tapi daripada basi di laptop ya mending aku post di lain part aja. iya gitu. nggak jelas ya? ya udah sih.. baca aja. wkwkwk...
-----
Seorang pria kecil
dengan susah payah menaiki tempat tidur king size yang
diselimuti bed cover berwarna krem. Ia sudah jatuh
berkali-kali karena yang ia panjat terlalu tinggi, namun ia tetap tak
mau menyerah begitu saja. Sekarang separuh badannya sudah ada di
atas, pekerjaan mudah untuk mengangkat kakinya. Dengan riang gembira
bocah dua tahun itu merangkak ke arah gundukan selimut tebal di
tengah tempat tidur.
“Pa...” seru bocah
itu, tangan mungilnya menarik selimut yang menutup penuh tubuh
seseorang hingga ke ujung kepala dengan sekuat tenaga. “Pa...”
ulangnya lagi karena tak berhasil mendapat perhatian. Usahanya
berhasil menarik kain tebal yang begitu berat untuknya hingga ke dagu
laki-laki yang masih memejamkan matanya dengan tenang.
“Papa...” sekali
lagi, dengan begitu gemasnya anak itu berteriak. Kali ini dengan
usaha menepuk-nepuk pipi sang ayah.
Pria dewasa yang baru
saja mendapat serangan fajar perlahan membuka kelopak matanya.
Amarahnya yang sempat terkumpul karena tidur nyenyak yang jarang ia
dapatkan selama lima hari kerja terganggu langsung musnah begitu saja
saat melihat putranya terkekeh bahagia karena tujuannya untuk
mendapat perhatian tercapai. Dua tangan mungil nan lembutnya kini
beralih pada bibir dan hidung sang ayah. Mata pria kecilnya nampak
hampir hilang ditelan pipi gembul putihnya, benar-benar seperti
bakpao hidup siap makan.
“Arjuna Haling, kamu
kemana, Sayang?” sebuah suara halus melengking tinggi dari luar
kamar membuat sang ayah menegakkan tubuhnya dengan bantuan kedua
sikunya kemudian duduk berhadapan dengan putranya.
“Heh, tuan muda
Haling, kamu kabur lagi dari mamamu?” walau masih dengan suara
parau, pria tadi berakting marah. Arjuna, nama si bayi, mengedipkan
kelopak matanya yang mulai sayu seolah mengerti apa yang dikatakan
ayahnya. “Ya, Tuhan. Kenapa mamamu mewariskan jurus menyebalkan
itu?” dengusnya. Jurus puppy eyes Arjuna mirip sekali dengan
Ify, membuatnya tak pernah tega untuk marah. “Aku bercanda.”
ucapnya kemudian. Kedua tangan kekarnya terulur untuk memindahkan
tubuh mungil Arjuna ke pangkuannya. Tak puas, ia menggamit tubuh itu
dan menerbangkannya ke udara, sampai perut buncit nan menggemaskan
Arjuna berada tepat depan wajahnya yang kemudian ia tenggelamkan di
sana, bergerak kiri-kanan dengan cepat membuat balita itu tergelak.
Seorang wanita
menyandarkan bahunya di daun pintu, melihat aktivitas padi dua orang
pria yang paling ia cintai di dunia. Senyum tipis terukir di
wajahnya. Ia adalah wanita paling bahagia di dunia karena Rio dan
Arjuna percaya padanya untuk mendampingi setiap langkah mereka.
“Arjuna! Papamu butuh
istirahat!” wanita tadi mengomel setelah mengingat apa tujuannya.
Ia tak pernah tega membangunkan Rio saat weekend seperti ini,
pekerjaannya benar-benar menguras waktu, bangun pagi dan pulang larut
malam selama lima hari penuh. Tapi sepertinya putranya tak pernah
peduli, bisa dimengerti karena waktunya dengan sang ayah sangat
minim, ia pasti merindukannya, sama seperti dirinya. Wanita itu
bergerak naik ke tempat tidur, duduk di sebelah laki-laki yang sudah
resmi menjadi suaminya sejak tiga tahun lalu. “Kamu benar-benar
seperti papamu, tidak tahu aturan. Suka kabur sembarangan.” Ucapnya
sambil menciumi pipi tembam anaknya.
Selain fisiknya yang
benar-benar miniatur Rio, matanya, bibirnya, lekukan wajahnya. Kata
Krishna Haling, ayah mertuanya, Arjuna benar-benar seperti Rio kecil
dulu. Tapi kata Sivia, Arjuna beruntung karena mewarisi hidung bangir
ibunya. Sahabatnya itu bilang, saat SMA nanti Arjuna pasti akan jauh
lebih tampan dari ayahnya. Semakin besar, ternyata anak itu mewarisi
sifat sang ayah juga. Ify sadar penuh akan hal itu. Arjuna suka
berbuat sesukanya, pergi kemana pun dia mau, perlu tenaga ekstra
untuk menjaga balita itu sejak ia bisa merangkak. Dan lagi, Arjuna
pantang menyerah, apa yang ia inginkan mutlak harus terjadi. Diktator
kecil. Tapi ia sama sekali tak keberatan dengan itu. Semua yang
dimiliki Rio mengagumkan untuknya, sekarang seperti ada dua Rio.
Sungguh luar biasa bahagianya dia.
“Aku mengandungmu
sembilan bulan lebih, dan kamu tidak mirip denganku, bukankah itu
curang?” Ify menggerutu sambil mencubit gemas kedua pipi Arjuna.
Hanya candaan tentu saja.
“Aku selalu menang.”
Rio menyela dengan raut tengil yang selalu membuat Ify sebal. Dulu ia
kira ekspresi itu hanya topeng, ternyata memang bawaan lahir dan
tidak bisa dihilangkan, bahkan setelah belasan tahun mereka bersama.
“Kamu belum mandi, Arjuna? Baiklah, kita mandi berdua.” Rio yang
masih dengan Arjuna dalam gendongannya melompat turun dari tempat
tidur.
Ify tak acuh. Ia memilih
untuk membereskan tempat tidur mereka. Memang sudah seperti itu
rutinitas Rio dan Arjuna setiap pagi. Waktu Rio yang seakan tak cukup
dua puluh empat jam harus digunakan sebaik-baiknya. Mencuri waktu
untuk bersama dengan putranya untuk aktivitas-aktivitas kecil seperti
itu, dan aktivitas-aktivitas lain yang tidak lazim menurut orang
kebanyakan harus menjadi umum karena Rio yang melakukan. Pria itu
selalu benar. Ify tahu benar Rio tak mau kehilangan momen melihat
jagoannya tumbuh. Rio sangat membanggakan Arjuna. Sepertinya memang
sudah menjadi adat raja-raja bisnis untuk memanjakan putra
mahkotanya. Enam puluh jam seminggu, belum lagi kunjungan kerja
kemana-mana. Ia pasti pingsan jika melakoni sendiri, stamina kuda
suaminya itu sangat berguna sekarang. Ia bahkan jarang melihat pria
itu kelelahan.
Samar ia mendengar Rio
bersenandung I Don’t Want to Miss a Thing milik Aerosmith
disusul dentaman ringan dari pintu kamar mandi yang tertutup
menandakan mereka berdua sudah selesai mandi. Ify berbalik mendapati
Rio yang hanya dibalut handuk hitam dari pinggang hingga lutut,
dengan rambut basah yang tetesan-tetesan airnya mengalir melewati
bahu kokoh dan dada bidangnya. Pemandangan yang sebetulnya sudah
ribuan kali ia lihat, namun seperti tenggelamnya sang surya, tak
sekalipun indahnya berkurang. Dan Arjuna yang digendong dalam posisi
duduk menghadapnya membuat Rio benar-benar terlihat gentle.
Putranya itu tadi kabur karena tidak mau dimandikan olehnya, dan
sekarang ia nampak begitu bahagia dan lulut pada ayahnya. Kompak
sekali mereka.
“Kamu sudah mandi? Dua
jam lagi kan pernikahan Gabriel dan Sivia?” tanya Rio, tak ambil
pusing dengan Ify yang hanya berdiri mematung saat melihatnya.
Hatinya tersenyum kecil, dengan cara itu ia bisa memastikan jika
masih hanya dia yang ada di hati wanita itu, dan harus selalu begitu.
Dengan raut geragapan
yang tak bisa ia sembunyikan, Ify menggeleng. Apa-apaan Rio ini,
masih saja berhasil membuatnya seperti gadis SMA. Selalu memuja
laki-laki itu seperti seorang dewa dari Yunani.
“Kamu siap-siap! Aku
yang mengurus Arjuna.” perintah Rio sambil mengeringkan rambut
Arjuna dengan handuk putih kecil. Ify mengangguk pasrah. Tak perlu
meragukan ketrampilan Rio untuk merawat bayi.
•
Dada Ify menghangat saat
mendapati Rio sedang sibuk memakaikan dasi kecil di leher Arjuna.
Mereka berdua nampak begitu tampan dengan stelan jas silver
yang berpotongan benar-benar mirip, Rio sendiri yang menyiapkannya.
Dari ujung rambut, keduanya memakai model spyke dengan gel
yang membuat jabrik-jabrik mereka berkilau, tak kalah berkilaunya
dengan phantopel hitam yang mereka kenakan. Rio sepertinya
ingin mengumumkan jika ia sudah memiliki hasil scan sampai
dandanan mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki sama. Mereka
tersenyum bersamaan saat menyadari wanita yang paling mereka cintai
sedang memperhatikan. Ya Tuhan, bahkan senyuman mereka berdua sama.
Ify bisa membayangkan beberapa tahun lagi akan ada banyak gadis yang
gila karena putranya, seperti ia dulu pada Rio.
“Ada apa, Fy?” tanya
Rio membaca ada sedikit gurat kecemasan di wajah sang istri.
“Rit-nya susah naik.
Macet, mungkin.” jelas Ify sambil menggigit bibir bawahnya. Ia baru
ingat tujuannya mencari Rio adalah untuk membantunya menaikan rit di
bagian belakang gaun silver-nya. Rio hanya membulatkan
bibirnya, kemudian bergerak ke mendekati Ify yang sudah membalik
tubuhnya.
Rio menelan ludahnya
saat Ify menyingkirkan rambut panjangnya dari bahu kiri, menyampirkan
semuanya ke bagian kanan yang otomatis membuat leher jenjang yang
dibalut kulit serupa porselen milik wanitanya terekspose. Ditambah
gaun yang dikenakan Ify kali ini hanya disangga tali spageti membuat
bahu indah Ify terpampang jelas. Harum jasmine yang selalu
membuat otaknya kosong juga sudah berekspansi ke paru-parunya. Kalau
saja Arjuna tidak terus bergumam tak jelas ia pasti akan lupa
daratan.
“Ini nggak macet, kamu
yang gendutan.” komentar Rio tanpa dosa setelah berhasil menunaikan
tugasnya dengan sedikit usaha lebih. Langsung mendapat hadiah cubitan
maut milik Ify di pinggangnya, ia meringis kesakitan.
“Tidak sopan!” umpat
Ify sambil mengerucutkan bibirnya dan bersedakap.
Rio tertawa. “Tapi aku
suka. Kamu tambah errr... seksi.”
“Gombal!” Kali ini
pukulan kecil Ify mendarat di dada Rio, wanita itu menunduk
menyembunyikan rona merah pipinya. Ia tahu Rio tak pandai menggombal,
dan kenyataan itu tak pernah membuatnya berhenti tersipu dengan
setiap kata-kata Rio tentangnya. “Kalau aku jadi gendut kamu masih
sayang?” tanyanya ragu. Entah. Ia menjadi sangat ingin
menanyakannya saat ini.
“Ada pertanyaan yang
lebih bermutu, nyonya Haling?” Rio mendengus. Ia tak suka
diragukan, apa lagi dengan hal yang orang bodoh saja tahu jawabannya.
“Jawab saja!”
“Kamu satu-satunya
wanita yang membuatku gila. Kamu tahu? Orang gila tak pernah peduli
dengan bentuk sesuatu yang diinginkannya. Yang jelas dia harus
mendapatkan yang dia mau. Seperti aku mau kamu.” Rio tersenyum
hangat. Membuat Ify ikut tersenyum setelah melihat kejujuran penuh di
mata suaminya. Dan senyum itu tetap senyum terbaik yang ada di dunia,
errr... tapi sepertinya tidak lagi setelah Arjuna lahir.
Rio mengankat dasinya di
hadapan wajah Ify. Ify langsung paham jika Rio ingin ia
memakaikannya. Sampai sekarang pun, Rio masih sulit mengucap kata
tolong. Bossy bawaan lahir.
Selesai
melaksanakan tugasnya, tangan kiri Ify menangkup wajah Rio, tangan
kananya meraba lekukan siku rahang suaminya, dada, hingga ke perut
pria itu. Otot-otot yang begitu kokoh dan tak pernah membuatnya
berhenti haus. Wanita itu tersenyum mengingat bisik-bisik karyawati
Rio di kantor yang membicarakan kegagahan suaminya, mencoba menebak
berapa kotak yang tercetak di abdomennya. Kalau saja ia tak berhasil
mengendalikan diri, ia akan berteriak dengan sombongnya pada mereka,
ada enam, indah sekali, aku bisa melihatnya bahkan menyentuhnya
setiap hari dan kapanpun aku mau.
“Kamu
menyukainya?” tanya Rio dengan bangganya.
“Sangat!”
“Kalau
aku tua nanti, rambutku sudah putih, perutku buncit, kamu masih tetap
menyukainya?”
“Tidak
ada pertanyaan yang lebih bermutu, tuan Haling?”
Rio
tertawa. Bumerangnya sudah berbalik. “Jawab saja!”
“Kamu
satu-satunya laki-laki yang membuatku gila. Kamu tahu? Orang gila tak
pernah peduli dengan bentuk sesuatu yang diinginkannya. Yang jelas
dia harus mendapatkan yang dia mau. Seperti aku mau kamu.”
Dengusan
kasar keluar dari hidung Rio. “Tidak kreatif.”
“Melihat
ayahmu yang masih tampan di usia sekarang, rasanya aku tidak perlu
khawatir.” Ify membalas disusul sebuah ciuman ringan di pipi
suaminya. Kemudian ia beranjak menghampiri Arjuna dan menggendong
balita yang masih tampak terheran-heran dengan kelakuan kedua orang
tuanya. “Bawakan tasku!” perintahnya sambil beranjak keluar
kamar. Mau tak mau Rio menurut untuk meraih tas tangan sewarna jasnya
yang tergeletak di tempat tidur ditinggal pemilik sahnya.
•
Jalanan
kota begitu lengang seperti weekend-weekend biasanya saat
orang-orang libur dan memilih menghabiskan waktu mereka untuk
bermalas-malasan di rumah. Keadaan yang membuat Rio mempunyai
kesempatan untuk melihat wanitanya yang sedang bercengkerama riang
dengan putranya di jok samping kemudi. Dua orang yang paling berharga
di dunia untuknya nampak begitu gembira. Saat-saat seperti ini
benar-benar membuatnya merasa seperti pria paling beruntung.
Pekerjaannya mapan, dirut perusahaan besar di negeri ini, istri
cantik yang begitu mencintainya dan seorang anak laki-laki tampan
yang begitu menggemaskan yang selalu menjadi suplemennya. Ia ingin
selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Dia bahagia, sangat
bahagia. Rasanya Sang Maha Hidup memberikan hasil yang berlebihan
dari usahanya dulu. Ini jauh lebih baik dari bayangannya.
“Aku
dengar kamu kemarin bertemu ayahku.” suara Ify memecah hening
antara ia dan Rio. “Ada apa?”
“Masalah perusahaan.
Beliau mau aku yang mengelola Umari corp.” Rio diam sejenak
untuk menambah transmisi kecepatan mobilnya. “Padahal aku sudah
bilang berkali-kali, aku cuma mau mengurus dan bertanggung jawab atas
anak dan cucunya, tidak untuk perusahaannya.” lanjutnya.
Ify tertawa kecil. Alibi
Rio kali ini terdengar sangat dramatis, tidak terlalu logis seperti
biasanya.
“Semua yang aku punya
sekarang sudah lebih dari cukup. Dan lagi, apa serunya bisnis tanpa
saingan sehebat ayahmu?”
“Terus?”
“Aku berharap beliau
sehat sampai Arjuna siap mengelola perusahaan. Semua itu milik
Arjuna, bukan milikku.”
Kesederhanaan Rio tidak
pernah berubah. Pria itu tidak pernah silau dengan harta dan
kekuasaan tanpa lupa berkerja keras untuk mendapat kelayakan. Manusia
mana lagi yang mau menolak dengan tegas jika diberi kuasa untuk
perusahaan sebesar Umari corp selain Rio?
Ify mencengkeram lembut
pundak mungil putranya. Bahu-bahu dengan beban berat yang menantinya
di masa depan, perusahaan warisan kedua kakeknya dan milik sang ayah
menunggu uluran tangannya. Wanita itu sedikit ngeri membayangkan hal
itu, apa lagi jika mengingat bagaimana Rio dulu yang hampir seperti
robot bernyawa karena obsesi ayahnya dan tanggung jawab besar yang
diemban anak semuda itu. Walaupun ia tahu Arjuna anak yang kuat,
sebagai seorang ibu ia tak ingin putranya merasakannya juga. Bukan ia
ingin menyangsikan Rio, tapi bagaimanapun ia sangkal, Rio tetap
seorang diktator yang akan melakukan apapun untuk apa yang ia
inginkan.
Rio dapat membaca
kegusaran Ify, tangan kokohnya terulur untuk menggenggam jemari Ify
yang masih ada di pundak Arjuna.
“Aku tak akan memaksa
Arjuna.” Rio mulai menjelaskan dengan suara lembutnya. “Aku tahu
sakitnya, dan aku tak mau anakku merasakannya juga. Arjuna tak akan
jadi alatku, kamu harus percaya padaku, dan juga Arjuna.”
Penjelasan Rio membuat
dada Ify lega, sesaknya menguap begitu saja. Dibalik sikap seakan
acuhnya, Rio bisa mengertinya lebih dari siapapun di dunia. Dan
seharusnya ia tak pernah meragukan suaminya itu.
“Aku dan Arjuna akan
menjadi partner yang hebat di masa depan. Kamu bisa bayangkan itu?
Ini cuma seperti main monopoli, Fy.”
“Monopoli yang selalu
membuatku mual saat mencoba memaikannya.” gerutu Ify yang kini
sudah kembali rileks memainkan bebek-bebekan untuk Arjuna.
“Kamu tahu apa
alasanku tidak memarger Haling Corp dan Umari Corp
sekarang?” tanya Rio sambil menoleh kepada Ify karena
rambu-rambu lampu merah yang menghentikan perjalanan mereka.
Ify menggeleng. Hal itu
yang selalu menjadi pertanyaan di benak Ify. Seharusnya akan lebih
mudah untuk Rio mengelola keduanya jika disatukan seperti yang telah
suaminya itu lakukan pada perusahaannya sendiri dan Haling corp.
Tapi Rio tak pernah mau melakukannya padahal ayahnya dan ayah Rio
sudah mengijikannya, bahkan mengusulkan.
“Itu tugas Arjuna. Dia
yang berhak penuh.” penjelasan Rio terhenti sejenak karena
trafficlight sudah menyala hijau. “Dia yang punya darah
Haling dan Umari sekaligus. Dia bukti nyata cuma cinta yang akan
menghancurkan kebencian.”
Cairan bening mulai
menggenang di pelupuk mata Ify, siap jatuh kapan saja. Bisa-bisanya
ia lupa dengan hal penting itu. Dulu semua orang beranggapan jika
Haling dan Umari bisa disubstitusikan dengan air dan minyak, tidak
bisa menyatu. Tapi ia dan Rio berhasil membuktikan jika dua zat itu
bisa menyatu. Cinta seperti senyawa asam yang membuat keduanya
bersatu. Dan cinta itu berbuah nyata: pria kecil tampan yang ada di
pangkuannya punya dua darah angker itu. Dan itu tidak mustahil.
“Kenapa tidak kak
Cakka?” Ify mencerca.
Rio tertawa. Ia tidak
lupa kakak tirinya itu juga percampuran Haling dan Umari. Tapi dia
juga pemberontak sejati. Cakka lebih memilih menepi ke Yogyakarta
untuk menjadi seniman sekarang bersama Shilla dan putri kecil mereka.
“Aku belum siap melihat dua bangunan megah itu jadi galeri seni.
Kamu tahu Cakka tidak berminat sama sekali dengan kertas-kertas itu.”
“Berarti dia lebih
normal darimu, lebih tertarik pada kak Shilla daripada laptop.”
“Kamu cemburu?”
“You wish!”
Keduanya tertawa
bersama. Setelah semua yang mereka lewati, tak ada cukup waktu untuk
meragu. Biarlah semua menjadi bahagia sisanya.
•
Ball room hotel
Hyatt disulap menjadi begitu megah dengan nuansa serba putih.
Ditambah dengan alunan musik romantis. Suasana pernikahan impian
Gabriel dan Sivia benar-benar menjadi nyata setelah hari-hari
melelahkan sebelumnya. Kisah ini juga rumit. Rio dan Ify berpandangan
setelah selesai memindai setiap detail dengan mata mereka secara
bersamaan. Keduanya tertawa. Sahabat terbaik Rio dan sahabat terbaik
Ify akhirnya bersahabat baik juga untuk menapaki lanjutan kisah hidup
mereka berdua, di mulai dari pelaminan itu. Dunia terasa begitu
sempit.
“Arjunaaa!!!”
pekikan suara nyaring yang sudah sangat dikenal oleh Ify dan Rio
membuat mereka menoleh ke sumbernya. Gadis cilik dengan rambut ikal
dikuncir dua itu sekarang sudah bermetamorfosis menjadi seorang gadis
cantik rambutnya diurai, bergerak naik turun seperti peer saat
ia berlari, high heels sepuluh centimeternya tidak mengurangi
kelincahan geraknya. Tentu saja itu perkara mudah untuk seorang model
papan atas sepertinya. Gadis itu Acha. Raissa Haling. Dibelakangnya
mengikuti seorang pemuda tampan berambut gondrong sambil menggandeng
seorang anak perempuan berusia lima tahun yang begitu cantik dan
anggun dengan gaun putih dan rambut hitam panjangnya, mirip sekali
dengan ibunya, Adodya Alona, putri Cakka dan Shilla.
Oh
ya, pemuda tadi Ray Prasetya, satu-satunya pria yang berhasil
mendapat surat izin memacari Acha setelah tes dua lapis dengan Rio
dan Cakka. Dua pria tampan itu sepertinya masih tak rela adik
tersayang mereka akan diambil laki-laki lain. Untunglah Ray bermental
baja dan pantang mundur, sampai akhirnya Rio dan Cakka menyerah
dengan setengah hati dan menyerahkan Acha untuk dijaganya. Ify dan
Shilla hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakukan konyol
suami-suami mereka yang sampai menyuruh seorang wanita cantik dan
seksi entah darimana untuk menggoda Ray. Menguji kesetiaan pemuda itu
dan akhirnya lolos karena Ray sama sekali tak menanggapi. Dan yang
paling gila adalah Cakka yang menyuruh anak buahnya dulu untuk
mencegat Ray yang sedang bersama Acha, ia ingin melihat bagaimana Ray
melindungi Acha. Dan akhirnya pemuda itu babak belur untuk melindungi
gadisnya mati-matian membuat Rio dan Cakka terenyuh. Tapi untuk acara
terakhir ini sepertinya Acha tidak tahu jika itu rencana dua kakak
gilanya. Ray tahu karena Cakka dan Rio secara gentle meminta
maaf. Tampaknya pemuda itu tidak mau merusak hubungan persaudaraan
kekasihnya. Untung Ray baik, kalau tidak matilah Rio dan Cakka.
“Kakak salaman dulu
sama kak Gabriel sama kak Sivia. Arjuna sama aku!” perintah Acha
sambil merampok Arjuna dari gendongan Rio.
Ify dan Rio hanya
menghela napas pasrah, berdoa untuk keselamatan putra mereka.
Biasanya Arjuna akan menjadi bahan buruan semua wanita yang
melihatnya dari yang seumuran sampai nenek-nenek. Sepertinya doa yang
disampaikan Rio lewat namanya sangat mujarab. Sekarang ingin
mencegahpun Acha sudah berjalan menjauh menuju meja Krishna Haling,
Safira, Cakka dan Shilla yang ada di ujung dekat panggung.
Dan benar saja,
disepanjang perjalanan Acha yang dipantau Ify dan Rio, sudah beberapa
tangan hinggap di pipi putra mereka, dan sesekali mengacak-acak
rambut yang sudah ditata sebaik-baiknya oleh Rio dengan raut begitu
gemas.
“Ini salahmu!” Ify
mendengus prihatin.
“Kenapa aku?”
“Kamu yang kasih nama
Arjuna.”
“Itu nama yang bagus.
Kamu juga setuju. Dia akan jadi ksatria yang tampan, cerdas, kuat dan
pemberani nanti.”
“Aku tidak mau anakku
menjadi laki-laki dengan lima istri seperti Arjuna.”
“Dia bukan anak Pandu
Dewanata yang punya istri lebih dari satu, dia putra Mario Haling
yang hanya akan menjadikan satu wanita sebagai ratunya. Buah jatuh
tak akan jauh dari pohonnya.”
Dan selalu. Ify akan
kalah berdebat dengan Rio sejak dulu, sejak mereka bertemu untuk
pertama kali dalam usahanya menjalankan hukuman dari Gabriel untuk
membuat sebuah arca tersenyum sewaktu MOS SMA. Kadang Ify berpikir
Rio terlalu cerdas untuknya. Ia kini hanya bisa diam, mengikuti Rio
menuju pelaminan, mengambil antrian untuk mengucapkan selamat pada
kedua mempelai dan orang tua kedua belah pihak.
Gabriel tampak begitu
tampan dengan beskap putih, begitu serasi dengan Sivia yang
benar-benar nampak seperti ratu sehari dengan kebaya berwarna senada
dengan pasangannya.
“Akhrinyaaa!!! Cinta
diam-diam lo waktu SMA sampai pelaminan, Vi!” Ify berseru setelah
sampai di depan Sivia, memeluk sahabat kentalnya itu erat-erat
diiringi tatapan Gabriel dan Rio yang sedang berangkulan.
Sivia melepas pelukan
Ify. Menghadiahi sahabatnya itu dengan tatapan mematikan karena mulut
bawel Ify yang tidak berubah telah membongkar hal yang ia anggap aib.
Kemudian seringaian kemenangan muncul di wajah Sivia setelah
menemukan hal untuk membalik keadaannya menjadi di atas angin. Mata
sipit wanita cantik itu beralih ke perut Ify. Ify menyadarinya. Susah
payah ia menelan ludah yang seperti membatu.
“Selamat juga, Sayang!
Semangat banget sih bikin penerus Haling-Umarinya?” seru Sivia
misterius, dengan nada yang tak kalah keras dengan Ify barusan.
Sukses membuat Rio dan Gabriel melotot, mencoba menebak maksud
kata-kata Sivia. Belum sampai jawabannya ditemukan, Ify sudah menarik
Rio dengan membabi buta.
“Kak Gabriel jangan
genit-genit lagi! Jagain sohib gue yang ngeselin itu!” pesan Ify
sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya menarik Rio.
“Fy, maksud Sivia tadi
apa?” tanya Rio setelah keduanya sampai di bawah panggung
pelaminan. Raut wajahnya seperti orang linglung.
“Eung.. anu.. eung...”
ucap Ify terbata. Masih bingung apa yang harus ia ungkapkan. Sivia
benar-benar merusak acaranya.
“It’s dancing
time!” suara pembawa acara membuat Ify bernapas lega.
Setidaknya ia punya alasan untuk mengulur waktu walaupun ia tak lagi
menggubris kelanjutannya.
Musik mulai mengalun.
Ify dan Rio sangat mengenal lagu ini. Membuat keduanya tersenyum dan
melupakan masalah barusan.
Looks like we made
it..
Look how far we’ve
come, my baby...
“Lagunya nyindir kita
banget sih, kak Rio.” ucap Ify dengan tawa geli, terlebih saat
memanggil Rio seperti saat mereka SMA dulu.
Rio tertawa. “Go to
the floor with me, Alyssa Haling?” tawar Rio sambil menyodorkan
tangan kanannya. Dengan anggukan mantab, Ify menyambutnya.
They said, “I bet,
they’ll never make it!”
But just look at us
holding on..
We’re still together
still going strong..
Mata Rio bersinar-sinar
penuh kebahagiaan. Dunia harus melihat siapa wanita yang sedang ia
genggam tangannya. Dunia yang dulu meragukan mereka bisa bersatu.
Cinta mereka tidak pupus justru semakin kuat. Mungkin waktu mereka
masih panjang. Mungkin masih ada jutaan masalah yang mengantre untuk
menguji mereka. Tapi jika wanita cantik ini tetap ada dalam
pelukannya seperti saat ini, ia tidak akan pernah takut.
“Kalian selalu sukses
bikin iri!” ucap sebuah suara bariton yang membuat Ify menegakkan
wajahnya yang semula bersandar di pundak Rio.
Di sebelah Rio dan Ify
sudah berdansa juga Alvin dan Agni. Dan suara tadi berasal dari
Alvin. Rio hanya menanggapi dengan tawa.
“Kita bisa kaya gini
kan gara-gara lo juga.” komentar Ify.
“Enggak. Gue bukan
apa-apa. Kalian yang begitu hebatnya berjuang.” Alvin menimpali.
“Lo sama Agni juga
hebat.”
“Nggak usah lo bilang
juga gue tahu itu.” ucap Alvin yang membuat tawa keempatnya pecah.
“Enjoy, ya!” lanjutnya dan membimbing Agni ke tengah
lantai dansa.
You’re still the one
that I love..
The only one I dream
of..
You’re still the one
I kiss good night..
Ify dan Rio masih
memilih bergerak selaras di tempatnya, ditepian pasangan-pasangan
lain yang juga sedang berdansa. Seperti biasanya, mereka selalu
memilih tempat yang membuat dunia hanya ada mereka, seperti saat dulu
mereka berjuang menunjukan pada dunia jika mereka pantas bersatu, dan
kini saat cinta itu sudah diikat dengan janji setia bersaksi Tuhan.
Semuanya seperti mimpi
yang abadi. Apa yang selalu mereka cita-citakan dan kemudian
perjuangkan mati-matian terwujud. Mereka membuatnya menjadi nyata
atas nama cinta. Tak ada yang lebih manis selain melihat orang yang
sama di saat mata akan terpejam di malam hari dan bagun lagi esok
hari. Orang yang kita cintai, dan mencintai kita. Seperti matahari,
sekalipun setiap hari kita melihatnya, kita akan terus berharap ia
datang lagi esok, esoknya, esoknya lagi, dan esoknya lagi. Tak akan
pernah cukup.
Untuk Rio, Ify masih
satu-satunya. Untuk Ify, Rio masih satu-satunya. Entah untuk berapa
lama lagi, tapi sepertinya itu akan terucap setiap hari hingga nanti
sampai di ujungnya senja. Sampai nanti di embusan napas mereka yang
terakhir.
Ain’t nothing
better..
We beat the odds
together..
I’m glad we didn’t
listen..
Look at what we would
be missing...
Memang tak ada yang
lebih baik dari melangkahi segala sesuatu berdua dengan dia yang
selalu memberi cahaya. Tak ada suara lain yang harus didengarkan
kecuali deru hati yang terus bertalu menjeritkan kata cinta.
Rio menempelkan
keningnya pada milik Ify. Mengeratkan pelukannya di pinggang wanita
itu, ingin menegaskan ia tak akan pernah rela membagi wanita ini
dengan dunia. Ify miliknya dan akan selalu begitu.
“Aku mencintaimu.”
ucap Rio. Ia tahu tak perlu mengucapkannya karena Ify sangat tahu
itu. Tapi kali ini ia betul-betul ingin.
“Aku tahu.” jawaban
seperti yang Rio bayangkan. “Aku juga mencintaimu.”
“Aku nggak pernah
percaya keabadian, aku nggak tahu di mana batas selamanya, tapi aku
nggak akan puas terus seperti ini sama kamu.” Rio menghela napas
yang langsung menyapa wajah Ify, membuat tubuh itu bergetar samar.
“Aku bersyukur lewati ini sama kamu.”
Dua tangan Ify merambat
dari tengkuk Rio untuk membingkai wajah tampan suaminya. Telunjuk
lentik tangan kanannya bergerak lembut menusuri setiap lekukan tanpa
cela di wajah sang suami. “Terimakasih kamu sudah memilihku,
terimakasih kamu sudah memperjuangkanku, terimakasih sudah menjadi
suami yang luar biasa, terimakasih sudah menjadi ayah yang hebat.”
“Aku akan lakukan yang
terbaik yang mampu aku lakukan untuk kamu, untuk Arjuna. Apapun itu
taruhannya, sekalipun nyawaku.”
Ify tahu Rio tak pernah
main-main dengan ucapannya. Semua yang keluar dari bibir pria itu
mutlak. Wanita itu tertawa kecil. Ada yang kurang dari ucapan Rio
barusan.
“Maaf, tugasmu akan
segera bertambah.” Ify berkata dengan mata sayu penuh misteri.
Rio terhenyak, kembali
teringat kata-kata Sivia tadi. Otaknya mulai merangkai puzzle-puzzle
yang berserakan. Beberapa hari ini Ify terlihat sedikit pucat,
beberapa hari lalu istrinya sempat muntah-muntah dan ia beralasan
dengan sedang masuk angin. Kemarin dengan mengejutkan karena Ify sama
sekali tak suka rasa asam minta mangga muda. Dan tubuh Ify memang
lebih berisi dari sebelumnya.
“Ma-Maksud kamu?”
tanya Rio terbata. Ia bisa menyimpulkan namun kebahagiaan yang ia
tampung seakan membuat dadanya ingin meledak dan kehabisan kata-kata.
Ify membimbing tangan
kanan Rio ke perutnya. “Hey, Sayang, yang di dalam sana, beri salam
pada papamu!” perintah Ify sambil terkikik geli. Ia tahu tak akan
ada reaksi gerakan dari janin muda yang ada dalam perutnya, tapi
hubungan tak bisa dimengerti antara ayah dan anaknya pasti terjalin.
“Aku akan punya satu
malaikat lagi?” tanya Rio hampir memekik saking bahagianya.
Sepertinya ada yang
harus diralat. Ify menggeleng. “Dua malaikat lagi. Kembar.”
jelasnya dengan senyuman lebar. “Tadinya aku mau bilang pas ulang
tahunmu minggu depan, tapi Sivia membongkarnya.”
Rio tak tahu harus
berbuat apa untuk mengungkapkan kebahagiaannya yang tak terkira. Yang
ia bisa lakukan sekarang adalah memeluk Ify erat-erat sambil
berterimakasih berkali-kali. Kalau ada level di atas bahagia ia
sedang mengalaminya saat ini.
Mungkin kisah cintanya
dengan Ify tidak akan melegenda hingga penjuru bumi paling pelosok
seperti Romeo dan Juliet. Tapi ia bersyukur dengan kisah ini. Kisah
yang lebih dari yang ia harapkan. Ia bersyukur tidak pernah menyerah
untuk berjuang. Hey, Romeo dan Juliet tidak pernah merasakan
bahagianya melihat anak-anak dengan dua darah keluarga paling
disegani tumbuh besar!
Rio mendekatkan bibirnya
ke telinga kanan Ify, mulai menghitung ketukan lagu yang akan segera
berakhir. Ia akan mendapatkan puncaknya.
“You’re still the
one...”