Senin, 09 Mei 2011

Song of Love part 10

Entah sudah untuk yang keberapa kalinya Gabriel melirik ke arah jam yang bertengger di tembok kelasnya. Hampir tiga jam berlalu semenjak Rio meninggalkan jam pelajaran, biasanya tak perlu waktu selama ini untuk sahabatnya itu memulihkan keadaannya, topeng tegarnya selalu mampu menutupi keadaannya yang sebenarnya. Perasaan tak enak langsung menyergapnya.
Tanpa pikir panjang, Gabriel mengangkat tangannya, meminta perhatian ibu Rowina yang sedang mengajar.
“ma’am..”
“yes, Gabriel? What’s up?” tanggap ibu Rowina sambil menurunkan letak kacamatanya.
“may I go to rest room?” ijin Gabriel, jelas ia berbohong, kebohongan klasik paling jitu dan paling aman saat akan membolos.
“yes, but you just have a few minutes.”
Tak peduli dengan syarat yang diberikan wali kelasnya, Gabriel segera berlari keluar kelas, menuju sebuah tempat yang ia yakini dimana Rio berada sekarang.
***
Ruangan besar yang biasanya sangat sunyi kecuali saat digunakan untuk pelajaran seni Musik ini, kini dipenuhi isakan Ify dengan Sivia yang terus mencoba menenangkannya. Ruangan ini kedap suara, tak perlu kawatir ada orang lain yang akan mendengar percakapan keduanya.
Pelajaran kosong di kelasnya dipilih Ify untuk menceritakan semua masalahnya dengan Rio pada Sivia, berharap sedikit bebannya akan terangkat.
“Vi, gue kangen kak Rio..” tangis Ify. Matanya sudah terlihat sangat bengkak karena tak henti-hentinya menangis.
Sivia dapat merasakan tubuh Ify yang semakin bergetar. Ia benar-benar tak tega melihat sahabatnya sekacau ini. Benar-benar bukan Ify yang ia kenal, Ify yang dulu selalu terkesan jumawa, selalu ceria tak ada lagi kini. Ia bisa membaca betapa besar cinta Ify untuk Rio, bagaimana Ify hancur tanpa pangeran itu telah membuktikan segalanya.
“come on, Fy! Lo kuat, gue yakin sebentar lagi kak Rio akan datang buat lo, gue percaya apa pun, dan kapan pun lo berdua ditakdirkan menjadi satu.” ujar Sivia lembut sambil mengusap punggung Ify, berharap sahabatnya itu akan menjadi lebih baik.
“atau enggak selamanya, dan gue jadi milik orang lain yang sama sekali nggak gue cinta?” timpal Ify yang terdengar sangat putus asa.
“Fy.. please, lo kaya nggak kenal kak Rio, gue percaya dia akan lakuin apapun untuk elo.”
Ify diam mencerna perkataan Sivia. Menyadari mengapa justru ia kembali meragukan Rio saat ini. Ia menatap Sivia yang sedang tersenyum, sebuah senyuman tulus yang memberinya secerca ketenangan dan kehangatan khas persahabatan. Kedua ujung bibirnya tertaris membentuk seulas senyuman. Tanpa menunggu komando lagi, Ify berhambur memeluk Sivia.
“thanks, Vi! You’re the best!”
Sivia hanya membalas pelukan Ify.
“Fy, menurut gue, ada masalah lain yang mendasari permusuhan Haling dan Umari.” Sivia mulai mengungkapkan apa yang mengganjal fikirannya setelah mendengar semua cerita Ify tentang hubungannya dengan Rio yang begitu ditentang. “have you ever thought ‘bout the other problem of it?”
Ify menggeleng karena memang ia tak pernah memikirkan dasar semua masalahnya, selain karena persaingan bisnis antara dua perusahaan besar yang selalu ingin menjadi yang terbaik.
“orang tua lo, orang tua kak Rio, semuanya selalu memikirkan bagaimana cara memperbesar dan memperkokoh perusahaan mereka masing-masing, and.. bukankah seharusnya akan sangat menguntungkan untuk mereka kalau kalian berdua bersatu? Kecuali ada masalah lain yang memancing perseteruan itu.”
“I got it!” tanggap Ify cepat. Pemikiran Sivia begitu skematis dan logis untuk disanggah oleh pemikirannya. “I think so, but what’s that?”
“dunno, mukin papa lo, atau salah seorang dari keluarga elo punya masalah yang belum terselesaikan dengan keluarga kak Rio.” Tebak Sivia lagi.
“gue harus ketemu kak Rio buat bicarain semuanya tentang ini.” Lirih Ify yang sedetik kemudian menghela nafas kuat-kuat membebaskan segala sesak di hatinya. “tapi.. Alvin selalu ngawasin gue.”
“pasti ada jalan buat kalian ketemu! Gue bantu!”
Sivia membisikan semua rencananya pada Ify. Mencari jalan agar sahabatnya itu bisa bertemu dengan sang kekasih dan membuatnya menjadi lebih baik lagi. Masalah Ify yang sangat rumit justru membuatnya melupakan masalah perasaannya, semua yang ia alami benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang Ify alami.
***
Tanpa menghentikan larinya, Gabriel mendorong begitu saja pintu besar gedung olah raga dan membuatnya berdentum keras saat beradu dengan tembok kokoh pembatas gedung. Pemuda tampan itu tak juga peduli dengan hal itu.
“Rio!” pekik Gabriel saat mendapati sosok sahabatnya yang terduduk di tiang penyangga ring sambil mencengkeram perutnya dan mengerang kesakitan.
Kekawatiran Gabriel terbukti. Sebelumnya ia hanya takut jika Rio terlalu kalap bermain basket untuk menumpahkan emosinya tanpa mempedulikan keadaannya yang sebenarnya tidak terlalu baik.
“lo kenapa, Yo?” tanya Gabriel panik, apa lagi setelah melihat wajah Rio yang tak ubahnya sesosok mayat hidup.
Rio menggeleng lemah. Ia diam mencoba menata nafasnya yang memburu karena kelelahan dan rasa sakit yang sangat di perutnya. Ia memang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Hampir 240 menit, atau empat jam penuh Rio bermain basket tanpa henti sampai tiba-tiba ia merasakan perutnya terasa perih dan lama-kelamaan terasa seperti terbakar.
“lo ngrepotin gue mulu sih?!” gerutu Gabriel sambil membantu Rio untuk berdiri. Tentu kalimat itu bukan karena ia benar-benar tak ingin direpotkan oleh Rio, ia hanya tak habis pikir kenapa Rio suka sekali menyiksa dirinya sendiri dan membuat Gabriel yang tidak lain adalah sahabatnya menjadi kawatir.
Gabriel memapah Rio dan membawanya segera ke ruang kesehatan sekolah.
***
“Shil, Shilla!” seru Gabriel sambil membantu Rio berbaring di tempat tidur. Ia tahu jam ini adalah jadwal Shilla menjaga ruang kesehatan.
“Rio kenapa, Yel?” tanya Shilla sambil mempersiapkan pertolongan pertama.
“gue.. maag gue kambuh..” sela Rio terbata setelah mencoba mengumpulkan tenaganya susah payah hanya untuk mengeluarkan satu kalimat tersebut.
Gabriel mengerang geram. Jika Rio tidak dalam keadaan payah seperti saat ini, ia dapat memastikan sahabatnya itu akan merasakan bogeman mentahnya. Gabriel tahu pasti jika Rio memiliki penyakit maag yang sudah dalam tahap berbahaya karena kebiasaanya yang tak pernah memperhatikan kesehatannya.
“mau lo apa sih, Yo?!” hardik Gabriel menumpahkan emosinya.
“Yel, kamu tunggu di depan aja, biar aku yang rawat Rio.” Sela Shilla menahan Gabriel.
Karena masih dalam keadaan emosi, Gabriel menyentakkan tangan Shilla yang sempat menahan tubuhnya dan kemudian berbalik menuju sebuah bangku yang berada di sudut ruangan bernuansa putih bersih itu.
Beberapa menit berlalu dihabiskan Gabriel untuk menunggu dalam diam. Hanya erangan tertahan milik Rio dan suara Shilla yang mencoba menenangkan sahabatnya yang ia dengar. Pikirannya bercabang antara rasa kasihan dengan kisah sahabatnya yang tak juga menemukan kebahagiaannya juga kedongkolan dengan ulah Rio yang menurutnya bodoh, Rio yang selalu terkesan menyiksa dirinya sendiri, seakan tak cukup berat masalah yang sudah didapatnya.
“Yel..” panggil Shilla lembut, tak ingin mengagetkan kekasihnya yang ia lihat sedang tenggelam dalam pikirannya.
“iya.” Sahut Gabriel setelah lamunannya terbuyarkan oleh suara Shilla. “gimana Rio?”
“dia aku kasih obat tidur, setidaknya bisa mengurangi rasa sakit, dan aku rasa dia harus ke rumah sakit kalau setelah ini tidak membaik,” jelas Shilla sambil duduk di hadapan Gabriel, dengan meja kecil sebagai pembatas antara mereka.
Gabriel mendengus lelah kemudian mengacak-acak kasar wajahnya. Frustasi. Ia merasa gagal menjadi seorang sahabat yang baik, banyak sekali masalah yang menimpa sahabatnya itu sejak kepergian ibundanya, namun tak satupun dari masalah itu yang mampu diberikan jalan keluar oleh Gabriel. Ia hanya mampu berdiri di belakang Rio untuk memberinya semangat.
“Rio pasti baik-baik saja, sayang.” kata Shilla sambil menggenggam tangan Gabriel yang kini tergeletak di atas meja. Mencoba menenangkan kekasihnya yang terlihat sangat gusar.
“makasih ya..” ucap Gabriel menghargai usaha Shilla yang setidaknya membuat perasaannya lebih tenang.
“Rio begitu gara-gara Ify ya?” tanya Shilla sambil melirik Rio yang tengah tertidur karena pengaruh obat.
“kamu mau nyalahain Ify lagi?” interogasi Gabriel sambil menaikan sebelah alisnya.
“bukan gitu! Cuma aku akan merasa sangat beruntung aja kalau ada diposisi Ify.” Sanggah Shilla cepat sebelum Gabriel salah paham. “sesuatu yang membuat seorang wanita merasa dirinya menjadi seorang putri itu bukan harta atau susunan kata pujangga, tapi cinta yang tanpa cela, dengan alas ketulusan, Rio sudah memberi itu untuk Ify.” Lanjut Shilla memberikan argumen atas sanggahannya.
“did you not find it on me?” tanya Gabriel setelah mencerna kalimat Shilla kata demi kata. “harus ya kita dapet masalah rumit seperti kisah Rio-Ify baru kamu percaya cintaku buat kamu itu sempurna?” tuduh Gabriel telak.
Shilla menunduk sambil memainkan ujung roknya. Ia menyadari ada yang salah dengan kalimatnya yang seakan terlalu mengagungkan Rio seakan ia lupa jika pria tampan yang saat ini berhadapan dengannya adalah kekasihnya.
“kamu ragu aku akan lakukan seperti apa yang Rio lakukan kalau kita yang ada di posisi mereka?” cerca Gabriel. Untuk pertama kalinya ia tak rela ada orang lain yang memuja Rio yang sebenarnya selalu ia banggakan, dan untuk pertama kalinya pula ia merasakan sesuatu yang menghimpit dadanya saat gadisnya menyebut nama orang lain dengan penuh kekaguman, hal yang tak didapatinya dari gadis-gadisnya yang dulu.
Shilla menggeleng sambil menggigit bibirnya. Sungguh tak ada sama sekali maksudnya untuk meragukan cinta Gabriel untuknya.
“demi apapun, aku nggak pernah ragu sama kamu..” lirih Shilla sedikit ketakutan, karena tanpa Gabriel sadari ia tadi sudah berbicara dengan nada tinggi pada Shilla.
“maaf, Shil.” Gabriel sadar telah membuat gadisnya ketakutan. “aku kalut tadi, tapi please, aku tau aku nggak sempurna, sering aku nyakitin kamu, jujur, demi apapun, aku juga akan hancur tanpa kamu.” Tutur Gabriel sambil memegang kedua pipi Shilla dan menatap manik mata gadis cantik itu dalam-dalam.
“kamu janji nggak akan ninggalin aku? Buat aku, kamu terus ada di samping aku itu adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan.” Balas Shilla.
Gabriel hanya tersenyum simpul. Tanpa aba-aba ia beranjak berdiri dan kemudian menempati sisa kosong di bangku yang di tempati Shilla sehingga tak ada lagi jarak di antara keduanya kini. Gabriel merangkul Shilla dan menyandarkan kepala gadisnya itu di bahunya.
“Shil, feeling aku bilang, kamu akan jadi yang terakhir buat aku, jadi nyonya Damanik, jadi ibunya anak-anak aku.” Kata Gabriel sedikit berseloroh.
Shilla tertawa lepas mendengarnya, menganggap omongan Gabriel hanya sebuah candaan. Hal yang sebelumnya ia anggap mustahil akan diucapkan seorang Gabriel yang tak pernah puas dengan pencariannya, namun ternyata padanya lah kalimat keramat itu diucapkan, dalam waktu secepat ini pula.
“masih banyak waktu yang harus kita lewati untuk membuktikan kata-kata kamu itu, Yel! Jangan ngaco deh!”
Mereka berdua larut dalam suasana hangat dengan kekonyolan-kekonyolan Gabriel yang membuat Shilla tak hentinya tertawa dan sesekali terbang karena ucapan manis Gabriel untuknya dan hanya untuknya.
Dering ponsel Rio yang tergeletak di meja kecil di samping tempat Rio terbaring membuat gelak tawa Shilla dan Gabriel berhenti. Dengan sigap Gabriel berlari untuk mengangkat panggilan itu, tak ingin juga Rio terbangun karena suaranya yang cukup keras.
Sivia is calling...
Nama yang tertera di layar membuat Gabriel tak ragu mengangkat panggilan tersebut.
“hallo, ini gue, Gabriel, ada apa, Vi?” cerocos Gabriel tanpa jeda sebelum Sivia mengira dirinya Rio.
“kak, gue sama Ify ada di ruang musik, bilang kak Rio kita nunggu di sini.”
“tap..” belum selesai Gabriel menjelaskan jika Rio sedang sakit, panggilan itu tiba-tiba terputus. “shit!” umpat Gabriel setelah menatap kembali layar ponsel Rio, mati.
Ia menoleh pada Shilla, berharap gadisnya itu akan memberinya jawaban apa yang harus ia lakukan sekarang.
“emm.. bangunin Rio! Aku yakin dia akan lebih baik setelah bertemu Ify.” Ujar Shilla mengerti apa yang dipikirkan Gabriel.
Perlahan Gabriel menepuk bahu Rio dan memanggil namanya berusaha membangunkan sahabatnya itu.
“errghh..” Rio mengerang kecil sambil mengerjapkan matanya. Ternyata rasa sakit di perutnya belum juga hilang meskipun sudah sedikit mereda.
“masih sakit, Yo?” tanya Gabriel kawatir dan berniat menurungkan tujuannya membangunkan Rio.
“gue mau ketemu Ify!” lirih Rio tak mempedulikan pertanyaan Gabriel, bahkan rasa sakit yang menderanya.
“dia ada di ruang musik, nunggu elo.” Sela Shilla yang mengerti Gabriel tak akan tega membiarkan Rio pergi.
Tanpa menunggu apapun lagi, Rio bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan tertatih karena sembari menahan sakit menuju sebuah tempat yang baru saja Shilla katakan padanya. Tak peduli lagi dengan keadaannya sendiri, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana bertemu Ify dan mencurahkan semua rasa rindunya.
Gabriel dan Shilla hanya mengikutinya dari belakang sambil berusaha memastikan jika Rio akan tetap baik-baik saja.
***
Ruangan ini kembali menjadi saksi bisu terpendarnya kembali senyum di wajah Rio, walaupun saat ini senyum itu harus terlukis di bibirnya yang begitu pucat, namun tidak terelakkan jika rona bahagia benar-benar tergambar dari sorot matanya saat mendapati sosok Ify yang sedang duduk manis di kursi piano.
“Ify!” seru Rio walaupun dengan suaranya yang masih sedikit parau sambil berlari menyongsong Ify yang sudah berdiri menyambutnya.
Air muka Ify juga seketika berubah saat mendapati Rio berdiri di ambang pintu. Ia segera berdiri menyambut pangerannya.
“aku kangen kamu, Fy!” ucap Rio sambil memeluk Ify erat-erat, seakan tak ingin lagi terpisah.
“aku juga.” Balas Ify sambil membalas pelukan Rio.
Sivia memilih diam menyaksikan adegan romantis di hadapannya, tak ingin mengganggu sedikit pun. Ada satu rasa haru melihat adegan yang disuguhkan Rio dan Ify, ada rindu yang begitu besar di sana yang terpancar dari keduanya. Setitik air bening mengalir dari sudut mata sipitnya, wujud keterharuannya, air yang sebening dan setulus doanya untuk sang sahabat agar terus bisa berada di dalam dekapan sang kekasih.
Dengan sedikit mengendap-endap, Sivia meninggalkan keduanya keluar ruangan agar mereka lebih bebas berbicara dari hati ke hati dan menumpahkan semua rasa rindu mereka.
“kamu baik-baik aja kan?” tanya Rio setelah melepas pelukannya seraya menyibak poni yang jatuh bebas menutupi kening Ify.
Ify hanya mengangguk pertanda jika ia dalam keadaan baik-baik saja. Seketika itu pula ia terkesiap menatap wajah Rio yang nampak begitu pucat.
“harusnya aku yang tanya, kakak baik-baik aja? Kok pucet banget?” tanya Ify sedikit panik sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi Rio. Memang tak terlalu panas, tapi wajah Rio tak bisa berbohong jika ia tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini.
“gara-gara kangen sama kamu ini, jadi sebentar lagi juga sembuh.” Tak berniat membohongi Ify yang sudah menatapnya dengan curiga, Rio hanya berseloroh. Kembali ia memamerkan senyumannya yang tetap saja masih terlihat sangat manis di mata Ify.
Rio diam sejenak, mencoba menaha rasa sakit yang tiba-tiba menghantam perutnya lagi.
“errghh..”ia kembali mengerang kecil sambil memegang perutnya. Batinnya merutuk kenapa rasa sakit itu kembali muncul di saat yang tidak tepat seperti saat ini, setidaknya bisa ditunda setelah ia bertemu Ify.
“kakak kenapa?” tanya Ify yang semakin dilanda kepanikan.
Rio menggeleng sambil berusaha tersenyum untuk menenangkan Ify. Salah satu tangannya yang terbebas –tidak memegang perutnya- ia gunakan untuk menarik pergelangan tangan mungil Ify perlahan untuk duduk di bangku yang sebelumnya sudah Ify duduk bersama Sivia.
“kenapa kamu mau ketemu aku? Yah.. selain kangen, ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Rio membuka pembicaraan karena tak ingin membuang-buang waktu.
Ify menerangkan dugaannya dengan Sivia tetang perselisihan abadi keluarga Haling dan Umari pada Rio dan mencoba bertukar pikiran dengan kekasihnya itu.
“bisa jadi! Tapi apa itu?” tanggap Rio setelah Ify bercerita panjang lebar.
“itu yang harus kita selidiki!”
“aku rasa hal pertama yang harus kita lakukan adalah membatalkan pertunangan kamu dengan Alvin, aku nggak akan bisa liat kamu jadi milik orang lain.” Rajuk Rio sambil menggengam erat tangan Ify kemudian mengecupnya lembut. “satu-satunya nama yang boleh terukir di cincin yang melingkar di jari manis kamu adalah nama aku.” Lanjut Rio mantab sambil mengenakan sebuah cincin yang baru saja diambilnya dari saku celana seragamnya pada jari manis tangan kiri Ify.
Ify ternganga melihat tindakan Rio yang begitu tiba-tiba. Sebuah cincin emas putih yang begitu cantik kini melingkar di jarinya. Kilauan bias cahaya lampu semakin mempermegah desain perhiasan mungil itu.
“cincin almarhum mama aku, aku mohon kamu jaga baik-baik sampai aku memasang cincin dengan ukiran namaku sebagai penggantinya.” Mohon Rio. “anggap itu pengikat kita.”
“apa yang akan kamu lakukan untuk membatalkan pertunangan itu?”
“kamu tenang, itu udah aku pikir baik-baik.” Jawab Rio sambil tersenyum dan memegang kedua pipi Ify.
Ify mengalihkan wajahnya ke arah lain tak berani menatap mata Rio. Tak ingin tenggelam lagi terlalu jauh dalam kilatan mata teduh itu. Mata yang selalu mampu menjeratnya dan melumpuhkan akal sehatnya.
Rio mendengus sambil tersenyum simpul kemudian melingkarkan tangan kanannya di pinggang Ify. Menarik tubuh mungil gadisnya itu dengan lembut agar semakin merapat padanya. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Ify sembari memejamkan matanya.
Dengan posisi ini wangi tubuh Ify dapat dengan leluasa memenuhi seluruh rongga pernafasannya. Bak sebuah zat halusinogen yang mampu membawa khayalannya melayang jauh ke awang-awang, membebaskannya dari setiap beban masalah yang menindihnya. Rasa sakit yang menderu di rongga perutnya terus ia acuhkan, selama berada di samping Ify, Rio yakin semuanya akan tetap baik-baik saja.
Ify diam terkesiap setiap merasakan hembusan nafas Rio menerpa permukaan kulitnya. Tak seperti biasanya saat bersama Rio ia merasakan jatungnya berdegub lebih cepat, saat ini justru ia merasakan jantungnya hanya sesekali berdetak dengan kekuatan yang tidak wajar. Darahnya mendesir hebat. Dan Ify juga yakin jika saat ini pasti wajahnya berwarna merah padam.
“kak Rio..” panggil Ify pelan.
“hmm..”
“em..” sedikit ragu Ify mengungkapkan maksudnya. Sensasi yang baru dirasakannya saat ini membuatnya sedikit tidak nyaman membiarkan Rio terus bersandar di bahunya.
“sebentar, aku capek.” Ucap Rio seakan mengerti maksud Ify dari bahasa tubuh gadisnya itu yang mulai sedikit beringsut darinya. Ia semakin mengeratkan rengkuhannya pada Ify. Mau tak mau Ify hanya bisa mengikuti kemauan Rio. Perlahan ia membelai pipi Rio dengan penuh perhatian.
Diam, hanya diam dan diam yang Rio dan Ify lakukan, karena hanya dalam kesunyian itu ada kedamaian dari lagu cinta yang berkumandang di hati mereka masing-masing. Berharap waktu tak akan pernah berlalu dan mereka membuktikan pada dunia cinta lah yang memegang tahta atas segalanya.
***
Di luar ruang musik, Shilla, Sivia, dan Gabriel memilih duduk dalam diam pada bangku kayu panjang yang tersedia. Gabriel terus menggerakan kedua kakinya tak tenang, sementara Shilla masih terus merangkul kekasihnya itu memberi berusaha memberi ketenangan.
Di tempatnya, Sivia menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit di ulu hatinya melihat kemesraan pangeran pujaannya dengan sang kekasih. Ia sadar saat ini bukan waktu yang baik untuk menumpahkan semua perasaannya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain agar rasa sakit yang ditanggungnya tidak semakin menjadi.
Dugaannya salah saat melihat sosok yang paling dihindari oleh mereka semua muncul dari ujung koridor sambil menyembunyikan kedua telapak tangannya di balik celana seragamnya, jelas ia sedang menuju ke tempat dimana Sivia, Gabriel, dan Shilla menunggu Rio dan Ify.
Mata sipit milik Sivia membulat untuk memastikan bahwa sosok yang ia lihat benar-benar Alvin.
“Alvin!” pekik Sivia tertahan karena dengan segera ia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.
Jarak mereka yang terlalu dekat membuat Gabriel dan Shilla dapat mendengar jelas pekikan Sivia. Spontan mereka menoleh ke arah yang dilihat Sivia.
“shit! Mau apa lagi dia?” umpat Gabriel geram. Ia menghela nafas menetralkan emosinya agar dapat menghadapi kearoganan seorang Alvin dengan kepala dingin.
“hey! Lo, you look like a dump ass, bro!” cibir Alvin sambil melirik Gabriel tajam. Ia berdiri tegap di hadapan tiga orang yang sedang memandangnya geram dengan raut tak bersalah sedikitpun.
Gabriel menarik ujung kanan bibirnya membentuk sebuah senyuman meremehkan. Ia beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Alvin sambil menatap pria bermata sipit itu menantang.
“setidaknya gue punya perasaan, lo tau? Lo bahkan lebih buruk dari seekor keledai bodoh!” balas Gabriel sambil menahan emosinya.
“lo bisa jelasin dimana kebodohan gue?” tanya Alvin tenang sambil mendekati Shilla. Perlahan dibingkainya wajah cantik milik kekasih lawan beradu mulutnya itu dengan ujung jarinya. Sedikit demi sedikit ia mendekatkan wajahnya pada wajah Shilla yang sudah terdiam ketakutan dan...
BUG!
Kepalan tangan Gabriel yang sudah mengeras sejak melihat sosok Alvin tadi kini melayang mulus di pipi Alvin. Ia mungkin masih bisa menahan emosinya saat Alvin mencibirnya, namun ia tak bisa terima dengan perlakuan Alvin pada gadisnya.
Alvin tersenyum penuh kemenangan sambil mengusap kasar darah yang mengalir dari ujung bibirnya dengan ibu jarinya.
“itu yang gue rasain sekarang! Gue dan Rio punya rasa yang sama untuk Ify, hanya Rio lebih beruntung karena rasa dia terbalas, bukan terlihat seperti seorang pecundang seperti yang gue rasain!” Alvin memulai monolognya, memberi argumen dan sanggahan atas apa yang ia lakukan selama ini. “lo bilang gue nggak punya perasaan? Jutru karena perasaan gue buat Ify yang buat gue kaya gini!”
Gabriel terdiam mendengarkan penjelasan Alvin. Alvin laki-laki, ia pun juga. Dengan mudah ia dapat mencerna penjelasan Alvin, yang mungkin bila saat ini ia tidak berdiri atas dasar rasa kesetiakawanannya pada sang sahabat sejati, ia akan memberi penghargaan tertinggi untuk pemikiran Alvin dan perjuangan pria itu atas cintanya.
“gue sebut ini pengorbanan dan perjuangan cinta yang gue dan Rio lakukan untuk Ify.” Lanjut Alvin tanpa emosi yang terdengar lagi. “kalau suatu saat nanti gue kalah sama Rio, gue bersumpah akan mengakuinya dan merelakan Ify sepenuhnya.”
Seakan kehabisan kata-kata, Gabriel hanya beringsut mundur kembali ke tempat duduknya kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam.
***
Kedamaian yang sebelumnya tercipta pecah begitu saja saat Rio tiba-tiba mengerang hebat dan menjauhkan tubuhnya dari Ify, membungkuk dan mencengkeram perutnya kuat-kuat. Rasa sakit yang benar-benar tak bisa ditahannya dan kini disertai rasa mual.
“kak, kakak kenapa?” tanya Ify panik seraya menyeka peluh yang mengalir deras di pelipis Rio.
“sakit..” rintih Rio terbata. “hoek..” Rio menumpahkan isi perutnya yang sudah tak sanggup lagi ditahannya.
“kak Rio, darah!” pekik Ify ketakutan melihat ternyata yang dimuntahkan Rio adalah darah.
Dengan keadaan panik, Ify berlari keluar meninggalkan Rio untuk mencari bantuan. Ruangan itu kedap suara, percuma saja jika ia hanya berteriak.
Ify menarik kasar knop pintu besar ruang musik.
“kak Iel! Tolong kak Rio!!” seru Ify dengan air mata yang mulai berlinangan.
Melihat begitu paniknya Ify dan mengingat keadaan Rio sebelumnya, Gabriel segera berlari memasuki ruang musik tanpa mempedulikan Ify yang segera ditenangkan oleh Alvin. Tanpa menunggu komando Shilla segera mengikuti Gabriel.
“Rio!” pekik Gabriel saat menemui Rio dengan kesadarannya yang mulai menurun. “lo tahan, Yo! Kita ke rumah sakit!” lanjutnya sambil memapah Rio. Karena sudah kehabisan tenaga, Rio hanya bisa mengikuti perintah Gabriel.
Di ambang pintu, dengan sisa-sisa tenaganya Rio mencoba menegakkan tubuhnya sambil memaksakan seulas senyuman dibibirnya untuk Ify yang sedang menangis tak tega melihatnya.
“aku.. nggak papa, aku pasti tepati janji aku.” Ucap Rio lirih. Sedetik kemudian ia menatap Alvin yang masih memegang kedua bahu Ify yang bergetar hebat dengan tatapan tak terbaca.
“ck! Banyak omong lo! Yel, cepet bawa dia, gue yakin dia tidak dalam keadaan baik, gue nggak mau menang semudah ini!” sergah Alvin.
Hal yang hampir dilupakan Gabriel. Tanpa pikir panjang lagi Gabriel segera memaksa Rio menuju mobilnya.
***
Hampir satu jam berlalu sejak Rio memasuki instalasi gawat darurat di rumah sakit yang tak jauh dari sekolah. Gabriel dan Shilla yang masih setia menemani kekasihnya masih menunggu di ruang tunggu yang begitu sunyi siang ini.
“Yel, kamu sayang banget ya sama Rio?” tanya Shilla yang sudah benar-benar tak tega melihat Gabriel begitu kacau.
“dia udah aku anggep adik kandung aku, Shil, kamu bayangin, hampir seumur hidup kita sama-sama.” Jawab Gabriel lirih.
“kamu tenang ya, aku yakin Rio akan tetap baik-baik saja, mana mungkin seorang Mario yang angkuh itu mau menyerah begitu saja cuma karena penyakit maag?”
“dokter udah mengingatkan berkali-kali soal penyakit yang kamu bilang cuma itu, mama Rio meninggal karena kanker lambung, dengan gejala awal sama seperti Rio, masih kamu bisa bilang cuma?”
“kamu nggak berharap Rio mengalaminya juga kan? percayalah pada hal yang positif!”
Gabriel tidak lagi menanggapi Shilla, emosinya sedang labil saat ini, ia hanya takut akan mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak pantas ia ucapkan pada gadisnya itu.
Tak lama kemudian, seorang dokter muda keluar dari balik pintu sambil melepaskan kacamata tanpa framenya. Tanpa membuang waktu, Gabriel menghampiri dokter itu untuk menanyakan keadaan Rio.
“saya belum tau pasti, yang jelas Mario perlu banyak istirahat, dia harus dirawat.” Jelas dokter itu kemudian berpamitan dan meninggalkan Gabriel serta Shilla kembali ke ruangannya.
***
Hari sudah beranjak malam, Ify masih berdiri di balkon kamarnya dengan perasaan gelisah sambil menatap kosong pada langit yang mulai beranjak gelap. Ingin sekali saat ini ia menemani Rio dan merawatnya dengan tangannya sendiri, namun apa dayanya, larangan sang ayah membuatnya tak mampu berbuat apapun, bahkan ia tak tahu sama sekali bagaimana keadaan kekasihnya itu saat ini.
“Fy, Rio baik-baik aja, gue dapet kabar dari Gabriel.” Kata Alvin yang baru saja memasuki kamar Ify dan menjumpai gadis itu.
“apa peduli lo?” tanya Ify tajam.
“yang jelas gue bukan orang sebusuk yang elo pikir.” Jawab Alvin. Sedetik kemudian ia membalik tubuhnya dan meninggalkan Ify seorang diri.
Ify kembali menghela nafas, mencoba menahan air matanya yang sudah menggenang agar tidak jatuh berlinang. Sudah cukup banyak air mata yang ia buang hanya untuk meratapi nasibnya selama ini.
Sebuah mobil mewah milik sang ayah yang mulai memasuki garasi membuat sebersit pemikiran terlintas di benak Ify. Ia harus segera mencari kejelasan benar atau tidaknya hal yang ia pikirkan bersama Rio dan Sivia pagi tadi. Rasa takut saat berhadapan dengan sang ayah begitu saja menguap, ia segera berlari menemui ayahnya.
***
Dengan gurat kelelahan yang begitu terukir di wajahnya, pak Tama mendudukan dirinya pada sofa mewah yang teronggok di ruang keluarga istana besar milik keluarga Umari ini.
“pa..” panggil Ify.
Pak Tama menoleh ke sumber suara yang menyapanya dan mendapati putri kesayangannya sedang menatapnya serius.
“apa?” tanggap pak Tama dengan urat-urat di wajahnya yang sudah sedikit mengendur.
“maaf, boleh Ify tau kenapa Ify nggak boleh melanjutkan hubungan Ify dengan kak Rio?” tanya Ify yakin.
“papa sudah bilang, Haling itu seteru keluarga kita!” jawab pak Tama tegas.
“bohong! Pasti nggak semuanya karena itu!” sanggah Ify dengan nada sedikit keras. “bukankah kalau Ify dan kak Rio bersatu kalian akan lebih berjaya? Kenapa pa?”
“Rio pasti tak kalah brengsek dengan ayahnya! Setelah dia dapat apa yang dia mau dari kamu, kamu hanya akan dicampakkan! Sama seperti tante Ira!” jawab pak Tama keras. Emosinya benar-benar terpancing dengan kata-kata Ify yang terang-terangan menantangnya.
“Rio nggak kaya gitu, Pa!” balas Ify tak mau kalah, tak juga kalah keras dengan sang ayah.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Ify. Bekas tangan sang ayah kini menempel pada pipi putihnya.
Air mata Ify akhirnya mengalir. Tak percaya ayahnya sendiri melakukan hal itu padanya. Dengan perasaan kalut dan begitu kecewa, Ify berlari ke kamarnya dan mengurung diri.
bersambung...

oiya.. nama twitter saya @missSari follow yak hehe..
kritik, saran dan wejangan selalu dinanti, makasih yang udah sempet mampir ke sini, makasih yang lebih buat yang udah baca, yang copycat semoga diampuni dosanya (?) wasalam. :)

3 komentar:

  1. kak Sari.. ceritanya tambah keren! lanjut ya ka!!!!!
    jgn bilang Rio juga kena kanker lambung..

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Br pertama kali baca cerbung nya.lansung jatuh cinta k SMA cerita nya.terharu k bacanya

    BalasHapus