.

“Mario dan basket, 2 hal yang identik dengan cerita Romeo & Juliet, kisah manis yang selalu menghadirkan adegan indah, bila keduanya tak bisa bersatu, gue yakin mereka lebih memilih mati.” Terang Ify sambil terus menatap Rio penuh kekaguman.

“lo nggak mau jadi Julietnya?”

“enggak! Gue nggak mau mati konyol! Tapi gue yakin gue cinta sama Rio!”

“I’m thinking that you’re crazy, now!”

“right, ‘cause of him!”

Ify terus memandangi Rio, mungkin tak bisa lagi disebut memandangi, mencermati lebih tepatnya. Mencermati setiap lekukan tegas ukiran Sang Kuasa yang begitu sempurna diwajah laki-laki itu, setiap gerakan indah yang Rio lakukan untuk mengendalikan bola basketnya, tak seinci dan sekejap pun pandangannya luput.

Ada yang salah dengan terlalu mengagumi orang lain? Jika memang itu salah, kesalahan itu adalah kesalahan terindah yang pernah kau lakukan. Sebuah kesalahan yang tak akan pernah kau sesali.

BUG!

Suara dentuman itu langsung membuat Sivia panik dan memeriksa keadaan sahabatnya Beberapa detik lalu bola basket yang dimainkan Rio mendarat mulus di wajah Ify yang masih terpaku.

Ify berjongkok sambil mengerang tertahan menahan sakit di hidungnya. Masih berharap agar Rio tidak menyadari keberadannya di tempat itu walaupun separtinya sangat tidak mungkin.

“mana bola gue?” tanya Rio tiba-tiba dengan nada otoriter yang begitu kental.

“enak aja kakak bilang gitu? Bola kakak udah kena temen aku!” jawab Sivia sengit sambil berkacak pinggang.

Rio melirik sinis pada Ify yang masih kesakitan.

“salah siapa ngintipin gue kaya maling gitu?” belum juga ia menggunakan nada yang bersahabat.

Sivia bungkam tak mampu melanjutkan orasinya. Menyadari memang Ify dan dia bersalah.

“idung lo ilang?” cibir Rio sambil berjongkok di hadapan Ify dan menarik tangan Ify yang masih menutupi hidungnya dengan sedikit kasar.

“anak manja.” Lanjutnya kemudian berdiri dan berjalan menjauh mengambil blezernya. Perlahan sosok tegap itu menghilang di ambang pintu utama gedung.

Ify hanya bisa menatapnya pasrah. Ada yang lebih sakit dibanding efek bola yang mengenai wajahnya tadi, yaitu ketidakpedulian Rio padanya.

 Anak manja, dua kata itu begitu membekas di pikiran Ify, kata yang biasa ia dengar saat orang lain menghujatnya, meskipun ia tak pernah peduli dengan itu, namun saat Rio yang mengatakannya, rasanya begitu telak. Sebegitu burukkah ia di mata Rio? Pertanyaan itu terus menggelayut di otak Ify.

Ify sudah mengagumi sosok Rio sejak ia mengikuti Masa Orientasi Siswa hampir setahun lalu. Hukuman dari Gabriel yang saat itu menjadi ketua penyelenggara karena keterlambatannya membuat Ify harus berurusan dengan Rio. Gabriel memintanya untuk membuat Rio tertawa, terserah dengan cara apa saja.

Segala cara Ify gunakan untuk membuat ‘pangeran es’ itu tertawa. Dan hasilnya, sama sekali Rio tidak tertawa. Ia hanya terus memandang aneh ke arah Ify sesaat dan kemudian melangkah pergi.

Rasa penasaran untuk mengetahui seperti apa Rio dan mengukur seberapa dalam sosok yang bagaikan air tanpa riak itu mendorong Ify untuk terus memperhatikannya sampai tanpa ia sadari bunga-bunga merah jambu terpupuk subur tumbuh di ruang hatinya, bunga yang menanti untuk dipetik oleh si penanam.

“lo nggak papa, Fy?” tanya Sivia seraya membantu Ify berdiri.

Ify hanya menggeleng kemudian berjalan terlebih dahulu meninggalkan Sivia.

***

Jam istirahat sudah berbunyi sejak sekitar lima belas menit yang lalu. Ini istirahat ke dua untuk hari ini. Durasinya dua puluh lima menit.

Daun-daun dari pohon akasia yang tumbuh di taman utama SMA Putra Buana satu persatu mulai berguguran karena tertiup angin yang berhembus cukup kencang siang ini. Menghujani siswa dan siswi yang berjalan di sekitarnya, juga dua orang dari sekian banyak murid sekolah ini yang kini duduk di bangku taman panjang berwarna hitam. Si pria terus menatap lurus ke arah kolam ikan di depannya sedang gadis di sampingnya msih saja asik menekuni sebuah novel tebal yang baru setengahnya ia baca. Bola mata gelapnya masih bergerak lincah ke kiri dan kanan dari balik kaca mata tebal berframe hitam.

“hey, Ashilla Zahrantiara, saya Gabriel Stevent, sudah hampir membatu anda diamkan.” Ucap Gabriel yang sudah tidak mampu menahan bibirnya untuk tidak mengatakan sesuatu.

“saya tidak pernah meminta anda menemani saya, terimakasih.” Balas Shilla tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku.

“come on, Shil! Look at me, just for a while.” Mohon Gabriel sambil mengambil paksa buku Shilla.

Shilla hanya berdecak kesal kemudian menatap secara terpaksa wajah laki-laki tampan itu.

“ada apa?”

“gue.......jatuh cinta.” Jawab Gabriel yang diakhiri dengan senyuman lebar dari bibirnya.

“Bukannya itu udah biasa buat kamu? Tanpa tanggapan aku pun pasti kamu tau harus berbuat apa. Right, pangeran cinta?”

Shilla berusaha bersikap acuh, mencoba menyembunyikan dan membuang jauh-jauh gejolak yang timbul dihatinya. Sungguh ia berharap cinta pangeran ini jatuh padanya kali ini, selain kata hatinya yang lain, dan mungkin memiliki peluang benar lebih banyak, gadis lainlah yang di maksud Gabriel.

“kata-kata lo kesannya mojokin gue banget, Shil!” dengus Gabriel.

“I’m sorry, I can’t lie, everybody knew you’re a player!” Shilla menjulurkan lidahnya menggoda Gabriel. “karma itu ada lo, Yel! Kalau suatu saat nggak ada yang mau sama kamu gimana?” lanjutnya masih dengan nada bercanda dan disambung dengan tawa renyahnya.

“kan ada elo, yang selalu ada buat gue.”

DEG! Jatung Shilla seakan berhenti sekejap mendengar pernyataan Gabriel. Matanya terpaku pada wajah Gabriel yang masih menyeringai karena perkataannya tadi. Dan tak taukan ia kalau wanita adalah makhluk yang mudah gr.
Ucapan Gabriel tadi menjelma menjadi sebuah gumpalan cahaya terang yang akan menuntun Shilla keluar dari penantian panjangnya. Ia yang sudah lama berdiam di sebuah ruangan yang tak mampu ia lihat ujungnya kembali meyakini pangerannya akan membawanya keluar dari ruangan itu.

Lima tahun Shilla bertahan dalam sebuah ketidakpastian. Sejak ia pertama kali jatuh cinta pada sosok Gabriel. Sosok yang terlalu sempurna untuk tidak dikagumi. Gabriel tampan, tubuhnya tinggi tegap, fisik yang sempurna selain ia yang cerdas, dewasa, sabar, dan juga baik hati. Seseorang yang membuat Shilla ragu dengan ungkapan ‘tak ada yang sempurna’ walaupun ia tahu pasti semua kekurangan Gabriel. Ia tau Gabriel suka ‘genit’ dan mudah terpengaruh pada ‘godaan’ perempuan. Ia juga tahu kalau sampai kelas dua SMP Gabriel tidak berani tidur sendiri dan sampai sekarang Gabriel takut pada kegelapan dan kecoa. Hal-hal yang dianggap Gabriel sebagai aib, namun ia ijinkan juga Shilla mengetahuinya.
Namun sampai saat ini ia tak pernah memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan perasaan cintanya pada Gabriel. Lebih dari cukup bagi Shilla untuk selelu di samping Gabriel dengan status sahabat. Menjadi orang pertama yang ia cari saat ia memiliki masalah, saat Gabriel gembira pun Shilla yang pertama kali ia cari.

“Shil, berhenti liat gue kaya gitu dong..” mohon Gabriel menyadari sedari tadi Shilla menatapnya berlebihan. “tatapan lo udah sama kaya cewe-cewe yang ngejar-ngejar gue tau?! Bikin gr aja lo!” lanjutnya sambil menyeringai lebar dan menggaruk tengkuknya.

“pede, kamu!” ucap Shilla sebal sambil memukul lengan Gabriel dengan novelnya.

“sakit, Shilla!” seru Gabriel. Ia terus mencoba menepis pukulan Shilla kemudian mengkelitiki pinggang gadis itu. Gelak tawa mereka mewarnai siang yang cukup dingin ini, membuat iri setiap siswi yang melihatnya. Siapa yang tak ingin menjadi seseorang yang sedekat itu dengan si mantan ketua OSIS idaman itu?

***

Dari sudut lain taman, seorang gadis menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. Ingin sekali rasanya menggantikan posisi Shilla bersendagurau dengan pangeran impiaannya itu.

“ehhem..” Ify mendehem kencang setelah memastikan hal apa yang menarik perhatian Sivia. “pengen jadi kak Shilla ya, Vi?” lanjutnya menggoda Sivia.

“ngaco lo, Fy! Eng..enggak lah!” jawab Sivia gugup kemudian dengan tergesa berjalan kembali menuju kelasnya meninggalkan Ify yang nampaknya sudah kembali ceria.

“jangan bohong lo sama gue! Dan gue pikir kak Iel lebih pantes sama elo daripada kak Shilla yang cupu itu!” cerocos Ify tanpa embel-embel sambil berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Sivia.

Dengan segera Sivia membekap mulut Ify yang sering kali bekerja tanpa aturan itu.

“lo kalo ngomong dijaga dikit gimana?” kecam Sivia setelah melepaskan bekapannya karena ify terus meronta.

“emang gitu kan faktanya?” Ify tak mau kalah.

“tapi nggak pake frontal bisa kali?”

Ify menyeringai lebar sambil memamerkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Pertanda ia meminta jalan damai pada Sivia.

bersambung....

1 komentar: