Rio mengerjapkan matanya agar kedua indra penglihatannya itu dapat beradaptasi dengan cahaya dari matahari yang mulai memasuki kamar tempatnya dirawat melalui celah-celah cendela yang tidak tertutup kain korden.
Setelah secara nyata ia mampu melihat arah di hadapannya yang hanya berupa langit-langit bercat putih bersih seperti kebanyakan rumah sakit, ia mengedarkan pandangannya mencari petunjuk sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Lebih dua puluh menit dari pukul enam pagi. Namun Rio tak mampu menebak sudah berapa kali hari berganti tanpa ia saksikan.
Pemuda hitam manis itu mendengus pasrah. Ia dapat merasakan tubuhnya yang begitu lemah saat ia mencoba menegakkan tubuhnya mencoba untuk bangun, namun ternyata cukup sulit. Mata sayunya menatap tangan kirinya yang kini sudah dilekati jarum infus. Ia benar-benar tak suka dengan keadaan seperti yang dialaminya saat ini.
Sampai pintu yang juga bercat putih yang terletak di sudut ruangan besar dengan fasilitas paling mutakir untuk ukuran rumah sakit itu berdecit karena seseorang membukanya membuat Rio mengalihkan perhatiannya. Ia kembali memaksakan seulas senyumnya saat mendapati kepala Gabriel yang menyembul dari balik pintu.
“udah sadar? Gimana keadaan lo?” tanya Gabriel sambil meletakkan sebuah box makan di atas meja kecil yang berada tepat di samping bed.
“gue akan merasa lebih baik kalau nggak ada di tempat ini. Berapa hari gue nggak sadar atau berapa gue dipaksa kehilangan kesadaran?” kata Rio sambil kembali memusatkan perhatiannya pada cendela yang seakan membingkai gambaran nyata langit biru cerah di luar sana. Seingatnya yang saat itu masih dalam keadaan sadar penuh, ia mendapatkan suntikan yang membuatnya merasa sangat lemah dan mengantuk, tentu bukan secara alami ia menjadi tidak sadar untuk beberapa waktu.
“dua hari, kalau nggak digituin, pasti nggak akan pernah mau lo diperintah istirahat.” Jawab Gabriel menjelaskan mengapa ia melakukan hal itu pada sahabatnya.
“terus gue kenapa?”
“lo cuma butuh istirahat, bersyukur Tuhan nggak nambah ujian elo, jaga kesehatan, jangan sampai elo bener kenapa-napa.” Nasehat Gabriel bijak.
“Ify?”
“udah dua hari gue nggak liat dia di sekolah, besok kan hari pertunangannya?”
Rio terdiam. Ia hanya tinggal memiliki sisa waktu dua kali dua puluh empat jam untuk menggagalkan pertunangan itu, untuk menjaga agar gadisnya tidak menjadi milik siapapun, kecuali dirinya. Sudah sangat sulit untuk melakukannya kecuali dengan modal kenekatannya.
“lo nggak akan bisa berbuat apapun kalau keadaan lo nggak juga membaik.” Ucap Gabriel seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan sahabatnya.
“gue ke sekolah dulu.” Pamit Gabriel kemudian berlalu.
“Yel, siapa yang biayain ini semua?” tanya Rio menghentikan Gabriel yang sudah berdiri di ambang pintu.
“bokap lo, nanti dia pasti dateng.” Jawab Gabriel sebelum ia benar-benar pergi.
“ada titipan?” tanya Gabriel sambil menyembulkan kepalanya sekali lagi, cukup mengagetkan Rio yang sudah mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
“Alyssa Umari aja satu.” Jawab Rio sambil memamerkan cengiran kudanya.
“upss.. sudah dipesan tuan muda Sindhunata.” Goda Gabriel sambil terkekeh penuh kemenangan.
“saya akan bayar berapapun dan dengan apapun asal dia menjadi nyonya Haling!” jawab Rio tak mau kalah.
“oke, you’re the winner, see ya, bro!” pamit Gabriel sekali lagi sambil melihat arloji yang melingkar di tangan kirinya. Pasti ia akan terlambat jika tidak bergegas menuju sekolahnya.
Rio kembali termenung. Ayahnya masih peduli padanya. Hal yang membuat otaknya bertanya ada apa sebenarnya.
***
Ify mematut dirinya di depan cermin besar di kamarnya. Hal yang sebenarnya biasa ia lakukan dengan mudah itu kini rasanya menjadi sulit mengingat ia berdandan untuk laki-laki lain yang sama sekali tak diharapkannya. Ia memiliki janji untuk mencari cincin pertunangannya dengan Alvin hari ini.
Kembali terngiang kata-kata sang ayah tentang hal yang menyebabkan ia tak boleh melanjutkan hubungannya dengan Rio, satu nama penting tante Ira, Safira Umari, adik dari ayahnya yang kini tinggal di luar kota bersama putra semata wayangnya. Orang yang Ify yakini memegang kunci dari masalah perseteruan tuan besar Haling dan tuan besar Umari.
Rio. Nama itu kembali terngiang di telinga Ify, membuat dadanya kembali merasa sesak. Beberapa hari ia sama sekali tak berkomunikasi dengan kekasih yang sangat ia rindukan itu. Dengan gerakan cepat, Ify membuka laci bagian bawah meja riasnya, mengambil selembar foto yang terletak di bagian paling bawah dari tumpukan kertas-kertas di dalamnya. Foto yang bergambar dirinya da Rio, satu-satunya yang ia miliki dan sengaja ia letakkan di tempat yang sulit terendus ayahnya agar benda itu tidak segera dimusnahkan.
Sebuah senyuman miris terukir di bibir Ify. Gambar yang diambil dengan kamera ponsel milik Rio dengan latar langit jingga di ujung senja. Ify ingat betul foto itu diambil di atap sekolah satu minggu setelah ia menerima permintaan Rio untuk menjadi kekasihnya. Tergambar ekspresi terkejut Ify saat dengan gerakan cepat Rio mencium pipi kanannya seraya mengambil gambar.
***
Ify merentangkan kedua tangannya di ujung pembatas lantai. Menikmati semilir angin yang menerpa seluruh tubuhnya. Memejamkan matanya menikmati kehangatan cahaya matahari senja yang menerpa wajahnya. Damai sekali rasanya.
Sementara itu Rio yang berdiri disebelahnya hanya diam terpaku menikmati sebuah keagungan yang mungkin hanya ia lah orang beruntung yang pernah menikmatinya. Biasaan cahaya jingga yang memantul dari sisa-sisa butiran peluh yang masih menempel di wajah manis gadisnya membuat siluet indah itu menjadi semakin menawan. Matahari yang tercetak bulat sempurna dengan sejuta pesonanyapun tak lebih cantik dari pemandangan yang ia lihat kini.
Perlahan jemari kokohnya tergerak, tergoda untuk menyusuri setiap lekukan sempurna itu, namun dengan segera dan dengan sekuat tenaga Rio menahannya. Tak ingin melihat kedamaian yang terpendar di wajah Ify saat ini hilang begitu saja. Biarlah ia menikmatinya dahulu.
Beberapa menit Rio bertahan, hingga setan kecil yang bersemayam di hatinya membisikan sesuatu padanya.
Ify terhenyak, tubuhnya yang sebelumnya terasa melayang sedikit terhuyung karena hempasan tubuh Rio yang tiba-tiba saja memeluknya dari balik tubuhnya. Seluruh lengan kanan Rio melingkar di perut Ify, sedangkan lengan kirinya menyilang hingga ke bahu kanan Ify dan mengunci tubuh mungil gadisnya itu agar tetap merapat padanya, bahkan tak ada celah untuk hembusan angin sekalipun. Ify merasakan deru nafas Rio yang menerpa kulit lehernya seakan ingin menikmati dan menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya.
Rio menahan Ify dalam posisi itu. Terus memenuhi seluruh rongga pernafasannya dengan wangi aroma khas dari tubuh Ify. Bergelayut manja dan menegaskan jika ia telah takluk pada gadis yang kini ada dalam dekapannya. Aroma tubuh yang membawa angannya terbang melayang dan seakan ia tak akan sanggup bertahan tanpanya.
Sampai Ify melepaskan rengkuhan hangat dari Rio saat desiran darahnya tak mampu lagi terbendung dan mengalir sangat kuat.
“kok dilepas?” protes Rio tak mengerti.
“nggak enak diliat orang.” Jawab Ify sekenanya.
Rio berdecak, siapa yang akan melihat mereka? mana ada orang yang mungkin kurang kerjaan menaiki gedung hingga ke lantai paling atas sore-sore begini kecuali mereka? Alasan yang tidak masuk akal.
“bisa nggak cari alasan yang lebih cerdas dikit?” sindir Rio.
“mau bilang aku bodoh?” tuduh Ify.
“aku nggak bilang loh ya.. tapi setidaknya kamu sadar sama kekurangan kamu.”
Ify mengerucutkan bibirnya sambil melipat tangan di depan dada. Tak suka dengan ledekan Rio.
Ide jail muncul di benak Rio. Dengan segera ia mengambil ponsel dari saku celana seragamnya dan mengabadikan gambar Ify dalam posse itu.
Seketika suara gelak tawa milik Rio menggema renyah saat melihat hasil bidikan kamera ponselnya. Ekspresi wajah Ify yang menurutnya aneh membuatnya tak bisa berhenti untuk tertawa.
“ini kocak, Fy! Aku jamin fans kamu bakal lari semua!” kata Rio disela tawanya sambil memegang perutnya yang sedikit sakit karena terlalu lepas terbahak.
“ih.. rese! Hapus lah kak! Itu jelek banget!” protes Ify sambil berusaha merebut ponsel yang dibawa Rio.
“lucu tau, limited edition, the most favorite girl of Putra Buana punya posse kaya gini, dijual lumayan ni.” Goda Rio sambil terus mencoba mengamankan ponselnya dari raihan tangan Ify.
“otak kakak bisnis mulu nih! Tega banget sama cewek sendiri, begini ya yang dibilang cinta?”
Rio berdecak bingung, bisa-bisanya Ify mengaitkan keisengannya dengan cinta, hal yang sebenarnya tak ada hubungannya sama sekali.
“jangan marah dong, jelek tau kamu kalau marah.” Bujuk Rio dengan nada manja sambil merangkul Ify dan menumpukan dagunya pada bahu mungil gadisnya. “itu bibir nantangin banget, sumpah!” lanjutnya sambil menunjuk bibir Ify yang masih ia majukan beberapa mili.
“kalo nggak marah aku cantik dong? Nantang gimana?” tanya Ify dengan wajah yang kembali berbinar-binar.
“kalo enggak, mana mau tuan muda Haling sama kamu? Nantangin minta dicium!” seloroh Rio sambil menyeringai lebar. Punggung tangannya menusap pelipis Ify mengapus butiran keringat yang masih tersisa panuh kasih.
Spotan Ify menoleh pada Rio. Dan dengan polosnya ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya, takut jika Rio benar-benar melakukan apa yang baru saja ia katakan. Ia terkesiap saat mendapati wajah Rio begitu dekat dengan wajahnya. Semburat merah begitu saja menjalar di wajahnya, masih tak percaya rasanya ia dapat melihat wajah pangeran pujaannya dalam jarak sedekat itu, jarak yang tidak sampai belasan centimeter.
Cepat-cepat Ify menunduk, tak ingin Rio melihat rona yang berbeda di wajahnya. Perbuatan yang sia-sia sebenarnya karena jarak keduanya yang terlalu dekat, tetap saja dengan mudah Rio dapat melihat perubahan di wajah gadisnya itu.
“aku selalu suka liat rona merah di pipi kamu itu.” Bisik Rio tepat di sebelah telinga Ify dengan senyum penuh kemenangan. Susunan kata yang membuat Ify semakin kalang kabut dan salah tingkah.
Karena kehabisan kata-kata, Ify hanya diam menahan malu. Semakin menunduk dalam seraya menyelipkan sejumput rambutnya yang berhambur dari ikatan ekor kudanya ke belakang daun telinga kanannya.
Rio ‘menculiknya’ setelah ia selesai berlatih cheerleaders beberapa waktu lalu dan mengajaknya ke atap gedung sekolah yang memang selalu sepi. Rio tak memberi waktu sedikitpun pada Ify walaupun hanya sekedar untuk membenahi penampilannya.
“lepas aja deh ini iket rambutnya, sayang.” Ujar Rio sambil menunjuk ikat rambut Ify yang sudah tidak beraturan, terlebih karena perbuatannya barusan yang mengacak-acak gemas puncak kepala gadisnya itu. “cantikan kalo digerai kamunya.”
“panas!” tolak Ify sambil menggeleng. “foto berdua yuk, kak, buat aku pajang.” Ajaknya sambil merebut ponsel Rio.
“aku aja yang pegang kamera.” Sela Rio sambil kembali mengambil alih telephon genggamnya. Kemudian ia mengarahkan kameranya ke arah wajahnya dan Ify.
“satu.. dua.. tiga!”
Dengan gerakan cepat Rio mencium pipi kanan Ify sambil mengambil gambar. Ify yang tak menduga sedikitpun dengan apa yang dilakukan Rio padanya hanya bisa memasang wajah yang ternganga kaget.
“kak Rio!!!” seru Ify geram sambil memukul bahu Rio yang dengan gerakan cepat langsung melarikan diri sambil tertawa lepas.
“thanks, Fy!” seru Rio dari ujung tangga untuk bersiap turun. Ia menjulurkan lidahnya menggoda Ify kemudian kembali berlari menghindari kejaran Ify.
***
Tak terasa setetes air bening mangalir dari mata gadis manis itu, mengalir di pipinya dan berakhir tepat di atas lembar foto yang masih dipegangnya. Ia begitu merindukan saat-saat menyenangkan bersama Rio, dimana keduanya dapat tertawa lepas tanpa beban.
“apa yang bisa dia beri selain air mata buat kamu, Fy?” tanya Alvin yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping meja rias.
Ify terhenyak kemudian mengalihkan perhatiannya pada sosok laki-laki bermata sipit di sampingnya.
“apa yang lo mau dari gue, Vin? Lo tau? Gue tersiksa, itu yang lo mau?” Lirih Ify sambil mengapus kasar air matanya.
Alvin menarik ujung kanan bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang terkesan sangat meremehkan. Perlahan ia membungkuk, mensejajarkan diri dengan Ify yang masih duduk di kursinya. Mendekatkan wajah tampannya pada wajah Ify.
“gue mau semua yang ada di elo, semuanya.” Bisik Alvin sambil mengangkat dagu lancip milik Ify hingga gadis itu menatapnya. Masih dengan senyumannya yang belum berubah, ibu jarinya menyusuri pipi milik Ify.
“gila lo, Vin!” umpat Ify sambil menyentakkan tangan Alvin agar menjauh dari wajahnya.
“ck! Elo yang bikin gue gila! Gue laki-laki normal, dan terlalu bodoh buat gue lepasin elo gitu aja.”
“gue, seutuhnya, punya kak Rio!”
“lo pikir gue peduli? Enggak! selama elo ada sama gue, dan itu artinya elo punya gue, bukan Rio!”
“ini bukan cinta, Vin! Cinta bukan paksaan.”
“who cares with that? The one that I know is I want you!” ucap Alvin tegas sambil menarik tangan Ify untuk segera menjalankan rencana mereka hari ini.
***
Tangan kokoh milik Alvin terus saja menggengam jemari Ify yang berjalan tanpa semangat di belakangnya, menyusuri lantai sebuah pusat perbelanjaan sampai berhenti di sebuah toko perhiasan.
“kamu mau yang mana, Fy?” tanya Alvin setelah beberapa waktu ia habiskan untuk melihat dan mencermati beberapa bentuk cincin.
“terserah.” Jawab Ify pasrah.
Alvin berdecak kesal, tak suka dengan raut wajah Ify yang terkesan sangat tidak iklas.
“lo jangan buat gue bertindak kasar sama elo.” Bisik Alvin mengancam Ify setelah merengkuh pinggang Ify dan mendekatkan tubuh mungil itu padanya.
Jujur, nyali Ify sedikit menciut karena Alvin memang tak pernah bermain-main dengan kata-katanya. Ia menggigit bibir bawahnya sambil mencermati beberapa cincin yang berjajar di atas etalase secara bergantian.
Sekian lama memilih, Ify menghela nafas berat. Seleranya tak berkata iya dengan satu pun cincin yang berada di situ. Bukan karena bentuk dan desain perhiasan mungil itu yang tak indah, namun karena ia mengingat untuk apa benda itu dibeli.
“yang mana?” tanya Alvin sedikit tak sabar sambil mengetuk-ngetukan telunjuknya di kaca etalase.
Ify mengambil asal sebuah cincin emas putih kemudian ia berikan kepada Alvin. Tak ingin berurusan dengan pria bermata sipit itu lebih lama lagi dan lebih jauh lagi.
Bukan cincin yang baru saja dipilih Ify yang menyita perhatiannya, membuat mata sipitnya menjadi semakin sipit, namun sebuah cincin lain yang menlingkar di jari manis Ify. Ia menarik tangan Ify dan melepas paksa cincin itu, cincin yang tidak lain adalah pemberian Rio tempo hari. Membuat Ify sedikit mengerang kesakitan dan kemudian menatap tak percaya pada Alvin.
“dari Rio ya?” tanya Alvin sarkatis sambil menatap remeh pada cincin yang sedang ia timang, tak membutuhkan jawaban karena ia yakin cincin itu dari Rio. “gue bisa kasih yang sepuluh kali lebih bagus!” lanjutnya sambil membuang asal perhiasan kecil itu. Menimbulkan bunyi gemerincing berkali-kali karena logam mulia itu beradu dengan lantai.
Ify menatap nanar pada cincin itu. Dan sedetik kemudian ia teringat pada janjinya pada Rio untuk menjaga cincin itu, barang yang sangat berharga untuk Rio.
PLAK!
Entah mendapat keberanian dari mana, Ify menampar keras pipi Alvin.
“gue benci elo!” ucap Ify dengan genangan air yang sudah mencembung di kelopak matanya. Kemudian ia berusaha mencari cincin itu ke arah dimana tadi benda kecil itu jatuh. Berharap dengan segera menemukannya atau ia akan terus merasa bersalah pada Rio.
Sementara Alvin masih terpaku di tempatnya dengan kedua tangannya yang mengepal kuat menahan emosi. Namun ia yakin akan sangat sulit menemukan cincin itu di tempat sebesar ini, kemungkinan benda itu ditemukan bisa dibilang sangat kecil.
Ify masih terus mencari dibantu beberapa orang yang peduli padanya dan tak tega melihat seorang gadis terlihat begitu kacau mencari sesuatu yang sepertinya sangat berharga baginya di sekitar lantai mall. Sampai semuanya menyerah, dan hanya mengusulkan pada Ify yang terduduk putus asa untuk merelakan cincin itu, tak ubahnya mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami jika pekerjaan itu diteruskan.
Pasrah, Ify melangkah gontai meninggalkan pusat berbelanjaan tersebut. Rasa bersalah pada Rio semakin menghimpitnya, merasa jika pangerannya itu akan marah besar padanya karena ia tak mampu menjaga titipan Rio.
***
Tak ada yang berubah di ruangan serba putih ini. Sedari tadi Rio hanya menghabiskan waktunya dengan merenung ditemani suara dentingan jarum jam yang terus berganti tanpa bisa ia hentikan.
Seorang diri di tempat yang tidak menyenangkan seperti saat ini justru membuatnya semakin terpuruk dibelenggu rasa rindu pada dua wanita yang selalu menjadi juara di hatinya. Perempuan pertama adalah sang bunda, angannya melayang jauh, pasti jika beliau masih ada, ia lah yang pasti akan direpotkan dan paling bawel dengan keadaan Rio. Ia yang pasti akan mencurahkan seluruh kasih sayangnya tanpa mengeluh.
Perempuan kedua, gadis pujaannya, Ify. Jujur, Rio sangat menginginkan curahan perhatian kekasihnya itu saat ini. Ify yang pasti mengerti apa yang diinginkannya.
Rio menegakkan tubuhnya yang kini terasa lebih jauh lebih baik, menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja di sampingnya. Ibu jarinya menari diatas trackpad. Tak lama kemudian ruangan sunyi itu dipenuhi dengan lagu lawas yang pernah ditembangkan Celine Dion dan Julio Iglesias, When I Fall in Love.. keterlaluan kalau belum pernah mendengar lagu itu. Lagu yang kini mengalun merdu memalui sebuah suara mezzosopran beraroma jazz kental, suara milik Ify.
Rekaman suara yang ia dapat secara diam-diam hampir setengah tahun lalu, saat semuanya masih berjalan dengan baik, saat semuanya masih bisa ia kendalikan, semuanya, kecuali lagu cinta yang mulai bergaung ke seluruh ruang hatinya kerena sosok gadis yang begitu sempurna yang menyodorkan semerbak aroma asmara padanya. Alyssa Saufika Umari.
***
Rio berdecak kesal sambil melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah hampir seperempat jam ia menunggu peserta untuk ekstrakulikuler musik. Ia mendapat kehormatan dari ibu Ucie, guru musiknya untuk menjadi juri seleksi untuk ujian memasuki ekstrakulikuler yang banyak diminati di SMA Putra Buana itu. Tinggal peserta terakhir, dan satu-satunya peserta yang membuat emosinya beranjak naik.
“bu, ini pesertanya serius atau nggak?” tanya Rio pada ibu Ucie yang duduk disebelahnya dengan nada tidak sabar.
Belum sempat bu Ucie menjawab, seorang siswi tiba-tiba saja berlari di hadapan mereka berdua sambil memamerkan cengiran tanpa rasa bersalahnya.
“maaf, ibu Ucie, em.. kakak Mario, saya terlambat.” Ucap gadis itu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
Rio terdiam saat menyadari siapa gadis yang ada di hadapannya. Nada dan cara gadis itu menyapa dan menyebut namanya selalu tedengar berbeda di telinganya. Tak dapat ditolak atau disangkal ada euphoria yang menggema di hati lelaki tampan itu. Namun, Rio tetaplah Rio, perasaan itu tak pernah ia luapkan dan ia tetap lebih memilih terus bersembunyi di balik topeng dinginnya.
“iya, saya maafkan, sekarang perkenalkan diri kamu!” tanggap bu Ucie tak ingin lagi membuang waktu.
“saya Alyssa Saufika, kelas X-4, saya...” kembali Ify menggaruk kepalanya, bingung apa lagi yang harus ia katakan tetang dirinya.
“pacarnya Rio!” ceplos Gabriel yang duduk tepat di belakang Rio membuyarkan kesunyian yang sebelumnya tercipta, memancing gelak tawa semua murid yang menyaksikan acara tahunan sekolah itu. Sudah menjadi rahasia umum jika Ify sangat mengagumi Rio, Rio pun tahu akan hal itu.
Rio hanya diam, acuh tak acuh pada semua sorakkan teman-temannya. Ia memilih berkutat dengan ponselnya.
“iya, saya rasa perkenalan cukup, alat musik apa yang bisa kamu mainkan?” tanya bu Ucie meredam kegaduhan.
“em..”
“gitar?”
Ify hanya menggeleng, tanda ia tak bisa memainkan alat musik itu.
“piano?”
Lagi-lagi Ify menggeleng.
“drumm atau yang lain?”
“saya tidak bisa bermain alat musik, bu.” Jawab Ify akhirnya.
“ck! Terus elo mau ngapain?” tanya Rio yang akhirnya buka suara namun tetap dengan nada yang dingin, bahkan terdengar sedikit membentak.
“nyanyi.” Jawab Ify polos, sama sekali nyalinya tak menciut dengan nada tinggi yang Rio perdengarkan.
“ya sudah, silahkan, Alyssa!” lerai bu Ucie. Terdengar sangat pasrah.
Ify mengangguk semangat dengan senyum yang begitu merekah di bibirnya. Matanya yang berbinar menatap Rio yang juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tidak bersahabat dengan penuh keyakinan, berusaha menjelaskan pada sang pangeran hati bahwa lagu yang akan ia bawakan ditujukan padanya, dan hanya untuknya.
When I fall in love
It will be forever
Or I’ll never fall in love
Hening. Dan damai. Hal itu yang begitu saja menyergap ke seluruh penjuru ruangan yang seakan terhipnotis oleh suara merdu milik Ify. Semua mata yang ada di ruangan besar itu serentak tertuju pada gadis manis itu.
In a restless world Like this is
Love is ended before it’s begun
And too many moonlight kisses
Seem to cool in the warmth of the sun
Ify memejamkan matanya, berusaha semakin masuk ke dalam lagu yang ia bawakan. Dengan perasaannya mencoba menyentuh hati Rio yang menurut orang lain sudah hampir serupa dengan bongkahan es.
When I give my heart
It will be completely
Or I’ll never give my heart
Rio terhenyak. Tautan nada dan kata yang mengalun dari mulut Ify membuat aliran darahnya mendesir hebat. Kelitikan-kelitikan halus terus mengusik hatinya. Seakan ia mendapat pesan dari surga melalui suara gadis yang banyak diincar oleh siswa-siswa SMA Putra Buana itu.
Ia terus menatap Ify tanpa berkedip. Tak ingin sedetikpun kehilangan waktu untuk membingkai wajah cantik itu di ingatannya, walaupun sorot tanpa ekspresi itu belum juga hilang.
And the moment I can feel
that you feel that way too
Is when I fall in love
With you..
Lagu berakhir. Namun belum ada seorangpun yang menyaksikan penampilan Ify tadi sadar dari keterpukauannya. Masih diam terpaku. Sampai sebuah suara tepuk tangan dengan penuh kebanggaan terdengar dari bu Ucie yang disusul sambutan riuh dari penonton lain.
Sementara itu, Rio tetap diam di tempatnya, sama sekali tidak bereaksi. Menatap layar poselnya dengan wajah penuh kepuasan dengan apa yang baru saja didapatkannya.
“suara kamu luar biasa, Alyssa.” Ucap bu Ucie setelah semuanya kembali tenang. “boleh ibu tau untuk siapa lagu tadi? Sangat dalam untuk sesuatu yang dilakukan tanpa tujuan dan alasan.” Lanjutnya masih dengan senyum sumringah yang tak kunjung pudar.
“em.. untuk seseorang yang sangat spesial bagi saya, bu, dan saya yakin hati orang itu tidak sekeras itu sampai tak menyadari lagu itu untuknya, walaupun saya tak mengatakannya langsung.” Jawab Ify dengan maksud menyindir Rio, ditambah tatapannya yang mengarah persis pada laki-laki berparas manis itu.
“buat lo itu, bro!” bisik Gabriel sambil menepuk bahu Rio.
“so? Gue harus ngapain? Sorak-sorak?” balas Rio tak berminat sedikitpun.
“jadi.. lo juga sadar lagu itu buat elo?” goda Gabriel.
“ada yang lain di ruangan ini yang dikejar-kejar sama dia?”
Gabriel hanya menyeringai karena kehabisan kata-kata.
Setelah menyerahkan hasil penilaiannya pada bu Ucie, Rio bergegas meninggalkan tempat duduknya dan keluar dari ruangan musik. Bermaksud melakukan sebuah rencana yang tersusun di otaknya.
***
Ify memperlambat langkahnya saat mendapati sosok Rio yang duduk di pembatas koridor. Ia menundukan kepalanya dalam-dalam tak ingin berurusan dengan Rio setelah ia mengeluarkan keberaniannya untuk penampilannya tadi.
“ck! Nggak liat ada orang di sini?” sindir Rio setelah beberapa langkah Ify melewati dirinya, membuat langkah gadis itu terhenti.
Tak ingin dianggap terlalu percaya diri jika menganggap Rio sedang berbicara padanya, Ify mengedarkan kepalanya ke berbagai arah mencari-cari jika mungkin ada orang lain selain dirinya yang ada di sekitar tempat itu. Dan hasilnya nihil, memang hanya ada dirinya dan Rio di tempat itu.
“gue mau nyampein pesen dari orang yang lo kirimin lagu tadi, dia bilang terimakasih, luar biasa untuk ukaran seorang cewek manja, tapi nggak ada ya cara yang lebih norak?” Ucap Rio tenang dari balik tubuh Ify yang masih terpaku. Sedetik kemudian ia melangkah meninggalkan gadis manis itu yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Begitu tersadar dari angan-angannya yang terlanjur dibawa melayang jauh oleh ucapan Rio, Ify mendapati pangerannya sudah sampai di ujung koridor.
“Kak Rio!!” seru Ify tak mau kehilangan kesempatan.
Rio menghentikan langkahnya mendengar namanya dipanggil, namun ia tak menoleh sama sekali.
“bilang sama orang itu, gue cinta dia! Gue akan terus nunggu sampai kapanpun!” lanjut Ify mantab.
Rio tak bergeming, tak membalas atau pun bereaksi sedikit pun. Kembali ia melanjutkan langkahnya dengan senyum tipis terukir di bibirnya.
***
“Rio!” panggil pak Krishna karena putranya tak menyadari kedatangannya.
Dengan enggan Rio menoleh pada sang ayah, masih tak sedikit tak terima lamunannya terbuyarkan begitu saja.
“ada apa?” tanya Rio dingin.
Pak Krishna tak menjawab. Ia menarik kursi yang selalu tersedia di samping bed, mengatur posisinya agar ia nyaman berbicara dengan putra sulungnya.
“maafkan papa, Yo, papa tau papa bukan ayah yang baik untuk kamu maupun Acha.” Tutur pak Krishna serius. “bahkan papa tak tau selama ini kamu selalu berusaha membanggakan papa tanpa mempedulikan diri kamu sendiri dan Gabriel sudah menceritakan semuanya.”
“Rio nggak pernah mengharapkan sesuatu yang lebih dari apa yang Rio lakukan selama ini, karena memang itu tugas Rio, karena Rio juga menyukai dunia itu.” balas Rio menyadari jika ayahnya ingin berbicara dari hati ke hati dengannya.
“papa baru saja menyadari kalau kamu sudah menjadi seorang laki-laki dewasa, Mario, papa tau kamu bisa memilih mana yang terbaik.” Dengan binar kebanggaan pak Krishna menepuk bahu Rio sambil tersenyum.
“papa ijinin Rio sama Ify?” tanya Rio semangat. Pak Krishna mengangguk.
“tapi papa rasa akan sangat sulit menembus keluarga Umari, apa kamu benar-benar mencintai Alyssa?”
“dengan segenap jiwa dan raga, Pa! Rio sangat mencintai Ify.”
“jaga dia baik-baik, jangan kamu cemari cinta itu!”
Rio mengangguk mengerti, walaupun ia masih merasa ada sesuatu yang janggal mengapa ayahnya tiba-tiba saja memberikan restu padanya untuk melanjutkan hubungannya dengan Ify.
“maaf, ada hal lain yang mendasari pertentangan papa dengan ayah Ify.”
Pak Krishna mengangguk lesu.
“jawabannya semua ada pada Safira Umari, adik Pratama Umari, kalian bisa mencari dia untuk mendapatkan semua jawabannya.”
“kenapa tidak papa saja yang bercerita?”
Hanya gelengan lemah yang pak Krishna berikan untuk menjawab pertanyaan putranya. Ia beranjak berdiri.
“papa ke kantor, Yo, segera pulih, tenaga dan pikiran kamu papa butuhkan di kantor.” Tutur pak Krishna kemudian melangkah pergi meninggalkan Rio seorang diri dengan kepingan-kepingan teka-teki yang harus ia jawab segera.
***
Gadis manis itu nampak begitu anggun dengan gaun putih bersih yang kini ia kenakan. Sayang hanya cahaya kesedihan yang terpancar dari matanya saat menatap bayang dirinya di depan cermin. Merasakan tubuh dan jiwanya kini berada di tempat yang salah.
Sang bunda yang menemaninya mencoba gaun yang akan putrinya pakai di pesta pertunangannya esok hanya bisa turut bersedih menatapnya. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk membebaskan putri yang sangat dikasihinya.
“kamu cantik sekali, Fy! Putri kecil mama sudah menjadi perempuan cantik sekarang.” Tutur ibu Livia sambil membelai rambut panjang putrinya, mencoba menghibur Ify.
“Ify nggak mau bertungangan dengan Alvin besok, atau kapanpun, ma..” lirih Ify dengan suara parau.
Ibu Livia terdiam. Kemudian ia mendekap Ify, ia tahu pasti apa yang sedang putri semata wayangnya rasakan.
“iklas saja, sayang, mama tau Alvin mencintaimu, nak.” Nasehat bu Livia.
“Alvin nggak mencintai Ify, ma, apa yang Alvin lakukan itu bukan cinta namanya! Ify cuma mau kak Rio..”
Ibu Livia menghela nafas berat. Dadanya juga ikut merasa sesak dengan penuturan Ify.
“kalau Rio bisa membawa kamu pergi sekarang, mama akan ijinkan.” Tanggap ibu Livia pasrah. Ia percaya jika pilihan putrinya adalah yang terbaik.
“ma, tolong tinggalkan Ify sendiri..” mohon Ify sambil melepas pelukan ibunya.
Bu Livia mengangguk dan melangkah meninggalkan kamar putrinya. Apapun yang bisa ia berikan sekarang untuk membuat Ify lebih baik pasti akan ia lakukan. Dan mungkin putrinya itu saat ini membutuhkan waktu untuk menenangkan jiwanya seorang diri.
***
Hari sudah beranjak gelap. Sang matahari sudah kembali ke peraduannya, berganti tugas dengan sang bulan yang bersinar penuh malam ini. Ia yang menyaksikan dua orang anak manusia yang sedang didekap dewa asmara bersama bintang-bintang yang setia menemaninya.
“rasi Canis Major!” Ucap Shilla lantang sambil menggerakkan jarinya seakaan membentuk garis yang menghubungkan beberapa deretan bintang, menggambar pola khayal berbentuk seekor anjing.
“Furud ke Andhara.” Shilla menarik jarinya ke arah barat.
“Wezen, Aludra, jadi ekornya itu, Gab!” Gadis cantik itu berusaha menerangkan kepada Gabriel tentang apa yang ia lihat.
“aha! Mirzam! Cantik banget ya? Sayang cahaya birunya masih kalah sama Sirius!” ucap Shilla semakin bersemangat sambil menunjuk ke arah sebuah bintang yang bercahaya kebiruan setelah itu menunjuk pada sebuah bintang yang terlihat paling besar dan paling terang dari bintang yang lain, Sirius.
Gabriel hanya tersenyum mendengarkan celotehan gadisnya sejak tadi. Berusaha menangkap gambaran-gambaran khayal yang diberikan Shilla, mencoba mencari letak bintang-bintang yang ditunjukan telunjuk kekasihnya itu.
Begitu banyak bintang di langit, pasti sulit sekali menangkap atau mengenali satu di antaranya. Tak ingin dibuat semakin bingung, Gabriel hanya pasrah dan lama-kelamaan hanya diam menatap wajah ayu sang kekasih.
Sadar semenjak tadi Gabriel tidak menanggapi perkataannya, Shilla menoleh ke arah Gabriel dan mendapati laki-laki tampan itu menatapnya dalam-dalam.
“kamu nggak ngerti yang aku bicarain ya?” tanya Shilla sedikit menyesal telah berbicara panjang lebar dan sepertinya sia-sia.
“maaf, Shil..” ucap Gabriel tulus, ia memang tak terlalu mengerti dengan apa yang baru saja Shilla bicarakan. “tapi aku baru aja lihat bintang yang paling terang itu.” Lanjut Gabriel penuh keyakinan.
Shilla membulatkan matanya, ia tertarik dengan apa yang baru saja Gabriel ucapkan.
“serius? Mana?” tanyanya antusias.
“ikuti tangan aku!” perintah Gabriel sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Gabriel menggerakkan tangannya perlahan seakan memindai langit. Dan dengan rasa penasarannya, bola mata Shilla mengikuti kemana arah tangan kokoh itu. Sampai tangan itu berhenti untuk menutup mata pemiliknya sendiri –Gabriel-.
“ih.. nggak lucu, Yel! Mana bintangnya?” desak Shilla sambil menggoyangkan lengan Gabriel tak sabar.
“sebentar! Ini bintangnya ada di mata aku!”
“bohong lah, jelas!” Shilla melengos sambil melipat tangannya di depan dada, tak suka dengan perbuatan Gabriel yang menurutnya jayus.
“liat sekarang, terserah kamu mau bilang aku bohong atau enggak.” Perintah Gabriel sekali lagi.
Dengan wajah yang masih sedikit ditekuk Shilla mengikuti kemauan Gabriel. Ia menatap lekat-lekat wajah tampan kekasihnya.
Gabriel meraih tangan Shilla dan menggenggamnya erat.
“kamu liat apa yang ada di mata aku?” tanya Gabriel lembut.
“bayangan aku lah!” jawab Shilla yang masih sedikit dongkol.
“dan dia lah bintang paling terang yang pernah ada, my Sirius.” Jelas Gabriel dengan senyuman manis yang terpendar di wajahnya. “kamu semegah Sirius, di antara ribuan bintang yang menghias langit malam, dia pemenangnya, di antara sekian banyak gadis yang datang padaku, kamu juaranya.”
Shilla tertunduk tersipu karena rangkaian kata manis yang Gabriel ucapkan. Pantas saja ia bisa mendapatkan setiap gadis yang ia inginkan, Gabriel punya segalanya, dia tampan, berhati mulia, perhatian, dewasa, dan tak boleh dipungkiri, ia kaya raya, meskipun bukan karena semua itu Shilla mau menjadi kekasihnya. Cinta yang dimiliki gadis itu beralaskan ketulusan, tanpa alasan. Sebuah alunan lagu jiwa yang mengalir tak peduli segala yang menghadang di hadapannya.
“ye.. dia malu sendiri!” dengus Gabriel sambil mengacak-acak puncak kepala gadisnya.
Beberapa waktu mereka berdua habiskan dalam diam, tak sepatah katapun terucap. Menikmati debaran hati yang terus mendesir hebat. Menikmati indahnya malam di halaman belakang rumah Shilla yang memiliki tatanan tak kalah dengan sebuah taman.
Shilla tetap asik menikmati kilauan taburan bintang di angkasa seraya menggosokkan kedua telapak tangannya pada kedua lengannya dengan posisi menyilang. Cardigan abu-abu yang membalut gaun sederhana tanpa lengannya nampaknya tak cukup mampu untuk menghangatkan tubuhnya.
Tak jauh berbeda dengan sang kekasih, sambil mengedarkan pandangannya ke beberapa penjuru taman, Gabriel menggosokkan kedua telapak tangannya mencari sedikit kehangatan. Ekor matanya menangkap siluet wajah cantik gadisnya yang semakin sempurna dengan biasan cahaya bulan yang menerpa. Hasrat yang didendangkan sang malam menyusup dalam tubuhnya.
“Shil, ini aku cuma dianggurin?” tanya Gabriel yang sudah jengah dengan kesunyian yang justru terbentuk di antara keduanya.
Shilla menatap Gabriel dengan sebelah alis yang terangkat, tak begitu mengerti dengan apa yang dimaksud kekasihnya.
“em.. don’t you want to do something with me?” Gabriel menerangkan lebih terperinci apa yang ia maksud.
Dengan wajah polosnya, Shilla menggeleng setelah beberapa waktu sebelumnya memikirkan jawaban dari pertanyaan Gabriel.
“ya udah deh, aku pulang ya..” pamit Gabriel dengan sedikit nada kecewa yang tak mampu ia tutupi, ia beranjak dari tempat duduknya.
“tunggu!” cegah Shilla sambil menahan tangan Gabriel.
Sedikit tidak berminat, Gabriel memutar tubuhnya, menatap Shilla dengan kening berkerut, mencari alasan mengapa Shilla menahannya.
“em.. aku.. maaf.” Ucap Shilla terbata, ia sendiri bingung dengan apa yang ingin ia katakan.
Dengan gerakan cepat Shilla berjinjit mensejajarkan tubuhnya dengan Gabriel yang lebih tinggi darinya kemudian mengecup lembut pipi kanan kekasihnya.
“I love you!” ucap Shilla cepat kemudian berlari ke dalam rumahnya dengan wajahnya yang sudah berwarna merah padam.
Sambil memeganggi pipinya, Gabriel menggeleng-gelengkan kepalanya tak mengerti. Senyum kecil terukir di bibirnya. Shilla terkesan seperti anak kecil yang baru saja belajar menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Namun justru itu yang ia sukai dari Shilla yang terkesan unik dan berbeda dari gadis-gadis lain.
“makasih Shil, mimpi indah ya, aku sayang kamu!” seru Gabriel sedikit keras agar Shilla dapat mendengarnya.
Shilla membalik badannya dan tersenyum manis menanggapi ucapan Gabriel.
***
Jam yang bertengger di dinding sudah menunjukan tepat pukul sembilan malam, Rio masih termenung di atas tempat tidur memikirkan bagaimana caranya membatalkan perunangan Ify dengan Alvin. Ia sadar tak banyak waktu yang ia miliki untuk melakukan hal itu.
Kembali, setelah sebelumnya beberapa kali ia lakukan, Rio menghela nafas kuat-kuat membebaskan rasa penatnya. Sampai pantulan cahaya lampu kamar yang cukup terang memantul pada sebuah benda yang terbuat dari logam kecil yang ada di meja kecil tepat di samping bednya menyita pehatiannya. Sebuah kunci, benda yang tak asing lagi untuknya, kunci mobilnya yang sempat ayahnya tinggalkan tadi siang.
Sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di benaknya. Tak ada cara lain, pikirnya.
“aw..” pekik Rio tertahan saat dengan paksa ia mencabut jarum infus yang tertanam di tangannya.
Tak ingin membuang waktu lagi, Rio segera mengganti pakaian pasien rumah sakit yang dikenakannya dengan kemeja dan celana jeansnya. Kemudian ia bergegas meninggalkan rumah sakit itu, dengan satu tujuan pasti, Ify.
bersambung..
Rabu, 18 Mei 2011
Senin, 09 Mei 2011
Song of Love part 10
Entah sudah untuk yang keberapa kalinya Gabriel melirik ke arah jam yang bertengger di tembok kelasnya. Hampir tiga jam berlalu semenjak Rio meninggalkan jam pelajaran, biasanya tak perlu waktu selama ini untuk sahabatnya itu memulihkan keadaannya, topeng tegarnya selalu mampu menutupi keadaannya yang sebenarnya. Perasaan tak enak langsung menyergapnya.
Tanpa pikir panjang, Gabriel mengangkat tangannya, meminta perhatian ibu Rowina yang sedang mengajar.
“ma’am..”
“yes, Gabriel? What’s up?” tanggap ibu Rowina sambil menurunkan letak kacamatanya.
“may I go to rest room?” ijin Gabriel, jelas ia berbohong, kebohongan klasik paling jitu dan paling aman saat akan membolos.
“yes, but you just have a few minutes.”
Tak peduli dengan syarat yang diberikan wali kelasnya, Gabriel segera berlari keluar kelas, menuju sebuah tempat yang ia yakini dimana Rio berada sekarang.
***
Ruangan besar yang biasanya sangat sunyi kecuali saat digunakan untuk pelajaran seni Musik ini, kini dipenuhi isakan Ify dengan Sivia yang terus mencoba menenangkannya. Ruangan ini kedap suara, tak perlu kawatir ada orang lain yang akan mendengar percakapan keduanya.
Pelajaran kosong di kelasnya dipilih Ify untuk menceritakan semua masalahnya dengan Rio pada Sivia, berharap sedikit bebannya akan terangkat.
“Vi, gue kangen kak Rio..” tangis Ify. Matanya sudah terlihat sangat bengkak karena tak henti-hentinya menangis.
Sivia dapat merasakan tubuh Ify yang semakin bergetar. Ia benar-benar tak tega melihat sahabatnya sekacau ini. Benar-benar bukan Ify yang ia kenal, Ify yang dulu selalu terkesan jumawa, selalu ceria tak ada lagi kini. Ia bisa membaca betapa besar cinta Ify untuk Rio, bagaimana Ify hancur tanpa pangeran itu telah membuktikan segalanya.
“come on, Fy! Lo kuat, gue yakin sebentar lagi kak Rio akan datang buat lo, gue percaya apa pun, dan kapan pun lo berdua ditakdirkan menjadi satu.” ujar Sivia lembut sambil mengusap punggung Ify, berharap sahabatnya itu akan menjadi lebih baik.
“atau enggak selamanya, dan gue jadi milik orang lain yang sama sekali nggak gue cinta?” timpal Ify yang terdengar sangat putus asa.
“Fy.. please, lo kaya nggak kenal kak Rio, gue percaya dia akan lakuin apapun untuk elo.”
Ify diam mencerna perkataan Sivia. Menyadari mengapa justru ia kembali meragukan Rio saat ini. Ia menatap Sivia yang sedang tersenyum, sebuah senyuman tulus yang memberinya secerca ketenangan dan kehangatan khas persahabatan. Kedua ujung bibirnya tertaris membentuk seulas senyuman. Tanpa menunggu komando lagi, Ify berhambur memeluk Sivia.
“thanks, Vi! You’re the best!”
Sivia hanya membalas pelukan Ify.
“Fy, menurut gue, ada masalah lain yang mendasari permusuhan Haling dan Umari.” Sivia mulai mengungkapkan apa yang mengganjal fikirannya setelah mendengar semua cerita Ify tentang hubungannya dengan Rio yang begitu ditentang. “have you ever thought ‘bout the other problem of it?”
Ify menggeleng karena memang ia tak pernah memikirkan dasar semua masalahnya, selain karena persaingan bisnis antara dua perusahaan besar yang selalu ingin menjadi yang terbaik.
“orang tua lo, orang tua kak Rio, semuanya selalu memikirkan bagaimana cara memperbesar dan memperkokoh perusahaan mereka masing-masing, and.. bukankah seharusnya akan sangat menguntungkan untuk mereka kalau kalian berdua bersatu? Kecuali ada masalah lain yang memancing perseteruan itu.”
“I got it!” tanggap Ify cepat. Pemikiran Sivia begitu skematis dan logis untuk disanggah oleh pemikirannya. “I think so, but what’s that?”
“dunno, mukin papa lo, atau salah seorang dari keluarga elo punya masalah yang belum terselesaikan dengan keluarga kak Rio.” Tebak Sivia lagi.
“gue harus ketemu kak Rio buat bicarain semuanya tentang ini.” Lirih Ify yang sedetik kemudian menghela nafas kuat-kuat membebaskan segala sesak di hatinya. “tapi.. Alvin selalu ngawasin gue.”
“pasti ada jalan buat kalian ketemu! Gue bantu!”
Sivia membisikan semua rencananya pada Ify. Mencari jalan agar sahabatnya itu bisa bertemu dengan sang kekasih dan membuatnya menjadi lebih baik lagi. Masalah Ify yang sangat rumit justru membuatnya melupakan masalah perasaannya, semua yang ia alami benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang Ify alami.
***
Tanpa menghentikan larinya, Gabriel mendorong begitu saja pintu besar gedung olah raga dan membuatnya berdentum keras saat beradu dengan tembok kokoh pembatas gedung. Pemuda tampan itu tak juga peduli dengan hal itu.
“Rio!” pekik Gabriel saat mendapati sosok sahabatnya yang terduduk di tiang penyangga ring sambil mencengkeram perutnya dan mengerang kesakitan.
Kekawatiran Gabriel terbukti. Sebelumnya ia hanya takut jika Rio terlalu kalap bermain basket untuk menumpahkan emosinya tanpa mempedulikan keadaannya yang sebenarnya tidak terlalu baik.
“lo kenapa, Yo?” tanya Gabriel panik, apa lagi setelah melihat wajah Rio yang tak ubahnya sesosok mayat hidup.
Rio menggeleng lemah. Ia diam mencoba menata nafasnya yang memburu karena kelelahan dan rasa sakit yang sangat di perutnya. Ia memang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Hampir 240 menit, atau empat jam penuh Rio bermain basket tanpa henti sampai tiba-tiba ia merasakan perutnya terasa perih dan lama-kelamaan terasa seperti terbakar.
“lo ngrepotin gue mulu sih?!” gerutu Gabriel sambil membantu Rio untuk berdiri. Tentu kalimat itu bukan karena ia benar-benar tak ingin direpotkan oleh Rio, ia hanya tak habis pikir kenapa Rio suka sekali menyiksa dirinya sendiri dan membuat Gabriel yang tidak lain adalah sahabatnya menjadi kawatir.
Gabriel memapah Rio dan membawanya segera ke ruang kesehatan sekolah.
***
“Shil, Shilla!” seru Gabriel sambil membantu Rio berbaring di tempat tidur. Ia tahu jam ini adalah jadwal Shilla menjaga ruang kesehatan.
“Rio kenapa, Yel?” tanya Shilla sambil mempersiapkan pertolongan pertama.
“gue.. maag gue kambuh..” sela Rio terbata setelah mencoba mengumpulkan tenaganya susah payah hanya untuk mengeluarkan satu kalimat tersebut.
Gabriel mengerang geram. Jika Rio tidak dalam keadaan payah seperti saat ini, ia dapat memastikan sahabatnya itu akan merasakan bogeman mentahnya. Gabriel tahu pasti jika Rio memiliki penyakit maag yang sudah dalam tahap berbahaya karena kebiasaanya yang tak pernah memperhatikan kesehatannya.
“mau lo apa sih, Yo?!” hardik Gabriel menumpahkan emosinya.
“Yel, kamu tunggu di depan aja, biar aku yang rawat Rio.” Sela Shilla menahan Gabriel.
Karena masih dalam keadaan emosi, Gabriel menyentakkan tangan Shilla yang sempat menahan tubuhnya dan kemudian berbalik menuju sebuah bangku yang berada di sudut ruangan bernuansa putih bersih itu.
Beberapa menit berlalu dihabiskan Gabriel untuk menunggu dalam diam. Hanya erangan tertahan milik Rio dan suara Shilla yang mencoba menenangkan sahabatnya yang ia dengar. Pikirannya bercabang antara rasa kasihan dengan kisah sahabatnya yang tak juga menemukan kebahagiaannya juga kedongkolan dengan ulah Rio yang menurutnya bodoh, Rio yang selalu terkesan menyiksa dirinya sendiri, seakan tak cukup berat masalah yang sudah didapatnya.
“Yel..” panggil Shilla lembut, tak ingin mengagetkan kekasihnya yang ia lihat sedang tenggelam dalam pikirannya.
“iya.” Sahut Gabriel setelah lamunannya terbuyarkan oleh suara Shilla. “gimana Rio?”
“dia aku kasih obat tidur, setidaknya bisa mengurangi rasa sakit, dan aku rasa dia harus ke rumah sakit kalau setelah ini tidak membaik,” jelas Shilla sambil duduk di hadapan Gabriel, dengan meja kecil sebagai pembatas antara mereka.
Gabriel mendengus lelah kemudian mengacak-acak kasar wajahnya. Frustasi. Ia merasa gagal menjadi seorang sahabat yang baik, banyak sekali masalah yang menimpa sahabatnya itu sejak kepergian ibundanya, namun tak satupun dari masalah itu yang mampu diberikan jalan keluar oleh Gabriel. Ia hanya mampu berdiri di belakang Rio untuk memberinya semangat.
“Rio pasti baik-baik saja, sayang.” kata Shilla sambil menggenggam tangan Gabriel yang kini tergeletak di atas meja. Mencoba menenangkan kekasihnya yang terlihat sangat gusar.
“makasih ya..” ucap Gabriel menghargai usaha Shilla yang setidaknya membuat perasaannya lebih tenang.
“Rio begitu gara-gara Ify ya?” tanya Shilla sambil melirik Rio yang tengah tertidur karena pengaruh obat.
“kamu mau nyalahain Ify lagi?” interogasi Gabriel sambil menaikan sebelah alisnya.
“bukan gitu! Cuma aku akan merasa sangat beruntung aja kalau ada diposisi Ify.” Sanggah Shilla cepat sebelum Gabriel salah paham. “sesuatu yang membuat seorang wanita merasa dirinya menjadi seorang putri itu bukan harta atau susunan kata pujangga, tapi cinta yang tanpa cela, dengan alas ketulusan, Rio sudah memberi itu untuk Ify.” Lanjut Shilla memberikan argumen atas sanggahannya.
“did you not find it on me?” tanya Gabriel setelah mencerna kalimat Shilla kata demi kata. “harus ya kita dapet masalah rumit seperti kisah Rio-Ify baru kamu percaya cintaku buat kamu itu sempurna?” tuduh Gabriel telak.
Shilla menunduk sambil memainkan ujung roknya. Ia menyadari ada yang salah dengan kalimatnya yang seakan terlalu mengagungkan Rio seakan ia lupa jika pria tampan yang saat ini berhadapan dengannya adalah kekasihnya.
“kamu ragu aku akan lakukan seperti apa yang Rio lakukan kalau kita yang ada di posisi mereka?” cerca Gabriel. Untuk pertama kalinya ia tak rela ada orang lain yang memuja Rio yang sebenarnya selalu ia banggakan, dan untuk pertama kalinya pula ia merasakan sesuatu yang menghimpit dadanya saat gadisnya menyebut nama orang lain dengan penuh kekaguman, hal yang tak didapatinya dari gadis-gadisnya yang dulu.
Shilla menggeleng sambil menggigit bibirnya. Sungguh tak ada sama sekali maksudnya untuk meragukan cinta Gabriel untuknya.
“demi apapun, aku nggak pernah ragu sama kamu..” lirih Shilla sedikit ketakutan, karena tanpa Gabriel sadari ia tadi sudah berbicara dengan nada tinggi pada Shilla.
“maaf, Shil.” Gabriel sadar telah membuat gadisnya ketakutan. “aku kalut tadi, tapi please, aku tau aku nggak sempurna, sering aku nyakitin kamu, jujur, demi apapun, aku juga akan hancur tanpa kamu.” Tutur Gabriel sambil memegang kedua pipi Shilla dan menatap manik mata gadis cantik itu dalam-dalam.
“kamu janji nggak akan ninggalin aku? Buat aku, kamu terus ada di samping aku itu adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan.” Balas Shilla.
Gabriel hanya tersenyum simpul. Tanpa aba-aba ia beranjak berdiri dan kemudian menempati sisa kosong di bangku yang di tempati Shilla sehingga tak ada lagi jarak di antara keduanya kini. Gabriel merangkul Shilla dan menyandarkan kepala gadisnya itu di bahunya.
“Shil, feeling aku bilang, kamu akan jadi yang terakhir buat aku, jadi nyonya Damanik, jadi ibunya anak-anak aku.” Kata Gabriel sedikit berseloroh.
Shilla tertawa lepas mendengarnya, menganggap omongan Gabriel hanya sebuah candaan. Hal yang sebelumnya ia anggap mustahil akan diucapkan seorang Gabriel yang tak pernah puas dengan pencariannya, namun ternyata padanya lah kalimat keramat itu diucapkan, dalam waktu secepat ini pula.
“masih banyak waktu yang harus kita lewati untuk membuktikan kata-kata kamu itu, Yel! Jangan ngaco deh!”
Mereka berdua larut dalam suasana hangat dengan kekonyolan-kekonyolan Gabriel yang membuat Shilla tak hentinya tertawa dan sesekali terbang karena ucapan manis Gabriel untuknya dan hanya untuknya.
Dering ponsel Rio yang tergeletak di meja kecil di samping tempat Rio terbaring membuat gelak tawa Shilla dan Gabriel berhenti. Dengan sigap Gabriel berlari untuk mengangkat panggilan itu, tak ingin juga Rio terbangun karena suaranya yang cukup keras.
Sivia is calling...
Nama yang tertera di layar membuat Gabriel tak ragu mengangkat panggilan tersebut.
“hallo, ini gue, Gabriel, ada apa, Vi?” cerocos Gabriel tanpa jeda sebelum Sivia mengira dirinya Rio.
“kak, gue sama Ify ada di ruang musik, bilang kak Rio kita nunggu di sini.”
“tap..” belum selesai Gabriel menjelaskan jika Rio sedang sakit, panggilan itu tiba-tiba terputus. “shit!” umpat Gabriel setelah menatap kembali layar ponsel Rio, mati.
Ia menoleh pada Shilla, berharap gadisnya itu akan memberinya jawaban apa yang harus ia lakukan sekarang.
“emm.. bangunin Rio! Aku yakin dia akan lebih baik setelah bertemu Ify.” Ujar Shilla mengerti apa yang dipikirkan Gabriel.
Perlahan Gabriel menepuk bahu Rio dan memanggil namanya berusaha membangunkan sahabatnya itu.
“errghh..” Rio mengerang kecil sambil mengerjapkan matanya. Ternyata rasa sakit di perutnya belum juga hilang meskipun sudah sedikit mereda.
“masih sakit, Yo?” tanya Gabriel kawatir dan berniat menurungkan tujuannya membangunkan Rio.
“gue mau ketemu Ify!” lirih Rio tak mempedulikan pertanyaan Gabriel, bahkan rasa sakit yang menderanya.
“dia ada di ruang musik, nunggu elo.” Sela Shilla yang mengerti Gabriel tak akan tega membiarkan Rio pergi.
Tanpa menunggu apapun lagi, Rio bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan tertatih karena sembari menahan sakit menuju sebuah tempat yang baru saja Shilla katakan padanya. Tak peduli lagi dengan keadaannya sendiri, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana bertemu Ify dan mencurahkan semua rasa rindunya.
Gabriel dan Shilla hanya mengikutinya dari belakang sambil berusaha memastikan jika Rio akan tetap baik-baik saja.
***
Ruangan ini kembali menjadi saksi bisu terpendarnya kembali senyum di wajah Rio, walaupun saat ini senyum itu harus terlukis di bibirnya yang begitu pucat, namun tidak terelakkan jika rona bahagia benar-benar tergambar dari sorot matanya saat mendapati sosok Ify yang sedang duduk manis di kursi piano.
“Ify!” seru Rio walaupun dengan suaranya yang masih sedikit parau sambil berlari menyongsong Ify yang sudah berdiri menyambutnya.
Air muka Ify juga seketika berubah saat mendapati Rio berdiri di ambang pintu. Ia segera berdiri menyambut pangerannya.
“aku kangen kamu, Fy!” ucap Rio sambil memeluk Ify erat-erat, seakan tak ingin lagi terpisah.
“aku juga.” Balas Ify sambil membalas pelukan Rio.
Sivia memilih diam menyaksikan adegan romantis di hadapannya, tak ingin mengganggu sedikit pun. Ada satu rasa haru melihat adegan yang disuguhkan Rio dan Ify, ada rindu yang begitu besar di sana yang terpancar dari keduanya. Setitik air bening mengalir dari sudut mata sipitnya, wujud keterharuannya, air yang sebening dan setulus doanya untuk sang sahabat agar terus bisa berada di dalam dekapan sang kekasih.
Dengan sedikit mengendap-endap, Sivia meninggalkan keduanya keluar ruangan agar mereka lebih bebas berbicara dari hati ke hati dan menumpahkan semua rasa rindu mereka.
“kamu baik-baik aja kan?” tanya Rio setelah melepas pelukannya seraya menyibak poni yang jatuh bebas menutupi kening Ify.
Ify hanya mengangguk pertanda jika ia dalam keadaan baik-baik saja. Seketika itu pula ia terkesiap menatap wajah Rio yang nampak begitu pucat.
“harusnya aku yang tanya, kakak baik-baik aja? Kok pucet banget?” tanya Ify sedikit panik sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi Rio. Memang tak terlalu panas, tapi wajah Rio tak bisa berbohong jika ia tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini.
“gara-gara kangen sama kamu ini, jadi sebentar lagi juga sembuh.” Tak berniat membohongi Ify yang sudah menatapnya dengan curiga, Rio hanya berseloroh. Kembali ia memamerkan senyumannya yang tetap saja masih terlihat sangat manis di mata Ify.
Rio diam sejenak, mencoba menaha rasa sakit yang tiba-tiba menghantam perutnya lagi.
“errghh..”ia kembali mengerang kecil sambil memegang perutnya. Batinnya merutuk kenapa rasa sakit itu kembali muncul di saat yang tidak tepat seperti saat ini, setidaknya bisa ditunda setelah ia bertemu Ify.
“kakak kenapa?” tanya Ify yang semakin dilanda kepanikan.
Rio menggeleng sambil berusaha tersenyum untuk menenangkan Ify. Salah satu tangannya yang terbebas –tidak memegang perutnya- ia gunakan untuk menarik pergelangan tangan mungil Ify perlahan untuk duduk di bangku yang sebelumnya sudah Ify duduk bersama Sivia.
“kenapa kamu mau ketemu aku? Yah.. selain kangen, ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Rio membuka pembicaraan karena tak ingin membuang-buang waktu.
Ify menerangkan dugaannya dengan Sivia tetang perselisihan abadi keluarga Haling dan Umari pada Rio dan mencoba bertukar pikiran dengan kekasihnya itu.
“bisa jadi! Tapi apa itu?” tanggap Rio setelah Ify bercerita panjang lebar.
“itu yang harus kita selidiki!”
“aku rasa hal pertama yang harus kita lakukan adalah membatalkan pertunangan kamu dengan Alvin, aku nggak akan bisa liat kamu jadi milik orang lain.” Rajuk Rio sambil menggengam erat tangan Ify kemudian mengecupnya lembut. “satu-satunya nama yang boleh terukir di cincin yang melingkar di jari manis kamu adalah nama aku.” Lanjut Rio mantab sambil mengenakan sebuah cincin yang baru saja diambilnya dari saku celana seragamnya pada jari manis tangan kiri Ify.
Ify ternganga melihat tindakan Rio yang begitu tiba-tiba. Sebuah cincin emas putih yang begitu cantik kini melingkar di jarinya. Kilauan bias cahaya lampu semakin mempermegah desain perhiasan mungil itu.
“cincin almarhum mama aku, aku mohon kamu jaga baik-baik sampai aku memasang cincin dengan ukiran namaku sebagai penggantinya.” Mohon Rio. “anggap itu pengikat kita.”
“apa yang akan kamu lakukan untuk membatalkan pertunangan itu?”
“kamu tenang, itu udah aku pikir baik-baik.” Jawab Rio sambil tersenyum dan memegang kedua pipi Ify.
Ify mengalihkan wajahnya ke arah lain tak berani menatap mata Rio. Tak ingin tenggelam lagi terlalu jauh dalam kilatan mata teduh itu. Mata yang selalu mampu menjeratnya dan melumpuhkan akal sehatnya.
Rio mendengus sambil tersenyum simpul kemudian melingkarkan tangan kanannya di pinggang Ify. Menarik tubuh mungil gadisnya itu dengan lembut agar semakin merapat padanya. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Ify sembari memejamkan matanya.
Dengan posisi ini wangi tubuh Ify dapat dengan leluasa memenuhi seluruh rongga pernafasannya. Bak sebuah zat halusinogen yang mampu membawa khayalannya melayang jauh ke awang-awang, membebaskannya dari setiap beban masalah yang menindihnya. Rasa sakit yang menderu di rongga perutnya terus ia acuhkan, selama berada di samping Ify, Rio yakin semuanya akan tetap baik-baik saja.
Ify diam terkesiap setiap merasakan hembusan nafas Rio menerpa permukaan kulitnya. Tak seperti biasanya saat bersama Rio ia merasakan jatungnya berdegub lebih cepat, saat ini justru ia merasakan jantungnya hanya sesekali berdetak dengan kekuatan yang tidak wajar. Darahnya mendesir hebat. Dan Ify juga yakin jika saat ini pasti wajahnya berwarna merah padam.
“kak Rio..” panggil Ify pelan.
“hmm..”
“em..” sedikit ragu Ify mengungkapkan maksudnya. Sensasi yang baru dirasakannya saat ini membuatnya sedikit tidak nyaman membiarkan Rio terus bersandar di bahunya.
“sebentar, aku capek.” Ucap Rio seakan mengerti maksud Ify dari bahasa tubuh gadisnya itu yang mulai sedikit beringsut darinya. Ia semakin mengeratkan rengkuhannya pada Ify. Mau tak mau Ify hanya bisa mengikuti kemauan Rio. Perlahan ia membelai pipi Rio dengan penuh perhatian.
Diam, hanya diam dan diam yang Rio dan Ify lakukan, karena hanya dalam kesunyian itu ada kedamaian dari lagu cinta yang berkumandang di hati mereka masing-masing. Berharap waktu tak akan pernah berlalu dan mereka membuktikan pada dunia cinta lah yang memegang tahta atas segalanya.
***
Di luar ruang musik, Shilla, Sivia, dan Gabriel memilih duduk dalam diam pada bangku kayu panjang yang tersedia. Gabriel terus menggerakan kedua kakinya tak tenang, sementara Shilla masih terus merangkul kekasihnya itu memberi berusaha memberi ketenangan.
Di tempatnya, Sivia menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit di ulu hatinya melihat kemesraan pangeran pujaannya dengan sang kekasih. Ia sadar saat ini bukan waktu yang baik untuk menumpahkan semua perasaannya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain agar rasa sakit yang ditanggungnya tidak semakin menjadi.
Dugaannya salah saat melihat sosok yang paling dihindari oleh mereka semua muncul dari ujung koridor sambil menyembunyikan kedua telapak tangannya di balik celana seragamnya, jelas ia sedang menuju ke tempat dimana Sivia, Gabriel, dan Shilla menunggu Rio dan Ify.
Mata sipit milik Sivia membulat untuk memastikan bahwa sosok yang ia lihat benar-benar Alvin.
“Alvin!” pekik Sivia tertahan karena dengan segera ia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.
Jarak mereka yang terlalu dekat membuat Gabriel dan Shilla dapat mendengar jelas pekikan Sivia. Spontan mereka menoleh ke arah yang dilihat Sivia.
“shit! Mau apa lagi dia?” umpat Gabriel geram. Ia menghela nafas menetralkan emosinya agar dapat menghadapi kearoganan seorang Alvin dengan kepala dingin.
“hey! Lo, you look like a dump ass, bro!” cibir Alvin sambil melirik Gabriel tajam. Ia berdiri tegap di hadapan tiga orang yang sedang memandangnya geram dengan raut tak bersalah sedikitpun.
Gabriel menarik ujung kanan bibirnya membentuk sebuah senyuman meremehkan. Ia beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Alvin sambil menatap pria bermata sipit itu menantang.
“setidaknya gue punya perasaan, lo tau? Lo bahkan lebih buruk dari seekor keledai bodoh!” balas Gabriel sambil menahan emosinya.
“lo bisa jelasin dimana kebodohan gue?” tanya Alvin tenang sambil mendekati Shilla. Perlahan dibingkainya wajah cantik milik kekasih lawan beradu mulutnya itu dengan ujung jarinya. Sedikit demi sedikit ia mendekatkan wajahnya pada wajah Shilla yang sudah terdiam ketakutan dan...
BUG!
Kepalan tangan Gabriel yang sudah mengeras sejak melihat sosok Alvin tadi kini melayang mulus di pipi Alvin. Ia mungkin masih bisa menahan emosinya saat Alvin mencibirnya, namun ia tak bisa terima dengan perlakuan Alvin pada gadisnya.
Alvin tersenyum penuh kemenangan sambil mengusap kasar darah yang mengalir dari ujung bibirnya dengan ibu jarinya.
“itu yang gue rasain sekarang! Gue dan Rio punya rasa yang sama untuk Ify, hanya Rio lebih beruntung karena rasa dia terbalas, bukan terlihat seperti seorang pecundang seperti yang gue rasain!” Alvin memulai monolognya, memberi argumen dan sanggahan atas apa yang ia lakukan selama ini. “lo bilang gue nggak punya perasaan? Jutru karena perasaan gue buat Ify yang buat gue kaya gini!”
Gabriel terdiam mendengarkan penjelasan Alvin. Alvin laki-laki, ia pun juga. Dengan mudah ia dapat mencerna penjelasan Alvin, yang mungkin bila saat ini ia tidak berdiri atas dasar rasa kesetiakawanannya pada sang sahabat sejati, ia akan memberi penghargaan tertinggi untuk pemikiran Alvin dan perjuangan pria itu atas cintanya.
“gue sebut ini pengorbanan dan perjuangan cinta yang gue dan Rio lakukan untuk Ify.” Lanjut Alvin tanpa emosi yang terdengar lagi. “kalau suatu saat nanti gue kalah sama Rio, gue bersumpah akan mengakuinya dan merelakan Ify sepenuhnya.”
Seakan kehabisan kata-kata, Gabriel hanya beringsut mundur kembali ke tempat duduknya kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam.
***
Kedamaian yang sebelumnya tercipta pecah begitu saja saat Rio tiba-tiba mengerang hebat dan menjauhkan tubuhnya dari Ify, membungkuk dan mencengkeram perutnya kuat-kuat. Rasa sakit yang benar-benar tak bisa ditahannya dan kini disertai rasa mual.
“kak, kakak kenapa?” tanya Ify panik seraya menyeka peluh yang mengalir deras di pelipis Rio.
“sakit..” rintih Rio terbata. “hoek..” Rio menumpahkan isi perutnya yang sudah tak sanggup lagi ditahannya.
“kak Rio, darah!” pekik Ify ketakutan melihat ternyata yang dimuntahkan Rio adalah darah.
Dengan keadaan panik, Ify berlari keluar meninggalkan Rio untuk mencari bantuan. Ruangan itu kedap suara, percuma saja jika ia hanya berteriak.
Ify menarik kasar knop pintu besar ruang musik.
“kak Iel! Tolong kak Rio!!” seru Ify dengan air mata yang mulai berlinangan.
Melihat begitu paniknya Ify dan mengingat keadaan Rio sebelumnya, Gabriel segera berlari memasuki ruang musik tanpa mempedulikan Ify yang segera ditenangkan oleh Alvin. Tanpa menunggu komando Shilla segera mengikuti Gabriel.
“Rio!” pekik Gabriel saat menemui Rio dengan kesadarannya yang mulai menurun. “lo tahan, Yo! Kita ke rumah sakit!” lanjutnya sambil memapah Rio. Karena sudah kehabisan tenaga, Rio hanya bisa mengikuti perintah Gabriel.
Di ambang pintu, dengan sisa-sisa tenaganya Rio mencoba menegakkan tubuhnya sambil memaksakan seulas senyuman dibibirnya untuk Ify yang sedang menangis tak tega melihatnya.
“aku.. nggak papa, aku pasti tepati janji aku.” Ucap Rio lirih. Sedetik kemudian ia menatap Alvin yang masih memegang kedua bahu Ify yang bergetar hebat dengan tatapan tak terbaca.
“ck! Banyak omong lo! Yel, cepet bawa dia, gue yakin dia tidak dalam keadaan baik, gue nggak mau menang semudah ini!” sergah Alvin.
Hal yang hampir dilupakan Gabriel. Tanpa pikir panjang lagi Gabriel segera memaksa Rio menuju mobilnya.
***
Hampir satu jam berlalu sejak Rio memasuki instalasi gawat darurat di rumah sakit yang tak jauh dari sekolah. Gabriel dan Shilla yang masih setia menemani kekasihnya masih menunggu di ruang tunggu yang begitu sunyi siang ini.
“Yel, kamu sayang banget ya sama Rio?” tanya Shilla yang sudah benar-benar tak tega melihat Gabriel begitu kacau.
“dia udah aku anggep adik kandung aku, Shil, kamu bayangin, hampir seumur hidup kita sama-sama.” Jawab Gabriel lirih.
“kamu tenang ya, aku yakin Rio akan tetap baik-baik saja, mana mungkin seorang Mario yang angkuh itu mau menyerah begitu saja cuma karena penyakit maag?”
“dokter udah mengingatkan berkali-kali soal penyakit yang kamu bilang cuma itu, mama Rio meninggal karena kanker lambung, dengan gejala awal sama seperti Rio, masih kamu bisa bilang cuma?”
“kamu nggak berharap Rio mengalaminya juga kan? percayalah pada hal yang positif!”
Gabriel tidak lagi menanggapi Shilla, emosinya sedang labil saat ini, ia hanya takut akan mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak pantas ia ucapkan pada gadisnya itu.
Tak lama kemudian, seorang dokter muda keluar dari balik pintu sambil melepaskan kacamata tanpa framenya. Tanpa membuang waktu, Gabriel menghampiri dokter itu untuk menanyakan keadaan Rio.
“saya belum tau pasti, yang jelas Mario perlu banyak istirahat, dia harus dirawat.” Jelas dokter itu kemudian berpamitan dan meninggalkan Gabriel serta Shilla kembali ke ruangannya.
***
Hari sudah beranjak malam, Ify masih berdiri di balkon kamarnya dengan perasaan gelisah sambil menatap kosong pada langit yang mulai beranjak gelap. Ingin sekali saat ini ia menemani Rio dan merawatnya dengan tangannya sendiri, namun apa dayanya, larangan sang ayah membuatnya tak mampu berbuat apapun, bahkan ia tak tahu sama sekali bagaimana keadaan kekasihnya itu saat ini.
“Fy, Rio baik-baik aja, gue dapet kabar dari Gabriel.” Kata Alvin yang baru saja memasuki kamar Ify dan menjumpai gadis itu.
“apa peduli lo?” tanya Ify tajam.
“yang jelas gue bukan orang sebusuk yang elo pikir.” Jawab Alvin. Sedetik kemudian ia membalik tubuhnya dan meninggalkan Ify seorang diri.
Ify kembali menghela nafas, mencoba menahan air matanya yang sudah menggenang agar tidak jatuh berlinang. Sudah cukup banyak air mata yang ia buang hanya untuk meratapi nasibnya selama ini.
Sebuah mobil mewah milik sang ayah yang mulai memasuki garasi membuat sebersit pemikiran terlintas di benak Ify. Ia harus segera mencari kejelasan benar atau tidaknya hal yang ia pikirkan bersama Rio dan Sivia pagi tadi. Rasa takut saat berhadapan dengan sang ayah begitu saja menguap, ia segera berlari menemui ayahnya.
***
Dengan gurat kelelahan yang begitu terukir di wajahnya, pak Tama mendudukan dirinya pada sofa mewah yang teronggok di ruang keluarga istana besar milik keluarga Umari ini.
“pa..” panggil Ify.
Pak Tama menoleh ke sumber suara yang menyapanya dan mendapati putri kesayangannya sedang menatapnya serius.
“apa?” tanggap pak Tama dengan urat-urat di wajahnya yang sudah sedikit mengendur.
“maaf, boleh Ify tau kenapa Ify nggak boleh melanjutkan hubungan Ify dengan kak Rio?” tanya Ify yakin.
“papa sudah bilang, Haling itu seteru keluarga kita!” jawab pak Tama tegas.
“bohong! Pasti nggak semuanya karena itu!” sanggah Ify dengan nada sedikit keras. “bukankah kalau Ify dan kak Rio bersatu kalian akan lebih berjaya? Kenapa pa?”
“Rio pasti tak kalah brengsek dengan ayahnya! Setelah dia dapat apa yang dia mau dari kamu, kamu hanya akan dicampakkan! Sama seperti tante Ira!” jawab pak Tama keras. Emosinya benar-benar terpancing dengan kata-kata Ify yang terang-terangan menantangnya.
“Rio nggak kaya gitu, Pa!” balas Ify tak mau kalah, tak juga kalah keras dengan sang ayah.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Ify. Bekas tangan sang ayah kini menempel pada pipi putihnya.
Air mata Ify akhirnya mengalir. Tak percaya ayahnya sendiri melakukan hal itu padanya. Dengan perasaan kalut dan begitu kecewa, Ify berlari ke kamarnya dan mengurung diri.
bersambung...
oiya.. nama twitter saya @missSari follow yak hehe..
kritik, saran dan wejangan selalu dinanti, makasih yang udah sempet mampir ke sini, makasih yang lebih buat yang udah baca, yang copycat semoga diampuni dosanya (?) wasalam. :)
Tanpa pikir panjang, Gabriel mengangkat tangannya, meminta perhatian ibu Rowina yang sedang mengajar.
“ma’am..”
“yes, Gabriel? What’s up?” tanggap ibu Rowina sambil menurunkan letak kacamatanya.
“may I go to rest room?” ijin Gabriel, jelas ia berbohong, kebohongan klasik paling jitu dan paling aman saat akan membolos.
“yes, but you just have a few minutes.”
Tak peduli dengan syarat yang diberikan wali kelasnya, Gabriel segera berlari keluar kelas, menuju sebuah tempat yang ia yakini dimana Rio berada sekarang.
***
Ruangan besar yang biasanya sangat sunyi kecuali saat digunakan untuk pelajaran seni Musik ini, kini dipenuhi isakan Ify dengan Sivia yang terus mencoba menenangkannya. Ruangan ini kedap suara, tak perlu kawatir ada orang lain yang akan mendengar percakapan keduanya.
Pelajaran kosong di kelasnya dipilih Ify untuk menceritakan semua masalahnya dengan Rio pada Sivia, berharap sedikit bebannya akan terangkat.
“Vi, gue kangen kak Rio..” tangis Ify. Matanya sudah terlihat sangat bengkak karena tak henti-hentinya menangis.
Sivia dapat merasakan tubuh Ify yang semakin bergetar. Ia benar-benar tak tega melihat sahabatnya sekacau ini. Benar-benar bukan Ify yang ia kenal, Ify yang dulu selalu terkesan jumawa, selalu ceria tak ada lagi kini. Ia bisa membaca betapa besar cinta Ify untuk Rio, bagaimana Ify hancur tanpa pangeran itu telah membuktikan segalanya.
“come on, Fy! Lo kuat, gue yakin sebentar lagi kak Rio akan datang buat lo, gue percaya apa pun, dan kapan pun lo berdua ditakdirkan menjadi satu.” ujar Sivia lembut sambil mengusap punggung Ify, berharap sahabatnya itu akan menjadi lebih baik.
“atau enggak selamanya, dan gue jadi milik orang lain yang sama sekali nggak gue cinta?” timpal Ify yang terdengar sangat putus asa.
“Fy.. please, lo kaya nggak kenal kak Rio, gue percaya dia akan lakuin apapun untuk elo.”
Ify diam mencerna perkataan Sivia. Menyadari mengapa justru ia kembali meragukan Rio saat ini. Ia menatap Sivia yang sedang tersenyum, sebuah senyuman tulus yang memberinya secerca ketenangan dan kehangatan khas persahabatan. Kedua ujung bibirnya tertaris membentuk seulas senyuman. Tanpa menunggu komando lagi, Ify berhambur memeluk Sivia.
“thanks, Vi! You’re the best!”
Sivia hanya membalas pelukan Ify.
“Fy, menurut gue, ada masalah lain yang mendasari permusuhan Haling dan Umari.” Sivia mulai mengungkapkan apa yang mengganjal fikirannya setelah mendengar semua cerita Ify tentang hubungannya dengan Rio yang begitu ditentang. “have you ever thought ‘bout the other problem of it?”
Ify menggeleng karena memang ia tak pernah memikirkan dasar semua masalahnya, selain karena persaingan bisnis antara dua perusahaan besar yang selalu ingin menjadi yang terbaik.
“orang tua lo, orang tua kak Rio, semuanya selalu memikirkan bagaimana cara memperbesar dan memperkokoh perusahaan mereka masing-masing, and.. bukankah seharusnya akan sangat menguntungkan untuk mereka kalau kalian berdua bersatu? Kecuali ada masalah lain yang memancing perseteruan itu.”
“I got it!” tanggap Ify cepat. Pemikiran Sivia begitu skematis dan logis untuk disanggah oleh pemikirannya. “I think so, but what’s that?”
“dunno, mukin papa lo, atau salah seorang dari keluarga elo punya masalah yang belum terselesaikan dengan keluarga kak Rio.” Tebak Sivia lagi.
“gue harus ketemu kak Rio buat bicarain semuanya tentang ini.” Lirih Ify yang sedetik kemudian menghela nafas kuat-kuat membebaskan segala sesak di hatinya. “tapi.. Alvin selalu ngawasin gue.”
“pasti ada jalan buat kalian ketemu! Gue bantu!”
Sivia membisikan semua rencananya pada Ify. Mencari jalan agar sahabatnya itu bisa bertemu dengan sang kekasih dan membuatnya menjadi lebih baik lagi. Masalah Ify yang sangat rumit justru membuatnya melupakan masalah perasaannya, semua yang ia alami benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang Ify alami.
***
Tanpa menghentikan larinya, Gabriel mendorong begitu saja pintu besar gedung olah raga dan membuatnya berdentum keras saat beradu dengan tembok kokoh pembatas gedung. Pemuda tampan itu tak juga peduli dengan hal itu.
“Rio!” pekik Gabriel saat mendapati sosok sahabatnya yang terduduk di tiang penyangga ring sambil mencengkeram perutnya dan mengerang kesakitan.
Kekawatiran Gabriel terbukti. Sebelumnya ia hanya takut jika Rio terlalu kalap bermain basket untuk menumpahkan emosinya tanpa mempedulikan keadaannya yang sebenarnya tidak terlalu baik.
“lo kenapa, Yo?” tanya Gabriel panik, apa lagi setelah melihat wajah Rio yang tak ubahnya sesosok mayat hidup.
Rio menggeleng lemah. Ia diam mencoba menata nafasnya yang memburu karena kelelahan dan rasa sakit yang sangat di perutnya. Ia memang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Hampir 240 menit, atau empat jam penuh Rio bermain basket tanpa henti sampai tiba-tiba ia merasakan perutnya terasa perih dan lama-kelamaan terasa seperti terbakar.
“lo ngrepotin gue mulu sih?!” gerutu Gabriel sambil membantu Rio untuk berdiri. Tentu kalimat itu bukan karena ia benar-benar tak ingin direpotkan oleh Rio, ia hanya tak habis pikir kenapa Rio suka sekali menyiksa dirinya sendiri dan membuat Gabriel yang tidak lain adalah sahabatnya menjadi kawatir.
Gabriel memapah Rio dan membawanya segera ke ruang kesehatan sekolah.
***
“Shil, Shilla!” seru Gabriel sambil membantu Rio berbaring di tempat tidur. Ia tahu jam ini adalah jadwal Shilla menjaga ruang kesehatan.
“Rio kenapa, Yel?” tanya Shilla sambil mempersiapkan pertolongan pertama.
“gue.. maag gue kambuh..” sela Rio terbata setelah mencoba mengumpulkan tenaganya susah payah hanya untuk mengeluarkan satu kalimat tersebut.
Gabriel mengerang geram. Jika Rio tidak dalam keadaan payah seperti saat ini, ia dapat memastikan sahabatnya itu akan merasakan bogeman mentahnya. Gabriel tahu pasti jika Rio memiliki penyakit maag yang sudah dalam tahap berbahaya karena kebiasaanya yang tak pernah memperhatikan kesehatannya.
“mau lo apa sih, Yo?!” hardik Gabriel menumpahkan emosinya.
“Yel, kamu tunggu di depan aja, biar aku yang rawat Rio.” Sela Shilla menahan Gabriel.
Karena masih dalam keadaan emosi, Gabriel menyentakkan tangan Shilla yang sempat menahan tubuhnya dan kemudian berbalik menuju sebuah bangku yang berada di sudut ruangan bernuansa putih bersih itu.
Beberapa menit berlalu dihabiskan Gabriel untuk menunggu dalam diam. Hanya erangan tertahan milik Rio dan suara Shilla yang mencoba menenangkan sahabatnya yang ia dengar. Pikirannya bercabang antara rasa kasihan dengan kisah sahabatnya yang tak juga menemukan kebahagiaannya juga kedongkolan dengan ulah Rio yang menurutnya bodoh, Rio yang selalu terkesan menyiksa dirinya sendiri, seakan tak cukup berat masalah yang sudah didapatnya.
“Yel..” panggil Shilla lembut, tak ingin mengagetkan kekasihnya yang ia lihat sedang tenggelam dalam pikirannya.
“iya.” Sahut Gabriel setelah lamunannya terbuyarkan oleh suara Shilla. “gimana Rio?”
“dia aku kasih obat tidur, setidaknya bisa mengurangi rasa sakit, dan aku rasa dia harus ke rumah sakit kalau setelah ini tidak membaik,” jelas Shilla sambil duduk di hadapan Gabriel, dengan meja kecil sebagai pembatas antara mereka.
Gabriel mendengus lelah kemudian mengacak-acak kasar wajahnya. Frustasi. Ia merasa gagal menjadi seorang sahabat yang baik, banyak sekali masalah yang menimpa sahabatnya itu sejak kepergian ibundanya, namun tak satupun dari masalah itu yang mampu diberikan jalan keluar oleh Gabriel. Ia hanya mampu berdiri di belakang Rio untuk memberinya semangat.
“Rio pasti baik-baik saja, sayang.” kata Shilla sambil menggenggam tangan Gabriel yang kini tergeletak di atas meja. Mencoba menenangkan kekasihnya yang terlihat sangat gusar.
“makasih ya..” ucap Gabriel menghargai usaha Shilla yang setidaknya membuat perasaannya lebih tenang.
“Rio begitu gara-gara Ify ya?” tanya Shilla sambil melirik Rio yang tengah tertidur karena pengaruh obat.
“kamu mau nyalahain Ify lagi?” interogasi Gabriel sambil menaikan sebelah alisnya.
“bukan gitu! Cuma aku akan merasa sangat beruntung aja kalau ada diposisi Ify.” Sanggah Shilla cepat sebelum Gabriel salah paham. “sesuatu yang membuat seorang wanita merasa dirinya menjadi seorang putri itu bukan harta atau susunan kata pujangga, tapi cinta yang tanpa cela, dengan alas ketulusan, Rio sudah memberi itu untuk Ify.” Lanjut Shilla memberikan argumen atas sanggahannya.
“did you not find it on me?” tanya Gabriel setelah mencerna kalimat Shilla kata demi kata. “harus ya kita dapet masalah rumit seperti kisah Rio-Ify baru kamu percaya cintaku buat kamu itu sempurna?” tuduh Gabriel telak.
Shilla menunduk sambil memainkan ujung roknya. Ia menyadari ada yang salah dengan kalimatnya yang seakan terlalu mengagungkan Rio seakan ia lupa jika pria tampan yang saat ini berhadapan dengannya adalah kekasihnya.
“kamu ragu aku akan lakukan seperti apa yang Rio lakukan kalau kita yang ada di posisi mereka?” cerca Gabriel. Untuk pertama kalinya ia tak rela ada orang lain yang memuja Rio yang sebenarnya selalu ia banggakan, dan untuk pertama kalinya pula ia merasakan sesuatu yang menghimpit dadanya saat gadisnya menyebut nama orang lain dengan penuh kekaguman, hal yang tak didapatinya dari gadis-gadisnya yang dulu.
Shilla menggeleng sambil menggigit bibirnya. Sungguh tak ada sama sekali maksudnya untuk meragukan cinta Gabriel untuknya.
“demi apapun, aku nggak pernah ragu sama kamu..” lirih Shilla sedikit ketakutan, karena tanpa Gabriel sadari ia tadi sudah berbicara dengan nada tinggi pada Shilla.
“maaf, Shil.” Gabriel sadar telah membuat gadisnya ketakutan. “aku kalut tadi, tapi please, aku tau aku nggak sempurna, sering aku nyakitin kamu, jujur, demi apapun, aku juga akan hancur tanpa kamu.” Tutur Gabriel sambil memegang kedua pipi Shilla dan menatap manik mata gadis cantik itu dalam-dalam.
“kamu janji nggak akan ninggalin aku? Buat aku, kamu terus ada di samping aku itu adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan.” Balas Shilla.
Gabriel hanya tersenyum simpul. Tanpa aba-aba ia beranjak berdiri dan kemudian menempati sisa kosong di bangku yang di tempati Shilla sehingga tak ada lagi jarak di antara keduanya kini. Gabriel merangkul Shilla dan menyandarkan kepala gadisnya itu di bahunya.
“Shil, feeling aku bilang, kamu akan jadi yang terakhir buat aku, jadi nyonya Damanik, jadi ibunya anak-anak aku.” Kata Gabriel sedikit berseloroh.
Shilla tertawa lepas mendengarnya, menganggap omongan Gabriel hanya sebuah candaan. Hal yang sebelumnya ia anggap mustahil akan diucapkan seorang Gabriel yang tak pernah puas dengan pencariannya, namun ternyata padanya lah kalimat keramat itu diucapkan, dalam waktu secepat ini pula.
“masih banyak waktu yang harus kita lewati untuk membuktikan kata-kata kamu itu, Yel! Jangan ngaco deh!”
Mereka berdua larut dalam suasana hangat dengan kekonyolan-kekonyolan Gabriel yang membuat Shilla tak hentinya tertawa dan sesekali terbang karena ucapan manis Gabriel untuknya dan hanya untuknya.
Dering ponsel Rio yang tergeletak di meja kecil di samping tempat Rio terbaring membuat gelak tawa Shilla dan Gabriel berhenti. Dengan sigap Gabriel berlari untuk mengangkat panggilan itu, tak ingin juga Rio terbangun karena suaranya yang cukup keras.
Sivia is calling...
Nama yang tertera di layar membuat Gabriel tak ragu mengangkat panggilan tersebut.
“hallo, ini gue, Gabriel, ada apa, Vi?” cerocos Gabriel tanpa jeda sebelum Sivia mengira dirinya Rio.
“kak, gue sama Ify ada di ruang musik, bilang kak Rio kita nunggu di sini.”
“tap..” belum selesai Gabriel menjelaskan jika Rio sedang sakit, panggilan itu tiba-tiba terputus. “shit!” umpat Gabriel setelah menatap kembali layar ponsel Rio, mati.
Ia menoleh pada Shilla, berharap gadisnya itu akan memberinya jawaban apa yang harus ia lakukan sekarang.
“emm.. bangunin Rio! Aku yakin dia akan lebih baik setelah bertemu Ify.” Ujar Shilla mengerti apa yang dipikirkan Gabriel.
Perlahan Gabriel menepuk bahu Rio dan memanggil namanya berusaha membangunkan sahabatnya itu.
“errghh..” Rio mengerang kecil sambil mengerjapkan matanya. Ternyata rasa sakit di perutnya belum juga hilang meskipun sudah sedikit mereda.
“masih sakit, Yo?” tanya Gabriel kawatir dan berniat menurungkan tujuannya membangunkan Rio.
“gue mau ketemu Ify!” lirih Rio tak mempedulikan pertanyaan Gabriel, bahkan rasa sakit yang menderanya.
“dia ada di ruang musik, nunggu elo.” Sela Shilla yang mengerti Gabriel tak akan tega membiarkan Rio pergi.
Tanpa menunggu apapun lagi, Rio bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan tertatih karena sembari menahan sakit menuju sebuah tempat yang baru saja Shilla katakan padanya. Tak peduli lagi dengan keadaannya sendiri, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana bertemu Ify dan mencurahkan semua rasa rindunya.
Gabriel dan Shilla hanya mengikutinya dari belakang sambil berusaha memastikan jika Rio akan tetap baik-baik saja.
***
Ruangan ini kembali menjadi saksi bisu terpendarnya kembali senyum di wajah Rio, walaupun saat ini senyum itu harus terlukis di bibirnya yang begitu pucat, namun tidak terelakkan jika rona bahagia benar-benar tergambar dari sorot matanya saat mendapati sosok Ify yang sedang duduk manis di kursi piano.
“Ify!” seru Rio walaupun dengan suaranya yang masih sedikit parau sambil berlari menyongsong Ify yang sudah berdiri menyambutnya.
Air muka Ify juga seketika berubah saat mendapati Rio berdiri di ambang pintu. Ia segera berdiri menyambut pangerannya.
“aku kangen kamu, Fy!” ucap Rio sambil memeluk Ify erat-erat, seakan tak ingin lagi terpisah.
“aku juga.” Balas Ify sambil membalas pelukan Rio.
Sivia memilih diam menyaksikan adegan romantis di hadapannya, tak ingin mengganggu sedikit pun. Ada satu rasa haru melihat adegan yang disuguhkan Rio dan Ify, ada rindu yang begitu besar di sana yang terpancar dari keduanya. Setitik air bening mengalir dari sudut mata sipitnya, wujud keterharuannya, air yang sebening dan setulus doanya untuk sang sahabat agar terus bisa berada di dalam dekapan sang kekasih.
Dengan sedikit mengendap-endap, Sivia meninggalkan keduanya keluar ruangan agar mereka lebih bebas berbicara dari hati ke hati dan menumpahkan semua rasa rindu mereka.
“kamu baik-baik aja kan?” tanya Rio setelah melepas pelukannya seraya menyibak poni yang jatuh bebas menutupi kening Ify.
Ify hanya mengangguk pertanda jika ia dalam keadaan baik-baik saja. Seketika itu pula ia terkesiap menatap wajah Rio yang nampak begitu pucat.
“harusnya aku yang tanya, kakak baik-baik aja? Kok pucet banget?” tanya Ify sedikit panik sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi Rio. Memang tak terlalu panas, tapi wajah Rio tak bisa berbohong jika ia tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini.
“gara-gara kangen sama kamu ini, jadi sebentar lagi juga sembuh.” Tak berniat membohongi Ify yang sudah menatapnya dengan curiga, Rio hanya berseloroh. Kembali ia memamerkan senyumannya yang tetap saja masih terlihat sangat manis di mata Ify.
Rio diam sejenak, mencoba menaha rasa sakit yang tiba-tiba menghantam perutnya lagi.
“errghh..”ia kembali mengerang kecil sambil memegang perutnya. Batinnya merutuk kenapa rasa sakit itu kembali muncul di saat yang tidak tepat seperti saat ini, setidaknya bisa ditunda setelah ia bertemu Ify.
“kakak kenapa?” tanya Ify yang semakin dilanda kepanikan.
Rio menggeleng sambil berusaha tersenyum untuk menenangkan Ify. Salah satu tangannya yang terbebas –tidak memegang perutnya- ia gunakan untuk menarik pergelangan tangan mungil Ify perlahan untuk duduk di bangku yang sebelumnya sudah Ify duduk bersama Sivia.
“kenapa kamu mau ketemu aku? Yah.. selain kangen, ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Rio membuka pembicaraan karena tak ingin membuang-buang waktu.
Ify menerangkan dugaannya dengan Sivia tetang perselisihan abadi keluarga Haling dan Umari pada Rio dan mencoba bertukar pikiran dengan kekasihnya itu.
“bisa jadi! Tapi apa itu?” tanggap Rio setelah Ify bercerita panjang lebar.
“itu yang harus kita selidiki!”
“aku rasa hal pertama yang harus kita lakukan adalah membatalkan pertunangan kamu dengan Alvin, aku nggak akan bisa liat kamu jadi milik orang lain.” Rajuk Rio sambil menggengam erat tangan Ify kemudian mengecupnya lembut. “satu-satunya nama yang boleh terukir di cincin yang melingkar di jari manis kamu adalah nama aku.” Lanjut Rio mantab sambil mengenakan sebuah cincin yang baru saja diambilnya dari saku celana seragamnya pada jari manis tangan kiri Ify.
Ify ternganga melihat tindakan Rio yang begitu tiba-tiba. Sebuah cincin emas putih yang begitu cantik kini melingkar di jarinya. Kilauan bias cahaya lampu semakin mempermegah desain perhiasan mungil itu.
“cincin almarhum mama aku, aku mohon kamu jaga baik-baik sampai aku memasang cincin dengan ukiran namaku sebagai penggantinya.” Mohon Rio. “anggap itu pengikat kita.”
“apa yang akan kamu lakukan untuk membatalkan pertunangan itu?”
“kamu tenang, itu udah aku pikir baik-baik.” Jawab Rio sambil tersenyum dan memegang kedua pipi Ify.
Ify mengalihkan wajahnya ke arah lain tak berani menatap mata Rio. Tak ingin tenggelam lagi terlalu jauh dalam kilatan mata teduh itu. Mata yang selalu mampu menjeratnya dan melumpuhkan akal sehatnya.
Rio mendengus sambil tersenyum simpul kemudian melingkarkan tangan kanannya di pinggang Ify. Menarik tubuh mungil gadisnya itu dengan lembut agar semakin merapat padanya. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Ify sembari memejamkan matanya.
Dengan posisi ini wangi tubuh Ify dapat dengan leluasa memenuhi seluruh rongga pernafasannya. Bak sebuah zat halusinogen yang mampu membawa khayalannya melayang jauh ke awang-awang, membebaskannya dari setiap beban masalah yang menindihnya. Rasa sakit yang menderu di rongga perutnya terus ia acuhkan, selama berada di samping Ify, Rio yakin semuanya akan tetap baik-baik saja.
Ify diam terkesiap setiap merasakan hembusan nafas Rio menerpa permukaan kulitnya. Tak seperti biasanya saat bersama Rio ia merasakan jatungnya berdegub lebih cepat, saat ini justru ia merasakan jantungnya hanya sesekali berdetak dengan kekuatan yang tidak wajar. Darahnya mendesir hebat. Dan Ify juga yakin jika saat ini pasti wajahnya berwarna merah padam.
“kak Rio..” panggil Ify pelan.
“hmm..”
“em..” sedikit ragu Ify mengungkapkan maksudnya. Sensasi yang baru dirasakannya saat ini membuatnya sedikit tidak nyaman membiarkan Rio terus bersandar di bahunya.
“sebentar, aku capek.” Ucap Rio seakan mengerti maksud Ify dari bahasa tubuh gadisnya itu yang mulai sedikit beringsut darinya. Ia semakin mengeratkan rengkuhannya pada Ify. Mau tak mau Ify hanya bisa mengikuti kemauan Rio. Perlahan ia membelai pipi Rio dengan penuh perhatian.
Diam, hanya diam dan diam yang Rio dan Ify lakukan, karena hanya dalam kesunyian itu ada kedamaian dari lagu cinta yang berkumandang di hati mereka masing-masing. Berharap waktu tak akan pernah berlalu dan mereka membuktikan pada dunia cinta lah yang memegang tahta atas segalanya.
***
Di luar ruang musik, Shilla, Sivia, dan Gabriel memilih duduk dalam diam pada bangku kayu panjang yang tersedia. Gabriel terus menggerakan kedua kakinya tak tenang, sementara Shilla masih terus merangkul kekasihnya itu memberi berusaha memberi ketenangan.
Di tempatnya, Sivia menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit di ulu hatinya melihat kemesraan pangeran pujaannya dengan sang kekasih. Ia sadar saat ini bukan waktu yang baik untuk menumpahkan semua perasaannya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain agar rasa sakit yang ditanggungnya tidak semakin menjadi.
Dugaannya salah saat melihat sosok yang paling dihindari oleh mereka semua muncul dari ujung koridor sambil menyembunyikan kedua telapak tangannya di balik celana seragamnya, jelas ia sedang menuju ke tempat dimana Sivia, Gabriel, dan Shilla menunggu Rio dan Ify.
Mata sipit milik Sivia membulat untuk memastikan bahwa sosok yang ia lihat benar-benar Alvin.
“Alvin!” pekik Sivia tertahan karena dengan segera ia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.
Jarak mereka yang terlalu dekat membuat Gabriel dan Shilla dapat mendengar jelas pekikan Sivia. Spontan mereka menoleh ke arah yang dilihat Sivia.
“shit! Mau apa lagi dia?” umpat Gabriel geram. Ia menghela nafas menetralkan emosinya agar dapat menghadapi kearoganan seorang Alvin dengan kepala dingin.
“hey! Lo, you look like a dump ass, bro!” cibir Alvin sambil melirik Gabriel tajam. Ia berdiri tegap di hadapan tiga orang yang sedang memandangnya geram dengan raut tak bersalah sedikitpun.
Gabriel menarik ujung kanan bibirnya membentuk sebuah senyuman meremehkan. Ia beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Alvin sambil menatap pria bermata sipit itu menantang.
“setidaknya gue punya perasaan, lo tau? Lo bahkan lebih buruk dari seekor keledai bodoh!” balas Gabriel sambil menahan emosinya.
“lo bisa jelasin dimana kebodohan gue?” tanya Alvin tenang sambil mendekati Shilla. Perlahan dibingkainya wajah cantik milik kekasih lawan beradu mulutnya itu dengan ujung jarinya. Sedikit demi sedikit ia mendekatkan wajahnya pada wajah Shilla yang sudah terdiam ketakutan dan...
BUG!
Kepalan tangan Gabriel yang sudah mengeras sejak melihat sosok Alvin tadi kini melayang mulus di pipi Alvin. Ia mungkin masih bisa menahan emosinya saat Alvin mencibirnya, namun ia tak bisa terima dengan perlakuan Alvin pada gadisnya.
Alvin tersenyum penuh kemenangan sambil mengusap kasar darah yang mengalir dari ujung bibirnya dengan ibu jarinya.
“itu yang gue rasain sekarang! Gue dan Rio punya rasa yang sama untuk Ify, hanya Rio lebih beruntung karena rasa dia terbalas, bukan terlihat seperti seorang pecundang seperti yang gue rasain!” Alvin memulai monolognya, memberi argumen dan sanggahan atas apa yang ia lakukan selama ini. “lo bilang gue nggak punya perasaan? Jutru karena perasaan gue buat Ify yang buat gue kaya gini!”
Gabriel terdiam mendengarkan penjelasan Alvin. Alvin laki-laki, ia pun juga. Dengan mudah ia dapat mencerna penjelasan Alvin, yang mungkin bila saat ini ia tidak berdiri atas dasar rasa kesetiakawanannya pada sang sahabat sejati, ia akan memberi penghargaan tertinggi untuk pemikiran Alvin dan perjuangan pria itu atas cintanya.
“gue sebut ini pengorbanan dan perjuangan cinta yang gue dan Rio lakukan untuk Ify.” Lanjut Alvin tanpa emosi yang terdengar lagi. “kalau suatu saat nanti gue kalah sama Rio, gue bersumpah akan mengakuinya dan merelakan Ify sepenuhnya.”
Seakan kehabisan kata-kata, Gabriel hanya beringsut mundur kembali ke tempat duduknya kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam.
***
Kedamaian yang sebelumnya tercipta pecah begitu saja saat Rio tiba-tiba mengerang hebat dan menjauhkan tubuhnya dari Ify, membungkuk dan mencengkeram perutnya kuat-kuat. Rasa sakit yang benar-benar tak bisa ditahannya dan kini disertai rasa mual.
“kak, kakak kenapa?” tanya Ify panik seraya menyeka peluh yang mengalir deras di pelipis Rio.
“sakit..” rintih Rio terbata. “hoek..” Rio menumpahkan isi perutnya yang sudah tak sanggup lagi ditahannya.
“kak Rio, darah!” pekik Ify ketakutan melihat ternyata yang dimuntahkan Rio adalah darah.
Dengan keadaan panik, Ify berlari keluar meninggalkan Rio untuk mencari bantuan. Ruangan itu kedap suara, percuma saja jika ia hanya berteriak.
Ify menarik kasar knop pintu besar ruang musik.
“kak Iel! Tolong kak Rio!!” seru Ify dengan air mata yang mulai berlinangan.
Melihat begitu paniknya Ify dan mengingat keadaan Rio sebelumnya, Gabriel segera berlari memasuki ruang musik tanpa mempedulikan Ify yang segera ditenangkan oleh Alvin. Tanpa menunggu komando Shilla segera mengikuti Gabriel.
“Rio!” pekik Gabriel saat menemui Rio dengan kesadarannya yang mulai menurun. “lo tahan, Yo! Kita ke rumah sakit!” lanjutnya sambil memapah Rio. Karena sudah kehabisan tenaga, Rio hanya bisa mengikuti perintah Gabriel.
Di ambang pintu, dengan sisa-sisa tenaganya Rio mencoba menegakkan tubuhnya sambil memaksakan seulas senyuman dibibirnya untuk Ify yang sedang menangis tak tega melihatnya.
“aku.. nggak papa, aku pasti tepati janji aku.” Ucap Rio lirih. Sedetik kemudian ia menatap Alvin yang masih memegang kedua bahu Ify yang bergetar hebat dengan tatapan tak terbaca.
“ck! Banyak omong lo! Yel, cepet bawa dia, gue yakin dia tidak dalam keadaan baik, gue nggak mau menang semudah ini!” sergah Alvin.
Hal yang hampir dilupakan Gabriel. Tanpa pikir panjang lagi Gabriel segera memaksa Rio menuju mobilnya.
***
Hampir satu jam berlalu sejak Rio memasuki instalasi gawat darurat di rumah sakit yang tak jauh dari sekolah. Gabriel dan Shilla yang masih setia menemani kekasihnya masih menunggu di ruang tunggu yang begitu sunyi siang ini.
“Yel, kamu sayang banget ya sama Rio?” tanya Shilla yang sudah benar-benar tak tega melihat Gabriel begitu kacau.
“dia udah aku anggep adik kandung aku, Shil, kamu bayangin, hampir seumur hidup kita sama-sama.” Jawab Gabriel lirih.
“kamu tenang ya, aku yakin Rio akan tetap baik-baik saja, mana mungkin seorang Mario yang angkuh itu mau menyerah begitu saja cuma karena penyakit maag?”
“dokter udah mengingatkan berkali-kali soal penyakit yang kamu bilang cuma itu, mama Rio meninggal karena kanker lambung, dengan gejala awal sama seperti Rio, masih kamu bisa bilang cuma?”
“kamu nggak berharap Rio mengalaminya juga kan? percayalah pada hal yang positif!”
Gabriel tidak lagi menanggapi Shilla, emosinya sedang labil saat ini, ia hanya takut akan mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak pantas ia ucapkan pada gadisnya itu.
Tak lama kemudian, seorang dokter muda keluar dari balik pintu sambil melepaskan kacamata tanpa framenya. Tanpa membuang waktu, Gabriel menghampiri dokter itu untuk menanyakan keadaan Rio.
“saya belum tau pasti, yang jelas Mario perlu banyak istirahat, dia harus dirawat.” Jelas dokter itu kemudian berpamitan dan meninggalkan Gabriel serta Shilla kembali ke ruangannya.
***
Hari sudah beranjak malam, Ify masih berdiri di balkon kamarnya dengan perasaan gelisah sambil menatap kosong pada langit yang mulai beranjak gelap. Ingin sekali saat ini ia menemani Rio dan merawatnya dengan tangannya sendiri, namun apa dayanya, larangan sang ayah membuatnya tak mampu berbuat apapun, bahkan ia tak tahu sama sekali bagaimana keadaan kekasihnya itu saat ini.
“Fy, Rio baik-baik aja, gue dapet kabar dari Gabriel.” Kata Alvin yang baru saja memasuki kamar Ify dan menjumpai gadis itu.
“apa peduli lo?” tanya Ify tajam.
“yang jelas gue bukan orang sebusuk yang elo pikir.” Jawab Alvin. Sedetik kemudian ia membalik tubuhnya dan meninggalkan Ify seorang diri.
Ify kembali menghela nafas, mencoba menahan air matanya yang sudah menggenang agar tidak jatuh berlinang. Sudah cukup banyak air mata yang ia buang hanya untuk meratapi nasibnya selama ini.
Sebuah mobil mewah milik sang ayah yang mulai memasuki garasi membuat sebersit pemikiran terlintas di benak Ify. Ia harus segera mencari kejelasan benar atau tidaknya hal yang ia pikirkan bersama Rio dan Sivia pagi tadi. Rasa takut saat berhadapan dengan sang ayah begitu saja menguap, ia segera berlari menemui ayahnya.
***
Dengan gurat kelelahan yang begitu terukir di wajahnya, pak Tama mendudukan dirinya pada sofa mewah yang teronggok di ruang keluarga istana besar milik keluarga Umari ini.
“pa..” panggil Ify.
Pak Tama menoleh ke sumber suara yang menyapanya dan mendapati putri kesayangannya sedang menatapnya serius.
“apa?” tanggap pak Tama dengan urat-urat di wajahnya yang sudah sedikit mengendur.
“maaf, boleh Ify tau kenapa Ify nggak boleh melanjutkan hubungan Ify dengan kak Rio?” tanya Ify yakin.
“papa sudah bilang, Haling itu seteru keluarga kita!” jawab pak Tama tegas.
“bohong! Pasti nggak semuanya karena itu!” sanggah Ify dengan nada sedikit keras. “bukankah kalau Ify dan kak Rio bersatu kalian akan lebih berjaya? Kenapa pa?”
“Rio pasti tak kalah brengsek dengan ayahnya! Setelah dia dapat apa yang dia mau dari kamu, kamu hanya akan dicampakkan! Sama seperti tante Ira!” jawab pak Tama keras. Emosinya benar-benar terpancing dengan kata-kata Ify yang terang-terangan menantangnya.
“Rio nggak kaya gitu, Pa!” balas Ify tak mau kalah, tak juga kalah keras dengan sang ayah.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Ify. Bekas tangan sang ayah kini menempel pada pipi putihnya.
Air mata Ify akhirnya mengalir. Tak percaya ayahnya sendiri melakukan hal itu padanya. Dengan perasaan kalut dan begitu kecewa, Ify berlari ke kamarnya dan mengurung diri.
bersambung...
oiya.. nama twitter saya @missSari follow yak hehe..
kritik, saran dan wejangan selalu dinanti, makasih yang udah sempet mampir ke sini, makasih yang lebih buat yang udah baca, yang copycat semoga diampuni dosanya (?) wasalam. :)
Langganan:
Postingan (Atom)