Minggu, 24 April 2011

Song of Love part 3

Jam olah raga kelas XII IPA 3 sudah berakhir lima menit yang lalu, bersamaan dengan bel istirahat. Dengan asal-asalan Rio merebahkan tubuhnya di bawah pohon yang tumbuh lebat di tepi lapangan sekolah. Beberapa kali lari mengitari lapangan sekolah yang luasnnya sekali dikelilingi saja bisa membuat napas putus-putus membuatnya kepayahan juga.

Dengan kondisi yang tak jauh berbeda Gabriel menghampiri Rio dan melakukan hal yang sama di samping kanan sahabatnya. Ujian praktek olah raga hari ini rasanya benar-benar serupa dengan romusha pada jaman Jepang.

“dapet berapa kali, Yo?” tanya Gabriel sambil mengatur napasnya.

“lima..”

“wahh.. berarti banyakan gue! Akhirnya!!” potong Gabriel cepat dan semangat. Merasa bangga akhirnya bisa mengalahkan Rio yang dikenal memiliki kekuatan yang benar-benar gila.

“belas.” Lanjut Rio enteng dan otomatis membuat gabriel melongo lebar-lebar.

“lo tiap hari makan daging kuda? Gue delapan kali aja mau mati gini?! Lo lima belas, Yo? Ajib lo!”

Rio tak menyahut sama sekali dan memilih menutup matanya dengan lengannya. Mencuri waktu untuk menutup matanya barang beberapa menit.

“hai kakak-kakak!!” suara cempreng milik Ify itu membuyarkan kedamaian yang sudah tercipta karena Rio dan Gabriel sudah sama-sama diam sejak tadi.

“apaan sih lo, Fy!” gerutu Gabriel seraya bangun dari tidurnya. “ganggu orang istirahat aja lo!”

 “apaan? Gue Cuma mau ngasih ini!” jawab Ify tak mau kalah dengan Gabriel sambil mengulurkan botol isotonik yang dibawanya ke hadapan wajah Gabriel.

“makasih!” jawab Gabriel cepat dibarengi gerakan tangannya merebut botol tersebut dari Ify.

“itu buat kak Rio!” celetuk Ify jengkel.

Akhirnya terjadi keributan karena Ify dan Gabriel justru asik berebut mendiamkan Rio dan Sivia. Yang sudah menatap kesal pada mereka berdua yang kelakuannya seperti anak kecil.

“buat gue ya, Yo!” ijin Gabriel kemudian menegak seluruh isi botol hingga tandas tanpa sisa sebelum Rio menjawab.

“ck!” decak Rio kemudian bangkit dan melangkah pergi menuju kelasnya.

“nah tu kan! Elo sih kak! Cemburu tu si Rio melihat kedekatan kita!” cerocos Ify dengan percayadirinya.

“amit-amit lo, Fy!” Gabriel melengos dan tak sengaja matanya menangkap sosok Sivia yang berdiri diam di samping kanan Ify. “ mending gue sama Via daripada elo, setidaknya normal!” lanjutnya sambil memainkan alisnya naik turun menggoda Sivia.

Sivia hanya tersenyum malu mendengar rayuan gombal Gabriel yang ternyata mampu membuatnya terbang juga.

“tobat dulu lo baru boleh pacarin temen gue!” gertak Ify dan sejurus kemudian menarik pergelangan tangan Sivia pergi meninggalkan Gabriel sendirian.

***

Dari depan pintu perpustakaan, Shilla yang semenjak insiden dengan Ify beberapa waktu sebelumnya belum beranjak sedikitpun dari tempatnya hanya bisa melihat adegan-adegan yang dilakukan Ify dan Gabriel. Emosi di dadanya semakin membuncah dan tak kuasa lagi ditahannya.

Bahkan ia sama sekali tak peduli dengan setiap pasang mata siswa-siswi yang lalu lalang di sekitarnya. Membiarkan mereka leluasa melihat setiap air mata kesakitan yang menetes dari matanya tanpa bisa ia bendung lagi.

Sebuah buku tebal ditangannya menjadi korban. Diremasnya kuat-kuat buku itu hingga banyak kerutan-kerutan tercipta di sampulnya. Membayangkan jika buku itu adalah Ify, gadis yang menurutnya harus menjadi lebih hancur dari buku itu.
Setan dalam hatinya terus berbisik agar ia segera melakukan apa yang ada di otaknya. Bila ia tak memiliki Gabriel, berarti tidak juga dengan Ify.

***

Butiran air hujan terjun bebas dari singgasananya membasahi muka bumi di penghujung hari ini, silih berganti tanpa cela. Meciptakan sebuah simphony saat menyentuh benda apapun. Langit masih tertutup rapat oleh gumpalan awan putih yang nampaknya belum juga menunjukan tanda-tanda akan segera beranjak dan membiarkan matahari sedikit mengintip kehidupan di bawahnya.

Ify masih saja berlindung dari hujan di bawah kanopi halte yang tak jauh dari sekolahnya seorang diri. Sekolah sudah sepi karena ia baru saja menuntaskan ekstrakulikuler musiknya yang memang hanya diikuti segelintir siswa, berarti sebagian besar lainnya sudah pulang sekitar dua jam yang lalu.

Biasanya ia akan marah-marah tak jelas bila supirnya terlambat menjemput seperti sekarang, tapi hujan sore ini benar-benar mengalihkan perhatiannya. Entah mengapa hujan yang begitu menyebalkan untuk kebanyakan orang menjadi begitu menyenangkan untuk Ify. Senyum manis seakan tak ingin musnah dari bibirnya. Tangannya yang menengadah mengumpulkan tetesan air yang jatuh dari ujung kanopi. Wajahnya begitu damai menikmati datangnya rintikan mutiara langit yang menerpanya. Tak peduli pada kendaraan yang terus berlalu lalang di jalan yang ada di hadapannya.

Suara percikan air karena langkah cepat seseorang membuyarkan kesenangan Ify yang kemudian menoleh ke sumber suara. Entah disadarinya atau tidak mulutnya menganga lebar setelah menyadari seseorang yang berpacu dengan hujan menuju ke halte ini untuk berteduh. Dengan sebuah gitar hitam mengkilat yang ia tenteng dengan tangan kanannya dan tangan kirinya yang mencoba menghalangi hujan jatuh ke wajahnya. Orang itu Rio, yang tak lain pangeran esnya. Berkali-kali Ify mengedarkan kepalanya ke kiri dan kanan meyakinkan bahwa memang hanya ada dirinya di tempat itu, yang artinya sebentar lagi hanya berdua dengan Rio.

Seolah tak menyadari keberadaan Ify, Rio hanya duduk diam di atas bangku putih panjang yang memang sengaja di pasang untuk penunggu bus. Ify mendengus kesal, bisa-bisanya ada laki-laki yang acuh dengan keberadaannya, terlebih dengan dengan latar tempat dan suasana yang sangat mendukung seperti saat ini. Ia berpikir, headset putih yang menyumpal telinga laki-laki tampan itu pasti sama sekali tak menghilangkan keberadaan seseorang, kan?
Sambil berusaha menahan rasa ‘gondok’nya Ify duduk di samping Rio, beberapa jengkal di samping laki-laki itu. Berusaha menarik perhatian Rio dan menyadarkannya bahwa saat ini, di sampingnya ada seorang gadis yang sanga mengharapkannya.

Ify melepaskan ikatan dirambutnya, mengibaskan rambut ikal panjangnya hingga seluruhnya menggantung bebas dipunggungnya.

You know me so well..
Boy, I need you..
Boy, I love you..
Boy, I heart you..

Ify bernyanyi-nyanyi kecil dan.. karena sebal Rio tak juga menanggapinya, volumenya menjadi semakin lama semakin keras. Kedua kakinya dihentakan ke konblok jalanan meluapkan rasa jengkelnya. Bibirnya yang sedari tadi tak berhenti tersenyum pun kini ia majukan beberapa mili.

Dari ekor matanya, Rio memperhatikan setiap gerak-gerik gadis manis itu. Bukan hanya gerak-geriknya namun juga setiap lekukan sempurna di wajah tirus itu, wajah yang selalu membuat teman-temannya hampir saja merelakan apapun yang merak punya agar gadis itu menjadi miliknya, dan sebodoh itu kah ia yang sama sekali tak menanggapi cinta yang benar-benar nyata dari gadis ini? Sempurna. Kata itu terus berkumandang  di otak Rio sejak ia menatap gadis itu, meskipun sekarang top girl of Putra Buana SHS itu sedang dalam posse anehnya. Sekuat mungkin Rio menahan bibirnya agar tidak tertarik dan membentuk sebuah senyuman, apalagi sampai tertawa. Bukan ia tak ingin kesan cool yang selama ini ada padanya luntur, tapi ia hanya ingin mengetahui seberapa lama Ify mampu bertahan menghadapi sikapnya.

“ehhemm..” Ify mendehem kecil memecah keheningan. Nampaknya sudah habis juga akalnya untuk menarik perhatian Rio secara inverbal. “kakak nggak bawa mobil?” lanjutnya sambil tersenyum kikuk, menyadari bila pertanyaan yang baru saja ia ajukan begitu bodoh.

“kalo iya, kenapa gue repot ujan-ujanan?” jawab Rio dingin. Tanpa menatap Ify sama sekali dan justru menatap lurus pada rinai hujan yang seakan menyimpan sesuatu yang lebih menarik dibanding gadis di sampingnya.

“cowok cool juga nggak sampe segini cueknya kali ya?”

Rio hanya diam. Tak ada perubahan ekspresi sama sekali di wajahnya, tak marah atau apapun.

Ify menepuk pelan keningnya, merutuki kata-katanya yang akhirnya membuat Rio kembali diam.

“bisa main gitar, kak?” Ify membuka pertanyaan baru yang mukin bisa memancing Rio berbicara lebih banyak.

“pengutitan lo soal gue belum bisa jawab?”

Ify menelan ludahnya. Mati kutu ia dibuat oleh laki-laki yang selalu ia puja ini. Kemudian menundukan kepalanya dalam-dalam, mengupulkan segenap keberaniannya untuk mengatakan apa yang selama ini ia pendam secara langsung. Kesempatan yang sama tak akan datang dua kali.

“gue.. cuma mau lo liat kalo gue ada, buat elo, kak.” Ucap Ify lirih, hampir tersamarkan oleh suara hujan yang memang sudah reda, namun belum sepenuhnya, masih saja menimbulkan bunyi gemerincing di kanopi. Namun Rio mendengarnya dengan jelas. Hati kecilnya bergetar mendengar kalimat tulus Ify, hey, kau tak hanya sudah membuatku melihatmu, tapi juga memperhatikanmu, walaupun dengan caraku, untaian kata itu terus mengusik Rio. Untaian kata yang tersusun manis oleh hati kecilnya.

“lo nyerah?” Pada akhirnya Rio membuka suaranya juga, dengan nada yang lebih hidup dari sebelumnya, nada yang justru memberi Ify secerca harapan, bukan nada meremehkan.

Ify menggeleng kuat-kuat. Menjawab jika ia tidak menyerah dan mungkin tidak akan pernah menyerah.

“lo tau? Kalau kita bersama, di depan kita ada sebuah benteng tinggi. Berat, Fy.”

Perlahan Ify melihat pangeran es di hadapannya meleleh. Untuk pertama kalinya selama hampir satu tahun ia mengenal dan mengagumi pangeran itu, Ify melihat sebuah senyuman manis terukir di bibir Rio, senyuman yang ternyata jauh lebih manis dari yang ia bayangkan. Deguban jantung Ify benar-benar tak terkendali melihatnya. Hanya diam dan terpaku. Berharap waktu akan berhenti saat ini agar ia tak pernah kehilangan senyum itu.

“Fy, iler lo udah bikin banjir tu!” canda Rio yang sudah tak tahan menahan tawa melihat mimik wajah ify saat terpesona padanya.

“lo rese ahh..”

Ify memukul pelan lengan Rio dan kemudian menutupi kedua pipinya dengan kedua tangannya. Ia sangat yakin jika pipinya begitu merah saat ini.

“artinya lo juga suka gue, kak?” tanya Ify semangat setelah beberapa saat sebelumnya diam mencerna semua perkataan Rio.

“I never said it. Gue masih nggak suka cewek manja, angkuh, arogan.”

“nyidir.. maksud lo benteng tinggi?”

Sedetik kemudian sebuah mobil sedan bercat hitam berhenti di depan halte. Seorang gadis kecil berseragam putih merah dengan rambut ikal panjangnya yang diikat dua menyembulkan kepalanya dari kaca belakang mobil.

“kak Rio, ayo pulang!” seru gadis itu dengan begitu riang khas seorang anak kecil.

“gue duluan, Fy. Benteng tinggi itu, suatu saat lo pasti tau.”

Ify masih diam di tempat menatap punggung Rio yang berjalan menuju mobilnya, tak iklas jika waktu indah ini segera berakhir begitu saja seperti mimpi yang terbangunkan pagi. Tak ingin kehilangan waktu sia-sia, Ify segera tersadar dari lamunanya.

“kak Rio!” pekik Ify. Dari ambang pintu mobilnya Rio kembali menoleh menjawab panggilan Ify. “senyum lo.. gue suka.”

Lanjutnya tanpa bisa lagi menyembunyikan semburat merah yang semakin nyata di pipinya.
Tanpa ragu Rio tersenyum –lagi-, senyum yang ia persembahkan khusus untuk gadis yang perlahan mencairkan gunungan es di hatinya dengan caranya sendiri. Melihat senyum itu, senyum yang lebih indah dari senyum yang sebelumnya ia lihat, Ify meraba dadanya, seakan ingin menggenggam erat jantungnya yang kini berdegub tak beraturan agar tidak terlepas dari tempatnya. Ia terus terpaku, bahkan sampai mobil yang ditumpangi Rio menghilan di ujung jalan.

***

Di dalam mobilnya, Rio seolah tak bisa berhenti tersenyum melihat tingkah polah Ify dan juga setiap mimik manja gadis itu. Semuanya terekam jelas di otaknya, tak sedikitpun luput. Hujan yang terus turun di luar sana membuat semuanya makin nyata berputar di otak Rio bagai sebuah potongan film.

Dari sampingnya, Acha terus menatap aneh pada kakaknya, sesekali memeriksa dandannya dan semua yang ada di sekitarnya, mencari sesuatu yang membuat kakaknya terus-menerus tersenyum layaknya orang gila, walaupun hanya tipis, Acha yakin kakaknya sedang tersenyum. Mungkin itu yang dinamakan jatuh cinta oleh banyak orang, sebuah kesimpulan yang akhirnya diambil oleh pemikiran polos seorang gadis kecil kelas lima sekolah dasar. Terbersit sebuah kecemburuan di hati Acha karena ia tau pasti kalau selama ini hanya ia yang bisa membuat kakaknya itu tersenyum, sebuah ketakutan kalau ia akan kehilangan kasih sayang Rio juga akhirnya.

“kak Rio!” panggil Acha sambil menarik-narik ujung lengan kemeja seragam Rio. Sambil tersenyum Rio menoleh menjawab panggilan Acha.

“kakak tadi siapa? Pacar kak Rio ya?” tanya Acha dengan kedua pipi yang ia gelembungkan dan tangan yang ia lipat di depan dadanya. Ingin menunjukan pada Rio kalau ia tak suka.

“kok gitu banget sih tanyanya? kenapa?” tanya Rio lembut.

“Acha nggak mau nanti kalo kak Rio main pacar-pacaran kakak lupa sama Acha!”

Rio tertawa mendengar celotehan adiknya.

“dengerin kakak! apapun yang terjadi, buat kakak Acha itu nomer satu!” jelas Rio sambil mengacak-acak lembut rambut Acha. “kakak tadi bukan pacar kakak.” Lanjutnya. Entah mengapa hati kecilnya tak suka fakta itu terucap.

“janji kakak nggak bakal lupa sama Acha?”

Acha menyodorkan kelingkingnya pada Rio.

“janji!” jawab Rio mantab sambil menautkan kelingkingnya pada kelingking Acha.

“kakak tadi cantik banget ya, kak?” goda Acha tak ingin melihat kakak kesayangannya kembali murung.

“masih cantikan Acha, kok!”

“tapi kan nggak mungkin kakak pacaran sama Acha, berarti kakak tadi runner up-nya dong?”

“iya mungkin.”

“namanya siapa, kak?”

“Alyssa Saufika, panggilannya Ify.”

“cieee.. kak Rio jatuh cinta!” goda Acha makin menjadi. “cocok banget kakak sama kak Ify!”

“sok tau kamu! Anak kecil nggak usah main cinta-cintaan deh!”

“Acha udah gede kak Rio!”

Acha menggembungkan pipinya lagi dan kemudian membuang muka.

“ahh.. masa? Nanti bohong lagi?”

Rio terus menerus mengganggu Acha hingga gadis kecil itu lupa pada aksi ngambeknya. Saat bersama kakaknya satu-satunya itu adalah saat yang setiap hari dirindukan Acha karena semakin lama sang kakak juga menjadi sesibuk ayahnya. Sekolah, basket, bisnis, wajar bila ia tak suka jika Rio menyukai gadis lain karena ia takut semakin tak memiliki waktu menyenangkan bersama kakaknya lagi. Rio yang selalu ada untuknya, membahagiakannya, dan menghapus dukanya.

***

Di tempatnya semula Ify masih menunggu supirnya menjemput. Berkali-kali ia melirik jam yang melingkar manis di tangan kirinya untuk membunuh jenuhnya. Rasanya jarum jam yang ada di sana tak sedikitpun bergeser dari tempatnya sejak terakhir kali ia melihatnya. Detik bergulir sangat lamban sepertinya.

Andai bukan karena keteledoran supirnya ini ia bertemu Rio, pasti ia sudah berpikiran untuk memecat pak Amin supir yang sudah melayaninya sejak ia duduk di sekolah dasar itu.

Delapan menit berlalu, Ify mengarahkan pandangannya ke ujung jalan yang biasa ia gunakan saat akan ke sekolah atau kembali ke rumahnya setiap hari. Belum juga terlihat tanda-tanda kedatangan mobilnya.

Hujan pun kini sudah sepenuhnya reda. Kendaraan yang melintas di jalan pun hanya tinggal beberapa buah. Sepi sekali. Hari mulai beranjak gelap karena matahari akan segera menuntaskan jam kerjanya hari ini.

Tak berselang lama sebuah sedan BMW sport keluaran terbaru berwarna silver berhenti di depan halte. Merasa asing dengan mobil itu, Ify terus melekatkan pandangannya ke kaca kemudi, mencoba menerawang siapa yang berada di balik kaca gelap itu. Sayang usahanya tidak berhasil. Ify tetap tak mampu menebak siapa pengemudinya.

Seorang pemuda berkulit putih keluar dari mobilnya, dengan kacamata hitam yang sedikit menyamarkan wajahnya. Ify terus memandangi laki-laki itu. Style yang sangat ia kenal sebelumnya, polo t-shirt putih yang dibalut dengan jaket kulit hitam dipadu dengan jeans hitam, ditambah sneakers yang berwarna serupa dengan kaosnya. Otak ify terus bekerja mengobrak-abrik memory yang tersimpan untuk mencari sebuah nama milik orang tersebut.

“hallo, nona! Do you not remember me?” tanya orang itu sambil melepas kaca mata hitamnya adn tersenyum lebar pada Ify.

“Alvin!” pekik Ify girang dan kemudian berhambur memeluk laki-laki tampan bermata sipit di hadapannya. Otaknya bekerja tepat waktu untuk menemukan nama orang itu.

“yeahh.. ini gue!” seru Alvin sambil membalas pelukan ify.

“you look so different! More... awesome!” puji ify dari pelukan Alvin. Tak membayangkan kejutan bertubi-tubi datang padanya sore ini, tadi Rio dan sekarang Alvin.

“you more, girl!” balas Alvin sambil melihat Ify dari puncak kepala hingga keujung kakinya setelah ia melepaskan pelukan Ify. Ify lebih tinggi, lekukan tubuhnya terlihat sangat menawan dengan tubuh yang makin proporsional, berbeda dengan terakhir kali ia melihat gadis ini, tubuhnya begitu kurus. Dan Alyssa Saufika sekarang menjelma bak seorang super model.
“berani taruhan, banyak cowok yang ngantri jadi pacar elo!” lanjut Alvin yang masih tercengang dengan penampilan Ify sekarang.

“iya sih, tapi lo tenang, nggak sebanyak cewek yang ngantri jadi pacar elo.” Jawab ify sambil tersenyum. Jujur ia juga sedikit tepukau melihat penampilan Alvin saat ini. Keren dan begitu berkelas. Pria ini nampaknya sudah tak secuek dulu, walaupun sepertinya masih tersisa juga sikap yang paling tidak Ify sukai darinya itu.

“emang kita BLT gitu diantriin?” canda Alvin menyudahi kekagumannya. Ify hanya tertawa kecil menanggapinya.

“ngapain lo di sini? Kapan balik dari Spore?”

“gue kemarin sore sampai Indonesia lagi. Dan gue kesini menjalankan titah tuan Pratama Aji Umari menjemput putri kesayangannya.” Jawab Alvin –sok- serius seperti seorang prajurit.

“yee.. pulang juga gue!” sorak Ify sambil berlari memasuki mobil Alvin tanpa perintah.

Semantara Alvin hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan gadis itu. Walaupun secara fisik ia berubah, namun sifatnya masih sama, begitu manja pada siapa saja. Tak ingin membuat Ify menunggu lama, Alvin segera masuk dan mamacu mobilnya.

***

Cahaya bulan nampak termaram, tak terlalu terang, mungkin keberadaannya hanya sebagai penghias langit kelam malam ini. Hanya ada bulan di sana tanpa sebuah bintang pun datang menemaninya. Hawa dingin begitu merasuk tulang. Namun semuanya tak juga memadamkan tekat Gabriel mengajak Shilla pergi ke taman tempat mereka biasa bertemu.

Dalam diam mereka duduk berdua di sebuah bangku panjang bercat hitam yang memang sengaja ditempatkan di tepi taman ini. Shilla masih sibuk mengusap kedua lengannya untuk sekedar menghangatkan tubuhnya. Cardigan abu-abu yang dipakainya seakan tak menjalankan fungsinya untuk menghangatkan sama sekali. Matanya hanya menerawang kosong pada jajaran lampu taman di tepi jalan setapak yang membelah taman.

Sementara Gabriel asik memainkan asal gitar yang ada dipangkuannya, berpindah dari satu kunci nada ke kunci lain tanpa tau lagu apa yang sedang ia mainkan.

“kamu main yang bener dong, Yel!” suruh shilla gemas. Gemas mendengar permainan Gabriel dan gemas karena sepertinya Gabriel hanya ingin mengerjainya dengan membawanya keluar pada saat cuaca sedang tidak terlalu mendukung seperti sekarang, sedari tadi tak sekecapun kata keluar dari bibir laku-laki tampan itu.

“oke! Kamu dengerin ya, semoga dapat menghangatkan malam ini.” Ucap Gabriel layaknya seorang penyanyi terkenal yang sedang ditonton ribuan orang.

Jemari kokoh Gabriel mulai bergerak lincah memainkan intro sebuah lagu. Suara bariton-nya mulai mengalun menyanyikan sebuah lagu.

Lekuk indah hadirkan pesona kemuliaan bagi yang memandang
Setiamu simbol keagungan khas perawan yang kau miliki
Akulah pengagum ragamu tak ingin ku menyakitimu
Lindungi dari sengat dunia yang mengancam nodai sucinya lahirmu
Karena wanita ingin dimengerti lewat tutur lembut dan laku agung
Karena wanita ingin dimengherti manjakan dia dengan kasih sayang

Mata tajam Gabriel menatap dalam ke arah Shilla. Tatapan yang begitu hidup dan penuh harap. Belum pernah sekalipun Shilla mendapati mata itu seperti malam ini. Dan sudut terdalam hatinya berkata ada nama Ashilla di mata itu. Sejenak ia biarkan suara itu menang dan membawanya pada secerca kebahagian, walau mungkin semu.

Ingin ku ajak engkau menari bermandi hangat cahaya bulan
Sebagai tanda kebahagiaan bagi semesta cinta kita
Karena wanita ingin dimengerti lewat tutur lembut dan laku agung
Karena wanita ingin dimengherti manjakan dia dengan kasih sayang
Bintang terang itu lah dirimu janganlah redup dan mati
Aku di belakangmu memeluk dan menjagamu

Tak bertahan lama. Shilla segera menggeleng kuat-kuat. Menepis kata hatinya karena ia sungguh tak ingin terperangkap lebih dalam lagi pada jebakan cinta playboy sejati di hadapannya. Meyakinkan diri jika bukan ia yang membuat mata Gabriel terlihat begitu memancarkan kebahagiaan.

“kenapa kaya ayam kejang gitu lo, Shil?” tanya Gabriel setelah menyelesaikan lagunya.

“nggak. Agak pusing aja aku.” Jawab Shilla sambil memaksakan seulas senyum di bibirnya.

“serius?” ada nada kepanikan di pertanyaan Gabriel kali ini, entah ia sadari atau tidak. Punggung tangannya ia gunakan untuk mengetes suhu tubuh Shilla melalui keningnya. “emang agak anget sih! Mending kita pulang sekarang deh!”

“nanti aja, kamu mau cerita apa? Jangan sia-sia deh udah sampe sini dingin-dingin.”

“Shil, lo percaya nggak sama cinta sejati?” tanya Gabriel dengan nada serius. Digenggamnya jemari Shilla dan menatap mata bening gadis itu, walaupun ada sebuah kacamata tabal yang sedikit menghalanginya.

Tanpa tau apa maksud pertanyaan Gabriel, Shilla mengangguk lemah.

“kalo gue mau berubah, lo percaya?”

“nggak mungkin kayanya.” Jawab Shilla yang kini mulai bisa mengendalikan detakan jantungnya.

“gue serius, Shil! Gue udah nemu apa yang selama ini gue cari!”

“cin.. cinta sejati?” tanya Shilla ragu-ragu, atau mungkin bercampur dengan rasa takut.

Dengan senyuman lebar di bibirnya Gabriel mengangguk pasti.

“aw.. Yel! Kepala aku kok tambah pusing ya?” Shilla sengaja mengalihkan pembicaaraan tak ingin ucapan Gabriel selanjutnya semakin membuatnya gila dan terpuruk. Ditariknya tangan kanannya dari genggaman Gabriel dan ia gunakan untuk memijit pelan keningnya.

“gue bilang juga apa?!”

Gabriel melepas jaketnya dan memakaikannya di bahu Shilla, setidaknya untuk sedikit menghangatkan tubuh Shilla. Ia menggenggam jemari Shilla dan membimbing gadis itu menuju ke motornya.

“kita pulang? Cerita kamu?”

“ceritanya nggak sepenting kesehatan kamu! Lagian kapan aja bisa, cuma masalah kecil.”

“nggak papa?”

Gabriel menggangguk sambil menyerahkan sebuah helm pada Shilla. Entah mengapa Shilla tak ingin pembicaraan ini berlanjut. Ia memilih segera naik ke boncengan Gabriel dan segera sampai di rumah. Sama sekali tak ingin mendengar Gabriel mengagungkan gadis lain, terlebih itu Ify.

***

Dengan sedikit ugal-ugalan Gabriel mengendarai motor sportnya membelah jalanan, meskipun tak seliar biasanya karena mengingat kondisi Shilla. Meliuk-liuk di antara kendaraan lain. Gabriel rajanya dalam hal track-trackan seperti ini.

“pelan-pelan, Yel! Aku belum terima ijazah ni! Bikin tambah pusing kamu!” seru Shilla menginggatkan sambil menepuk bahu Gabriel.

“oke, nona!”

Sedikit demi sedikit Gabriel mengendorkan tarikan gasnya.

“pegangan, Shil! Nanti lo jatuh.” Ucap Gabriel yang tak merasakan pegangan tangan Shilla di tubuhnya.

Ragu-ragu Shilla memegang ujung kemeja Gabriel yang berkibar diterpa angin.

Gabriel mendesah, gadis yang ada di boncengannya saat ini memang sangat berbeda. Untuk gadis lain pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan seperti saat ini untuk memeluknya erat-erat, namun tidak dengan Shilla, lima tahun ia sering mengajak Shilla manaiki motornya, tak sekalipun Shilla pernah memeluknya. Tapi semuanya tak menjadi masalah bagi Gabriel, justru membuatnya semakin menyadari betapa berharganya wanita ini, di balik semua kekurangannya.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar