Bukit bintang, 31 Desember
2006. 23:47 WIB
Malam
begitu dingin. Rintik-rintik lembut buliran air langit setia mengiringi guliran
detik menyambut tahun yang akan datang, mengucap kata pisah untuk tiga ratus
enam puluh empat hari sebelumnya. Di antara miliaran manusia yang memilih
berpesta, dua anak manusia yang memilih untuk menikmati dalam diam, dalam
hening yang begitu damai, dengan hati yang tak henti merapal syukur.
“mas..”
panggil Ify lembut. Mencoba memberanikan diri untuk menggenggam tangan kokoh
Rio, menelusupkan jari-jari lentiknya di sela jemari pemuda itu.
Sedikit-sedikit kehangatan mulai menjalar di tubuh indahnya. Debaran tak nyaman
namun selalu ia rindukan yang sedari tadi coba ia kendalikan kian menggila.
Biarlah. Setidaknya untuk malam ini rasa itu berdiri di podium juaranya.
Sambil
tersenyum, Rio menatap Ify lembut. Merangkum binar-binar indah sepasang mata
bening milik gadis itu. Menikmati setiap lekuk agungnya. Membuatnya menyadari
keagungan dan kasih Yang Maha Segalanya pada diri gadis itu. Cinta yang tulus
dan suci.
“mas
Rio, aku sayang sama mas.” Gumam Ify. Pegangannya pada tangan Rio menguat,
menggambarkan semua nyali dan tenaganya sudah tercurah untuk kembali mengatakan
kalimat tadi. Rio masih belum bereaksi. Wajahnya masih tenang, tanpa riak emosi
yang terbaca. Ia pun masih belum membalas genggaman tangan Ify.
“aku
tahu.” Jawab Rio sambil tersenyum geli.
“terus
perasaan mas buat aku?” cerca Ify yang sudah menatap penuh ke wajah Rio.
“menurut
kamu?”
Bibir
Ify mengerucut. Ia sepenuhnya tidak sedang bercanda. Tapi kenapa di saat
seperti ini Rio justru tak bisa serius?
Pertunjukan
pecikan api warna-warni yang menari indah di langit sudah dimulai, merah
kekuningan, merah, biru, hijau, ungu, berganti-gantian. Diiringi rampak
dentumannya yang berpadu dengan suara tiupan terompet mulai terdengar sayup.
Orkes khas yang selalu ditunggu setiap tahun baru.
“pengakuan
penting ya?” Ify mengangguk mantab mendengar pertanyaan Rio. Pria hitam manis
itu menghela nafas kemudian tersenyum. Namun setelah itu ia kembali menatap
langit. Ia biarkan Ify bersandar pada bahu kokohnya.
“kamu
tega ngebiarin aku nebak-nebak sendiri gimana perasaan kamu? Aku takut, apa
yang aku rasain selama ini soal perasaan kamu itu salah.” Lirih Ify.
“kalau
tebakan kamu aku nggak sayang sama kamu, ya berarti emang salah.” Sahut Rio
sambil tertawa kecil. Ify mengrenyitkan dahi setelah kembali menegakkan
tubuhnya dan menatap pemuda pemilik hatinya itu. Rio juga hanya turut
menatapnya heran.
“mas
Rio pernah SMA nggak sih? Nggak romantis banget.”
Rio
tersenyum sumir. “kamu nggak akan bisa bayangin masa SMA aku.” Lirihnya,
walaupun masih ada senyum di bibirnya. Khas seorang yang tak pernah lupa
bersyukur sepertinya. “jangankan ngedeketin cewek, ngelirik aja nggak ada
waktu.” Cengiran kuda terlukis di bibirnya sambil menggaruk bagian belakang
kepalanya.
“bohong!”
tanggap Ify cekatan.
“kamu
tahu? sampai sekarang aku bisa kuliah gara-gara beasiswa, gitu juga waktu SMA.
Untuk itu aku punya sesuatu yang harus dikorbankan, masa remaja aku.”
Sekali
lagi, Ify terpukau karena pria ini. Rio memang berbeda, dia luar biasa dengan
caranya sendiri. Seharusnya ia tak pernah punya keraguan itu. Ditambah ia sudah
tahu kisah pelik hidup Rio. Sang ayah yang meninggal karena kecelakaan saat ia
masih kelas tiga SMP, memaksanya untuk ikut mencari nafkah membantu ibunya
dengan bekerja part time sana-sini. Dan berarti jika baru saja Rio mengatakan
–secara tersirat- jika pria itu mencintainya, ia adalah wanita pertama yang
berarti bagi Rio, setelah ibunya sendiri.
“aku
punya janji sama almarhum ayah, aku mau memulai hubungan, di sini,
membahagiakan orang lain, selain ibu dan adikku, setelah aku bahagiain mereka.
Maaf.” Terdengar hembusan nafas Rio yang cukup menerangkan jika ia pun berat
mengatakan apa yang baru saja keluar dari bibirnya.
Ify
tahu, yang baru saja ia dapatkan adalah penolakan –lagi-. Setidaknya saat ini
ia tahu mengapa Rio tak mau menerimanya. Ada kata lain yang tersembunyi dari
pernyataan pemuda tampan itu. Menunggu. Apa artinya menunggu beberapa tahun
untuk sebuah kebahagiaan sejati yang akan di dapatnya bersama pria sempurna
–dalam ukuran manusia- ini. Dengan segera, Ify menubruk tubuh Rio, memeluknya
dari samping dan menyandarkan dagunya pada pundak Rio. Rio tidak memberontak,
namun juga tak membalas. “aku mau nunggu mas.” Bisik Ify, lirih, dengan
ketulusan yang membara.
Rio
terhenyak. Ify baru saja mengucapkan kalimat yang paling ingin ia dengar. Ia
menoleh ke arah gadis manis itu. Celaka. Jarak yang tersisa di antara dua
pasang mata penuh bahagia itu hanya berjarak beberapa centi. Rio bahkan bisa
mencium aroma jasmine yang menguar dari rambut Ify dengan sangat baik. Bibir
mungil yang sedikit terbuka menyita perhatiaannya, membuatnya menelan ludah
susah payah. Separuh kesadarannya yang mesih tersisa memerintahkannya untuk
menjauh, namun rasa penasarannya terus menahannya agar bergeming.
“do
it.” Ucap Ify sambil tersenyum setelah mendengar Rio menggeram lirih mencoba
mengendalikan harsatnya. Setan kecil yang menari di otak Rio menjadi lebih
bersemangat, menang. Dengan segera, pemuda itu merengkuh pinggang Ify. Menyapu
bibir merah gadis itu. Manis. Ify mengalungkan lengannya di leher Rio,
menenggelamkan telapak tangannya pada rambut hitam pria tampan itu. Setiap
pagutan yang membawanya terbang, jauh melampaui bunga-bunga api yang
meledak-ledak di angkasa gelap sampai akhirnya kembali lagi ke bumi.
“happy
new year, sweetheart.” Ucap Ify di sela genderang letusan kembang api yang
semakin riuh bersahutan mengiringi bunyi terompet panjang yang terdengar dari
kejauhan menandakan tahun sudah berganti. Rio hanya mengangguk sambil tersenyum
kecil. Kembali memusatkan pandangannya pada hamparan lampu-lampu kota yang
terus mengerling ikut bahagia. Dengan hati yang terus merapal syukur pada yang
punya waktu. Sang Maha Cinta.
Tahun
baru paling indah seumur hidup yang pernah dialami keduanya. Setahun yang luar
biasa dengan deru hati yang tak henti bertalu. Dengan cinta yang masih setia
menyala terang menunggu keduanya menjemput.
********
Stasiun Tugu, 11 Januari
2007. 18:30 WIB
Tempat
datang dan berangkatnya kereta, di bagian manapun dari dunia, pasti pernah
menjadi latar tempat jatuhnya air mata, entah air mata bahagia saat rindu
menemui muaranya pada mereka yang lama tak jumpa. Atau air mata sendu
membayangkan banyaknya rindu yang akan membelenggu di luar batas temu. Banyak
orang lalu-lalang tak juga membuat fokus sepasang anak manusia ini berubah. Tak
ada satupun yang mau melepaskan. Kedua tangan mereka tertaut erat. Tak ada yang
bisa memisahkan mereka. Sekalipun tak ada kesedihan terpapar dari wajah keduanya,
rasa takut itu ada, bahkan panjangnya rentetan gerbong kereta yang bertengger
di atas rel sambil mengaum itu tak bisa menyamai.
Tuhan
menciptakan segala sesuatunya berpasangan, Adam dan Hawa, Romeo dan Juliet,
Arjuna dan Srikandi, hutan dan hujan, amplop dan perangko. Walaupun kadang
manusia hanya meminta salah satu, tanpa pasangannya. Seperti tak pernah
mengharap ingkar di belakang janji, dan tentu tidak ada perpisahan sesudah
pertemuan.
Suara
nyaring petugas stasiun menjadi suara paling menakutkan yang pernah mereka
dengar. Suara bel kereta yang terus memaksa orang-orang pergi ingin sekali
dibanting. Tapi perpisahan ini memang harus dilakukan untuk kembali
bergandengan di ujung jalan, menapaki jalan berdua. Gadis manis itu mencoba
tersenyum, walaupun serasa ada beban puluhan ton yang menghimpit tubuhnya.
“pergilah
mas.” Lirih Ify. Gadis tadi. “aku tahu kamu pasti penuhi janji kamu buat
kembali.” Lanjutnya, dengan senyum yang semakin lebar, dengan luka menganga di
hatinya yang juga semakin lebar. Apapun itu ia siap diam dalam penantian.
“kamu
yakin mau nunggu? Aku nggak bisa kasih kamu kepastian.” Rio tak pernah
membayangkan akan sesakit ini rasanya untuk meninggalkan separuh nafasnya di
sini. Tapi ibu dan adiknya sangat membutuhkannya. Ada pekerjaan bagus yang
ditawarkan sebuah kotraktor besar di Jakarta. Dengan gaji yang menggiurkan,
cukup untuk memasukkan dan membiayai Ozy di SMA favorit serta memperbaiki
ekonomi keluarganya yang terkatung-katung.
“satu-satunya
hal yang pasti di dunia ini cuma ketidakpastian kan?” Ify membelai pipi Rio.
Mendongak agar bisa menatap wajah pria jangkung pemilik seluruh hatinya.
“berapa tahun kamu minta? Satu? Dua? Tiga? Empat? Lima? Lebih? Aku siap.”
Rio
tak menjawab. Ditariknya tubuh Ify kemudian ia peluk erat. Ia mengecup
ubun-ubun gadis itu lama. Ia hirup dalam-dalam harum rambut Ify, memenuhi
rongga paru-parunya hingga tak ada lagi ruang kosong. Aroma lembut yang pasti
akan sangat dirindukannya. Ify membalas, direngkuhnya pinggang Rio,
menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Mendengarkan deguban jantung
Rio yang tak wajar. Menyimpan aroma tubuh khas pemuda tampan itu rapat-rapat di
memorinya. Lenguhan panjang bel kereta memberi tanda terakhir jika kereta Senja
Utama tujuan Jakarta akan segera berangkat, dan Rio adalah salah satu
penumpangnya. Ify melepaskan pelukannya. Mengangguk singkat sebagai izin
terakhir yang mantab ia berikan.
“aku
pamit.” Pamit Rio disusul sebuah kecupan singkat di kening Ify sebelum ia berlari
menyongsong kereta yang sudah berjalan lambat dengan pintu yang mulai tertutup.
Ify melambaikan tangannya pada Rio yang masih berdiri di belakang pintu berkaca
bening, pria itu membalas lambaiannya dengan senyuman yang menunjukkan gigi
gingsulnya, senyuman termanis yang pernah Ify lihat. Tak ada laki-laki lain
yang memilikinya.
Tujuh
hari lalu ia masih bisa tersenyum bangga saat melihat Rio begitu tampan dan
gagah dengan toga yang ia kenakan. Lulus cum laude. Tiga koma enam tujuh. Tak
percaya rasanya hari ini ia harus mengalami hal ini. Perpisahan. Sekalipun
untuk sementara, sekalipun akan kembali bertemu lagi nanti. Akan selalu
menyisakan sesak dan kehilangan.
********
Yogyakarta, 08 Januari 2012.
17:00 WIB
Angin
yang besar di awal tahun. Membuat gemerisik dedaunan pemecah sepi. Gerombolan
asap putih yang menyatu menjadi awan berjalan cepat ke arah timur, tak mau
kalah berpacu dengan waktu diintip dari balik cendela kamar bernuansa biru ini.
Hari berlalu, bulan berlalu, tahun pun berlalu. Surat-surat kiriman pemilik
hati sudah bertumpuk di dalam sebuah kardus berwarna cokelat muda. Tak pernah
sebanyak resah yang menggunung untuk orang yang sama.
Jemari
suwiran nyiur gadis itu merayap anggun menuju sebuah amplop putih yang terletak
paling atas. Surat terakhir yang Rio kirimkan untuknya tiga bulan lalu. Surat
yang hampir setiap hari ia baca tanpa jemu. Menunggu dengan pasrah agar semua
yang diucapkan pria itu dalam surat itu menjadi nyata.
Yunani, 02 Oktober 2011.
Untuk Ify,
Aku
sudah berlayar untuk mereka, aku sudah membawa mereka ke pulau impian. Eropa!
Mereka bahagia. Janjiku tuntas walaupun belum selesai! Aku lelah. Tenaga
terakhirku untuk menjemputmu. Menyongsong bahagiaku.
Aku mau berlabuh.
Kamu masih di tempat yang
sama?
Salam rinduku,
Rio.
Ify
sudah hafal isi surat itu, kata-perkata. Ia sudah menjawabnya. Dua kali. Tapi
Rio tak pernah lagi membalasnya. Satu-satunya yang ia takutkan adalah keadaan
pria itu saat ini. Mungkin ia akan rela jika Rio sudah bahagia dengan jalan
yang ia pilih. Tapi ia tak sekuat itu. Kakinya seakan dilolosi tulang dan tak kuat lagi menahan
tubuhnya yang kemudian luruh ke lantai. Butiran mutiara bening berjatuhan dari
ekor matanya, bahunya bergetar karena isakan yang tak mampu lagi ia tahan. Ia
salah menafsirkan, mungkin. Atau memang Rio yang sudah lupa dengan sejuta kata
manisnya. Kelebihan bawaan lahir seorang laki-laki adalah merangkai kata
menjadi untaian kalimat indah.
Harapan
itu terlanjur terbang tinggi seperti balon yang terlepas. Ia harap pria itu
datang, menjemputnya. Ia berharap Rio benar segera berlabuh dalam dekapannya
dan tidak akan pergi kemanapun lagi. Berkali-kali gadis berwajah tirus itu
membenturkan kening ke kedua lututnya. Seperti melihat sebuah menara tinggi
yang sedang dibangun lebih tinggi, dan terus meninggi, ia berada di bawah
dengan harapan jika suatu hari puncak menara itu bisa disentuhnya. Rio terlalu
tinggi.
Takut.
Apakah rasa, waktu, cinta, dan rindu yang menyatu dalam penantiannya tak akan
sia-sia? Ia manusia biasa. Gunung punya puncak, sungai punya muara.
Kesabarannya pun sudah hampir sampai ujung pendakiannya. Keraguan yang hampir
sampai muaranya. Rio sudah mendorongnya pada labirin waktu tanpa memberi tahu
arah jalan untuk pulang, sampai akhirnya ia berjalan terseok, hampir jatuh
dalam keputusasaan seperti saat ini. Dengan satu kaki, cintanya yang tak juga
mati untuk pria itu.
Raungan
ponsel yang tergeletak di depan komputer menyentak Ify. Sebelum menekan tombol
bergambar gagang telephon warna hijau, ia mengatur nafasnya yang masih
satu-satu. Ia tempelkan benda itu ke telinganya.
“kenapa,
Ag?”
Panggilan
dari Agni. Sebisa mungkin Ify menahan isakannya, tapi suara sengaunya tak lagi
bisa disembunyikan.
“venue
buat pameran kamu udah siap.” Jawab suara melengking di seberang sana.
Terdengar sangat puas. “kamu sakit?” intonasinya melemah, sadar ada yang tidak
beres dengan suara sahabatnya.
Ify
mengangguk. “ah.. iya. Flu.” Ralatnya setelah sadar Agni tak akan bisa melihat
anggukkannya.
“makan,
minum obat, istirahat! Pameran perdana kamu tiga hari lagi!” cerocos Agni
kemudian menutup telephon, tak menerima protes.
Hampir
Ify melupakan hal penting itu. Tiga hari lagi hasil jepretannya akan ikut dalam
sebuah pameran beberapa fotografer muda berbakat, setelah salah satu karyanya
menang dalam sebuah ajang kontes fotografi bergengsi. Sebelas Januari. Tanggal
yang menjadi spesial sejak ia bertemu Rio enam tahun lalu. Sedikit lagi harapan
timbul, pria itu akan datang.
********
Rumah Budaya Tembie, 11
Januari 2012. 17:00
Pria
bertubuh jangkung, berkulit hitam manis ini terpekur di depan sebuah gambar
yang paling menarik perhatiannya dari sekian banyak foto yang terpampang. Pada
bagian kanan bawahnya tertulis Pantai Terindah – Ify Umari. Sejak kapan gadis
itu bisa menilai jika pantai itu indah? Sejauh memori yang ia simpan, Ify tak
pernah suka pantai, atau kumpulan air yang banyak, terlebih ada ribuan linting
gelombang di atasnya. Tapi ia tahu kapan foto yang menunjukkan siluet seorang
lelaki yang berdiri membingkai terbitnya matahari di tepi pantai Parang Kusuma
itu diambil, sekitar pertengahan tahun 2006, ia juga kenal betul pria yang
sepertinya menjadi keindahan utama pantai itu, dirinya.
“Yang,
foto ini kenapa bisa menang? Padahal udah sering lihat yang begini.” Tanya
seorang gadis berkacamata pada laki-laki di sampingnya, yang dari caranya
memanggil, pria itu kekasihnya. Si pria masih asyik mendalami foto yang
ditanyakan sang kekasih. Foto yang sama dengan yang dilihat pria pertama.
“emosi
dari pengambil foto ini, cinta, kekaguman, ketakutan.” Jawab si laki-laki
dengan pandangan takjub yang tak bisa ia sembunyikan. “sesekali, kamu harus
melihat sesuatu dengan perasaan. Nggak semua hal yang ada di dunia itu eksak.”
Si
pria pertama mulai beranjak dari foto yang sejak tadi ia nikmati. Ucapan pria
berpenampilan seadanya, khas seorang seniman tadi, memupuk kerinduannya pada
gadis pencipta gambar tadi. Cinta akan segera menemui cintanya.
“mbak,
mbak Ify Umarinya ada?” tanya pria tadi pada resepsionis penjaga pintu masuk.
“ada
di dalam. Ada yang bisa saya bantu?” sahut resepsionis cantik itu.
“saya
ingin bertemu. Boleh?”
“dengan
mas siapa ya? Saya konfirmasi dulu dengan mbak Ify.”
“bilang
saja dengan orang yang dia tunggu. Saya menunggu di depan.”
Rio,
pria tadi, mengayunkan tungkainya keluar dari ruang pameran menuju sebuah taman
yang tak jauh. Diiringi guguran daun akasia dan angin kencang yang menerbangkan
helaian rambutnya yang mulai gondrong. Jantungnya bergedup cepat, seperti mau
meledak. Seperti apa Ify saat ini? Masihkah ia menyimpan rasa yang sama dengan
lima tahun lalu?
********
Ify
melangkah cepat setelah mendapat kabar dari resepsionis. Orang yang ia tunggu.
Satu-satunya orang yang ia tunggu saat ini adalah Rio. Rasa penasaran yang
membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Tak peduli lagi jika sesaat lagi ia
harus kecewa, ia biarkan harapannya berdansa dengan matahari. Jatungnya yang
bergerak jauh di luar batas normal tiba-tiba saja berhenti saat mendapati
seorang pria yang duduk di atas bangku putih membelakanginya. Ia tak akan
mungkin lupa dengan setiap bentuk dan lekuk tubuh pria itu. Rio. Itu Rionya.
“mas
Rio..” dan sekarang tenaganya benar-benar habis, sisa terakhir untuk menyebut
nama laki-laki yang luar biasa ia rindukan itu.
Rio
menoleh cepat karena baru saja ia mendengar suara yang selalu menyapanya dalam
mimpi. Suara yang selalu membuatnya bangkit saat ia benar-benar letih berjuang.
Suara yang selalu ia inginkan untuk menyapanya setiap pagi. Segera ia melompat
untuk memeluk tubuh dewi khayangan yang lahir di dunia, lahir untuknya itu.
Melepaskan senyawa-senyawa rindu yang tak lagi bisa dirayu.
“aku
kangen.” Lirih Rio. Tangisan Ify pecah. Harapan-harapan yang ia hidupkan sudah
berubah menjadi kenyataan. Rio tidak bohong. Bakat merangkai kata manis itu
juga diiringi tanggung jawab untuk membuktikannya.
“aku
sayang mas.” Balas Ify disela isakannya. Satu kalimat pendek menjelaskan segalanya.
Tak perlu kata-kata manis, hati mereka sudah saling berbisik. Gadis itu
mempererat rengkuhannya pada pinggang Rio, kembali memenuhi paru-parunya dengan
harum tubuh yang selalu menjadi candu yang ia buat sendiri. Candu yang akan ia
nikmati sendiri dan tak akan sudi ia bagi pada dunia.
Rio
melepas pelukannya dengan sebuah senyuman manis. Ia hapus jejak air mata Ify
dengan ibu jarinya. Gadis ini alasannya lahir di dunia. Untuk siapa kekuatannya
sebagai seorang laki-laki diberikan Tuhan. Dengan siapa ia memenuhi dunia.
“jadi
kita bisa bahagia berdua sekarang? Aku punya mas, dan mas punya aku?” tanya Ify
polos. Dengan nada manja yang selalu membuat Rio kehilangan, yang hanya bisa
menjadi angan beberapa tahun ini.
Tawa
lepas keluar dari bibir Rio. Ia menggeleng mantab. Tak menyetujui pertanyaan
Ify. Tanganya mengambil sesuatu dari saku celana jeansnya. Gerakan yang membuat
Ify diam mematung. Namun kemudian kedua bola mata almonnya membulat penuh
karena sebuah cincin yang disodorkan Rio ke hadapannya.
“bukan berdua, sama anak-anak aku. Kamu
mau jadi ibu mereka?” dan ini lah Rio. Dengan kesederhanaannya. Dengan ia yang
apa adanya. Namun dengan kasihnya yang luar biasa.
Bulir air mata kembali mengalir dari mata
Ify, namun bukan lagi air mata perih sebuah penolakan atau air mata keputus
asaan. Hanya kebahagian yang tak bisa ia bendung lagi. Gadis manis itu
mengangguk samar. Senyum Rio merekah ia pasangkan cincin emas putih bertahta
berlian yang ia sodorkan ke jari manis tangan kiri Ify. Ia peluk erat gadis itu
sekali lagi, kali ini untuk selamanya.
********
EPILOG
Jemari lentik wanita ini menyapu sebuah
foto yang dibingkai stainless steel warna silver, perlahan, takut kuku-kukunya
akan menggores tulusnya cinta yang terpapar nyata. Seorang laki-kali yang
tampak tampan dan gagah dengan beskapnya, disampingnya seorang wanita yang
berdiri anggun dengan kebaya putih. Ingin sekali rasanya ia berdiri di tengah
mereka. Mencicip sedikit bahagianya.
Namun tak seperti cintaku
pada dirimu
Yang harus tergenapi dalam
kisah hidupku...
Suara
lagu dari radio kuno yang bertengger di dekat jendela, radio yang setia
menemani piano putih di sudut ruangan. Suaranya sudah mulai sumbang dipukul
dentingan waktu. Namun kisahnya tidak. Tidak pernah berkurang manisnya. Kisah
tentang cinta yang menggenapi kisah hidup. Kisah cinta yang nyata dari dua
orang terhebat dalam hidupnya. Janji itu tergenapi. Di tembok, satu meter dari
jendela, terpampang foto besar satu keluarga. Ia mengenal betul satu-persatu
dari mereka. Anak laki-laki berusia delapan tahun itu namanya Bastian. Sekarang
sudah menjadi pilot hebat. Boleh ditanyakan negara mana yang belum pernah ia
lewati. Hampir semua sudah! Dan gadis kecil berusia empat tahun, rambutnya yang
keriting dikucir dua. Namanya Raissa. Wanita yang sama dengan yang tengah
menatap foto itu. Dan yang paling kecil, yang masih dua tahun, tersenyum lebar
dipangkuan sang ibu, namanya Keke. Tak menyangka bocah kecil yang hobi menangis
itu kini sudah menjadi seorang pengacara yang lantang menyerukan keadilan.
Air
mata wanita cantik itu mengalir setetes dari ekor mata kanannya. Mengingat
kasih sang ibu yang luar biasa. Seorang wanita dengan perut buncit karena
tengah mengandung memeluknya yang sedang menangis setelah dijahili sang kakak
yang sedang bertengger di atas pohon jambu yang tumbuh di belakang rumah karena
merasa bersalah, atau lebih dikarenakan ketakutan mendengar suara mobil sang
ayah yang baru pulang dari kantor. Ayahnya laki-laki yang tegas. Bukan ditakuti,
tapi selalu disegani oleh seluruh anggota keluarga. Kalimat saktinya “apa salah
kamu?”. Beliau tidak ingin orang lain hanya terpaksa minta maaf dan tidak bisa
menyadari kesalahannya sendiri. Setiap kejadian terekam manis di otaknya.
Dan
foto terakhir yang ditangkap indra penglihatnya adalah gambar dua orang tua
dengan rambut yang mulai memutih. Yang laki-laki dengan kaos polo warna putih,
berdiri dengan sisa-sisa kegagahannya. Di dalam rangkulannya seorang wanita
yang menyimpan kecantikan di ruas-ruas keriput wajahnya. Saling tatap penuh
kasih. Di belakangnya ada sekelompok musisi, berdiri rapat dengan puing-puing
bangunan yang menjadi background panggung mereka. Ibunya pernah bercerita jika
sewaktu muda ia dan suaminya –ayah wanita tadi- pernah melihat sepasang
kakek-nenek yang tetap mesra di usia mereka yang tak lagi muda di Taman Sari.
Dan akhirnya mereka berdiri juga di tempat yang sama, dengan keadaan yang sama.
Setelah puluhan tahun merajut kasih.
Wanita
tadi mengalihkan pandangannya karena sebuah pelukan yang melingkar di
pinggangnya. Seorang laki-laki tampan berdiri rapat di belakangnya. Seulas
senyuman di sela tetes air mata ia sunggingkan.
“mereka
masih akan saling mencintai ribuan tahun lagi di tempat yang lebih indah.”
Bisiknya setelah ikut tenggelam dalam foto yang dipegang kekasih hati.
karena kasihku hanya untuk
dirimu
selamanya kan tetap
milikmu...
“Ify...”
gerakan bibir sang ayah yang mulai membiru kembali berkelebat nyata
diingatannya. Laki-laki renta yang tengah terbaring antara hidup dan mati itu
mengucap nama orang yang paling ia rindukan dengan senyum. Cara memanggil
paling mesra yang pernah ia dengar. Lembut. Lirih. Mendayu. Seakan perempuan
cantik yang sudah kembali ke pangkuan Penciptanya itu hadir lagi di hadapannya.
Menjemputnya. Tepat lima tahun. Seakan bayaran dari hutangnya pernah membuat
wanita itu menunggu lima tahun sudah terbayar penuh. Pria itu menghembuskan
nafas terakhirnya. Menyongsong damainya. Berlabuh pada cinta yang paling abadi.
Hari itu, 11 Januari.
Ku ingin selamanya
menyayangi dirimu
Sampai saat ku akan menutup
mata dan hidupku..
Ku ingin selamanya ada di
sampingmu
Menyayangi dirimu sampai
waktu kan memanggilku...
Jika ada yang bisa menyamai kekuatan
waktu, cinta jawabannya. Waktu bisa mengubah cinta, dan cinta bisa mengubah
waktu. Dari waktu ke waktu, cinta yang sejati akan terus tumbuh. Dan cinta akan
membuat waktu berlalu tanpa keluhan, tanpa air mata, dan menghapuskan semua
penantian. Hingga akhirnya menemui apa itu keabadian.
The end....
cemana? lama nggak denger komen-komen pembaca nih. jangan sampe loh diem-diem baca terus nanti dengan inocentnya ngerepost pake ngaku-ngaku punya sendiri. hahaha... canda. tapi serius, yang ada di blog ini biar di sini aja. jangan dipublish di tempat lain. baca di sini gratis ini. oke baby? sip. salam kece. :)