Gerakan dua pasang kaki itu menimbulkan riak-riak air di kolam renang. Berkali-kali suara tawa mereka pecah memecah hening yang tercipta sebelumnya. Ify dan Alvin masih sibuk bercanda melepaskan rindu mereka hingga hari kini sudah larut malam. Mengingat semua kenangan yang pernah mereka lewati sebagai sepasang sahabat sebelum Alvin melanjutkan sekolahnya ke Singapura dua setengah tahun lalu. Membicarakan hal-hal yang tidak bisa mereka utarakan di facebook atau e-mail, dan semua kata yang terbatas oleh 140 karakter maksimal di twitter, tempat mereka berkomunikasi selama ini.
“Fy..” panggil Alvin dengan nada serius.
Ify menatap Alvin seakan ingin bertanya ada apa.
“cinta gue ke elo... masih sama. Gue selalu cinta sama elo.” Ucap Alvin sedikit ragu karena sebenarnya ia tak ingin merusak keceriaan ini. Namun perasaan yang sudah lama ditahannya itu juga terus mendesak meminta untuk diungkapkan.
“tapi perasaan gue ke elo juga masih sama, sebagai seorang sahabat, nggak lebih.” Balas Ify pelan karena tak ingin menyinggung perasaan Alvin.
“it’s okay! But, I’ll always wait for you.”
Alvin tersenyum, menegaskan jika ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Seakan ucapannya sebelumnya adalah sebuah janji.
Ify hanya memaksakan seulas senyum terukir di bibirnya. Ia tau pasti bagaimana perasaan Alvin saat ini karena ia juga sedang mengalaminya dengan Rio. Namun di sisi lain ia tak bisa membalas perasaan Alvin karena memang cinta di hatinya tak tumbuh untuk Alvin, justru laki-laki lain yang mendapatkannya.
Mereka berdua diam larut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara binatang malam yang terdengar dan menunjukan bahwa masih ada kehidupan di tempat itu.
“gue perhatiin kok lo makin sipit ya, Pin? Jangan-jangan ini gue kabur lo nggak liat lagi?” canda Ify mencairkan suasana yang sempat membeku.
“sialan lo! Pan-Pin-Pan-Pin, lo kata gue Upin-Ipin? Alvin! Ve bukan Pe! Dari dulu juga mata gue segini, Ipi!”
“I-F-Y! eF bukan Pe, Alpin!”
Alvin dan Ify kembali asik bercanda. Mencoba mengabaikan pembicaraan mereka sebelumnya.
***
Hari Minggu pagi yang cerah. Burung-burung berkicau riang tanpa beban. Dinginnya embun yang belum juga mengering di telapak kakinya tak juga menghalangi langkah Ify yang begitu ringan mengitari taman yang berada tak jauh dari rumahnya.
Taman masih bergitu sepi, hanya ada satu-dua orang saja yang sedang berolahraga pagi atau hanya sekedar duduk menikmati udara yang masih begitu segar.
Mata indah Ify terpejam dengan kedua tangan yang ia rentangkan lebar-lebar. Menegaskan bahwa ia siap menghadapi apapun yang akan terjadi hari ini. Dihirupnya udara kuat-kuat untuk memenuhi seluruh rongga paru-parunya. Memenuhi seluruh tubuhnya dengan udara tanpa polusi dan kesesakan.
Setelah merasa lebih segar dari sebelumnya, Ify berlari kecil ke tepi danau buatan yang berada tepat di tengah taman. Segerombolan kecil burung gereja menyambutnya dengan tarian khas mereka. Seakan menunjukan itulah dunia mereka yang begitu sempurna tanpa jamahan tangan manusia yang tidak bertanggungjawab. Lagi-lagi Ify tersenyum kecil, ingin rasanya menjadi sebebas dan sebahagia burung-burung itu. Terbang jauh mengitari angkasa bersama kawanan yang selalu setia saling membantu, tanpa beban dan masalah.
Sampai sebuah isakan kecil menyadarkan gadis itu dari semua khayalannya. Rintihan yang mengusiknya untuk segera datang membantu. Ify mengedarkan kepalanya ke segala arah untuk mencari sumber suara. Matanya menangkap seorang gadis kecil yang sedang duduk di samping sepedanya yang terjatuh dengan lulut terluka. Bergegas Ify menghampirinya.
“adek, adek kenapa?” tanya Ify sedikit panik sambil menyeka air mata di pipi chubby gadi kecil itu.
“jatuh, kak, sakit..” jawab si gadis kecil di sela isakan tangisnya.
Ify segera membimbing gadis kecil tadi untuk duduk di bangku yang tak jauh dari tempat sebelumnya. Dengan tisu yang dibawanya perlahan ia membersihkan luka di lutut gadis itu. Perlahan isakan gadis itu berhenti.
“udah nggak papa kan?” tanya Ify sambil tersenyum dan membelai puncak kepala anak yang baru saja ditolongnya. Sepertinya Ify tak asing padanya. Dengan teliti Ify memperhatikan wajah gadis mungil itu, mencoba menebak dimana ia bertemu dengannya sebelumnya.
“kamu, adiknya kak Rio ya?” pekik Ify antusias setelah menemukan sedikit identitas gadis kecil itu, yang ternyata Acha, adik Rio.
Acha mengangguk heran sambil berganti mencermati wajah Ify.
“ahhaa... ini kakak yang disukai kak Rio!” ceplos Acha dengan semangatnya. Sepersekian detik berikutnya ia menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya sadar telah membeberkan sebuah rahasia besar.
Ify terperanjat mendengar ucapan polos Acha, tak mungkin ia sedang mengada-ada. Banyak kupu-kupu yang menari di rongga perutnya, menggelitiknya untuk tersenyum. Perjuangannya selama ini ternyata tidak sia-sia. Perasaannya terbalas.
“kak..” panggil Acha sambil mengibaskan tengannya di depan mata Ify yang sedang melamun sambil terus tersenyum.
“eh.. iya?” jawab Ify gelagapan.
“kakak bisa anggep tadi Acha nggak ngomong apapun enggak?” tanya Acha memelas dan merasa bersalah, walau tetap dengan kepolosannya.
Ify terkekeh mendengar ucapan Acha. Tapi toh ia mengangguk juga karena tak ingin gadis cantik yang menyenangkan itu kembali murung.
“makasih kakak cantik! Kakak em.. kak Alyssa Saufika, biasa dipanggil Ify!” celetuk Acha lagi sambil berusaha mengingat deretan nama yang pernah Rio sebutkan padanya.
“ihh.. Acha tau darimana nama panjang kakak?”
“kak Rio lah! Darimana lagi?”
Ucapan Acha kali ini kembali membawa jiwa Ify terbang. Ternyata Rio tak sedingin dan secuek itu, ia bahkan mengingat nama panjangnya.
“Acha mau beli es krim dulu!” seru Acha sambil melompat dari tempat duduknya karena mendengar musik khas penjual es krim yang gerobaknya berada tidak jauh dari tempatnya dan Ify duduk. Tanpa menunggu jawaban Ify ia berlari menyongsong si pedagang, dan sepertinya ia lupa kalau lututnya baru saja terluka karena jatuh dari sepeda beberapa menit lalu.
Ify tersenyum melihat Acha yang berlari menjauh. Rambut panjang ikalnya yang diikat dua terus menari mengikuti gerakan si pemilik. Gadis kecil yang begitu energik, terbuka, dan begitu ceria, salah satu sudut pikiran realistis Ify meragukan bahwa Acha adalah adik kadung Rio yang kaku, dingin, dan begitu tertutup, berbeda sekali mereka berdua.
Tak berapa lama Acha kembali dengan dua es krim, di tangan kanannya bungkusan es krim cokelat yang sudah terbuka dan ada sebuah bekas gigitan di tepinya, dan di tangan kirinya sebuah es krim stroberi yang masih terbungkus.
“es krim stoberi buat kakak yang cantik!” ucap Acha sambil memberikan satu es krimnya pada Ify.
“makasih..” jawab Ify manis.
Kini kedua gadis cantik itu asik menikmati es krim di tangan mereka. Bentang umur yang ada diantara mereka seakan luntur begitu saja. Seakan mereka sudah lama menjadi sepasang sahabat yang sangat dekat. Acha bisa banyak bercerita pada Ify termasuk semua hal yang tidak bisa ia ceritakan pada Rio. Dan hari ini tak ada Ify yang angkuh dan arogan, ia begitu lembut dan perhatian hari ini, ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa bersembunyi di balik topengnya bersama gadis kecil ini. Tulus, bukan karena ia adik dari laki-laki yang ia cintai. Tenyata ada sebauh kesamaan antara dua kakak beradik itu, sama-sama mampu mencuri hati dan perhatian Ify dalam sekejap.
Suatu malam tak berawan, tiada bulan, tanpa suara
Hanya satu bintang kejora berbisik menyapa hatiku
Bila saja hati ini hanya ingin teman semata
Betapa hanya kau yang di hati sahabat kecilku dulu
Walau lama tak berjumpa namun selalu kau ada
Membuat sebuah dunia terindah yang pernah ada
bila hatiku gembira dan ingin ku bagikannya
hanya dia saja seorang walau tak ada
(Ify ft. Hilmi & Kevin: Satu Malam Ost. Melody)
suara merdu Ify dan Acha membaur bernyanyi bersama. Keceriaan nyata tergambar pada untaian syair dan melody yang mereka senandungkan.
“udah ahh.. kakak cape ni.” Keluh Ify.
“huu.. kakak mah! Nggak asik!”
“faktor usia, sayang!” Ify menyeringai. “nama lengkap kamu siapa, Cha?” tanya Ify iseng.
“Raissa Haling!” jawab Acha mantab.
Ify tertegun. Lidahnya begitu kelu untuk kembali mengeluarkan kata-kata. Harinya yang ia pikir akan indah hari ini bersama Acha berubah drastis. Seakan ada sebuah petir yang tiba-tiba menyambar jiwanya. Nama terakhir Acha, benteng tinggi yang dimaksud Rio semuanya terkuak. Haling, keluarga seteru bisnis abadi keluarga Umari yang tidak lain keluarga Ify. Ayahnya selalu melarang keras dirinya bergaul dengan siapapun anggota klan itu. Dan saat ini, ia begitu dekat dengan kedua anak dari keluarga Haling, bahkan hatinya sudah seluruhnya tertaut pada putra mahkota kerajaan bisnis itu. Dan mengapa ia baru tau saat ini jika ada nama Haling di belakang nama Rio? Mengapa pengintaiannya selama ini tak mampu melacak sesuatu yang begitu besar itu? Sekarang, setelah semua perasaan cintanya pada Rio terpupuk subur.
“Cha! Kamu di sini?” tanya Rio yang tiba-tiba saja muncul di hadapan Ify dan Acha. Nada bicaranya makin pelan setelah menyadari keberadaan Ify di samping adiknya. Gadis itu kini tertunduk dengan helaian rambutnya yang terurai ke bawah seakan menjadi tirai. Meskipun samar Rio dapat melihat sebutir air mata mengalir di pipi gadis itu.
“Acha bawa sepedanya dulu ke mobil ya! Kakak mau ngomong dulu sama kak Ify.” Perintah Rio.
Acha menggangguk kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menjalankan perintah kakaknya.
“kenapa?” tanya Rio datar setelah ia manggantikan posisi Acha sebelumnya. Tanpa menatap Ify sama sekali dan justru menatap kosong pada sebuah titik jauh di hadapannya. Namun ada nada peduli yang tak dapat disembunyikan dari pertanyaan itu.
“Acha udah cerita semua! Semua! Tuan muda Haling!” jawab Ify sambil menahan isakannya. Kedua tangannya sudah mengepal kuat menahan emosi.
“terus? Lo sekarang mempersalahkan nama belakang gue?” tanya Rio sekali lagi, tak tersirat sedikitpun nada panik dalam pertanyaan itu. Tetap saja tenang. “gue siapa buat elo?” lanjut Rio, pertanyaan yang begitu menyakitkan untuk Ify.
Dengan gerakan cepat Ify menubruk tubuh Rio dan memeluknya erat. Menumpahkan segala sesaknya di bahu kokoh laki-laki pujaannya itu. Namun Rio tak juga bergeming, hanya diam membiarkan Ify terus tersedu di pundaknya, tak juga membalas pelukan Ify.
“gue cinta sama elo, kak Rio! Gue tau lo ngrasain hal yang sama, tapi kenapa..”
“lo cinta sama gue atau nama belakang gue?” potong Rio cepat, pelan namun tegas. Sedetik kemudian tangannya bergerak merengkuh tubuh Ify dan membalas pelukan gadis yang kini nampak begitu rapuh itu. Sangat erat, bahkah lebih erat dari pelukan Ify padanya. Tak peduli pada pengunjung taman lain yang menatap bingung ke arahnya dan Ify. Tau apa mereka?
Ify sedikit merasa kesulitan bernapas karena pelukan Rio. Tapi toh ia sungguh mengharapkan pelukan yang begitu menenangkan ini. Ify merasa aman dan semuanya akan baik-baik saja dalam pelukan Rio. Perlahan tangis dan isakannya mulai berhenti.
Rio terus memeluk Ify tak peduli lagi gadis itu akan mendengar dan merasakan getar jantungnya yang tak terkendali saat mereka berdekatan. Dan keegoisannya justru berharap gadis itu akan mendegar setiap detakan itu, detakan yang terus membisikan namanya dan detakan yang hanya ada untuknya. Berharap waktu tak kembali bergulir agar ia terus bisa mendapati Ify berada dalam pelukannya tanpa ada benda dan hal apapun yang dapat memisahkan mereka, termasuk benteng tinggi yang Rio maksud. Merasakan tubuh Ify tak lagi bergetar, Rio segera melepaskan pelukannya dan beranjak dari duduknya.
“mundur sekarang kalau lo nggak sanggup! Sebelum terlalu jauh.” Pesan Rio sebelum ia melangkahkan kakinya meninggalkan Ify sendiri.
Ify menatap punggung Rio yang semakin menjauh dengan tatapan tak terbaca. Kalimat terakhir yang Rio ucapkan sebelumnya terus membayang di pikirannya. Mundur? Terlalu jauh? Semudah itukah ia mengatakan hal itu? Tak mengertikah ia perjuangan Ify selama ini? Dan perasaan Ify padanya memang sudah terlalu jauh. Siapa Rio bisa menyuruh orang seenaknya untuk berhenti mencintai? Bukankah mencintai dan dicintai adalah hak yang dimiliki setiap manusia tanpa terkecuali?
***
Alvin terus merutuki mobilnya yang tiba-tiba saja macet tanpa sebab yang jelas. Ditambah kejadian itu terjadi di tempat yang sangat tidak menguntungkan, di tepi sebuah perkampungan padat penduduk tanpa sebuah bengkel pun yang nampak. Baginya yang selalu diselimuti fasilitas, mana mau ia bersusah-susah dan berkotor-kotor belajar membenahi mesin kendaraan.
Kekesalannya makin memuncak saat mendapati ponselnya mati kehabisan baterai. Hampir saja handphone keluaran terbaru yang baru dimilikinya sejak beberapa minggu lalu itu menjadi korbannya. Ingin ia banting keras-keras tanpa ampun benda itu kalau saja tak ada sebuah tangan yang mencengkeram lengannya dan mencegah Alvin melakukan hal itu.
Mata sipit Alvin menatap orang yang berani-berani mencegahnya dengan pandangan geram dan begitu tajam. Persis seperti seekor elang yang menemukan buruannya.
Di hadapannya kini berdiri seorang gadis mungil dengan dandanan apa adanya. Kaos oblong warna putih yang kebesaran
di tubuhnya, celana jeans pendek, dan sepatu keds yang sudah lusuh. Kepalanya memakai sebuah topi untuk melindungi matanya dari cahaya matahari yang begitu terik siang ini. Rambutnya di kucir ekor kuda. Wajahnya manis dan tidak membosankan untuk dilihat, kulitnya sawo matang khas kebanyakan orang Indonesia.
“shit!” umpat Alvin sambil menyentakan kasar tangannya dari genggaman gadis itu.
“lo nggak pernah diajarin bersyukur ya?!” ucap gadis itu. Matanya balas menatap Alvin tak kalah tajam.
“apa urusan lo?” bentak Alvin keras tepat di depan wajah gadis itu.
“gue emang nggak punya urusan apapun, tapi gue nggak suka lo mau banting barang nggak berdosa kaya hp lo itu! Nggak tau bersyukur!” cibir si gadis namun tidak dengan nada yang keras juga, hanya seperti sebuah sindiran.
“terus? Gue beli ini barang juga nggak pake duit elo!” balas Alvin. Nadanya sudah tak sekeras tadi.
“di luar sana banyak yang pengen juga barang kaya punya elo itu, tapi buat makan aja susah! Lo yang udah berhasil punya dijaga dong! Atau mending buat gue aja?”
“ish! Ngarep lo?!”
Alvin kembali memasukan ponsel yang menjadi perdebatannya dengan gadis manis itu kini ke dalam saku celananya.
“ish.. mana? Tadi udah mau lo banting? Pelit lo dasar! Gue sumpahin kuburan lo sempit!” tagih gadis tadi.
“mau lo sumpahin sampe bibir lo jontor juga kuburan gue tetep 1 x 2 meter ukurannya! Emang kalo lebar lo mau numpang? Udah cerewet, bego pula!”
“terus apa hak lo ngatain gue? Mentang-mentang lo kaya gue miskin gitu?”
“nggak nyambung, lemper!”
“lemper? Nama gue Agni! Bukan lemper!” seru gadis yang ternyata bernama Agni itu tak terima.
“oke! Bakal sampe pagi gue adu bacot sama elo! Nona Agni, ngapain lo tiba-tiba nyamperin gue?”
“tadinya mau bantu elo, kayanya mobil lo mogok, tapi berhubung lo nyebelin, niat gue batal!”
“ishh.. jadi lo ke sini cuma buat gegayaan? Mana bisa lo benerin mobil?” ujar Alvin meremehkan.
“apa yang mau lo kasih kalo gue bisa benerin mobil lo?” tantang Agni yakin jika dirinya akan menang.
“alah! Gue mau ngikutin lo kemana aja, sebulan!” jawab Alvin tak mau kalah.
“oke! Keluarin alat-alat bengkel yang lo punya!”
Tanpa menunggu perintah dua kali, Alvin membuka bagasi mobilnya dan mengeluarkan sebuah box berisi alat-alat
bengkel yang kemudian ia angsurkan pada Agni.
Agni membuka kap mobil depan milik Alvin. Gadis manis itu membalik topinya, yang semula di depan ia pasang di belakang. Tangan mungilnya mulai mengutak-atik beberapa bagian dari mesin. Sementara ITU Alvin hanya memperhatikan tanpa ia tau apa yang sebenarnya dilakukan Agni.
Beberapa menit berlalu. Butiran peluh mulai mengucur di pelipis keduanya karena hari memang begitu terik. Alvin yang memang tidak tahan dengan udara sepanas itu terus saja mengeluh walaupun Agni sama sekali tidak mempedulikannya.
“Selesai!” pekik Agni sambil mengusap keringat di pelipisnya dengan punggung tangannya.
Tanpa aba-aba Alvin bergegas memasuki mobilnya dan mencoba menyalakan mesin mobilnya. Dan Agni berhasil membuktikan ucapannya, mesinnya berhasil hidup.
Alvin menelan ludah. Ini berarti ia harus mulai melakukan nazarnya besok. Dilihat dari penampilannya, pasti kehidupan Agni tak mudah, membayangkan saja rasanya Alvin tak mau. Di sisi lain ia adalah seorang laki-laki, dan laki-laki sejati tak akan mengingkari janjinya.
“nazar itu kalo nggak ditepatin ibadahnya nggak bakal diterima lo..” sindir Agni dari samping pintu mobil Alvin sambil tersenyum nakal penuh kemenangan.
“iya! Ketemu dimana kita besok?”
“lampu merah depan! Siapa nama lo?”
“Alvin!”
“ya udah! Pulang sana nanti anak ganteng unyu ini dicari mama.” Ledek Agni. “jangan lupa minum susu ya, sayang!”
“nggak lucu! Gue balik!”
Alvin menginjak pedal gasnya dan melesat pergi meninggalkan Agni yang masih tersenyum melihat tingkahnya. Agni tau pasti Alvin bukan orang yang sombong, ia hanya tak terbiasa saja dengan semua keterbatasan tanpa fasilitas berlebih.
***
Malam semakin larut, tujuh belas menit lagi menuju tengah malam. Namun mata Rio belum juga mau terpejam. Rambut yang sedari tadi menjadi sasaran keputusasaannya kini sudah menjadi sangat berantakan. Laptop yang masih menyala di hadapannya terus ia abaikan sejak beberapa menit lalu.
Dua jam yang lalu ia mendapat e-mail dari sang ayah yang memerintahkannya bekerja lebih keras untuk proyek yang sedang dipertaruhkan perusahaan keluarganya saat ini. Namun bukan itu yang membuat Rio begitu tertekan, karena sudah menjadi rutinitas dan keharusan bagi ayahnya melakukan hal itu, sebuah kalimat diujung surat elektronik itu penyebabnya, jangan sampai Umari Corp menang! Lima kata yang menyimpan banyak ambisi dan dendam.
Ayah Rio tak pernah mencampuri urusan Rio terlalu dalam, selalu membebaskan putranya itu dengan semua pilihannya. Kecuali satu hal, bisnis, mau tak mau, suka tak suka Rio harus terjun ke sana, dan satu hal itu yang akhirnya berbuah panjang, sang ayah melarang keras anak-anaknya bergaul dengan anggota keluarga Umari dengan alasan konyol namun sulit digoyahkan, persaingan yang mendarah daging di antara keduanya.
Serentak bayangan wajah Ify menyergap pikiran Rio. Begitu nyata setiap detail wajah manis itu tergambar di pelupuk matanya. Semakin meyakinkan bila rasa itu memang benar-benar telah tercipta di ruang kosong hatinya. Dengan caranya sendiri Ify mampu membuatnya jatuh cinta, jauh lebih dalam dari apa yang ia bayangkan.
“Fy, gue cinta elo. Puas lo?!” Gumam Rio tak sadar. Rasa takut itu kini akhirnya benar-benar bisa ditenangkan lagu cinta yang sedang mengalun di hatinya.
Perlahan diraihnya sebuah pigura kecil berwarna hitam pekat dari laci meja di hadapannya. Sebuah bingkai berisi foto seorang gadis manis sedang tersenyum lepas di bawah sebuah pohon yang tumbuh di halaman sekolah. Gadis itu Ify. Selembar foto yang Rio ambil diam-diam saat ia mengikuti ekstra fotografi beberapa bulan lalu. Rio menatap gambar diri gadis yang sangat menarik perhatiannya itu dalam-dalam, seakan memang Ify yang ada dihadapannya kini. Rio berpikir batapa bodohnya ia menyia-nyiakan gadis itu selama ini karena terus berpegang pada pikiran realistisnya.
Coba kalian pikir dengan logika, bukankah pikiran yang selalu realistis hanya menunjukan sebuah kepesimisan, tak akan pernah ada perubahan yang akan terjadi dari sana, dan selamanya kita akan menjadi seorang pecundang yang takut akan kegagalan.
***
Di tempat lain, namun dengan keadaan yang tidak jauh berbeda. Ify masih meringkuk seraya bersandar pada ujung tempat tidurnya. Air mata tak juga jengah mengalir dari matanya. Penampilannya sungguh berantakan.
Alunan musik klasik terus terdengar menyamarkan isakan tangisnya. Kali ini Sleep Away milik Bob Acri mengalun mencoba meninabobokan gadis itu. Dan sepertinya tak juga berhasil.
Rio, betapa hebatnya nama itu membawa dampak pada Ify. Membuatnya tertarik, jatuh cinta, dan mencintai pemilik nama itu hingga kini. Ify hanya berpegang pada sebuah keyakinan jika Rio menyimpan perasaan yang sama dengannya. Namun mungkinkah ia tau kalau saat ini ada seorang gadis yang sedang galau karenanya?
Mata sembab Ify melirik pada layar posel layar sentuhnya. Masih terpampang kontak milik orang yang sedang memenuhi pikirannya saat ini. Niat yang sebelumnya ia gagalkan sendiri kembali menyeruak. Jemarinya menari mengetikan sesuatu.
To : Mario
Nite, Mr. Haling. Just tell u that i’ll stay in my love ‘n keep it!
-u know who-
***
Getaran ponselnya membuat Rio kembali tersadar dari lamunannya. Segera diraihnya hp hitam itu.
From : Alyssa
Nite, Mr. Haling. Just tell u that i’ll stay in my love ‘n keep it!
-u know who-
Sebuah pesan singkat yang membuatnya sedikit terlonjak. Sangat bukan Ify memang, lebih dewasa, namun deretan kata yang ia susun menunjukan keyakinan gadis itu. Rio memantabkan hatinya yang kini sedang tersenyum.
To : Alyssa
Nite too. U must know, WE’ll keep it, girl!
I’ll wait 4 u 2morrow @ musicroom, after school.
Balas Rio dengan inti ia memiliki perasaan yang sama dengan Ify, tanpa untaian kata indah dan janji manis khas seorang Rio. Cukup baginya membuat Ify tau kalau ia mencintainya.
***
Membaca balasan dari Rio seolah semua beban yang menindihnya seakan terangkat begitu saja. Ify mengusap cepat air matanya.
WE’ll keep it, girl!
Kata itu terus terngiang dibenak Ify, begitu menenangkan dan menghapus segala kegalauannya. We atau kita, murujuk pada tokoh yang jamak, bukan lagi sendiri. Dengan terjemahan lain Rio bertekat akan menjaga cinta-nya dan Ify.
Ify tersenyum, akhirnya apa yang selama ini ia harapkan terkabul. Rio mengutarakan perasaannya walau tersirat. Ify mendekap ponselnya seakan benda mungil itu adalah tubuh kokoh Rio. Tak sabar menunggu matahari merekah esok hari dan pertemuannya dengan Rio tentu saja.
bersambung...
Bagus kak =D
BalasHapushwaaaa... seandainya ini novel, aku mau jadi orang pertama yg beli ;D
BalasHapus