Minggu, 24 April 2011

Song of Love part 2

Siang yang begitu terik tak menghalangi semangat siswa-siswi terpilih SMA Putra Buana. Di tengah lapangan dengan semangat yang belum mengendur sedikitpun tim basket sekolah terus berlatih di bawah pimpinan pak Yudha, guru olahraga idola para siswi seantero sekolah karena memang usianya yang masih muda dan sifatnya yang mudah dekat dengan orang lain.
Di tepi lapangan tim cheerleaders juga tengah serius berlatih tak mau kalah dengan tim yang nantinya akan mereka semangati.
“ahh.. Fy! Gue cape ni.. istirahat bentar dong!” keluh salah seorang dari tim cheers pada Ify yang memiliki posisi sebagai ketua dan memegang komando dalam setiap latihan.
“baru gini doang cape? Kapan kita mau menang?” jawab Ify sengit dan kembali memberi arahan pada teman-temannya.
Tak ada lagi protes, kini semua mata tertuju pada Ify. Lekuk tubuh indahnya memperagakan setiap detail gerakan dengan sempurna. Ditambah kibaran rambut hitam panjangnya yang dibiarkan terurai ikut menari. Siluet yang luar biasa indah ditambah efek berkilau dari pantulan cahaya matahari yang menerpa butiran-butiran keringat di pelipisnya.
Beberapa anggota tim basketpun sampai menghentikan pergerakannya. Terpaku pada gadis ‘paling diincar’ para siswa itu. Bola basket yang sebelumnya menjadi korban rebutan pun dibiarkan bergulir entah kemana.
“ckckck.. beruntungnya elo dicintai bidadari, Yo!” gumam Gabriel dengan tatapan tak beralih sama sekali dari Ify sementara tangannya menepuk-nepuk punggung Rio yang diam menahan emosi melihat kelakuan teman-temannya.
Memang sudah menjadi rahasia umum bila Ify menyukai Rio, terlebih dikalangan teman-teman Rio yang biasa dititipi salam oleh Ify. Rio pun tau hal itu, meskipun ia tak pernah menganggapnya serius. Tak satupun salam Ify mendapat jawaban darinya.
Pernah dengar kisah cinta paling menyedihkan versi penulis hebat Indonesia, Andrea Hirata? kisah cinta paling tragis bukan kisah cinta yang hancur karena perselingkuhan, bukan juga cinta yang putus karena perbedaan, apalagi hanya cinta yang terpisah jarak. Setidaknya mereka yang mengalami kisah itu pernah saling mencinta dalam sebuah kepastian. Kisah cinta paling menyedihkan adalah cinta yang tidak peduli. Tak ada kepastian yang didapat dari cinta itu, ia tak berkata untuk membalas perasaanmu namun juga tak menghancurkan harapanmu. Dan celakanya hal itu yang dialami Ify.
 “woy! Pada niat latihan nggak sih?” seru Rio geram. “kalo enggak, gue balik!” Rio melangkah meninggalkan lapangan.
“eh, Yo! Lo ngambekan banget sih? Kaya perawan lo!” cegah Gabriel sambil menahan tangan Rio.
“iya, kita latihan.” Lanjutnya meyakinkan Rio agar tetap tinggal. Dan kemudian memberi isyarat pada yang lain dengan matanya untuk segera kembali keposisinya. -buruan-keburu-ada-macan-ngamuk- mungkin begitu bahasa isyarat itu bila diterjemahkan dalam bahasa verbal.
“ck!” Rio menyentakan tangannya untuk melepaskan cekalan Gabriel dan berjalan kembali menuju ke posisinya.
Permainan kembali seperti semula. Tak ingin roh macan lapar yang berdiam di diri kapten mereka benar-benar bangun tampaknya.
***
Jam digital berukuran besar yang sengaja dipasang di tembok kokoh yang ada di samping kiri tribun komentator sudah menunjukan pukul lima lebih lima menit. Tim basket yang sudah kelelahan, berjamaah merebahkan tubuh mereka di tepi lapangan. Mengatur nafas mereka yang sudah satu-satu. Mereka sadar satu jam lebih sudah mereka dikerjai Rio, bermain basket seperti orang kesetanan tanpa istirahat. Kemampuan Rio mengolah bola dan posisinya sebagai pengendali permainan membuatnya mudah saja memaksa anggota tim yang lain menjadi kerja rodi mengimbangi permainannya dan juga menahannya bagi tim lawan. Tapi dengan cara ini seharusnya Rio lah yang paling lelah, namun nyatanya ia sekarang masih asik memainkan bola sendirian di tengah lapangan.
Tim cheers masih sibuk mengatur posisi piramid mereka sejak beberapa waktu lalu. Posisi-posisi sebelumnya dianggap belum memuaskan oleh Ify. Dan siapa yang berani menentang perintah kapten mereka itu?
Saat ini Ify sudah berdiri di posisi puncak formasi piramid rancangannya. Mungkin karena rasa lelah dan otot-otot yang terlalu dipaksakan salah satu anggota tim yang menjadi ‘pondasi’ formasi mengalami kram di kaki kirinya yang secara otomatis membubarkan yang lain. Ify yang berada di tempat yang cukup tinggi setelah sebelumnya diangkat ‘tumpukan’ dua orang hanya bisa menutup matanya dan menjerit pasrah.
BRUG!
Tapi tunggu, Ify tidak merasakan rasa sakit sama sekali setelah ia terjatuh. Perlahan ia membuka jemari yang tadi menutupi wajah dan matanya.
Serentak darah Ify mendesir capat, mengalir tanpa kendali ke seluruh bagian tubuhnya. Ia sedang berada di dalam gendongan Rio saat ini, ditambah tangannya yang secara reflek merengkuh Rio. Mata tajam milik pangeran pujaannya itu langsung mengarah ke manik matanya, mengunci seluruh tubuhnya yang mendadak kaku. Dunia pun rasanya beristirahat sejenak dan memilih memperhatikan adegan manis ini dalam kesunyian.
“ehhem..” dehem usil beberapa siswa yang sukses menghempaskan dua orang anak manusia yang barusaja dibawa terbang oleh dewa Amore kembali ke dunia nyata.
Dengan gerakan cepat Rio segera menurunkan Ify dan kembali berjalan ke lapangan seperti tidak terjadi sesuatu sebelumnya. Sama sekali tak mempedulikan sorakan heboh kawan-kawannya untuk adegan romantis yang akhirnya dapat mereka lihat secara nyata setelah sebelumnya hanya bisa mereka lihat lewat film atau sinetron drama.
Gabriel tersenyum tipis ditempatnya. Mencoba menyelami hati sahabatnya. Mengambil kesimpulan bahwa tadi, selama Rio bermain basket, ia membagi konsentrasinya antara mengolah bola dan mengawasi gadis itu, buktinya bisa setangkas itu Rio mengangkap Ify, terlalu sempurna untuk sebuah gerakan yang hanya didasari refleks. Kilatan mata yang selalu tenang milik sahabatnya itu juga berbeda dari biasanya saat tadi ia sempat menangkap Rio menatap dalam pada Ify. Apapun itu Gabriel hanya ingin kehidupan Rio kembali hidup, mungkin melalui dua hal yang ia yakini akan berhasil sejak beberapa saat lalu, dua hal itu: Ify dan cinta.
***
“kak Rio!’ seru Ify sambil mengejar Rio yang sudah berjalan menuju parkiran dimana ia biasa meletakkan mobilnya.
Tapi Rio tidak berhenti, hanya sedikit memperlambat langkahnya. Sedikit saja bahkan hanya ia yang mengetahui bila tempo langkahnya tidak secepat tadi. Sementara Ify masih sibuk mengejarnya. Dan Rio masih tetap berusaha acuh dengan kehadiran Ify.
“kak Rio!” panggil Ify gemas sambil menata nafasnya yang terengah setelah berhasil menyamai posisi Rio. “berhenti bentar dong! Ini gue ngomong sama elo!” perintah Ify mencoba bersabar menghadapi bongkahan es hidup di hadapannya.
Secara tiba-tiba Rio menghentikan langkahnya. Membuat Ify sedikit terhuyung kerena tidak ada persiapan mengerem langkahnya. Ia diam sambil menatap Ify seakan ingin mengatakan –ada-apa-lo-udah-buang-waktu-gue-percuma-.
“gue.. cuma mau bilang makasih kak! Buat yang tadi..” jawab Ify cepat sebelum Rio kembali menghindar.
“hmm.. udah?” tanya Rio datar.
Ify mengangguk kuat-kuat. Ia memang sudah selesai mengutarakan maksudnya.
“nggak susah kan ngomong langsung sama gue?” sindir Rio tepat pada sasaran dan sedetik kemudian mengayunkan kembali kakinya meninggalkan Ify yang masih melongo di tempat.
“nggak susah nenek lo kayang?!” gerutu Ify dongkol.
“Rio pendengarannya tajam lo, Fy!” ucap Gabriel tiba-tiba sambil menepuk pundak Ify. Ia tak sengaja mendengar pembicaraan Ify dengan sahabatnya itu sebelumnya.
Spontan Ify menutup mulutnya. Kaget. Dan berfikir perjuangannya selama ini menunggu Rio akan sia-sia karena hal ini.
“serius, kak?” tanya Ify cemas.
“iya! Ati-ati makanya kalo ngomong! Eh.. lo ada waktu enggak?”
“kapan? Buat apa”
“sekarang! ngobrol”
Ify melirik jam tangan berwarna babyblue yang melingkar manis di tangan kirinya. Baru lima menit lebih dari pukul setengah enam sore. Langitpun belum begitu gelap. Rasanya masih cukup untuk sekedar ngobrol sebentar.
“oke! Anterin pulang sama traktir tapi!”
“siap, boss!” jawab Gabriel mantab sambil memperagakan hormat ala pasukan tentara pada komandannya.
 ***
Sentana Caffe, begitu nama yang tertulis besar-besar pada baliho besar yang tertanam di depan bangunan bernuansa hitam ini. Jaraknya tidak terlalu jauh dari SMA Putra Buana, tak butuh waktu lama bagi Gabriel untuk memacu sepeda motornya sampai ke tempat ini.
Di salah satu sudut caffe, kini Gabriel dan Ify duduk berdua dalam diam. Ify masih sibuk meniup-niup hot chocolate  yang masih bersemangat mengepulkan uap panasnya, sekaligus menghangatkan tangannya dengan menggenggam tepian cangkir keramik putih yang menjadi wadah minuman pesanannya itu. Sore ini terasa begitu dingin. Cuaca alam ini yang mulai labil, begitu terik saat siang hari dan langsung berubah menjadi begitu dingin ketika matahari kembali ke peraduannya, juga ditambah efek AC yang masih menyala kuat ke seluruh penjuru ruangan.
Sementara Gabriel hanya mengaduk asal cappuccino float-nya sambil melayangkan pandangannya pada waterwall yang dibangun di sudut lain caffe untuk menambah kesan sejuk tempat ini.
“ada apa, kak?” tanya Ify setelah bosan diam saja sedari tadi.
“lo, bener sayang sama Rio?” tanya Gabriel setalah menatap Ify dengan wajah serius.
“emang penantian gue hampir setahun ini kurang ngebuktiin?”
Gabriel menggeleng. Bukan ia ingin meragukan Ify.
“no! I trust you!”
“so? Why did you ask me like that? Do you have anyfeel for me?” tanya Ify sambil tersenyum menggoda Gabriel. Ia tau pasti betapa hidung belangnya lelaki yang kini sedang duduk berhadapan dengannya.
“yeah.. I never lie...” Gabriel mendekatkan wajahnya pada Ify yang masih memasang mimik menggoda. Ia pun tau bahwa Ify tak berbeda jauh dengannya, gemar memberi harapan kosong pada setiap laki-laki yang mengejarnya. Dengan tenang Ify masih bertahan pada posisinya tak berubah ataupun beranjak sedikitpun seakan menantang Gabriel. Gabriel menahan wajahnya hanya dalam posisi beberpa inci dari wajah Ify. “I had it, sometime ago, you’re too perfect to lose from my eyes!”
Setelah membisikan untaian kata itu pada Ify, Gabriel kembali menormalkan posisinya sebelum perbuatannya tadi menarik perhatian pengunjung caffe lain yang mungkin akan mensalahartikan semuanya.
Sedetik kemudian Ify tertawa kecil mendengar kejujuran Gabriel. Tak menyangka playboy kelas dewa sepertinya pun pernah mengharapkan memiliki seorang Ify.
 “so, lo sama Rio aja deh!” Gabriel pun ikut tertawa bersama Ify.
“kapan batu karang itu luluh coba? Lo bantu gue dong, kak!”
“sekeras-kerasnya karang itu, kalau terus kena ombak juga pasti terkikis. Gue bantu doa aja ya? Gue nggak mau ngusik privasi dia, dia paling nggak suka.”
Setelah itu, Gabriel dan Ify terlibat pembicaraan hangat selayaknya sepasang sahabat.
***
Dari ambang pintu caffe seorang gadis menatap beberapa potong adegan yang diperagakan oleh Gabriel dan Ify. Terdiam tanpa tau harus berbuat apa. Seakan sebuah pedang tajam sedang mengoyak hatinya tanpa ampun, sakit sekali. Sakit yang bahkan tak ada obat yang mampu meredamnya.
Sebutir mutiara bening keluar dari matanya, mengalir tanpa terbendung di pipinya. Meluapkan semua rasa yang sudah tak mampu lagi ia tahan seorang diri.
Sesaat kemudian ia memilih beranjak pergi meninggalkan caffe itu. Mebatalkan niatnya mengahbiskan waktu di tempat yang biasa ia datangi ini. Berlari kecil sambil sesekali menghapus air matanya.
***
Kini Shilla, gadis yang tadi secara tidak sengaja melihat adegan yang dipamerkan pangerannya dengan sang putri idaman hanya bisa terisak di balik grand piano hitam mengkilat yang teronggok diam di sudut ruangan besar lantai atas rumahnya.
Karna kau tak lihat.. terkadang malaikat..
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan..
Namun kasih ini.. silahkan kau adu..
Malaikat juga tau, aku kan jadi juaranya..
Senandung lembut dari suara sopran milik Shilla mengalun memecah hening berpadu dengan dentingan piano hasil permainan jari-jari lentiknya. Bertambah miris didengar dengan suara isakan yang terdengar dari bibirnya.
Berkali-kali Shilla mendengar dari mulut Gabriel sendiri bahwa hatinya sedang ditawan oleh beberapa gadis dan dengan mudah Gabriel mendapatkan mereka. Shilla masih bisa terus bertahan di tempatnya sesuai dengan porsinya sebagai sahabat Gabriel.
Sebuah benteng yang paling kokoh sekalipun tak akan selamanya mampu melindungi apapun yang ada di dalamnya jika terus digempur, apa lagi hanya seonggok hati anak manusia. Lelah, rasa yang sangat manusiawi. Shilla hampir menyerah membuktikan pada Gabriel ada cinta yang benar-benar nyata ada untuknya yang berdiri diatas dasar ketulusan yang tak bersyarat.
Dengan kedua telapak tangannya, Shilla menutup wajahnya, berharap dunia tak melihat kehancurannya dan menertawakannya esok hari. Sudah cukup mereka tertawa karena pikiran bodohnya mengharap cintanya terbalaskan. Ia beranjak ke tempat tidurnya dan berharap esok semuanya akan lebih baik atau ia lupa akan perasaanya pada Gabriel.
***
Di sudut lain kota ini, di sebuah ruangan besar yang kini benar-benar diselimuti kesunyian. Hanya bunyi jari-jari yang beradu dengan keyboard laptop yang memenuhinya. Sudah hampir tiga jam berlalu suasana tak berubah sama sekali.
Sampai akhirnya nada dering dari sebuah ponsel berwarna hitam yang tergeletak asal di meja menghentikan aktivitas pemiliknya.
Tuan Haling is calling...
Kalimat yang tertera di layar ponsel itu. Tanpa tenaga, Rio, pemiliknya menekan tombol penjawab.
“hallo, pa..” sapa Rio sambil memijit pangkal hidungnya. Entah mengapa kepalanya menjadi terasa begitu berat hari ini.
“konsep kamu papa tunggu besok pagi! Clien sudah menanyakan.” Perintah sang ayah dari seberang sana dengan nada otoriter khas seorang boss besar. Bukan layaknya seorang ayah pada putranya.
“tapi, pa..”
“tidak ada kata ‘tapi’!”
Tuttt..tuttt... suara yang menjadi tanda bahwa panggilan sudah terputus.
Sambil menatap layar ponselnya, Rio menghela nafas berat. Ia ingat pasti ini pertama kalinya sang ayah menelephonnya setelah hampir tiga minggu yang lalu. Tapi bukan untuk memberikan perhatiaannya atau sekedar menanyakan kabarnya, hal-hal yang paling ia dambakan saat sosok itu berbicara padanya. Itu sebabnya Rio menamai kontak ayahnya ‘Tuan Haling’.
Sorang gadis kecil berdiri diambang pintu bercat hitam. Dengan boneka taddy bear abu-abu di pelukannya dan mata yang belum sepenuhnya terbuka.
“kak Rio..” sapa gadis itu setelah sampai di samping Rio.
“loh, kok Acha belum tidur?” tanya Rio lembut sambil merapikan rambut adik semata wayangnya, Acha namanya.
“ini udah bangun lagi. Kak Rio kan yang belum tidur? udah jam dua pagi ini, kak! Bukannya besok kakak harus sekolah? Nanti kalo kakak sakit gimana? Siapa yang jagain Acha?” celoteh Acha tanpa memperhatikan tanda baca yang harus ia perhatikan dalam kalimatnya.
“adik kakak kok bawel banget sih? Kakak nggak papa kok! Acha kenapa bangun?”
“Acha kangen mama, kak..” jawab Acha sambil tertunduk menyembunyikan wajah sedihnya. “mama nggak sayang ya sama kita? Kok dia ninggalin kita?”
Dengan segera Rio menarik tubuh Acha dan memeluknya hangat. Mencoba memberi kekuatan pada orang yang paling ia kasihi saat ini. Orang yang ia anggap hartanya satu-satunya.
“kakak juga kangen mama, kangen banget! Tapi Acha harus percaya mama sayang sama kita kok, beliau pasti sekarang lagi liat kita dari pelukan Tuhan.” Bisik Rio.
“tapi kak..”
Sebelum Acha menyelesaikan kalimatnya, telunjuk Rio sudah menghentikannya. Diraihnya tangan mungil Acha dan kemudian ia tuntun menuju loteng rumahnya.
***
Bintang-bintang berhamburan di angkasa, nyaris seperti butiran pasir di pantai, tak akan pernah sanggup dihitung. Suara binatang malam membentuk sebuah orkes alam menggenapi indahnya malam ini.  Menemani dua orang kakak beradik yang masih terkagum dengan lukisan maha sempurna malam ini.
“Acha liat bintang-bintang itu kan?” tanya Rio membuyarkan keheningan.
Acha mengangguk semangat karena masih dibuai rasa takjub pada pemandangan yang baru pertama kali ia lihat kali ini.
“salah satu bintang itu pasti mama yang sedang ngawasin kita.” Terang Rio dengan senyum yang masih terpendar di wajahnya.
“kakak nggak bohongin Acha kan?”
Acha melipat kedua tangannya di depan dada dan memasang wajah detektive seperti serial kartun Conan yang sering ia lihat.
“buat apa kakak bohong?”
Tanpa aba-aba Acha menubruk tubuh kakaknya dan memeluknya erat.
“bintang itu indah, tapi Acha nggak bisa peluk, kak Rio jangan jadi bintang juga ya!” ucap Acha polos dengan air mata yang sudah membenjiri pipi gembulnya.
“sampai kapanpun kakak akan jagain Acha.” Jawab Rio sambil membalas pelukan adiknya.
“udah lama Acha nggak dengerin kak Rio nyanyi, sekarang Acha mau kak Rio nyanyi!”
“oke, tapi Acha tidur ya!”
Rio menudukan dirinya pada kursi tua panjang yang sudah tidak dipergunakan lagi. Sudah reot memang, namun masih cukup kuat untuk menyangga berat tubuhnya dan Acha yang kini berada di pangkuannya.
Hanya satu pintaku ‘tuk memandang langit biru
Dalam dekap seorang ibu
Hanya satu pintaku ‘tuk bercanda dan tertawa
Di pangkuan seorang ayah
Apa bila ini hanya sebuah mimpi
Ku selalu berharap dan tak pernah terbangun..
Hanya satu pintaku tuk memandang langit biru
Di pangkuan ayah dan ibu..
Suara lembut Rio berbaur indah dengan orkestra alam yang sebelumnya sudah terbentuk. Melantunkan lagu yang dahulu selalu ibunya senandungkan untuk mengantarnya ke alam mimpi. Senandung yang sangat ia rindukan dan entah kapan akan ia dengar lagi.
Pikirnya kini melayang saat semuanya masih sangat indah, sebelum wanita yang paling Rio cintai itu pergi ke rumah yang kekal, rumah penciptanya. Meninggalkan masalah yang begitu sulit bagi Rio. Ayahnya yang tiba-tiba menjadi temperamen setelah kematian ibunya. Ayah yang kini hanya mengganggapnya dan membentuknya menjadi robot yang ada untuk dipekerjakan.
Hal yang langsung membuatnya berubah seratus delapan puluh derajat dari sosok Mario yang dulu. Ia tau mengapa ayahnya berbuat seperti itu padanya, kahilangan yang sangat mendalam pada permaisurinya, kehilangan yang sama seperti yang ia rasakan. Bekerja. Bekerja. Dan bekerja menjadi pelariannya.
***
Pagi yang cerah, langit biru tanpa awan, sang mentari bebas nersinar tanpa penghalang. Jam olah raga untuk kelas XII IPA 3, kelas Rio dan Gabriel. Mata pelajaran paling disukai sepasang sahabat ini.
Gabriel mengimbangi langkah Rio yang berjalan perlahan menuju ke lapangan di belakang barisan teman-temannya yang lain. Dengan seksama Gabriel memperhatikan wajah sahabatnya yang terus tertunduk. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit memutih dan kering. Sepasang mata sayu yang sulit terbaca miliknya pun memperlihatkan guratan kelelahan yang tak mampu lagi ia sembunyikan dibalik kesan angkuh dan dinginnya.
“bisa berhenti liatin gue kaya gitu, Yel?” sindir Rio yang sudah merasa risih dengan cara Gabriel menatapnya. “emang gara-gara gue diem selera gue udah nggak sama cewek?” lanjutnya sambil menarik salah satu ujung bibirnya.
“ahha.. sense humor lo yang lama hilang sudah kembali, bro?” Gabriel menyeringai lebar seraya merangkul Rio.
“ohh.. lo lebih suka gue diem?” tanya Rio sarkatis.
“oke, nggak usah diperpanjang! Lo pucet banget, Yo! Sakit?”
“enggak, semalem nggak tidur.”
“bokap lo lagi?”
“ada alasan lain?”
“come on, boy! Lo kalo nggak suka bilang sama bokap lo! Lo anaknya bukan babunya!” ujar Gabriel menggebu-gebu.
“come on, boy! Lo sahabat atau manager gue? Gue seneng lakuin ini.” Rio menirukan nada bicara Gabriel sebelumnya.
“mending nanti siang lo nggak usah latihan, tidur aja!”
“nggak, ini pertandingan terakhir kita.”
“bukan karena Ify?” tanya Gabriel iseng.
Rio menghentikan langkahnya a dan melayangkan padangan tak suka pada arah pembicaraan Gabriel. Sementara Gabriel hanya kembali menyeringai lebar untuk menegaskan ia hanya bergurau.
***
Jam istirahat sudah berdengung beberapa detik lalu. Semua siswa kelas Ify berhamburan keluar kelas dengan ekspresi berbagai macam, ada yang begitu riang karena dengan mudah dapat mengerjakan soal ulangan Fisika mendadak yang diadakan bu Marlina, ada juga yang benar-benar kusut masai karena sama sekali tak mampu mengerjakannya. Ada pula yang lebih memilih marah-marah karena aksi menconteknya digagalkan oleh guru bermata jeli itu.
Dengan sumringah Ify keluar kelas sambil menenteng sebuah botol isotonik di tangan kanannya. Sivia mengejar Ify tergopoh-gopoh. Begitulah Ify jarang mengingat hal lain bila sudah memiliki tujuan.
“Fy! Gila lo! Sarapan daging kuda tadi pagi? Nggak nungguin gue lagi! Lo tadi bisa ngerjain kok biasa aja gini?” cerocos Sivia setelah berhasil mensejajari langkah Ify.
“apaan cuma lima soal gitu?” jawab Ify meremehkan.
“lo kerjain berapa?” tanya Sivia yang sudah yakin dengan mimik wajah Ify yang terlihat serius.
“satu doang, itu juga cuma rumusnya!” seperti biasa Ify nyengir tanpa dosa.
BRUG!
Karena tak melihat jalan di hadapannya, tak sengaja Ify menabrak seseorang yang baru saja keluar dari dalam perpustakaan. Tumpukan buku yang dibawa orang yang ditabrak Ify tadipun jatuh berantakan.
“aw..” rintih Ify yang memang kesakitan karena menabarak tepat di tumpukan buku tebal yang dibawa korbannya.
Gadis manis itu berdecak kesal sambil berkacak pinggang melihat korban ketidakhati-hatiannya masih sibuk memberaskan buku. Sama sekali tak merasa bersalah.
“ohh.. kak Shilla! Emang kaca matanya kurang tebel ya? Nggak liat ada orang jalan di sini?” ucap Ify angkuh sambil menatap orang yang ia tabrak, yang ternyata Shilla.
“ma..maaf.” jawab Shilla sambil tertunduk.
“maaf? Enak banget? Mending lo beli kaca mata baru deh! Atau kalau enggak kaca mata tutup botol lo itu diganti pake botol-botolnya sekalian!” bentak Ify makin menjadi.
“udah, Fy!” bisik Sivia sambil mengurut punggung Ify agar emosi sahabatnya itu menurun. “lo nggak papa ini.”
“ck! Oke, kali ini gue maafin, gue masih hormatin lo sebagai senior gue!”
Dengan langkah cepat Ify berjalan meninggalkan tempat kejadian dan melupakan amarahnya.
“maaf ya, kak..” kata Sivia sambil membantu Shilla berdiri. Dibalas sebuah anggukan oleh Shilla.
Shilla terus menatap punggung Ify yang berjalan menjauh. Perasaan sakit hatinya kemarin kembali menyebar ke seluruh aliran darahnya. Benar-benar tak rela jika pangeran yang selalu dicintainya jatuh ke pelukan perempuan seangkuh dan sesombong Ify. Sebuah rencana besar terus menggelayut di otaknya, entah mendapat tenaga gaib darimana hingga segumpal kegilaan itu kini merasuki seluruh jiwa labil Shilla.
bersambung...

1 komentar: