Ify masih diam di tempat. Melipat kedua tangannya di depan dada seraya memasang wajah tak sukanya. Matanya yang menyimpan kekesalan masih menatap arah lain, tak ingin melihat Rio yang kini terus merengek dan memohon ijin padanya untuk mengikuti balapan di arena yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.
“ayolah, Fy!” bujuk Rio sekali lagi. “dua leg!”
“enggak! Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!” jawab Ify tegas.
“aku jamin aku nggak akan kenapa-kenapa.”
Ify masih tak bergeming, tak juga menjawab Rio. Sebelumnya ia sama sekali tidak menyangka akan diajak Rio ke tempat seperti ini. Sebuah arena balapan liar, yah.. walaupun memang tempat ini sudah menyerupai sebuah sirkuit balap bersertifikat, namun tetap saja tak ada jaminan yang memadai kalau tak akan terjadi apa-apa setelah kekasihnya itu menancap gas motornya kencang-kencang di arena itu.
Dua hal yang ada di otak Ify kini tentang Rio:
1. Rio tak mau jauh darinya namun ia egois, dan
2. Rio sayang padanya namun ia tetap egois.
Rio berdecak kesal. Barisan kata yang ada di otaknya telah habis juga ia keluarkan untuk merayu Ify, atau mungkin ia memang tak pandai dalam hal itu. Kini tersisa ide terakhir di otaknya, dan yang paling ia harapkan berhasil.
Perlahan Rio memutar bahu Ify dan membuat gadis itu menghadap padanya. Mata sayunya menatap dua mata bening Ify memohon.
“please..” pinta Rio sekali lagi, lebih tegas dari sebelumnya, mungkin kali ini lebih terdengar memaksa Ify untuk berkata ‘iya’. “aku akan baik-baik aja, kamu percaya kan?”
Ify menghela nafas. Curang sekali Rio menggunakan mata yang selalu berhasil meluluhkan hatinya itu. Mana mungkin ia sanggup menolak. Itu alasan mengapa sedari tadi Ify tak mau menatap Rio. Akhirnya Ify menggangguk lemah.
“makasih, sayang!” ucap Rio semangat sambil menepuk pelan puncak kepala Ify.
“ehhemm..” dari balik punggung Rio, Gabriel mendehem memberi signal pada Rio dan Ify bahwa ada dirinya di situ dan tidak ingin melihat adegan atau pembicaraan yang lebih frontal dari sepasang kekasih baru itu.
“ganggu lo!” sungut Rio kemudian menaruh tas ranselnya di atas bangku di samping kiri tempat Ify duduk sekarang.
Gabriel duduk di samping kanan Ify. Sambil menyeringai pada Rio ia merangkul pundak Ify. Ify hanya diam karena masih menyimpan rasa kesal pada Rio. Selain ia juga tau betapa gilanya Gabriel.
“have you already taken by this price ice, miss?” tanya Gabriel menggoda Ify.
“yes, maybe.” jawab Ify, acuh.
“urusan balapan?” Gabriel menyadari ekspresi jengah dari nada bicara dan wajah Ify mencoba menebak pangkal masalahnya. “tenang! Rio juga jago urusan ini, yah.. biar gue yang lebih.”
“terserah! Udah sana pergi!”
“kamu nggak mau liat?” tawar Rio.
“kamu pikir aku tega?” masih juga dijawab dengan nada sinis oleh Ify.
Rio tersenyum kecil. Berusaha menenangkan gadisnya. Sungguh sebenarnya ia tak ingin membuat Ify kawatir padanya, namun ada sebuah ego dan kerinduan pada euphoria tempat itu yang membuatnya tak ingin melewatkan kesempatan. Toh Rio sangat percaya tak akan terjadi apapun padanya setelah ini.
“kak Rio!” seru Ify memanggil Rio yang sudah berada beberapa meter darinya. “take care, yaa..” pesan Ify sedikit berat. Rio hanya membalasnya dengan sebuah senyuman kecil –lagi- sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.
***
Suara deru motor yang berjajar di garis start terus mengaum. Dilihat dari tipe dan modelnya, jelas menggambarkan setiap motor adalah milik orang-orang berkantong tebal.
Sambil membenahi jaketnya, Rio melirik Gabriel yang berada di sebelahnya. Tatapan menantang dan penuh kemenangan. Menjelaskan kalau Rio yakin dirinya akan menang kali ini melawan Gabriel.
Sementara itu, Gabriel yang sudah tampil begitu gagah di atas motor kesayangannya hanya menepuk dada kirinya dengan jumawa, menegaskan ia juga tak ingin kalah dengan Rio.
Bendera dinaikan dan semua peserta balapan melesat beradu kecepatan.
Satu leg berakhir, tinggal satu leg lagi sesuai permintaan Rio yang ingin menepati janjinya pada Ify, dan juga tak ingin membuat kekasihnya menunggu terlalu lama tentunya.
Rio masih memimpin di posisi terdepan, di belakangnya, tipis sekali jarak keduanya, ada Gabriel yang siap mencuri celah untuk menyalip Rio.
CHYITTT...
Suara detitan rem menandakan balapan berakhir, dan dengan waktu sepersekian detik Gabriel berhasil menyalip Rio dan menjadi juaranya.
“gue menang, bro!” seru Gabriel bangga sambil meninju pelan bahu Rio.
“di arena ini emang lo juaranya, sob! Congrats!” sahut Rio.
“Ify nungguin!” Gabriel mengingatkan sebelum ia berlalu kembali ke kerumunan teman-temannya yang sedang merayakan kemenangannya. Walaupun itu hal yang sudah sering, kemampuan Gabriel di arena balap selalu mampu memukau siapapun penontonnya.
Rio kembali ke tempat Ify menunggunya.
***
If you’re not the one, then why does my soul feel glad today?
If you’re not the one, then why does my hand fit yours this way?
If you are not mine, then why does your heart return my call?
If you are not mine, would I have the strength to stand at all?
If You Are Not The One yang disenandungkan oleh Daniel Bedingfield mengalun memenuhi seluruh perjuru caffe. Lagu yang berbaur dengan suara hujan yang turun begitu deras di luar sana, menutup hari ini tanpa semburat jingga di langit senja. Susunan nada yang menciptakan suasana romantis dengan sendirinya.
Kebetulan caffe sedang lengang, hanya ada dua meja yang ditempati. Salah satunya ditempati Rio dan Ify yang duduk di salah satu sudut di sayap luar caffe. Tempat yang sengaja Ify pilih agar ia bisa menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh rintikan air langit, saat-saat yang selalu dikagumi oleh gadis cantik itu, saat langit melepaskan segala bebannya dan mencurahkan sebuah anugerah untuk dunia. Hujan.
Dengan mata berbinar, Ify memperhatikan setiap rintik air yang jatuh. Menghirup udara kuat-kuat, memenuhi seluruh rongga dadanya dengan aroma khas saat tanah yang begitu kering setelah dibakar matahari seharian tadi tiba-tiba terguyur hujan. Hal yang dianggap Ify sebuah surga dalam bentuk lain. Bahkan sepertinya semua hal yang ada di hadapannya kini jauh lebih menarik dari Rio yang duduk di sampingnya dan ia acuhkan.
Namun sepertinya Rio tidak berkeberatan diperlakukan seperti itu oleh gadisnya itu. Ia cukup diam, menikmati setiap lekuk wajah Ify yang terlihat begitu damai dan tanpa beban. Kebahagian begitu nyata terpendar di mata bening Ify, kilauan mata yang turut membawa Rio ke dalam kebahagian itu. Nampaknya yang lebih mengenaskan nasibnya adalah secangkir hot cappuccino milik Rio dan satu gelas penuh teh hangat milik Ify yang terabaikan di atas meja dan dibiarkan terus mengepulkan uap panasnya tanpa di sentuh sedikitpun.
Sebelum sampai ke tempat ini Rio menawarkan diri mengantar Ify pulang. Namun jelas Ify menolaknya karena ia tak ingin terjadi hal yang buruk jika ia terlihat bersama Rio oleh ayahnya. Ify memilih menunggu supirnya di caffe ini dengan alasan ia habis mengerjakan tugas dengan Sivia.
I don’t know why you’re so far away
But I know that this much is true
We’ll make it through
And I hope you are the one I share my life with
And I wish that you could be the one I die with
And I pray in you’re the one I built my home with
I hope I love you all my life
Merasa risih terus diperhatikan, Ify menoleh pada Rio. Ia melayangkan tatapan bertanya pada Rio yang sedang tersenyum polos menyadari ia tertangkap basah memperhatikan Ify tanpa berkedip sedikitpun.
“nggak boleh aku liatin pacar aku sendiri?” tanya Rio, mencoba bercanda dengan menyisipkan nada manja pada pertanyaannya.
“tapi enggak gini juga kali, jangan sampe lupa kedip!” jawab Ify mencoba menyembunyikan kalau ia sedang salah tingkah dibuat Rio saat ini.
Keheningan kembali tercipta, namun kali ini terdengar sayup-sayup Rio bersenandung mengikuti irama lagu yang masih terus berputar. Lagu yang memang begitu cocok untuk suara Rio.
‘cause I miss you body and soul so strong
That it takes my breath away
And I breath you into my heart
“suara kakak kaya malaikat!” puji Ify sambil menatap Rio penuh kekaguman. Hal yang tak pernah hilang sejak ia bertemu Rio, kekagumannya pada lelaki tampan itu.
“pernah gitu dateng ke konser malaikat?” seloroh Rio sambil menyeringai lebar.
Ify terdiam sebal sambil memajukan bibirnya sedikit. Tapi ia juga memikirkan jika memang benar ucapan Rio, mengapa setiap manusia yang memiliki suara indah selalu disejajarkan dengan malaikat, padahal belum sekalipun mendengar seperti apa suara malaikat itu.
Rio tertawa kecil melihat mimik wajah Ify yang sungguh membuatnya gemas. Seperti anak kecil yang begitu polos, tak berbeda jauh mungkin dengan raut wajah Acha saat marah. Tangan kanannya mengacak-acak poni yang membingkai wajah Ify hingga berantakan, dan otomatis membuat Ify semakin mengerucutkan bibirnya.
“maaf..”pinta Rio sambil membenahi poni Ify.
I don’t wanna run away but I can’t take it, I don’t understand
If I’m not made for you then why does my heart tell me that I am
Is there anyway then I can stay in your arms?
Lantunan barisan syair dan melodi manis itu berakhir, menyisakan suara rintikan hujan yang semakin deras. Dan juga suasana yang begitu sepi namun juga damai di antara Rio dan Ify. Rio menyesap sedikit minuman pesanannya yang sudah mulai mendingin. Menikmati rasa pahit dari cappucino tanpa gulanya.
“kak Rio, kisah kita kaya.. em.. Romeo dan Juliet mungkin ya?” ucap Ify yang sebenarnya hanya tak ingin suasana terus kaku.
Setelah meletakkan cangkir keramik putih wadah minumannya pada tatakannya kembali, Rio menatap Ify begitu tajam namun sarat kelembutan.
“aku nggak pernah menginginkan kisah mereka terjadi sama kita, biar semua yang kita jalani menjadi seperti seharusnya, kisah tentang Mario dan Alyssa.” Tanggap Rio begitu tenang, dan nyata tergurat jika ia serius. “kamu suka kisah Romeo Juliet?”
“not at all. Cuma terkesan dengan keberanian mereka mengorbankan nyawa untuk pasangannya.”
“kalau aku yang ada di posisi Romeo, aku juga akan melakukan hal yang sama, sama-sama rela mengorbankan nyawa aku untuk Juliet, tapi aku nggak akan mengijinkan Juliet ikut pergi juga, so on with you.”
Rio mengacak-acak lembut puncak kepala Ify –lagi- yang terdiam mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya, rangkaian kata spontan yang begitu tulus. Ia menggenggam erat kedua tangan Ify, mengisi sela jari-jari lentiknya.
“semua sisa waktuku akan aku beri cuma buat kamu, tapi saat waktu itu habis, aku bersumpah tak akan mengajakmu.”
“so? Kamu biarin aku sendiri meratapi kepergian kamu? Kamu biarin aku sakit yang nggak akan bisa terobati?”
Rio menggeleng mantab.
“satu-satunya hal yang paling nggak mau aku lihat di dunia ini adalah kesedihan kamu, itu kenapa selama ini aku lebih memilih diam dan menyembunyikan semua yang aku rasa buat kamu.”
“aku sayang kamu!” ucap Ify sambil tersenyum lebar.
“aku juga.”
Rio mengecup lembut punggung tangan Ify.
“Ify!” pekik Alvin yang tiba-tiba saja muncul di balik pungung Rio. Spontan Ify dan Rio mengalihkan perhatiannya pada sosok laki-laki berkulit putih itu.
Alvin mengepalkan keras kedua tangannya, menahannya agar tidak melayang tanpa aturan ke wajah Rio. Nafasnya makin memburu karena menahan sesak di dadanya yang sedang terbakar api cemburu. Ia sama sekali tak menyangka akan disuguhi pemandangan kemesraan Ify, yang tak lain adalah gadis yang masih menghuni tahta tertinggi di hatinya, dengan seorang pria yang sama sekali tidak ia kenal. Ia hanya tau Ify sedang mengerjakan sekolahnya saat –lagi-lagi- ayah Ify memintanya menjemput putri kesayangannya itu.
“Al.. Alvin.” Sapa Ify terbata karena rasa takut yang langsung menyergapnya.
Dengan kasar Alvin mencengkeram pergelangan tangan Ify dan menariknya mendekat padanya.
“aww..” rintih Ify kesakitan karena perbuatan Alvin.
“lepasin Ify!” perintah Rio, pelan namun sangat tegas.
Perintah yang sama sekali tidak diindahkan oleh Alvin, yang bahkan tak peduli dengan rintihan kesakitan dan permohonan memelas yang keluar dari bibir Ify. Ia hanya menatap Rio penuh kebencian.
“lo nyakitin dia!” bentak Rio sambil menyentakan tangan Alvin yang mencengkeram tangan Ify. Tak ingin gadisnya tersakiti.
“siapa lo? Apa urusan lo sama Ify?” tanya Alvin tajam, masih mencoba menahan emosinya agar tak seluruhnya memuncak.
Sementara itu, Ify berdiri di tempatnya sambil menunduk, menahan kuat-kuat agar air matanya tidak jatuh. Suara dengan nada tinggi dari Rio maupun Alvin justru membuatnya ketakutan. Egois. Satu kata untuk menggambarkan dua orang lelaki tampan di hadapannya. Mereka yang sama-sama mengaku mencintainya namun tak mau mengerti perasaannya.
“bukan urusan lo!” jawab Rio tenang.
“masuk ke mobil, Fy!” perintah Alvin tegas, sama sekali tak ingin dibantah.
Ify menggeleng pelan untuk menolak perintah Alvin. Tak ingin mengeluarkan suarannya yang ia yakin pasti sudah terdengar parau.
“masuk!” kali ini mungkin lebih tepat jika disebut jika Alvin memaksa.
“pergi, Fy..” Rio berganti menyuruh Ify, lembut, ditambah sebuah senyuman yang seolah ingin menyampaikan pesan kalau semuanya akan tetap baik-baik saja, sekaligus menenangkan perasaan kekasihnya.
Mata indah Ify menatap nanar pada Rio sebelum perlahan melangkah menuju mobil Alvin.
“siapa elo?” tanya Alvin sekali lagi menggunakan penekanan di setiap kata yang ia ucapkan, tanda ia tak ingin bermain-main.
“penting?” balas Rio sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana seragamnya. “gue rasa ini bukan acara meet and greet.” Sebuah senyum sinis terukir di bibirnya.
“shit! Siapapun elo, jauhi Ify! Dia punya gue!”
“yakin dia mau sama elo?”
BUG!
Sebuah bogem yang sejak tadi Alvin tahan akhirnya mendarat mulus di pipi Rio. Membuat darah segar sedikit mengucur di ujung bibir kanan Rio.
“kampungan!” cibir Rio sambil menghapus kasar darah yang mengalir dari lukanya dengan punggung tangannya. Tanpa sedikitpun berniat membalas Alvin. “siapa lo berhak ngatur Ify?”
“gue tunangan dia!” jawab Alvin penuh kemenangan. Sebuah senyuman terukir di bibirnya, menegaskan pada Rio bahwa ia bukan orang yang suka bermain-main, dan saat ini pun Rio sudah kalah telak dengannya.
Rio mencelos. Seakan ada sesuatu yang menghantam ulu hatinya saat mendengar pernyataan Alvin. Begitu sakit, pukulan Alvin yang sebelumnya ia terima pun tak ada apa-apanya dibanding apa yang ia rasakan sekarang. Namun entah topeng apa yang dimiliki Rio hingga ia tetap tampak tenang, tak tertangkap perubahan emosi di wajahnya, bahkan sorot matanya pun tetap sama, tak ada gejolak sama sekali di sana.
Sepersekian detik berikutnya, ujung bibir Rio tertarik, terlukis sebuah senyuman sinis yang memang sengaja diciptakan pemiliknya, walaupun dengan usaha keras agar tidak terlihat miris.
“ada bagian penting dari Ify yang terikat sama gue, bro!” ucap Rio tak mau kalah, walaupun tetap dengan nada khas seorang Rio. “dan selamanya akan jadi punya gue!” lanjutnya dengan nada yang lebih tajam sambil menepuk bahu Alvin sebelum pergi meninggalkan caffe.
***
Suasana di dalam mobil Alvin tercipta begitu dingin, tak seperti biasanya yang diwarnai canda dan gelak tawa keduanya selayaknya sepasang sahabat yang begitu hangat.
Alvin menatap lurus dan begitu tajam pada sebuah titik di hadapannya. Pikirannya masih bercabang antara mengendalikan mobilnya agar ia dan Ify selamat dan sebuah pertanyaan besar tetang siapa laki-laki yang berhasil memancing amarahnya –yang tak lain Rio-, juga bagaimana agar emosinya tidak meluap pada Ify.
Sementara itu Ify hanya terus menunduk. Butiran bening yang terus berjatuhan dari kelopak matanya ia abaikan, namun dengan sekuat tenaga ia menahan isakan tangisnya agar tidak terdengar dan membuat Alvin semakin kalap.
“siapa dia, Fy?” tanya Alvin dingin.
“bukan siapa-siapa.” Jawab Ify pelan dengan suaranya yang sudah serak.
“bohong! Dia kan yang bikin lo nolak gue?”
“bukan, Vin, sumpah!” Ify memberanikan diri menatap Alvin. “gue nolak lo karena lo sahabat terbaik gue, gue nggak mau merusak semuanya, nggak ada hubungannya sama dia!”
“tapi siapa dia?” bentak Alvin tak sabar.
Ify beringsut mundur menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ify yang tak pernah diperlakukan kasar jelas ketakutan dengan suara yang begitu keras dari Alvin. Ia hanya menggeleng tanda tak ingin menjawab.
“fine, gue yang akan cari tau siapa dia.”
Alvin menghentikan mobilnya di halaman rumah Ify. Setelah Ify turun, tanpa berkata sepatah katapun ia memacu cepat mobinya meninggalkan bangunan rumah Ify yang nampak seperti sebuah istana yang begitu megah itu.
***
Rio duduk di kursi putar ruang pribadinya. Matanya menerang jauh keluar cendela, manatap langit kelam tanpa bintang malam ini. Sesekali ia melirik foto Ify yang terpajang manis di atas meja beralaskan kaca, membawa suasana menyenangkan di tengah tumpukan map berisi dokumen perusahaan dan juga hasil kerjanya.
Alyssa Saufika, Umari. Sungguh berat untuk Rio mengucapkan nama terakhir Ify, sumber dari segala masalahnya. Andai tak ada nama itu di belakang nama Ify, andai tak ada nama besar Haling di belakang namanya, pasti semuanya lebih mudah. Nama yang sebenarnya pasti banyak orang yang ingin menyandangnya, namun tidak begitu dengan Rio. Menjadi anggota keluarga terpandang ini hanya membuatnya terkurung dalam sangkar emas, tak banyak yang bisa ia lakukan, bahkan untuk memiliki cintanya.
Dengan berang, Rio mengacak-acak rambutnya, melampiaskan semua yang ada di hatinya yang kini begitu kacau. Saat semua perkataan Alvin kembali terngiang di telinganya, terlebih kalimat ‘dia tunangan gue!’ seakan ada hawa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya, dan sebuah rasa nyeri tanpa sebab di ulu hatinya. Perasaan yang sedang ia telusuri apa namanya.
Cemburu.
Sebuah jawaban yang melintas begitu saja di pikiran Rio.
Ify, nama yang sederhana namun membawa sesuatu yang begitu besar untuk seorang Mario. Gadis yang mengajarkannya tentang arti sebuah cinta, yang membuatnya tau bagaimana berbagi rasa indah itu. Dan sekarang, menunjukan padanya apa itu cemburu. Dan di saat yang sama ia harus mencoba percaya pada Ify, jika hanya ia yang ada di hati gadis manis itu.
Rio tersadar dari lamunannya, melirik jarum jam dinding yang sudah mengarah lebih lima belas menit dari pukul sepuluh malam. Segera diraihnya ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas meja dan mengetikan sebuah pesan singkat.
To : Alyssa
Sleep tight, my dear.
Everything’s gonna be fine, don’t be sad!
Love you.
***
Malam ini Ify duduk di antara kedua orang tuanya, hal yang sangat jarang bisa ia rasakan karena kesibukan keduanya. Ify mencoba melupakan sejenak masalahnya dan tengelam dalam kehangatan keluarganya. Dalam rengkuhan penuh kasih ibunya, ia merasa sedikit tenang setidaknya.
“rasanya belum lama mama menggendong kamu, sayang.” Bisik ibu Livia, ibunda Ify sambil membelai lembut rambut panjang putrinya. “sekarang kamu sudah menjadi gadis yang sangat cantik.”
“Ify masih mau jadi putri kecil mama.” Ucap Ify manja seraya mengeratkan pelukannya pada sang bunda.
“kamu sudah punya pacar?” goda ibu Livia.
Seketika Ify tertohok mendengar pertanyaan itu. Apa harus menjawab iya, pasti pertanyaan berikutnya adalah siapa, dan mungkinkah Ify akan menjawab, Mario, putra sulung keluarga Haling. Ia belum senekat itu, apa lagi ada sang ayah di sana, walaupun ia sedang tenggelam dengann data-data yang sedang ia cermati.
Ify menggeleng, menjawab jika ia tak punya seorang kekasih. Jelas sebuah kebohongan besar.
Ponsel yang ada di saku celananya, membuat ia sedikit lega dan mengalihkan perhatian yang bunda untuk tidak lagi mencecarnya dengan berbagai pertanyaan lain.
From : Mario
Sleep tight, my dear.
Everything’s gonna be fine, don’t be sad!
Love you.
Ify tersenyum membaca pesan dari Rio. Benar-benar menenangkannya.
“siapa, Fy?” tanya ibu Livia penasaran.
Ify hanya kembali menggeleng.
“nggak penting.” Katanya sambil kembali menyaku ponselnya.
“sial!” umpat pak Pratama –ayah Ify- berang. Seruan yang mengagetkan Ify dan ibu Livia hingga sedikit berjingkat. Karutan di wajah lelah ayah Ify semakin timbul, nampak ia sedang begitu marah.
“ada apa, Pa?” tanya ibu Livia mencoba memberanikan diri.
“Mario Haling!” jawab pak Pratama, sambil meletakkan dokumen yang habis dibacanya secara kasar.
DEG!
Jantung Ify seakan melompat dari tempatnya mendengar nama itu disebut, terlebih dengan nada kebencian yang terdengar jelas dari mulut ayahnya.
“kenapa? Siapa?” tanya ibu Livia sambil membolak-balik dokumen yangh sebelumnya diletakkan, ralat, dibanting suaminya.
“putra sulung Haling, ancaman serius untuk Umari, otaknya bahkan melebihi ayahnya.” Terang pak Pratama sambil menggunakan kembali jasnya. “siapkan rencana kita segera!” pesannya pada sang istri kemudian berjalan tergesa meninggalkan rumah.
Ify diam di tempatnya, mencoba mencerna setiap perkataan ayahnya. Rencana? Rencana apa? Apakah akan membahayakan Rio? Atau semua rencana itu adalah tentang dirinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi otak Ify, mengunggu jawaban dengan segera.
“rencana apa, Ma?” tanya Ify.
“tak perlu kamu pikirkan, cepat tidur!” jawab Ibu Livia yang kini terlarut dalam pekerjaannya.
Langkah Ify begitu berat menuju kamarnya. Apapun itu ia harus tau apa yang ada di balik rencana orang tuanya, karena ia yakin itu menyangkut nasibnya dan Rio.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Ify berlari menyusuri lorong sekolahnya yang masih sepi karena belum banyak siswa yang datang. Tujuannya hanya satu, bertemu Rio dengan segera.
Ify melongok ke dalam kelas Rio dari ambang pintu. Hanya sebuah tas ransel yang biasa digunakan kekasihnya itu yang ia temukan tergeletak di atas meja tempat dimana biasa Rio duduk, menandakan kalau Rio memang sudah berangkat.
BRUG!
Tanpa sengaja Ify menabrak salah satu siswi yang akan masuk ke dalam kelas yang sama dengan kelas Rio saat ia berbalik badan.
“ck! Nggak liat ada orang di sini?!” bentak Ify ketus, tak mau disalahkan seperti biasa.
Tanpa pikir panjang dan tak ingin buang waktu, Ify kembali berlari ke sebuah tempat yang paling ia yakini dimana Rio sekarang berada.
***
Ruangan besar yang begitu tenang itu tiba-tiba saja berubah menjadi gaduh kerena teriakan Ify.
“kak Rio!!!” seru Ify tak tanggung-tanggung mengeluarkan suara cemprengnya sambil menubruk tubuh Rio yang sedang bersiap melakukan shooting bola basketnya ke ring dari belakang.
Rio merasakan bagian belakang kemeja seragamnya basah. Ia yakin Ify sedang menangis.
“kenapa kamu suka banget nangis?” tanya Rio datar. Bola yang sebelumnya ingin ia tembakkan ke ring justru ia lempar asal ke tepi lapangan.
“gara-gara kamu!” jawab Ify kesal.
Rio melepaskan pelukan Ify dan membalik tubuhnya menatap Ify.
“aku nggak suka liat kamu nangis!” kata Rio dingin.
“kalo bisa berhenti juga udah aku lakuin!” balas Ify tak mau kalah, walaupun dengan isakan disela kalimatnya.
“berhenti!” perintah Rio. Menegaskan kalau Ify harus melakukan apa yang baru saja ia perintahkan.
Dengan susah payah Ify mengatur nafasnya, perlahan menghentikan isakkannya karena tak ingin melihat Rio semakin marah. Setelah ia merasa lebih tenang, jemarinya menghapus sisa air matanya.
“siapa cowok kemarin?” tanya Rio berusaha menyembunyikan kecemburuannya. Dan hasilnya pertanyaan itu terdengar begitu sinis.
“Alvin.” Jawab Ify. Saat melihat raut wajah Rio yang sedikit memerah, Ify tau kekasihnya ini sedang dibakar cemburu, ingin rasanya Ify tertawa saat ini juga karenanya. Masih saja Rio bersikeras menjaga imagenya.
“dia bilang dia tunangan kamu.”
“terus? Kalau iya?” goda Ify, ingin tau sampai dimana Rio berhasil menyembunyikan perasaannya.
Rio diam. Perasaan yang ditahannya kini menjadi-jadi, bahkan kini seperti menyumbat pernafasannya dan membuatnya menjadi sesak.
Tiba-tiba Ify tertawa terbahak-bahak karena sadar berhasil mengerjai Rio. Detik itu juga Rio baru sadar Ify hanya bermain-main.
Tanpa buang waktu, kedua tangan Rio terayun untuk menggenggam lengan Ify dan mendekatkan tubuh mungil gadisnya
itu padanya. Matanya yang mungkin sama seperti mata seekor elang menyambar manik mata Ify. Perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Ify.
“kak Ri.. Rio..” ucap Ify terbata, tak menyangka Rio akan bereaksi seperti ini. Perlahan ia menutup matanya. Membiarkan deru nafas Rio semakin kuat menyapa wajahnya, walaupun sebenarnya ia sangat ketakutan.
“muka kamu kotor!” ucap Rio tanpa dosa sambil mengusap kotoran yang menempel di pelipis Ify dengan tangannya.
Ify melongo lebar-lebar, sadar juga ia masuk dalam perangkap Rio.
“kamu kira aku mau cium kamu? Makanya punya otak sering-sering bawa ke loundry!” bisik Rio dari samping Ify kemudian melangkah meninggalkan Ify yang masih diam.
“kak Rio!!!” seru Ify sambil mengejar Rio yang sudah berlari sambil tertawa lepas. Kejadian langka.
***
Jam istirahat. Ify memilih tetap di kelasnya sambil mendengarkan musik bersama Sivia yang asik membaca novel barunya.
“Fy!” panggil Sivia seraya menutup novelnya setelah sebelumnya ia tandai halaman yang baru saja ia baca dengan sebuah pembatas buku berbentuk seekor kelinci cantik.
Ify menatap Sivia sambil mengangkat dagunya ingin bertanya ada apa.
“lo jadian sama kak Rio?” tanya Sivia to the point.
Ify berbalik menghadap Sivia seutuhnya. Ia benar-benar terkejut Sivia sudah mengetahui hal itu padahal ia belum
bercerita sama sekali.
“tau dari mana, Vi?” tanya Ify panik.
“Cuma perkiraan gue, tadi pagi gue liat lo berdua kejar-kajaran kaya bintang film bollywood.”
“syukur kalo gitu! Iya, gue sama kak Rio udah resmi, tapi lo jangan bilang ke siapapun ya.” Mohon Ify.
“pasti, darl! Gue ngerti kok.”
Ify merentangkan tangannya kemudian memeluk Sivia. Beruntungnya ia memiliki sahabat sepengertian Sivia. Yang selalu ada bagaimanapun sifat Ify. Sambil tersenyum Sivia membalas pelukan Ify.
“PJ sama uang tutup mulut jangan lupa!” tagih Sivia sambil menirukan gaya preman pasar.
“sip!”
***
Di kelas lain, tak jauh dari kelas Ify. Keadaan juga tak berbeda jauh dengan kelas Ify, begitu lengang karena sebagian besar penghuninya pergi mengisi perut ke kantin atau sekedar keluar kelas untuk merefresh pikiran.
Gabriel terus-menerus menggaruk tengkuknya tanda ia belum juga mengerti dengan barisan rumus yang baru saja ia minta pada Shilla untuk menjelaskan padanya.
“pokoknya benda lenting sempurna itu rumusnya sama kaya kekekalan momentum!” jelas Shilla gemas, mulai menyerah dan kehabisan akal untuk membuat pelajaran ini lebih mudah dicerna untuk Gabriel.
“emang rumus kekekalan momentum apaan?” tanya Gabriel sambil memamerkan cengiran kudanya.
Shilla mendengus kesal.
“itu pelajaran kelas 11, Gabriel Stevent. Masa kamu nggak nangkep juga? Aku nyerah deh.” Cerocos Shilla sambil melepas kaca mata tutup botolnya dan membersihkannya.
“gue lupa.”
“dan dulu nggak bisa?” tuduh Shilla galak sambil mendekatkan wajahnya pada Gabriel.
Gabriel menelan ludahnya susah payah. Baru kali ini ia melihat wajah Shilla begitu dekat, tanpa kaca mata. Ternyata lebih cantik dari yang ia bayangkan.
“Shil..” desis Gabriel yang masih terpesona.
Menyadari Gabriel semakin mendekat ke arahnya, Shilla beringsut mundur. Canggung.
Dengan gerakan cepat, Gabriel melepas kedua ikat rambut Shilla. Rambut hitam panjang yang sebelumnya terikat seperti seorang gadis desa yang begitu polos kini tergerai. Shilla yang sebenarnya ingin memberontak pada perbuatan tiba-tiba yang dilakukan Gabriel dengan menggoyangkan kepalanya justru membuat helaian rambutnya berkibar, menciptakan siluet yang luar biasa indah di mata Gabriel yang kini terpaku.
Gabriel terdiam. Merasakan dunia seakan berhenti berputak dan waktu berhenti berdenting. Hanya suara detakan
jantungnya yang semakin menggila yang dapat diterima indra pendengarannya. Kemana saja ia baru menyadari ada malaikat yang selalu ada untuknya?
“balikin!” bentak Shilla sambil merebut paksa kembali ikat rambutnya dari tangan Gabriel kemudian mengikat ekor kuda rambutnya dengan asal-asalan.
Gabriel menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menyadarkan diri dari keterpesonaannya.
“Shil, gue balik ke kelas!” pamit Gabriel kemudian berlari meninggalkan kelas Shilla dan kembali ke kelasnya dengan tergesa-gesa.
Shilla hanya menatap heran kepergian Gabriel. Karena memang bukan hal yang ajaib jika Gabriel bertingkah aneh tanpa sebab, sepertinya memang ia seperti itu, tak pernah serius. Hal yang disukai Shilla sekaligus membuatnya bimbang.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar