Rabu, 18 Mei 2011

Song of Love part 11

Rio mengerjapkan matanya agar kedua indra penglihatannya itu dapat beradaptasi dengan cahaya dari matahari yang mulai memasuki kamar tempatnya dirawat melalui celah-celah cendela yang tidak tertutup kain korden.
Setelah secara nyata ia mampu melihat arah di hadapannya yang hanya berupa langit-langit bercat putih bersih seperti kebanyakan rumah sakit, ia mengedarkan pandangannya mencari petunjuk sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Lebih dua puluh menit dari pukul enam pagi. Namun Rio tak mampu menebak sudah berapa kali hari berganti tanpa ia saksikan.
Pemuda hitam manis itu mendengus pasrah. Ia dapat merasakan tubuhnya yang begitu lemah saat ia mencoba menegakkan tubuhnya mencoba untuk bangun, namun ternyata cukup sulit. Mata sayunya menatap tangan kirinya yang kini sudah dilekati jarum infus. Ia benar-benar tak suka dengan keadaan seperti yang dialaminya saat ini.
Sampai pintu yang juga bercat putih yang terletak di sudut ruangan besar dengan fasilitas paling mutakir untuk ukuran rumah sakit itu berdecit karena seseorang membukanya membuat Rio mengalihkan perhatiannya. Ia kembali memaksakan seulas senyumnya saat mendapati kepala Gabriel yang menyembul dari balik pintu.
“udah sadar? Gimana keadaan lo?” tanya Gabriel sambil meletakkan sebuah box makan di atas meja kecil yang berada tepat di samping bed.
“gue akan merasa lebih baik kalau nggak ada di tempat ini. Berapa hari gue nggak sadar atau berapa gue dipaksa kehilangan kesadaran?” kata Rio sambil kembali memusatkan perhatiannya pada cendela yang seakan membingkai gambaran nyata langit biru cerah di luar sana. Seingatnya yang saat itu masih dalam keadaan sadar penuh, ia mendapatkan suntikan yang membuatnya merasa sangat lemah dan mengantuk, tentu bukan secara alami ia menjadi tidak sadar untuk beberapa waktu.
“dua hari, kalau nggak digituin, pasti nggak akan pernah mau lo diperintah istirahat.” Jawab Gabriel menjelaskan mengapa ia melakukan hal itu pada sahabatnya.
“terus gue kenapa?”
“lo cuma butuh istirahat, bersyukur Tuhan nggak nambah ujian elo, jaga kesehatan, jangan sampai elo bener kenapa-napa.” Nasehat Gabriel bijak.
“Ify?”
“udah dua hari gue nggak liat dia di sekolah, besok kan hari pertunangannya?”
Rio terdiam. Ia hanya tinggal memiliki sisa waktu dua kali dua puluh empat jam untuk menggagalkan pertunangan itu, untuk menjaga agar gadisnya tidak menjadi milik siapapun, kecuali dirinya. Sudah sangat sulit untuk melakukannya kecuali dengan modal kenekatannya.
“lo nggak akan bisa berbuat apapun kalau keadaan lo nggak juga membaik.” Ucap Gabriel seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan sahabatnya.
“gue ke sekolah dulu.” Pamit Gabriel kemudian berlalu.
“Yel, siapa yang biayain ini semua?” tanya Rio menghentikan Gabriel yang sudah berdiri di ambang pintu.
“bokap lo, nanti dia pasti dateng.” Jawab Gabriel sebelum ia benar-benar pergi.
“ada titipan?” tanya Gabriel sambil menyembulkan kepalanya sekali lagi, cukup mengagetkan Rio yang sudah mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
“Alyssa Umari aja satu.” Jawab Rio sambil memamerkan cengiran kudanya.
“upss.. sudah dipesan tuan muda Sindhunata.” Goda Gabriel sambil terkekeh penuh kemenangan.
“saya akan bayar berapapun dan dengan apapun asal dia menjadi nyonya Haling!” jawab Rio tak mau kalah.
“oke, you’re the winner, see ya, bro!” pamit Gabriel sekali lagi sambil melihat arloji yang melingkar di tangan kirinya. Pasti ia akan terlambat jika tidak bergegas menuju sekolahnya.
Rio kembali termenung. Ayahnya masih peduli padanya. Hal yang membuat otaknya bertanya ada apa sebenarnya.
***
Ify mematut dirinya di depan cermin besar di kamarnya. Hal yang sebenarnya biasa ia lakukan dengan mudah itu kini rasanya menjadi sulit mengingat ia berdandan untuk laki-laki lain yang sama sekali tak diharapkannya. Ia memiliki janji untuk mencari cincin pertunangannya dengan Alvin hari ini.
Kembali terngiang kata-kata sang ayah tentang hal yang menyebabkan ia tak boleh melanjutkan hubungannya dengan Rio, satu nama penting tante Ira, Safira Umari, adik dari ayahnya yang kini tinggal di luar kota bersama putra semata wayangnya. Orang yang Ify yakini memegang kunci dari masalah perseteruan tuan besar Haling dan tuan besar Umari.
Rio. Nama itu kembali terngiang di telinga Ify, membuat dadanya kembali merasa sesak. Beberapa hari ia sama sekali tak berkomunikasi dengan kekasih yang sangat ia rindukan itu. Dengan gerakan cepat, Ify membuka laci bagian bawah meja riasnya, mengambil selembar foto yang terletak di bagian paling bawah dari tumpukan kertas-kertas di dalamnya. Foto yang bergambar dirinya da Rio, satu-satunya yang ia miliki dan sengaja ia letakkan di tempat yang sulit terendus ayahnya agar benda itu tidak segera dimusnahkan.
Sebuah senyuman miris terukir di bibir Ify. Gambar yang diambil dengan kamera ponsel milik Rio dengan latar langit jingga di ujung senja. Ify ingat betul foto itu diambil di atap sekolah satu minggu setelah ia menerima permintaan Rio untuk menjadi kekasihnya. Tergambar ekspresi terkejut Ify saat dengan gerakan cepat Rio mencium pipi kanannya seraya mengambil gambar.
***
Ify merentangkan kedua tangannya di ujung pembatas lantai. Menikmati semilir angin yang menerpa seluruh tubuhnya. Memejamkan matanya menikmati kehangatan cahaya matahari senja yang menerpa wajahnya. Damai sekali rasanya.
Sementara itu Rio yang berdiri disebelahnya hanya diam terpaku menikmati sebuah keagungan yang mungkin hanya ia lah orang beruntung yang pernah menikmatinya. Biasaan cahaya jingga yang memantul dari sisa-sisa butiran peluh yang masih menempel di wajah manis gadisnya membuat siluet indah itu menjadi semakin menawan. Matahari yang tercetak bulat sempurna dengan sejuta pesonanyapun tak lebih cantik dari pemandangan yang ia lihat kini.
Perlahan jemari kokohnya tergerak, tergoda untuk menyusuri setiap lekukan sempurna itu, namun dengan segera dan dengan sekuat tenaga Rio menahannya. Tak ingin melihat kedamaian yang terpendar di wajah Ify saat ini hilang begitu saja. Biarlah ia menikmatinya dahulu.
Beberapa menit Rio bertahan, hingga setan kecil yang bersemayam di hatinya membisikan sesuatu padanya.
Ify terhenyak, tubuhnya yang sebelumnya terasa melayang sedikit terhuyung karena hempasan tubuh Rio yang tiba-tiba saja memeluknya dari balik tubuhnya. Seluruh lengan kanan Rio melingkar di perut Ify, sedangkan lengan kirinya menyilang hingga ke bahu kanan Ify dan mengunci tubuh mungil gadisnya itu agar tetap merapat padanya, bahkan tak ada celah untuk hembusan angin sekalipun. Ify merasakan deru nafas Rio yang menerpa kulit lehernya seakan ingin menikmati dan menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya.
Rio menahan Ify dalam posisi itu. Terus memenuhi seluruh rongga pernafasannya dengan wangi aroma khas dari tubuh Ify. Bergelayut manja dan menegaskan jika ia telah takluk pada gadis yang kini ada dalam dekapannya. Aroma tubuh yang membawa angannya terbang melayang dan seakan ia tak akan sanggup bertahan tanpanya.
Sampai Ify melepaskan rengkuhan hangat dari Rio saat desiran darahnya tak mampu lagi terbendung dan mengalir sangat kuat.
“kok dilepas?” protes Rio tak mengerti.
“nggak enak diliat orang.” Jawab Ify sekenanya.
Rio berdecak, siapa yang akan melihat mereka? mana ada orang yang mungkin kurang kerjaan menaiki gedung hingga ke lantai paling atas sore-sore begini kecuali mereka? Alasan yang tidak masuk akal.
“bisa nggak cari alasan yang lebih cerdas dikit?” sindir Rio.
“mau bilang aku bodoh?” tuduh Ify.
“aku nggak bilang loh ya.. tapi setidaknya kamu sadar sama kekurangan kamu.”
Ify mengerucutkan bibirnya sambil melipat tangan di depan dada. Tak suka dengan ledekan Rio.
Ide jail muncul di benak Rio. Dengan segera ia mengambil ponsel dari saku celana seragamnya dan mengabadikan gambar Ify dalam posse itu.
Seketika suara gelak tawa milik Rio menggema renyah saat melihat hasil bidikan kamera ponselnya. Ekspresi wajah Ify yang menurutnya aneh membuatnya tak bisa berhenti untuk tertawa.
“ini kocak, Fy! Aku jamin fans kamu bakal lari semua!” kata Rio disela tawanya sambil memegang perutnya yang sedikit sakit karena terlalu lepas terbahak.
“ih.. rese! Hapus lah kak! Itu jelek banget!” protes Ify sambil berusaha merebut ponsel yang dibawa Rio.
“lucu tau, limited edition, the most favorite girl of Putra Buana punya posse kaya gini, dijual lumayan ni.” Goda Rio sambil terus mencoba mengamankan ponselnya dari raihan tangan Ify.
“otak kakak bisnis mulu nih! Tega banget sama cewek sendiri, begini ya yang dibilang cinta?”
Rio berdecak bingung, bisa-bisanya Ify mengaitkan keisengannya dengan cinta, hal yang sebenarnya tak ada hubungannya sama sekali.
“jangan marah dong, jelek tau kamu kalau marah.” Bujuk Rio dengan nada manja sambil merangkul Ify dan menumpukan dagunya pada bahu mungil gadisnya. “itu bibir nantangin banget, sumpah!” lanjutnya sambil menunjuk bibir Ify yang masih ia majukan beberapa mili.
“kalo nggak marah aku cantik dong? Nantang gimana?” tanya Ify dengan wajah yang kembali berbinar-binar.
“kalo enggak, mana mau tuan muda Haling sama kamu? Nantangin minta dicium!” seloroh Rio sambil menyeringai lebar. Punggung tangannya menusap pelipis Ify mengapus butiran keringat yang masih tersisa panuh kasih.
Spotan Ify menoleh pada Rio. Dan dengan polosnya ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya, takut jika Rio benar-benar melakukan apa yang baru saja ia katakan. Ia terkesiap saat mendapati wajah Rio begitu dekat dengan wajahnya. Semburat merah begitu saja menjalar di wajahnya, masih tak percaya rasanya ia dapat melihat wajah pangeran pujaannya dalam jarak sedekat itu, jarak yang tidak sampai belasan centimeter.
Cepat-cepat Ify menunduk, tak ingin Rio melihat rona yang berbeda di wajahnya. Perbuatan yang sia-sia sebenarnya karena jarak keduanya yang terlalu dekat, tetap saja dengan mudah Rio dapat melihat perubahan di wajah gadisnya itu.
“aku selalu suka liat rona merah di pipi kamu itu.” Bisik Rio tepat di sebelah telinga Ify dengan senyum penuh kemenangan. Susunan kata yang membuat Ify semakin kalang kabut dan salah tingkah.
Karena kehabisan kata-kata, Ify hanya diam menahan malu. Semakin menunduk dalam seraya menyelipkan sejumput rambutnya yang berhambur dari ikatan ekor kudanya ke belakang daun telinga kanannya.
Rio ‘menculiknya’ setelah ia selesai berlatih cheerleaders beberapa waktu lalu dan mengajaknya ke atap gedung sekolah yang memang selalu sepi. Rio tak memberi waktu sedikitpun pada Ify walaupun hanya sekedar untuk membenahi penampilannya.
“lepas aja deh ini iket rambutnya, sayang.” Ujar Rio sambil menunjuk ikat rambut Ify yang sudah tidak beraturan, terlebih karena perbuatannya barusan yang mengacak-acak gemas puncak kepala gadisnya itu. “cantikan kalo digerai kamunya.”
“panas!” tolak Ify sambil menggeleng. “foto berdua yuk, kak, buat aku pajang.” Ajaknya sambil merebut ponsel Rio.
“aku aja yang pegang kamera.” Sela Rio sambil kembali mengambil alih telephon genggamnya. Kemudian ia mengarahkan kameranya ke arah wajahnya dan Ify.
“satu.. dua.. tiga!”
Dengan gerakan cepat Rio mencium pipi kanan Ify sambil mengambil gambar. Ify yang tak menduga sedikitpun dengan apa yang dilakukan Rio padanya hanya bisa memasang wajah yang ternganga kaget.
“kak Rio!!!” seru Ify geram sambil memukul bahu Rio yang dengan gerakan cepat langsung melarikan diri sambil tertawa lepas.
“thanks, Fy!” seru Rio dari ujung tangga untuk bersiap turun. Ia menjulurkan lidahnya menggoda Ify kemudian kembali berlari menghindari kejaran Ify.
***
Tak terasa setetes air bening mangalir dari mata gadis manis itu, mengalir di pipinya dan berakhir tepat di atas lembar foto yang masih dipegangnya. Ia begitu merindukan saat-saat menyenangkan bersama Rio, dimana keduanya dapat tertawa lepas tanpa beban.
“apa yang bisa dia beri selain air mata buat kamu, Fy?” tanya Alvin yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping meja rias.
Ify terhenyak kemudian mengalihkan perhatiannya pada sosok laki-laki bermata sipit di sampingnya.
“apa yang lo mau dari gue, Vin? Lo tau? Gue tersiksa, itu yang lo mau?” Lirih Ify sambil mengapus kasar air matanya.
Alvin menarik ujung kanan bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang terkesan sangat meremehkan. Perlahan ia membungkuk, mensejajarkan diri dengan Ify yang masih duduk di kursinya. Mendekatkan wajah tampannya pada wajah Ify.
“gue mau semua yang ada di elo, semuanya.” Bisik Alvin sambil mengangkat dagu lancip milik Ify hingga gadis itu menatapnya. Masih dengan senyumannya yang belum berubah, ibu jarinya menyusuri pipi milik Ify.
“gila lo, Vin!” umpat Ify sambil menyentakkan tangan Alvin agar menjauh dari wajahnya.
“ck! Elo yang bikin gue gila! Gue laki-laki normal, dan terlalu bodoh buat gue lepasin elo gitu aja.”
“gue, seutuhnya, punya kak Rio!”
“lo pikir gue peduli? Enggak! selama elo ada sama gue, dan itu artinya elo punya gue, bukan Rio!”
“ini bukan cinta, Vin! Cinta bukan paksaan.”
“who cares with that? The one that I know is I want you!” ucap Alvin tegas sambil menarik tangan Ify untuk segera menjalankan rencana mereka hari ini.
***
Tangan kokoh milik Alvin terus saja menggengam jemari Ify yang berjalan tanpa semangat di belakangnya, menyusuri lantai sebuah pusat perbelanjaan sampai berhenti di sebuah toko perhiasan.
“kamu mau yang mana, Fy?” tanya Alvin setelah beberapa waktu ia habiskan untuk melihat dan mencermati beberapa bentuk cincin.
“terserah.” Jawab Ify pasrah.
Alvin berdecak kesal, tak suka dengan raut wajah Ify yang terkesan sangat tidak iklas.
“lo jangan buat gue bertindak kasar sama elo.” Bisik Alvin mengancam Ify setelah merengkuh pinggang Ify dan mendekatkan tubuh mungil itu padanya.
Jujur, nyali Ify sedikit menciut karena Alvin memang tak pernah bermain-main dengan kata-katanya. Ia menggigit bibir bawahnya sambil mencermati beberapa cincin yang berjajar di atas etalase secara bergantian.
Sekian lama memilih, Ify menghela nafas berat. Seleranya tak berkata iya dengan satu pun cincin yang berada di situ. Bukan karena bentuk dan desain perhiasan mungil itu yang tak indah, namun karena ia mengingat untuk apa benda itu dibeli.
“yang mana?” tanya Alvin sedikit tak sabar sambil mengetuk-ngetukan telunjuknya di kaca etalase.
Ify mengambil asal sebuah cincin emas putih kemudian ia berikan kepada Alvin. Tak ingin berurusan dengan pria bermata sipit itu lebih lama lagi dan lebih jauh lagi.
Bukan cincin yang baru saja dipilih Ify yang menyita perhatiannya, membuat mata sipitnya menjadi semakin sipit, namun sebuah cincin lain yang menlingkar di jari manis Ify. Ia menarik tangan Ify dan melepas paksa cincin itu, cincin yang tidak lain adalah pemberian Rio tempo hari. Membuat Ify sedikit mengerang kesakitan dan kemudian menatap tak percaya pada Alvin.
“dari Rio ya?” tanya Alvin sarkatis sambil menatap remeh pada cincin yang sedang ia timang, tak membutuhkan jawaban karena ia yakin cincin itu dari Rio. “gue bisa kasih yang sepuluh kali lebih bagus!” lanjutnya sambil membuang asal perhiasan kecil itu. Menimbulkan bunyi gemerincing berkali-kali karena logam mulia itu beradu dengan lantai.
Ify menatap nanar pada cincin itu. Dan sedetik kemudian ia teringat pada janjinya pada Rio untuk menjaga cincin itu, barang yang sangat berharga untuk Rio.
PLAK!
Entah mendapat keberanian dari mana, Ify menampar keras pipi Alvin.
“gue benci elo!” ucap Ify dengan genangan air yang sudah mencembung di kelopak matanya. Kemudian ia berusaha mencari cincin itu ke arah dimana tadi benda kecil itu jatuh. Berharap dengan segera menemukannya atau ia akan terus merasa bersalah pada Rio.
Sementara Alvin masih terpaku di tempatnya dengan kedua tangannya yang mengepal kuat menahan emosi. Namun ia yakin akan sangat sulit menemukan cincin itu di tempat sebesar ini, kemungkinan benda itu ditemukan bisa dibilang sangat kecil.
Ify masih terus mencari dibantu beberapa orang yang peduli padanya dan tak tega melihat seorang gadis terlihat begitu kacau mencari sesuatu yang sepertinya sangat berharga baginya di sekitar lantai mall. Sampai semuanya menyerah, dan hanya mengusulkan pada Ify yang terduduk putus asa untuk merelakan cincin itu, tak ubahnya mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami jika pekerjaan itu diteruskan.
Pasrah, Ify melangkah gontai meninggalkan pusat berbelanjaan tersebut. Rasa bersalah pada Rio semakin menghimpitnya, merasa jika pangerannya itu akan marah besar padanya karena ia tak mampu menjaga titipan Rio.
***
Tak ada yang berubah di ruangan serba putih ini. Sedari tadi Rio hanya menghabiskan waktunya dengan merenung ditemani suara dentingan jarum jam yang terus berganti tanpa bisa ia hentikan.
Seorang diri di tempat yang tidak menyenangkan seperti saat ini justru membuatnya semakin terpuruk dibelenggu rasa rindu pada dua wanita yang selalu menjadi juara di hatinya. Perempuan pertama adalah sang bunda, angannya melayang jauh, pasti jika beliau masih ada, ia lah yang pasti akan direpotkan dan paling bawel dengan keadaan Rio. Ia yang pasti akan mencurahkan seluruh kasih sayangnya tanpa mengeluh.
Perempuan kedua, gadis pujaannya, Ify. Jujur, Rio sangat menginginkan curahan perhatian kekasihnya itu saat ini. Ify yang pasti mengerti apa yang diinginkannya.
Rio menegakkan tubuhnya yang kini terasa lebih jauh lebih baik, menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja di sampingnya. Ibu jarinya menari diatas trackpad. Tak lama kemudian ruangan sunyi itu dipenuhi dengan lagu lawas yang pernah ditembangkan Celine Dion dan Julio Iglesias, When I Fall in Love.. keterlaluan kalau belum pernah mendengar lagu itu. Lagu yang kini mengalun merdu memalui sebuah suara mezzosopran beraroma jazz kental, suara milik Ify.
Rekaman suara yang ia dapat secara diam-diam hampir setengah tahun lalu, saat semuanya masih berjalan dengan baik, saat semuanya masih bisa ia kendalikan, semuanya, kecuali lagu cinta yang mulai bergaung ke seluruh ruang hatinya kerena sosok gadis yang begitu sempurna yang menyodorkan semerbak aroma asmara padanya. Alyssa Saufika Umari.
***
Rio berdecak kesal sambil melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah hampir seperempat jam ia menunggu peserta untuk ekstrakulikuler musik. Ia mendapat kehormatan dari ibu Ucie, guru musiknya untuk menjadi juri seleksi untuk ujian memasuki ekstrakulikuler yang banyak diminati di SMA Putra Buana itu. Tinggal peserta terakhir, dan satu-satunya peserta yang membuat emosinya beranjak naik.
“bu, ini pesertanya serius atau nggak?” tanya Rio pada ibu Ucie yang duduk disebelahnya dengan nada tidak sabar.
Belum sempat bu Ucie menjawab, seorang siswi tiba-tiba saja berlari di hadapan mereka berdua sambil memamerkan cengiran tanpa rasa bersalahnya.
“maaf, ibu Ucie, em.. kakak Mario, saya terlambat.” Ucap gadis itu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
Rio terdiam saat menyadari siapa gadis yang ada di hadapannya. Nada dan cara gadis itu menyapa dan menyebut namanya selalu tedengar berbeda di telinganya. Tak dapat ditolak atau disangkal ada euphoria yang menggema di hati lelaki tampan itu. Namun, Rio tetaplah Rio, perasaan itu tak pernah ia luapkan dan ia tetap lebih memilih terus bersembunyi di balik topeng dinginnya.
“iya, saya maafkan, sekarang perkenalkan diri kamu!” tanggap bu Ucie tak ingin lagi membuang waktu.
“saya Alyssa Saufika, kelas X-4, saya...” kembali Ify menggaruk kepalanya, bingung apa lagi yang harus ia katakan tetang dirinya.
“pacarnya Rio!” ceplos Gabriel yang duduk tepat di belakang Rio membuyarkan kesunyian yang sebelumnya tercipta, memancing gelak tawa semua murid yang menyaksikan acara tahunan sekolah itu. Sudah menjadi rahasia umum jika Ify sangat mengagumi Rio, Rio pun tahu akan hal itu.
Rio hanya diam, acuh tak acuh pada semua sorakkan teman-temannya. Ia memilih berkutat dengan ponselnya.
“iya, saya rasa perkenalan cukup, alat musik apa yang bisa kamu mainkan?” tanya bu Ucie meredam kegaduhan.
“em..”
“gitar?”
Ify hanya menggeleng, tanda ia tak bisa memainkan alat musik itu.
“piano?”
Lagi-lagi Ify menggeleng.
“drumm atau yang lain?”
“saya tidak bisa bermain alat musik, bu.” Jawab Ify akhirnya.
“ck! Terus elo mau ngapain?” tanya Rio yang akhirnya buka suara namun tetap dengan nada yang dingin, bahkan terdengar sedikit membentak.
“nyanyi.” Jawab Ify polos, sama sekali nyalinya tak menciut dengan nada tinggi yang Rio perdengarkan.
“ya sudah, silahkan, Alyssa!” lerai bu Ucie. Terdengar sangat pasrah.
Ify mengangguk semangat dengan senyum yang begitu merekah di bibirnya. Matanya yang berbinar menatap Rio yang juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tidak bersahabat dengan penuh keyakinan, berusaha menjelaskan pada sang pangeran hati bahwa lagu yang akan ia bawakan ditujukan padanya, dan hanya untuknya.
When I fall in love
It will be forever
Or I’ll never fall in love

Hening. Dan damai. Hal itu yang begitu saja menyergap ke seluruh penjuru ruangan yang seakan terhipnotis oleh suara merdu milik Ify. Semua mata yang ada di ruangan besar itu serentak tertuju pada gadis manis itu.
In a restless world Like this is
Love is ended before it’s begun
And too many moonlight kisses
Seem to cool in the warmth of the sun

Ify memejamkan matanya, berusaha semakin masuk ke dalam lagu yang ia bawakan. Dengan perasaannya mencoba menyentuh hati Rio yang menurut orang lain sudah hampir serupa dengan bongkahan es.
When I give my heart
It will be completely
Or I’ll never give my heart

Rio terhenyak. Tautan nada dan kata yang mengalun dari mulut Ify membuat aliran darahnya mendesir hebat. Kelitikan-kelitikan halus terus mengusik hatinya. Seakan ia mendapat pesan dari surga melalui suara gadis yang banyak diincar oleh siswa-siswa SMA Putra Buana itu.
Ia terus menatap Ify tanpa berkedip. Tak ingin sedetikpun kehilangan waktu untuk membingkai wajah cantik itu di ingatannya, walaupun sorot tanpa ekspresi itu belum juga hilang.
And the moment I can feel
that you feel that way too
Is when I fall in love
With you..

Lagu berakhir. Namun belum ada seorangpun yang menyaksikan penampilan Ify tadi sadar dari keterpukauannya. Masih diam terpaku. Sampai sebuah suara tepuk tangan dengan penuh kebanggaan terdengar dari bu Ucie yang disusul sambutan riuh dari penonton lain.
Sementara itu, Rio tetap diam di tempatnya, sama sekali tidak bereaksi. Menatap layar poselnya dengan wajah penuh kepuasan dengan apa yang baru saja didapatkannya.
“suara kamu luar biasa, Alyssa.” Ucap bu Ucie setelah semuanya kembali tenang. “boleh ibu tau untuk siapa lagu tadi? Sangat dalam untuk sesuatu yang dilakukan tanpa tujuan dan alasan.” Lanjutnya masih dengan senyum sumringah yang tak kunjung pudar.
“em.. untuk seseorang yang sangat spesial bagi saya, bu, dan saya yakin hati orang itu tidak sekeras itu sampai tak menyadari lagu itu untuknya, walaupun saya tak mengatakannya langsung.” Jawab Ify dengan maksud menyindir Rio, ditambah tatapannya yang mengarah persis pada laki-laki berparas manis itu.
“buat lo itu, bro!” bisik Gabriel sambil menepuk bahu Rio.
“so? Gue harus ngapain? Sorak-sorak?” balas Rio tak berminat sedikitpun.
“jadi.. lo juga sadar lagu itu buat elo?” goda Gabriel.
“ada yang lain di ruangan ini yang dikejar-kejar sama dia?”
Gabriel hanya menyeringai karena kehabisan kata-kata.
Setelah menyerahkan hasil penilaiannya pada bu Ucie, Rio bergegas meninggalkan tempat duduknya dan keluar dari ruangan musik. Bermaksud melakukan sebuah rencana yang tersusun di otaknya.
***
Ify memperlambat langkahnya saat mendapati sosok Rio yang duduk di pembatas koridor. Ia menundukan kepalanya dalam-dalam tak ingin berurusan dengan Rio setelah ia mengeluarkan keberaniannya untuk penampilannya tadi.
“ck! Nggak liat ada orang di sini?” sindir Rio setelah beberapa langkah Ify melewati dirinya, membuat langkah gadis itu terhenti.
Tak ingin dianggap terlalu percaya diri jika menganggap Rio sedang berbicara padanya, Ify mengedarkan kepalanya ke berbagai arah mencari-cari jika mungkin ada orang lain selain dirinya yang ada di sekitar tempat itu. Dan hasilnya nihil, memang hanya ada dirinya dan Rio di tempat itu.
“gue mau nyampein pesen dari orang yang lo kirimin lagu tadi, dia bilang terimakasih, luar biasa untuk ukaran seorang cewek manja, tapi nggak ada ya cara yang lebih norak?” Ucap Rio tenang dari balik tubuh Ify yang masih terpaku. Sedetik kemudian ia melangkah meninggalkan gadis manis itu yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Begitu tersadar dari angan-angannya yang terlanjur dibawa melayang jauh oleh ucapan Rio, Ify mendapati pangerannya sudah sampai di ujung koridor.
“Kak Rio!!” seru Ify tak mau kehilangan kesempatan.
Rio menghentikan langkahnya mendengar namanya dipanggil, namun ia tak menoleh sama sekali.
“bilang sama orang itu, gue cinta dia! Gue akan terus nunggu sampai kapanpun!” lanjut Ify mantab.
Rio tak bergeming, tak membalas atau pun bereaksi sedikit pun. Kembali ia melanjutkan langkahnya dengan senyum tipis terukir di bibirnya.
***
“Rio!” panggil pak Krishna karena putranya tak menyadari kedatangannya.
Dengan enggan Rio menoleh pada sang ayah, masih tak sedikit tak terima lamunannya terbuyarkan begitu saja.
“ada apa?” tanya Rio dingin.
Pak Krishna tak menjawab. Ia menarik kursi yang selalu tersedia di samping bed, mengatur posisinya agar ia nyaman berbicara dengan putra sulungnya.
“maafkan papa, Yo, papa tau papa bukan ayah yang baik untuk kamu maupun Acha.” Tutur pak Krishna serius. “bahkan papa tak tau selama ini kamu selalu berusaha membanggakan papa tanpa mempedulikan diri kamu sendiri dan Gabriel sudah menceritakan semuanya.”
“Rio nggak pernah mengharapkan sesuatu yang lebih dari apa yang Rio lakukan selama ini, karena memang itu tugas Rio, karena Rio juga menyukai dunia itu.” balas Rio menyadari jika ayahnya ingin berbicara dari hati ke hati dengannya.
“papa baru saja menyadari kalau kamu sudah menjadi seorang laki-laki dewasa, Mario, papa tau kamu bisa memilih mana yang terbaik.” Dengan binar kebanggaan pak Krishna menepuk bahu Rio sambil tersenyum.
“papa ijinin Rio sama Ify?” tanya Rio semangat. Pak Krishna mengangguk.
“tapi papa rasa akan sangat sulit menembus keluarga Umari, apa kamu benar-benar mencintai Alyssa?”
“dengan segenap jiwa dan raga, Pa! Rio sangat mencintai Ify.”
“jaga dia baik-baik, jangan kamu cemari cinta itu!”
Rio mengangguk mengerti, walaupun ia masih merasa ada sesuatu yang janggal mengapa ayahnya tiba-tiba saja memberikan restu padanya untuk melanjutkan hubungannya dengan Ify.
“maaf, ada hal lain yang mendasari pertentangan papa dengan ayah Ify.”
Pak Krishna mengangguk lesu.
“jawabannya semua ada pada Safira Umari, adik Pratama Umari, kalian bisa mencari dia untuk mendapatkan semua jawabannya.”
“kenapa tidak papa saja yang bercerita?”
Hanya gelengan lemah yang pak Krishna berikan untuk menjawab pertanyaan putranya. Ia beranjak berdiri.
“papa ke kantor, Yo, segera pulih, tenaga dan pikiran kamu papa butuhkan di kantor.” Tutur pak Krishna kemudian melangkah pergi meninggalkan Rio seorang diri dengan kepingan-kepingan teka-teki yang harus ia jawab segera.
***
Gadis manis itu nampak begitu anggun dengan gaun putih bersih yang kini ia kenakan. Sayang hanya cahaya kesedihan yang terpancar dari matanya saat menatap bayang dirinya di depan cermin. Merasakan tubuh dan jiwanya kini berada di tempat yang salah.
Sang bunda yang menemaninya mencoba gaun yang akan putrinya pakai di pesta pertunangannya esok hanya bisa turut bersedih menatapnya. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk membebaskan putri yang sangat dikasihinya.
“kamu cantik sekali, Fy! Putri kecil mama sudah menjadi perempuan cantik sekarang.” Tutur ibu Livia sambil membelai rambut panjang putrinya, mencoba menghibur Ify.
“Ify nggak mau bertungangan dengan Alvin besok, atau kapanpun, ma..” lirih Ify dengan suara parau.
Ibu Livia terdiam. Kemudian ia mendekap Ify, ia tahu pasti apa yang sedang putri semata wayangnya rasakan.
“iklas saja, sayang, mama tau Alvin mencintaimu, nak.” Nasehat bu Livia.
“Alvin nggak mencintai Ify, ma, apa yang Alvin lakukan itu bukan cinta namanya! Ify cuma mau kak Rio..”
Ibu Livia menghela nafas berat. Dadanya juga ikut merasa sesak dengan penuturan Ify.
“kalau Rio bisa membawa kamu pergi sekarang, mama akan ijinkan.” Tanggap ibu Livia pasrah. Ia percaya jika pilihan putrinya adalah yang terbaik.
“ma, tolong tinggalkan Ify sendiri..” mohon Ify sambil melepas pelukan ibunya.
Bu Livia mengangguk dan melangkah meninggalkan kamar putrinya. Apapun yang bisa ia berikan sekarang untuk membuat Ify lebih baik pasti akan ia lakukan. Dan mungkin putrinya itu saat ini membutuhkan waktu untuk menenangkan jiwanya seorang diri.
***
Hari sudah beranjak gelap. Sang matahari sudah kembali ke peraduannya, berganti tugas dengan sang bulan yang bersinar penuh malam ini. Ia yang menyaksikan dua orang anak manusia yang sedang didekap dewa asmara bersama bintang-bintang yang setia menemaninya.
“rasi Canis Major!” Ucap Shilla lantang sambil menggerakkan jarinya seakaan membentuk garis yang menghubungkan beberapa deretan bintang, menggambar pola khayal berbentuk seekor anjing.
“Furud ke Andhara.” Shilla menarik jarinya ke arah barat.
“Wezen, Aludra, jadi ekornya itu, Gab!” Gadis cantik itu berusaha menerangkan kepada Gabriel tentang apa yang ia lihat.
“aha! Mirzam! Cantik banget ya? Sayang cahaya birunya masih kalah sama Sirius!” ucap Shilla semakin bersemangat sambil menunjuk ke arah sebuah bintang yang bercahaya kebiruan setelah itu menunjuk pada sebuah bintang yang terlihat paling besar dan paling terang dari bintang yang lain, Sirius.
Gabriel hanya tersenyum mendengarkan celotehan gadisnya sejak tadi. Berusaha menangkap gambaran-gambaran khayal yang diberikan Shilla, mencoba mencari letak bintang-bintang yang ditunjukan telunjuk kekasihnya itu.
Begitu banyak bintang di langit, pasti sulit sekali menangkap atau mengenali satu di antaranya. Tak ingin dibuat semakin bingung, Gabriel hanya pasrah dan lama-kelamaan hanya diam menatap wajah ayu sang kekasih.
Sadar semenjak tadi Gabriel tidak menanggapi perkataannya, Shilla menoleh ke arah Gabriel dan mendapati laki-laki tampan itu menatapnya dalam-dalam.
“kamu nggak ngerti yang aku bicarain ya?” tanya Shilla sedikit menyesal telah berbicara panjang lebar dan sepertinya sia-sia.
“maaf, Shil..” ucap Gabriel tulus, ia memang tak terlalu mengerti dengan apa yang baru saja Shilla bicarakan. “tapi aku baru aja lihat bintang yang paling terang itu.” Lanjut Gabriel penuh keyakinan.
Shilla membulatkan matanya, ia tertarik dengan apa yang baru saja Gabriel ucapkan.
“serius? Mana?” tanyanya antusias.
“ikuti tangan aku!” perintah Gabriel sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Gabriel menggerakkan tangannya perlahan seakan memindai langit. Dan dengan rasa penasarannya, bola mata Shilla mengikuti kemana arah tangan kokoh itu. Sampai tangan itu berhenti untuk menutup mata pemiliknya sendiri –Gabriel-.
“ih.. nggak lucu, Yel! Mana bintangnya?” desak Shilla sambil menggoyangkan lengan Gabriel tak sabar.
“sebentar! Ini bintangnya ada di mata aku!”
“bohong lah, jelas!” Shilla melengos sambil melipat tangannya di depan dada, tak suka dengan perbuatan Gabriel yang menurutnya jayus.
“liat sekarang, terserah kamu mau bilang aku bohong atau enggak.” Perintah Gabriel sekali lagi.
Dengan wajah yang masih sedikit ditekuk Shilla mengikuti kemauan Gabriel. Ia menatap lekat-lekat wajah tampan kekasihnya.
Gabriel meraih tangan Shilla dan menggenggamnya erat.
“kamu liat apa yang ada di mata aku?” tanya Gabriel lembut.
“bayangan aku lah!” jawab Shilla yang masih sedikit dongkol.
“dan dia lah bintang paling terang yang pernah ada, my Sirius.” Jelas Gabriel dengan senyuman manis yang terpendar di wajahnya. “kamu semegah Sirius, di antara ribuan bintang yang menghias langit malam, dia pemenangnya, di antara sekian banyak gadis yang datang padaku, kamu juaranya.”
Shilla tertunduk tersipu karena rangkaian kata manis yang Gabriel ucapkan. Pantas saja ia bisa mendapatkan setiap gadis yang ia inginkan, Gabriel punya segalanya, dia tampan, berhati mulia, perhatian, dewasa, dan tak boleh dipungkiri, ia kaya raya, meskipun bukan karena semua itu Shilla mau menjadi kekasihnya. Cinta yang dimiliki gadis itu beralaskan ketulusan, tanpa alasan. Sebuah alunan lagu jiwa yang mengalir tak peduli segala yang menghadang di hadapannya.
“ye.. dia malu sendiri!” dengus Gabriel sambil mengacak-acak puncak kepala gadisnya.
Beberapa waktu mereka berdua habiskan dalam diam, tak sepatah katapun terucap. Menikmati debaran hati yang terus mendesir hebat. Menikmati indahnya malam di halaman belakang rumah Shilla yang memiliki tatanan tak kalah dengan sebuah taman.
Shilla tetap asik menikmati kilauan taburan bintang di angkasa seraya menggosokkan kedua telapak tangannya pada kedua lengannya dengan posisi menyilang. Cardigan abu-abu yang membalut gaun sederhana tanpa lengannya nampaknya tak cukup mampu untuk menghangatkan tubuhnya.
Tak jauh berbeda dengan sang kekasih, sambil mengedarkan pandangannya ke beberapa penjuru taman, Gabriel menggosokkan kedua telapak tangannya mencari sedikit kehangatan. Ekor matanya menangkap siluet wajah cantik gadisnya yang semakin sempurna dengan biasan cahaya bulan yang menerpa. Hasrat yang didendangkan sang malam menyusup dalam tubuhnya.
“Shil, ini aku cuma dianggurin?” tanya Gabriel yang sudah jengah dengan kesunyian yang justru terbentuk di antara keduanya.
Shilla menatap Gabriel dengan sebelah alis yang terangkat, tak begitu mengerti dengan apa yang dimaksud kekasihnya.
“em.. don’t you want to do something with me?” Gabriel menerangkan lebih terperinci apa yang ia maksud.
Dengan wajah polosnya, Shilla menggeleng setelah beberapa waktu sebelumnya memikirkan jawaban dari pertanyaan Gabriel.
“ya udah deh, aku pulang ya..” pamit Gabriel dengan sedikit nada kecewa yang tak mampu ia tutupi, ia beranjak dari tempat duduknya.
“tunggu!” cegah Shilla sambil menahan tangan Gabriel.
Sedikit tidak berminat, Gabriel memutar tubuhnya, menatap Shilla dengan kening berkerut, mencari alasan mengapa Shilla menahannya.
“em.. aku.. maaf.” Ucap Shilla terbata, ia sendiri bingung dengan apa yang ingin ia katakan.
Dengan gerakan cepat Shilla berjinjit mensejajarkan tubuhnya dengan Gabriel yang lebih tinggi darinya kemudian mengecup lembut pipi kanan kekasihnya.
“I love you!” ucap Shilla cepat kemudian berlari ke dalam rumahnya dengan wajahnya yang sudah berwarna merah padam.
Sambil memeganggi pipinya, Gabriel menggeleng-gelengkan kepalanya tak mengerti. Senyum kecil terukir di bibirnya. Shilla terkesan seperti anak kecil yang baru saja belajar menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Namun justru itu yang ia sukai dari Shilla yang terkesan unik dan berbeda dari gadis-gadis lain.
“makasih Shil, mimpi indah ya, aku sayang kamu!” seru Gabriel sedikit keras agar Shilla dapat mendengarnya.
Shilla membalik badannya dan tersenyum manis menanggapi ucapan Gabriel.
***
Jam yang bertengger di dinding sudah menunjukan tepat pukul sembilan malam, Rio masih termenung di atas tempat tidur memikirkan bagaimana caranya membatalkan perunangan Ify dengan Alvin. Ia sadar tak banyak waktu yang ia miliki untuk melakukan hal itu.
Kembali, setelah sebelumnya beberapa kali ia lakukan, Rio menghela nafas kuat-kuat membebaskan rasa penatnya. Sampai pantulan cahaya lampu kamar yang cukup terang memantul pada sebuah benda yang terbuat dari logam kecil yang ada di meja kecil tepat di samping bednya menyita pehatiannya. Sebuah kunci, benda yang tak asing lagi untuknya, kunci mobilnya yang sempat ayahnya tinggalkan tadi siang.
Sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di benaknya. Tak ada cara lain, pikirnya.
“aw..” pekik Rio tertahan saat dengan paksa ia mencabut jarum infus yang tertanam di tangannya.
Tak ingin membuang waktu lagi, Rio segera mengganti pakaian pasien rumah sakit yang dikenakannya dengan kemeja dan celana jeansnya. Kemudian ia bergegas meninggalkan rumah sakit itu, dengan satu tujuan pasti, Ify.
bersambung..

5 komentar:

  1. lah kak segitu doang?? nangguuung, kurang panjang!!! #plak

    ee part ini beneran d kasih hug scene dr belakang wakakaka makasi kak :D
    bikin mupeng tapinya -_-

    weslah pokok'e KEREN BGT!!!!
    Lanjut'e cepatlah u,u
    jangan kelamaan -_-

    BalasHapus
  2. RETWEET kak intan!!! iyaa kak jangan lama-lama yaaa.. hayoo cepetan!! Udah penasaran sama ide nya RIO!!! u,u

    BalasHapus
  3. cicit mah d kira ini twitter apah, d retweet -_-"

    BalasHapus
  4. kak saariii lanjutnya cepetaan kak ! akhirnya bikin penasaran banget-___-

    BalasHapus